Ekonomi Sumberdaya Alam 1997: Dunia Belum Kiamat?

Bustanul Arifin, Ph.D.

Ketergantungan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang terhadap berkah sumberdaya alam tidak dapat disangkal lagi. Bagi Indonesia, meskipun sumberdaya minyak dan gas bumi tidak lagi menjadi prioritas sejak dekade 1980-an, akan tetapi gejala ketergantungan tersebut tidak dapat dialihkan begitu saja. Sekedar tidak menyebut eksploitasi sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya alam lain seperti penambangan batu bara, timah, nikel bahkan emas yang tidak pernah lepas dari kontroversi, adalah sedikit contoh ketergantungan terhadap sumberdaya atau kekayaan alam, walaupun telah disertai beberapa upaya pengembangan teknologi baru di bidang pertambangan dan energi. Hal yang menjadi menarik adalah kontroversi sekitar konsep kelangkaan sumberdaya alam itu sendiri.

Masyarakat awam, khususnya para ahli ekologi, umumnya mengenal konsep kelangkaan absolut, sedangkan para ahli ekonomi (pasar) umumnya lebih mengenal kelangkkan relatif. Kelangkaan asbolut merujuk pada persediaan atau stok sumberdaya alam yang dikandung perut bumi ini adalah terbatas. Semakin cepat laju eksploitasi, maka suatu sumberdaya alam akan semakin cepat habis. Sedangkan kelangkaan relatif lebih mengacu pada ketersediaan suatu sumberdaya alam, dibandingkan dengan harga atau biaya imbangan untuk mendapatkan satu satuan produk sumberdaya alam. Semakin mahal suatu sumberdaya alam, maka menurut konsep kelangkaan relatif, sumberdaya alam tersebut dikatakan makin langka. Demikian pula sebaliknya. Penganut konsep kelangkaan relatif ini dapat saja berfikir bahwa aktivitas pembangunan ekonomi yang ekspansif dan eksploitatif masih dapat ditolerir sepanjang membawa manfaat bagi manusia.

Jika hanya konsep kelangkaan seperti ini yang diyakini para ilmuwan, pengamat serta perumus kebijakan ekonomi pada umumnya, analisis yang muncul masih jauh dari perhatian yang serius terhadap aspek moral atau keserakahan manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Analisis ekonomi yang berkembang seakan lupa, bahwa rasionalitas ekonomi saja ternyata belum cukup untuk pencapaian suatu strategi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Artikel ini ingin menguraikan betapa pentingnya aspek moral incentives dalam perumusan kebijakan pembangunan ekonomi, khususnya di Indonesia yang masih mengandalkan penerimaan dari sektor eksploitasi (atau lebih halus: pemanfaatan) sumberdaya alam. Jika terabaikan, tidak mustahil masa depan ekonomi Indonesia akan dipenuhi gejolak stabilitas ekonomi dan politik yang semakin tidak menentu serta kesejahteraan generasi mendatang terancam tidak lebih baik dari generasi sebelumnya.

***

Kisah pertentangan faham optimistik dengan faham pesimistik mungkin dapat dijelaskan dengan contoh "perseteruan" berikut. Pada akhir 1970-an Julian Simon menantang coleganya, sekaligus seterunya dalam berargumen untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan manusia, Paul Elrich, berjudi sebesar US $ 1,000.00 (seribu dollar Amerika Serikat). Simon akan membayar seribu dollar jika prediksi Elrich dalam Population Bomb (1968), bahwa sumberdaya alam akan semakin langka, menjadi kenyataan. Pemikiran Elrich memang menjadi wakil mazhab pesimisme Neo-Malthusian, bahwa sumber daya alam yang langka ini tidak akan mampu memenuhi kebutuhan penduduk bumi yang makin banyak. Demikian pula sebaliknya, Elrich akan membayar seribu dollar jika sumber daya alam itu terbukti semakin tidak langka, walaupun Elrich harus mengikuti logika Simon. Seperti layaknya pemikiran ekonomi arus tengah (mainstream) pada umumnya, Simon menafsirkan kelangkaan (scarcity) itu sebagai fungsi dari harga, seperti pada konsep kelangkaan relatif yang diuraikan di atas.

Simon yang sepertinya mewakili mazhab optimisme -- walau kadang terlalu naif -- menentang keras pemikiran para pengikut Malthus. Dalam The Economics of Population Growth (1977), Simon mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk itu merupakan faktor positif dalam pembangunan yang tak perlu dirisaukan. Tentu saja pendapat ini mendapat tantangan keras dari para demografer kondang seperti Nathan Keyfitz, Alberto Palloni dan lain-lain. Seperti diungkapkan lebih jelas lagi dalam The Ultimate Shortage (1980), Simon masih tetap pada pendiriannya, bahwa ancaman kekurangan pangan dunia yang begitu mengganas di Afrika pada tahun 1970-an, hanya bersifat sementara, sangat lokal atau karena peperangan antar suku saja.

Sayang sekali, pengamatan Simon tidak terlalu memperhatikan bahwa intensitas pertumpahan darah masyarakt sipil tersebut sudah jelas-jelas menandakan adanya konflik yang berkepanjangan terhadap akses sumber daya lahan yang makin terbatas. Masih menurut Simon, bukti lain tentang ketidaklangkaan sumber daya adalah bahwa secara global luas areal pertanian makin lama makin meningkat dengan laju 0.7 sampai 1.0 persen per tahun, dan produktivitas bahan makanan per kapita meningkat sebesar 28 persen per tahun dengan diketemukannya teknologi unggul di bidang pertanian.

Demikian pula, dunia Barat yang dilanda krisis minyak bumi pada dekade itu, akibat tingginya harga minyak dunia yang dipatok oleh negara-negara pengekspor minyak OPEC, menurut Simon hanyalah karena ketidakpandaian politisi dan diplomat Barat "bermain" dengan pihak OPEC, bukan karena kelangkaan sumber daya minyak tersebut. Kemampuan manusia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi baru untuk menemukan cadangan minyak bumi dan sumber energi lainnya akan terus meningkat sejalan dengan waktu.

Menariknya lagi, perkiraan Simon bahwa sumber daya alam semakin hari semakin tidak langka sudah hampir menjadi kenyataan. Dengan argumen bahwa harga-harga komoditas tambang strategis seperti minyak bumi, tembaga, batu bara, timah dan lain-lain makin lama makin anjlok. Harga minyak mentah dunia yang pernah mencapai lebih dari US $ 35.00 per barrel di tahun 1970-an, di tahun 1995 ini tidak lebih besar dari US $ 17.00, alias tidak sampai separuhnya. Rasio harga tembaga terhadap indeks harga bahan-bahan kebutuhan pokok non- ekstraktif terus menurun, dari 1 : 1.2 di penghujung abad ini sampai pada 1 : 0.5 di akhir 1980- an. Apalagi jika faktor daya beli masyarakat ikut juga diperhitungkan, harga riil komoditas hasil sumber daya alam jelas-jelas menunjukkan penurunan yang berarti.

Akhirnya, pada pertemuan para ahli ekonomi sumber daya alam di Chicago (AS) tahun 1985, Paul Elrich terpaksa harus merogoh koceknya dan menulis cek sebesar US $ 1,000.00 kepada Julian Simon sesuai dengan perjanjian "judi" yang mereka sepakati. Konon, Simon tidak menguangkan sendiri cek itu, tetapi menyerahkannya pada suatu yayasan yang sering membiayai penelitian-penelitian ilmiah. Kemenangan Simon dalam berjudi tersebut juga menandai kemenangan faham rasionalitas ekonomi yang jelas-jelas berdasar asas profit maximization dalam pengambilan keputusan. Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, sepanjang membawa manfaat pada pertumbuhan ekonomi nasional, hampir selalu memperoleh pembenaran. Sekaligus, itu juga berarti ketidakberdayaan faham moral incentives dalam meredam mesin perekonomian nasional yang cenderung eksploitaitf.

Padahal sesungguhnya, etika pembangunan ekonomi yang dikehendaki adalah upaya penyadaran sifat serakah manusia yang cenderung tidak terpuaskan dalam segala hal, terutama dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan intervensi manusia terhadap keseimbangan alamiah. Beberapa nama besar tak pernah lelah menghasilkan karya-karya abadi yang terus-menerus menggugah manusia dan pelaku ekonomi agar tidak berbuat bencana pada lingkungan hidup, seperti Kenneth Boulding dengan Evolutionary Economics (1981) dan Three Faces of Power (1989); E.F. Schumacher dengan Small is Beautiful (1973); Barry Commoner dengan The Poverty of Power (1976); Herman Daly dengan Steady-State Economics (1973); N. Georgescue-Roegen dengan The Entropy Law and the Economic Process (1971) dan lain-lain.

***

Walaupun karya-karya ini sudah menjadi santapan rutin kalangan akademis, tetapi dampaknya tidak pernah menggema sampai kepada kalangan para politisi dan perumus kebijaksanaan. Untunglah, puncak politis mereka yang peduli terhadap keberlanjutan pembangunan dapat tercapai pada pembentukan komisi dunia tentang lingkungan hidup dan pembangunan (World Comission on Environment and Development = WCED) yang independen di tahun 1983. Pada tahun 1987 komisi yang diketuai Perdana Menteri Norwegia Ms. Gro Harlem Brundtland dan beranggotakan para pakar dan politisi di hampir seluruh dunia, termasuk Bapak Emil Salim, Menteri Negara KLH kita pada waktu itu, telah berhasil "mengkawinkan" antara ekonomi dan ekologi, seperti tertuang dalam laporannya yang berjudul Our Common Future, berisi anjuran tentang pembangunan berkelanjutan. Menurut komisi itu, pembangunan berkelanjutan adalah "pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri".

Akan tetapi, untuk menerapkan strategi pembangunan berkelanjutan banyak negara mengalami kesulitan dalam mengoperasionalkan konsep "baru" tersebut, termasuk di Indonesia. Kesulitan yang paling mendasar sebenarnya terletak pada masih terpecahnya pendirian kalangan intelektual dan perumus kebijaksanaan suatu negara dalam menyikapi konsep pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Kesulitan tersebut akan menjadi lebih parah jika mereka yang mendalami bidang ilmu ekonomi sumberdaya alam, yang sebenarnya tergolong baru tersebut, tidak mempunyai confidence untuk menyampaikan pengetahuannya karena iklim diskursus yang kurang kondusif. Pada kesempatan lain penulis pernah memparkan bahwa masalah internal yang dihadapi oleh peminat ekonomi sumberdaya alam adalah tentang kesepakatan tolok ukur degradasi sumberdaya alam, minimnya data dan informasi pendukung untuk mendepresiasi pertumbuhan ekonomi dengan ekstraksi sumberdaya alam, atau keragu-raguan beberapa negara untuk segera merombak sistem penghitungan pendapatan nasionalnya, dan lain-lain (Arifin, 1996).

***

Sebagai penutup, hal yang perlu diingat adalah bahwa strategi yang sudah diterapkan suatu negara dalam perumusan kebijakan ekonomi belum tentu sesuai bagi negara lain. Beberapa prioritas awal untuk operasionalisasi strategi pembangunan berkelanjutan di negara kita mungkin dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

Pertama, mulai memperkenalkan unsur-unsur sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam kerangka analisis ekonomi makro, agar terdapat suatu variasi analisis bagi para pengamat dan ekonom pembangunan dan perumus kebijakan di negeri ini. Misalnya, unsur proyeksi ekonomi Indonesia 1997 tidak hanya berisi ramalan dan prakiraan bahwa: pertumbuhan ekonomi 7,5 persen per tahun, laju inflasi 6,5 persen, debt-service ratio 32 persen, dan defisit transaksi berjalan lebih 9 milyar dollar AS. Akan tetapi, proyeksi itu juga memuat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya hanya 4,5 persen per tahun jika penyusutan nilai sumberdaya alam juga diperhitungkan, dan sebagainya.

Kedua, mulai memikirkan upaya restrukturisasi industri dengan mentransformasikan atau menghilangkan industri yang eksploitatif dan penyebab polusi, yang nota bene berdampak sangat buruk terhadap keseimbangan sosial-ekonomi masyarakat dan stabilitas politik secara umum. Alternatifnya adalah menggantinya dengan yang lebih "bersih" sebagai motor utama penggerak pembangunan ekonomi nasional. Kisah pencemaran lingkungan hidup oleh PT Freeport Indonesia di Irian Jaya atau PT Inti Indo Rayon di Sumatra Utara adalah sedikit contoh terganggunya keseimbangan sosial-ekonomi masyarakat karena eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan.

Ketiga, tidak henti-hentinya mencoba mengintegrasikan aspek moral incentives dalam manajemen sumberdaya alam atau kebijakan ekonomi secara umum. Dalam skala yang paling kecil, misalnya di dunia pendidikan, menu kurikulum yang menyertakan pendalaman pemahaman sumberdaya alam dan lingkungan hidup dapat disisipkan di hampir setiap program studi. Pada skala lebih besar, upaya penyegaran kembali kaum terdidik (reeducating the educated people) tentang pewarisan kualitas sumberdaya alam dan kesejahteraan generasi mendatang dapat dimulai dari lingkungan keluarga, kerabat dan masyarakat sekitar, dan lain-lain.