Aceh IT-Media Center, Minggu, 2 Januari 2005, 16:23 WIB
Relawan Elite, Relawan Politis?
Bahwa sebuah bencana bisa menjadi sebuah kesempatan politis, agaknya telah
sejak awal kekhawatiran itu sudah banyak disampaikan oleh para elite sendiri. Dalam
rangkaian perjalanan ke Aceh ini, Tim Relawan IT Air Putih menjumpai sendiri
kenyataan tersebut.
Kita merasakan sejak awal hal ini. Banyak pengiriman relawan ditumpangi oleh
kepentingan politis. Demikian juga motif2 operasional mereka di lokasi bencana.
Semua seperti berlomba mendapatkan kredit point dengan tingkah egosentrisme
yang keterlaluan, bahkan cenderung memalukan dan bikin muak.
Banyak pihak memanfaatkan situasi ini untuk tujuan yang kurang tulus, memperoleh
simpati dan kepahlawanan. Sesuatu yang absurd dalam kondisi darurat dan kritis
semacam ini. Sebab pahlawan sesungguhnya, adalah para korban dan survivor,
bukan relawan atau petugas dan pejabat publik.
Menjadi relawan adalah panggilan kewajiban kemanusiaan, bukan sebuah sikap untuk
tujuan lain. Para petugas dan pejabat publik, bahkan politisi, mereka harus
melakukan ini karena itulah tugasnya. Mereka digaji oleh negara, uang rakyat dan
menjalankan kewajiban politis dari jabatan yang harus dipertanggungjawabkan pada
publik. Sekali lagi, itu juga bukan bagian dari sikap kepahlawanan.
Sehingga ketika mereka ini, memposisikan diri sebagai elite yang harus dapat
prioritas dan karenanya membuat misi2 yang lebih tulus terpaksa minggir atau
dijadwal ulang bahkan batal berangkat, maka itu adalah suatu pengkhianatan
terhadap saudara2 kita yang sedang menderita. Tim AirPutih mengalami dan melihat
kenyataan ini dengan sangat sedih.
Di halim, tumpukan bantuan seperti tidak ada yang memperhatikan ataupun
mengurusnya. Baik di terminal maupun dalam area runaway lanud. Sejumlah pesawat
TNI justru sibuk memfasilitasi pejabat dan rombongannya serta para relawan elite
yang tidak jelas apa urusannya ke Aceh. Bahkan menjadi suatu acara selebritis
ketika media elektronik meliputnya dengan skenario ekspose dan dramatisasi.
Melupakan etika jurnalistik terdistorsi pesanan politis.
Di sisi lain, puluhan dan ratusan relawan dari segenap penjuru negeri, nampak
terlantar menunggu giliran pemberangkatan yang tidak pasti. Bahkan dengan
semena2 di-cancel, diusir bahkan dimarahi oleh petugas2 yang sok kuasa. Apa
mereka itu sudah tidak memiliki nurani lagi dan memandang dirinya jauh lebih mulia
dari para relawan yang menyediakan jiwa raga serta harta bendanya itu? Mereka
mengulurkan tangan dengan tulus sementara para petugas itu hanya menjalankan
tugas yang itupun tidak dilakukannya dengan becus!
Kondisi di daerah pun sama, dari Jogja, Malang dan daerah2 lain masuk kabar bahwa
mereka tidak mendapatkan jadwal keberangkatan yang pasti baik itu melalui jalur
komersial maupun pemerintah/militer. Padahal konsentrasi bantuan dan relawan
menumpuk dimana2. Semua butuh segera ke Aceh dan tak ada satu pun lini birokrasi
yang mampu memberikan solusi.
Akhirnya mereka harus berangkat dengan berbagai cara, persis supporter bola yang
hendak "ngelurug", menonton kesebelasan pujaannya bertanding.
Sesungguhnya para petugas dan pejabat itu mereka jauh hina, karena dalam situasi
genting semacam ini tak melakukan apa2 sementara mereka punya kekuasaan yang
memungkinkan mereka menyediakan resource dan manfaat yang besar bagi semua
pihak demi pertolongan pada Aceh yang sedang menangis darah.
Setiap detik di Aceh harus dibayar dengan nyawa! Dan sangat sedikit birokrasi di
negeri ini yang memiliki kesadaran intelektual semacam ini.
Justru armada asing (Australia, AS) dengan tegas memprioritaskan angkutan bantuan
serta relawan. Tanpa seleksi dan diskriminasi politis bahkan dengan sikap pelayanan
bak maskapai Internasional kelas utama!
Tim AirPutih merasakan sendiri, bagaimana sebuah tim militer Australia dapat
bersikap sangat ramah dan perhatian walaupun terkendala bahasa dan budaya. Jauh
lebih ramah dari layanan penerbangan kelas utama negeri ini. Sebelum dan selama
perjalanan mereka sangat melayani, bahkan urusan toilet dalam pesawat Hercules
pun mereka perhatikan dan memberi notice pada setiap relawan yang menumpang.
Ketika lewat sepanjang garis pantai barat Aceh, mereka memberi kesempatan para
relawan untuk melakukan observasi medan dari udara. Terbang dalam jarak dekat
dengan ketinggian rendah yang kita tahu itu sangat beresiko dan mereka tetap
lakukan! Sehingga mereka menunjukkan kualitas mental sesungguhnya sebagai Tim
yang bekerja untuk tugas kemanusiaan. Saya dan sejumlah rekan relawan Air Putih
maupun PMI yang ada di situ, sesungguhnya merasa malu, karena bangsa kita
sendiri ternyata tidak memililiki kesadaran dan mental persaudaraan dalam
kemanusiaan semacam itu.
Di bandara Aceh, kondisi serupa kita alami lagi. Di satu sisi, sejumlah besar petugas
asing, helikopter US Navy dan alat2 angkut barang nampak bekerja tanpa henti tanpa
banyak ba bi bu, bahkan mereka seperti robot yang sudah tahu persis apa yang
harus dilakukan secara efektif dan efisien. Tanpa banyak bicara!
Di sisi lain, sejumlah besar petugas dan pejabat kita justru nampak sibuk dan saling
bersitegang hanya untuk mengurusi kunjungan para pejabat termasuk presiden SBY.
Mereka bekerja keras hanya agar Bapak senang. Sementara sejumlah besar bantuan
untuk rakyatnya, tidak mereka urus. Bahkan justru sejumlah birokrasi rumit tetap
dilakukan dan menjadi hambatan luar biasa.
Penulis menjumpai banyak sekali Tim Relawan yang sudah menunggu berjam2
bahkan berhari2 dan harus bolak balik ke bandara hanya untuk mendapatkan barang2
mereka, termasuk distribusi obat2an yang sangat diperlukan. Sedang angkutan berat
sangat sulit didapatkan. Semua petugas yang seharusnya bertanggung jawab
nampak lepas tangan.
Sejumlah Tim Relawan, nampak bekerja dengan inisiatif sendiri tanpa suatu
koordinasi.
Misalnya dari PMI gabungan dari berbagai daerah, bekerja keras merawat pengungsi
dg. kondisi mengenaskan dan serba seadanya. Tenda darurat mereka nampak sudah
tak mampu lagi menampung, sementara tidak jauh dari lokasi itu, sejumlah tenda
mentereng berdiri untuk supporting kunjungan pejabat dan kelompok relawan elite.
Yang bahkan untuk melayani masyarakat pun mereka mendapat suatu pengawalan
khusus. Sungguh sebuah situasi paradoks.
Tim PMI gabungan di bandara, mengaku, sejak mereka tiba (dengan berbagai
kesulitan yang sama), beberapa hari yang lalu, mereka belum sekalipun ke lokasi
utama bencana (pusat kota Banda Aceh). Pertama, mereka tidak memiliki supporting
tim di lokasi, kedua tak ada transportasi dan ketiga tak ada yang mengkoordinir
penyaluran relawan. Mereka bekerja dengan inisiatif sendiri dan tidak tahu kemana
harus pergi untuk mendapatkan peralatan medis dan obat2an yang mereka perlukan.
Padahal di seberang mereka tumpukan barang bantuan dan tentu saja di dalamnya
ada obat2an, teronggok begitu saja tak terurus.
Mereka akhirnya memutuskan menugaskan diri sendiri di areal bandara karena tak
tersedia tim medis yang memadai di situ meskipun pengungsi banyak bertebaran di
sekitar bandara. Termasuk orang2 terlantar yang ingin keluar dari Aceh.
Demikian juga sejumlah besar Tim Relawan yang baru tiba, nampak bingung, tak tahu
harus kemana dan bagaimana. Transportasi tak tersedia dan tidak ada satupun
petugas bandara maupun birokrasi yang merasa bertanggung jawab melayani
mereka. Sekali lagi, mereka lebih concern pada kunjungan pejabat ataupun hanya
mau melayani tim relawan elite yang disponsori oleh pejabat ataupun membawa misi2
poilitis.
Jawaban yang sangat menyedihkan kami terima, semua transportasi bahkan truk
militer seluruhnya habis digunakan untuk evakuasi jenazah disekitar lokasi dimana
presiden SBY akan berkunjung. Bahkan sejumlah besar mayat ini direlokasi ke
tempat2 yang tak terlihat.
Jalan2 dibersihkan dengan effort yang luar biasa. Mendadak, semua fasilitas tersedia,
listrik, air, komunikasi dsb. pendeknya semua barang langka yang sebelumnya
seperti mustahil bisa diselenggarakan di Banda Aceh.
Pertanyaannya, apabila mereka mampu melakukan itu, mengapa baru saat ini
dilakukan? Hanya karena pejabat berkunjung? Dan mengapa upaya dan juga fasilitas
itu lantas dihentikan lagi ketika presiden sudah kembali ke Jakarta? Padahal
jenazah2 itu bagaimanapun tetap harus secepatnya dievakuasi.
Padahal, rakyat membutuhkan itu semua justru setelah semua pejabat minggat dari
bumi Aceh.
Kami melihat dan mendengar cerita, bahwa posko2 resmi di pusat kota kini dikuasai
oleh tim relawan elite dengan pakaian seragam mentereng dan juga mendapatkan
fasilitas luar biasa.
Ketika rakyat kesulitan air bersih, mereka justru masih bisa mandi dan berdandan.
Mereka bisa makan di depan rakyat yang telah kelaparan selama seminggu penuh.
Bahkan posko gubernuran, dari laporan Anjar dan Valens, sudah berubah menjadi
studio infotainment multinasional dengan fasilitas yang luar biasa lengkap dan
relawan2 kosmetik yang bekerja untuk kepentingan politis, pencitraan, dramatisasi,
kapitalisasi media dsb.
Sementara diseluruh penjuru lokasi bencana, relawan, para jurnalis, juga relawan
asing sesungguhnya bekerja keras dengan kondisi yang sama lusuhnya dengan
korban yang mereka layani dan terus berjuang mendapatkan resource2 yang selalu
diprioritaskan untuk kepentingan2 yang tidak jelas. Resource yang dibutuhkan untuk
rakyat Aceh.
Semalam, saya sempat merenung di posko dan menitikkan airmata, melihat
kemalangan Aceh, sebuah negeri yang sangat indah dengan rakyatnya yang
demikian kuat dan tabah namun terjebak dalam kebusukan pengelolaan bencana di
sebuah negara yang luar biasa brengsek. Saya berdoa, semoga para korban dan
relawan sejati mendapatkan kekuatan dan jalan untuk menuntaskan misi kemanusian
ini.
Saya dan teman2 di Tim AirPutih merasa malu dan kecil dihadapan pekerjaan
kemanusiaan besar yang telah, sedang dan akan terus mereka (relawan dan korban)
lakukan. Kami sama sekali belum melakukan apa2 dan merasa tidak pantas hadir di
sini. (Salahuddien)
Copyright © Aceh IT-Media Center/AirrPutih
|