The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

OPINI


Apa yang Terjadi Setelah Berhentinya Perang?
Masa Depan Pengungsi Maluku Utara di Sulawesi Utara

Christopher R. Duncan, Goldsmiths College, Universitas London

Meskipun penelitian akademis di Indonesia sudah menganalisis kekerasan sejak jatuhnya Suharto tahun 1998 (Sihbudi dkk 2000; Sudagung 2000; Wessel dan Wimhofer 2002; Colombijn dan Lindblad 2002), namun masih sedikit yang mengkaji tentang 1,3 juta pengungsi paska berhentinya konflik. Para pengungsi (IDP) ini tersebar ke seluruh kepulauan Nusantara. Masih banyak pengungsi2 yang belum berani pulang ke rumah masing-masing meskipun konlflik sudah berhenti. Tampaknya, menyikapi kehadiran banyaknya pengungsi, maka pemerintah pusat mengumumkan kebijakan baru untuk penanganan kepulangan pengungsi pada bulan September 2001. Diberitahukan bahwa masalah pengungsi akan diselesaikan pada akhir bulan Desember 2002. Rencana pemerintah itu tidak merinci secara detail tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah pengungsi terkecuali dengan menyediakan tiga pilihan: (1) Pemulangan; (2) Pemberdayaan; dan (3) Pengalihan (Departemen Sosial 2001). Kebijakan baru ini disambut dengan kebingungan oleh banyak pengungsi, karena kebijakan pemerintah dikeluarkan pada saat mereka sedang dalam pengungsian di tengah peristiwa kekerasan yang sedang berlangsung di Ambon dan Poso. Kebijakan juga mengebutkan bahwa semua bantuan pemerintah kepada para pengungsi akan disalurkan pada bulan 31 Desember 2001. Hal ini menimbulkan beberapa pengungsi untuk berspekulasi bahwa perencanaan itu ditujukan sekadar untuk menentramkan masyarakat setempat. Banyak di antara mereka mulai khawatir ketika para pengungsi sedang pulang ke rumah masing-masing. Selanjutnya, tulisan ini akan menganalisis sejumlah isu yang dihadapi para pengungsi dari Maluku di Sulawesi Utara dan masa depan mereka.3

Mengapa Terdapat 35.000 Pengungsi di Sulawesi Utara: Ulasan Singkat Mengenai Konflik di Maluku Utara

Pada bulan Januari 1999, kekerasan antara Kristen dan Muslim terjadi di Ambon, ibu kota propinsi Maluku.4 Bagian utara propinsi, yang selanjutnya segera menjadi propinsi baru Maluku Utara, berada dalam situasi damai. Tak lama setelah pertengahan Agustus 1999, kekerasan antara pendatang Makian dengan masyarakat setempat terjadi di Halmahera, Kecamatan Kao. Konflik ini terkait dengan rencana pemerintah daerah yang membentuk Kecamatan baru, Daratan Makian, sebelah selatan dari Kecamatan Kao. Kecamatan baru ini meliputi semua desa Makian yang telah didirikan pada tahun 1975 ketika pemerintah Indonesia memindahkan masyarakat Makian dari tempat tinggal mereka di Makian dan menempatkan kembali mereka di Kao dengan tujuan untuk melindungi mereka dari bahaya letupan gunung berapi yang telah diprediksikan. Hal itu juga termasuk beberapa desa orang Pagu dan Kecamatan Jailolo.

Kekerasan pada bulan Agustus memang hanya berakhir dalam beberapa hari, namun masalah utamanya justru belum terselesaikan. Keributan-keributan terjadi kembali pada bulan Oktober, yang diakhiri dengan kekalahan total warga Makian oleh pihak penduduk setempat. Sekitar 15.000 pengungsi Makian terpaksa mengungsi ke kepulauan Ternate dan Tidore. Meskipun konflik antara Kao dan Malifut semula menjadi masalah antar etnis, akibat kekerasan di Ambon, hal itu kemudian berubah menjadi konflik agama, di mana masyarakat Makian merepresentasikan komunitas Muslim; sementara penduduk Kao merepresentasikan komunitas Kristen. Kekerasan di Tidore dimulai dengan kemunculan selebaran surat berisi seruan kepada komunitas Kristen untuk “menyapu bersih” kawasan orang-orang Islam. Seruan ini membuat marah masyarakat Muslim, khususnya pengungsi Makian yang masih menyimpan kemarahan akibat kekalahan mereka di tangan masyarakat Kao. Setelah kekerasan terjadi pada awal Nopember, sekitar 13.000 pengungsi, sebagian besar Kristen, dipaksa untuk mengungsi ke Sulawesi Utara atau Halmahera. Kekerasan pada periode ini kemudian diikuti dengan serangan orang Islam di daerah bagian Barat dan Selatan dengan mengirimkan ribuan orang yang umumnya pengungsi Kristen ke Sulawesi Utara dan Halmahera Selatan.

Di akhir tahun 1999 setelah ketegangan-ketegangan terjadi selama beberapa bulan, perkelahian pecah di Tobelo di Halmahera Utara yang mengakibatkan dengan kematian beberapa ratus muslim dan kehancuran sepenuhnya rumah-rumah dan masjid-masjid milik mereka. Tindakan kekerasan ini kemudian menyebar ke seluruh Halmahera dan ke kepulauan sekitar Morotai, Bacan dan Obi. Jumlah peristiwa kerusuhan, yang diperburuk oleh tindakan yang dilebih-lebihkan, menciptakan sebuah keributan nasional yang mengakibatkan pembentukan laskar jihad sebuah kelompok muslim pejuang-pejuang suci yang menyebar di Maluku dan Maluku Utara beberapa bulan kemudian untuk menolong sesama muslim. Pasukan jihad ini dibantu oleh beberapa personel militer dan beberapa penduduk muslim menyerang dan menghancurkan hampir semua desa Kristen di kecamatan Galela, selain juga menyerang beberapa bagian propinsi lainnya. Ketika kerusuhan sekala besar menyurut pada bulan Juni 2000, sangat sedikit daerah-daerah yang tidak terjamah oleh konflik dan lebih dari 200.000 orang telah diungsikan dari rumah-rumah mereka. Tiga tahun kemudian banyak pengungsi-pengungsi bertahan di Sulawesi Utara atau masih diungsikan di dalam wilayah Maluku Utara untuk beberapa alasan. Ketidakpercayaan yang tetap dipertahankan dan ketegangan-ketegangan antara komunitas Islam dan Kristen, selain juga karena trauma, mencegah mereka untuk kembali ke tempat asal mereka. Bahkan, kehancuran rumah-rumah, ladang-ladang dan infrastruktur telah melambatkan kembalinya mereka ke keluarga mereka masing-masing.

Kondisi Pengungsi di Sulawesi Utara

Pada dasarnya mayoritas lokasi pengungsian dari konflik (dan masih banyak lagi) terkonsentrasi di tiga lokasi dengan sekitar 35.000 yang sebagian besar pengungsi Kristen dari Ternate, Tidore, Morotai dan bagian selatan dari propinsi yang melarikan diri ke propinisi tetangga di Sulawesi Utara;5 45.000 Kristen ada di Kecamatan Tobelo di Halmahera Utara, dan hampir 100.000 pengungsi muslim dari Malifut, Tobelo dan daerah lainnya terkonsentrasi di Ternate.6 Dari 35.000 pengungsi di Sulawesi Utara, yang menjadi fokus utama dalam tulisan ini, sekitar sepertiganya dimukimkan di sebagian besar kamp pengungsian di kota-kota seperti Manado dan Bitung. Kamp-kamp pengungsian ini berkisar dari tempat terkecil yang dapat menampung sekitar 125 keluarga sampai dengan yang terbesar yang pada puncaknya dapat menampung lebih dari 1000 rumah tangga (lihat Foto 1). Sisa dari 25.000 pengungsi tinggal menyebar di rumah-rumah penduduk meliputi seluruh daerah dan seringkali sukar untuk dialokasikan.

Foto 1: Penampungan pengungsi di bekas kantor pemerintah di Manado. Penampungan ini selanjutnya diperbaiki oleh setiap keluarga. (Foto diambil oleh penulis, Manado, Sulawesi Utara, August 2000).

Pengungsi-pengungsi menanggapi penerimaan yang dilakukan di Manado secara positif. Mereka seringkali menggambarkan sejumlah bantuan yang mereka terima dari penduduk setempat, termasuk makanan, pakaian, pemukiman dan konsultasi spiritual-keagamaan. Banyak gereja-gereja, masjid-masjid, dan kelompok-kelompok masyarakat mengulurkan bantuannya untuk para pengungsi. Banyak di antara mereka telah kehilangan segala apa yang dimilikinya. Namun demikian, para pengungsi masih mengeluhkan tempat awal lokasi yang di bawah pengawasan polisi selama 24 jam dan dipaksa untuk memakai kartu pengenal yang menunjukkan status pengungsian mereka. Pihak keamanan setempat masih merasa takut bahwa mereka akan membawa permasalahan bagi mereka. Aksi-aksi yang dilakukan oleh pengungsi Malifut di Ternate menunjukkan bukti bahwa pengungsi bisa mengkacauakan kota. Ada ketakutan bahwa kekerasan akan menyebar sampai ke Sulawesi Utara. Terdapat pula sejumlah rumor di Manado terkait dengan “rencana ATM.” Rencana ini

dimaksudkan untuk “membersihkan” kawasan Kristen; terutama di Ambon, Tobelo, dan kemudian Manado. Menurut para pengungsi, para provokator dari Maluku Utara ditemukan di tempat pengungsian pada beberapa kali kesempatan. Pada saat bersamaan, konflik antara Muslim dan Kristen ke arah Selatan di Poso sedang berlangsung. Sebagai informasi tambahan, aktifitas Muslim Abu Sayyaf di dekat kawan Selatan Philippina membuat pihak keamanan merasa khawatir.

Penerimaan yang ramah tamah hanya tinggal kenangan. Pemasukkan besar orang-orang pengangguran menyebabkan keturunan upah buruh kasar dan upah buruh pabrik. Harga sewa perumahan meningkat karena ribuan orang cari tempat tinggal. Lebih dari tiga tahun setelah kedatangan mereka, para pengungsi sekarang memegang tanggung jawab untuk hampir semua permasalahan yang pernah terjadi di Sulawesi Utara. Penduduk lokal menyalahkan mereka untuk segala hal yang tidak baik dari kepadatan lalu lintas, dan naiknya tingkat rata-rata kejahatan sampai dengan naiknya harga sewa perumahan dan polusi. Sayangnya, kedatangan para pengungsi juga diikuti dengan buruknya pelayanan pemerintah yang pada saat itu memiliki keterbatasan anggaran dan mereka sering dijadikan sebagai sasaran kambing hitam. Namun, hal ini dapat menunjukkan bahwa selain permasalahan yang ditimbulkan oleh para pengungsi mereka juga sebagai sasaran penduduk lokal yang dapat menarik keuntungan dari kehadiran mereka, melalui berkurangnya upah kerja, dan masuknya bantuan-bantuan asing. Sebagai contoh, biaya penyewaan buruh untuk memanen cengkeh terjadi penurunan sebagaimana ketersediaan jumlah buruh meningkat. Untuk para pegawai negeri, kesempatan untuk meningkatkan gaji mereka cukup besar dan beberapa malah mendapatkan keuntungan yang sebagian besar diperoleh dari kecemasan pengungsi.

Hubungan Antara Pengungsi dan Masyarakat Lokal

Hubungan antara dua kelompok di Sulawesi Utara, sebagian besar, penuh ramah tamah dan belum pernah menimbulkan persoalan seperti yang ada di Sulawesi Tenggara (Tempo 2001; Jakarta Post 2001a;) atau di Ternate, meskipun ada sedikit ketegangan. Pengembangan hubungan antar kelompok ini tak bisa diabaikan, seperti terjadinya benturan antara penduduk setempat dan pendatang yang pada mulanya menciptakan banyak jumlah pengungsi di Indonesia (Sudagung 2000; Sihbudi dkk 2001; Duncan 2002). Jika kepulangan mereka atau intergrasi mereka tidaklah ditangani secara tepat, maka pemerintah daerah akan dengan sendirinya menaburkan benih-benih konflik di masa mendatang. Sebagai tanggapannya, pemerintah Indonesia telah memfokuskan usahanya pada pengembalian pengungsi ke tempat tinggal sebelumnya dalam rangka menghindari kemungkinan terjadinya konflik. Selain fokus perhatian pada konflik antara pengungsi dan penduduk setempat, pemerintah, pada semua tingkatan, hanya berbuat minimal dalam mengurangi konflik. Di Sulawesi Utara, hubungan antara pengungsi dan masyarakat setempat, beserta ketegangan yang melingkupinya, dikonstruksi oleh sejumlah pencitraan-pencitraan negatif bahwasanya pengungsi dan penduduk setempat mengembangkan hubungan satu sama lain. Nilai kebenaran dari pencitraan-pencitraan ini sebagaian besar tidaklah relevan. Ketekunan atas pandangan-pandangan ini beserta ketelitian yang diinvestasikan di dalamnya oleh kedua belah pihak meyakinkan efektifitas yang berlangsung dalam mendefinisikan pengungsi. Salah satu hasilnya adalah bahwa pegawai negeri, sebagai salah satu konsumen terbesar atas pencitraan-pencitraan ini, telah membentuk agenda-agenda yang seringkali didasarkan pada citra yang salah dari pengungsi.

Keluhan utama yang ditujukan kepada para pengungsi pada umumnya adalah mereka malas dan hanya duduk menunggu pembagian bantuan (Manado Post 2001a). Kemalasan-kemalasan mereka ini sering dibanding-bandingkan dengan kondisi umum kerajinan kerja orang-orang Minahasa. Banyak penduduk setempat merasa bahwa para pengungsi telah dianggap menerima bantuan dari pemerintah atau LSM dan hal tersebut untuk menghapuskan upah untuk kerja (lihat Berita Telegraf 2001; Manado Post 2001a). Sementara yang lainnya merasa bahwa para pengungsi terlalu selektif dalam memilih pekerjaan mereka. Sebagai contohnya, satu wanita dari Bitung mengunjungi perkampungan untuk mencari pembantu. Dia menawarkan gaji sebulan seharga Rp. 100.000,00 ditambah kamar dan penginapan. Pimpinan perkampungan pengungsi menunjukkan bahwa seorang wanita bisa mendapatkan Rp. 80.000,00 per bulan hanya hanya untuk mencuci tanpa memasak dan membersihkan. Respon dari perempuan tidak membuatnya mengubah tawaran tersebut, namun dia menanggapinya dengan kemarahan, “So pengungsi, mau balagu” (Kamu ini sudah pengungsi, tapi masih mau memilih dengan teliti kesempatan kamu) Banyak orang di Manado menganggap ketidakmauan ini sebagai akibat dari kemalasan yang berlebihan.

Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa seharusnya pengangguran dan orang-orang yang tidak aktif yang dilakukan oleh para pengungsi menampakkan bahwa perkampungan pengungsi menjadi tempat-tempat yang berubah menjadi tempat berkembangnya anarki dan tidak menghormati hukum dan memanaskan kemarahan dan kekerasan. Pada satu titik kepala Satkorlak mengatakan bahwa dia menginginkan untuk membiarkan perkampungan sebagai tempat terbuka “karena setidaknya di dalam perkampungan lokasi pengungsi yang kekerasan dapat dibendung dan tidak menyebar ke jalan-jalan (Far Eastern Economic Review 2001). Nampaknya dia telah melupakan bahwa 25.000 para pengungsi tidak tinggal di perkampungan-perkampungan semacam ini. Di sisi lain, pernyataan ketua DPRD Sulawesi Utara yang dikutip di Jakarta Post (2001b) mengatakan bahwa kehadiran para pengungsi telah mengakibatkan meledaknya penjualan senjata dan senjata rakitan. Yang lainnya mengeluhkan bahwa para pengungsi telah mengkontribusikan untuk menaikkan angka kejahatan. Malahan, berdasarkan data hasil statistik dari polisi di Manado dan Bitung menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedatanagan para pengungsi dan kenaikan tingkat kejahatan. Di Manado polisi telah menangkap satu pengungsi melalui pelajaran selama tiga tahun (Manado Post 2001d). Menurut pendapat mereka, para pengungsi lebih sering dijadikan obyek kriminal (Posko Manado 2001).

Menyadari akan ancaman bahwa para pengungsi menyebabkan ketidak damainya terjadi di sekitar Natal tahun 2001. Selama Oktober dan November pada tahun yang sama gosip meneybar seluruh Sulawesi Utara bahwa laskar Jihad (secara aktif di Poso, Sulawesi Tengah pada saat itu) merencanakan sebuah Natal berdarah untu daerah itu (lihat Manado Post 2001e). Ketegangan-ketegangan meningkat sekitar perayaan Idul Fitri yang terus dilanjutkan sampai dengan tahun baru, khususnya ketika beberapa anggota laskar Jihad telah ditangkap di Manado (Manado Post 2001b; Komentar 2001). Rumor-rumor ini membuat para pengungsi benar-benar gugup. Mereka berpikir bahwa kerusuhan satu kali sudah cukup dan tidak memiliki kemauan untuk mengulangi kembali. Pada masa ini, di belakang perkampungan pengungsian berubah menjadi pabrik-pabrik senjata yang mereka persiapkan untuk penyerangan yang tidak pernah diwujudkan. Mereka mencoba untuk mendiskusikan ketakutan-ketakutan mereka dengan para tetangga karena mereka berpikir orang-orang Sulawesi Utara bisa belajar dari pengalaman masa lalu mereka. Bagaimanapun juga, penduduk lokal melihatnya secara berbeda dan menuduh para pengungsi sebagai provokator. Pada Idul Fitri beberapa orang Kristen yang berbasis pada milisi dari Minahasa (Laskar Kristus, Brigade Manguni) datang untuk menjaga orang-orang Muslim ketika sedang berdo’a. Pada malam natal, gereja-geraja dijaga oleh gabungan kelompok dari orang-orang Muslim dan Kristen, serta tetangga meraka dipersiapkan di beberapa tempat untuk menjaga keamanan dan situasi (Lihat Foto 2). Pada malam Tahun Baru kehadiran polisi secara masif di jalan-jalan Manado, beberapa diantara mereka diperlengkapi dengan perlengkapan anti kerusuhan, bertujuan untuk menciptakan ketenangan masyarakat. Kenyataannya bahwa masa liburan berlalu tanpa insiden hanyalah membuktikan kepada penduduk setempat bahwa pengungsi mencoba utnuk menyebabkan masalah.

Foto 2: Selama bulan Desember 2001, masyarakat di Sulawesi Utara ditakut-takuti oleh rumor adanya serangan dari Laskar Jihad. Beberapa komunitas mengantisipasi ini agar tidak terjadi, termasuk pendirian Posko Keamanan. (Foto diambil oleh penulis, Manado, Sulawesi Utara, Desember 2001).

Para pengungsi sudah terbiasa dengan tuduhan-tuduhan bahwa mereka malas atau penghasut (provokator) dan menyadari statusnya yang dipandang rendah oleh penduduk setempat. Banyak pengungsi menyebutkannya sebagai salah satu alasan mereka ingin pulang kembali ke Maluku Utara. Mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri mengatakan bahwa mereka tidak mengalami hinaan sebagaimana yang dialami para buruh. Yang belakangan ini terus menerus dihina sebagai ‘bodoh,’ dan seringkali dituduh sebagai pencuri. Para pengungsi itu juga menyadari statusnya sebagai ‘orang luar’ di propinsi itu, dan takut terlalu vokal menyampaikan keluhannya tentang KKN pejabat-pejabat setempat. Sebagian mereka berpendapat bahwa berbahaya berdemonstrasi menentang korupsi karena hal ini akan memukul balik dan mereka bisa dipaksa meninggalkan pemukiman. Akibatnya, interaksi-interaksi dan ketakutan-ketakutan ini menciptakan sejumlah stereotip tentang penduduk setempat, kebanyakan berdasarkan urusan mereka dengan pejabat-pejabat pemerintah. Hubungan ini dicemari ketidakpercayaan pada kedua pihak. Para pejabat pemerintah menuduh para pengungsi penipu dan pencuri, sementara para pengungsi itu sendiri menyesalkan meluasnya korupsi dan kurangnya kepekaan di kalangan petugas-petugas pelayanan masyarakat (civil service). Salah satu di antara contoh-contoh korupsi yang paling sering dibicarakan berkenaan dengan sejumlah besar bantuan kemanusiaan yang seharusnya diberikan kepada para pengungsi di Manado pada saat Natal pertama di tempat pemukiman (Desember 1999). Lembaga bantuan sosial telah menyediakan gudang yang besar berisi bahan-bahan makanan yang diperlukan untuk merayakan Natal dan Tahun Baru—susu kaleng, telur, tepung, dan gula untuk membuat kueh-kueh tradisional, serta beras, teh, dan bahan-bahan lainnya. Para petugas setempat juga terkesan sekali dengan melimpahnya bantuan yang dapat memenuhi semua keperluan mereka untuk hari-hari besar itu dan bahan-bahan itu dengan cepat lenyap dimasukkan ke dalam bagasi-bagasi (bagian belakang) mobilnya. Banyak pengungsi mengaku melihatnya ketika para petugas sosial itu (civil servants) mengendarai mobilnya menuju gudang dan memuat kotak-kotak yang dimaksudkan untuk para pengungsi. Pada akhirnya para pengungsi hanya menerima paket berisi kueh asin dan setengah botol sirop untuk setiap keluarga merayakan hari-hari besar tersebut. Contoh korupsi lain yang sudah banyak diketahui menyangkut sejumlah besar beras yang seharusnya dibagikan kepada para pengungsi di Bitung pada awal 2002. Alih-alih membagikannya kepada para pengungsi, dua anggota staff Departemen Sosial menjual beras itu di pasaran. Hanya saja, mereka membuat kekeliruan dengan mengupah para pengungsi untuk mengangkut beras itu ke pasar. Petugas setempat tentu saja menyangkal semua tuduhan korupsi itu dan terkejut sekali dengan anggapan bahwa mereka akan mencuri dari para pengungsi. Sebaliknya, para pengungsi mengakui bahwa mereka sendiri sering mengakali (menipu) sistem, dengan alasan bahwa apa yang tidak mereka curi, akan dicuri oleh para petugas sosial.

Dengan contoh-contoh ini tertanam di benaknya, para pengungsi sering menyebutnya sebagai perilaku orang-orang Minahasa yang “tidak Kristiani” (un-Christian behavior) dan mengeluh tentang kurangnya rasa hormat terhadap saudaranya sesama Kristen yang sedang kesusahan (memerlukan bantuan). Setelah tiba di Manado para pengungsi itu tadinya berharap menemukan rasa solidaritas di kalangan penduduk Sulawesi Utara yang mayoritas Kristen. Memburuknya hubungan, dan nampaknya tingkat korupsi yang tinggi di kalangan para petugas sosial, hampir semuanya Kristen, membuat mereka kesal sekali. Komentar yang sering terlontar adalah:” Orang-orang Islam membakar rumah kami dan mencuri milik kami di Maluku Utara, sekarang di sini orang-orang Kristen mencuri dari kami.” Lagi pula, para pengungsi mengharapkan bantuan dalam konflik dengan orang-orang Islam di Maluku Utara, sebagian bahkan ingin orang-orang Kristen setempat kembali dengannya untuk berperang. Namun penduduk setempat kurang tanggap terhadap permintaan ini, mereka hanya memikirkan keselamatan komunitasnya sendiri. Perbedaannya adalah para pengungsi mulai mengidentifikasi dirinya pertama-tama sebagai Kristen dan karenanya mengharapkan solidaritas sebagai sesama pemeluk agama minoritas (Kristen), sedangkan orang-orang Minahasa masih melihat dirinya sendiri pertama-tama sebagai orang Minahasa dan mereka mempunyai kekhawatiran tersendiri.

Banyak pengungsi menganggap orang-orang Sulawesi Utara pada dasanya tidak jujur. Mereka menyebutkan sejumlah contoh, antara lain, mereka atau kenalannya dipekerjakan dan tidak dibayar sebagaimana yang dijanjikan setelah pekerjaannya selesai. Sekelompok pengungsi dibawa ke kota Tondano dengan janji akan diberi pekerjaan yang bagus, makanan, dan penginapan. Setelah tiba di sana, upahnya dipotong dan tempat nginapnya “lebih buruk dari tempat pemukiman pengungsi.” Yang lain, mengetahui bahwa pengungsi perlu sekali uang, mencoba memanfaatkan kemiskinan para pengungsi dengan memberikan upah yang jauh di bawah tingkat pasaran upah. Pengalaman-pengalaman ditipu, atau diberi upah rendah, membuat banyak pengungsi yang ragu-ragu bekerja pada penduduk setempat, dan mereka seringkali menolak tawaran kerja dari orang yang tidak mereka kenal. Penduduk setempat seringkali menafsirkan penolakan kerja ini, karena takut ditipu, sebagai ketidaksediaan mereka untuk bekerja dan menguatkan anggapannya bahwa para pengungsi itu malas.

Para pengungsi mengkritik apa yang mereka anggap “rendahnya standard moral” orang Sulawesi Utara. Mereka menggolongkan penduduk setempat sebagai orang-orang yang sangat materialistik, terbukti dengan kecenderungannya belanja, dan memakai mode-mode mutakhir. Mereka juga menjelek-jelekkan moralitas perempuan-perempuan Manado, dengan menyebutkan banyaknya prostitusi di daerah itu, disamping banyaknya pekerja seks Manado di daerah-daerah lain. Keyakinan atas rendahnya standard moral orang-orang Sulawesi Utara merupakan salah satu alasan para pengungsi ingin kembali ke Maluku Utara. Kaum Ibu banyak yang khawatir dengan lemahnya sikap akhlak orang-orang Minahasa.“Manado merusak anak-anak kami’ adalah keluhan yang biasa terdengar. Mereka melihat pengaruh minuman keras, kekerasan remaja, “seks bebas,” VCD porno yang banyak terdapat di pasaran sebagai bahaya terhadap masa depan anak-anaknya.7

Sumber-sumber Ketegangan antara Pengungsi dan Penduduk Setempat

Kehadiran 35,000 pengungsi di Sulawesi Utara menimbulkan sejumlah ketegangan. Sebuah sumber ketegangan utama adalah perhatian pemberian bantuan kepada pengungsi dari pemerintah dan sumber-sumber yang lainnya. Banyak penduduk lokal marah dengan kedatangan truk-truk pemerintah yang penuh dengan bahan makanan yang datang ke perkemahan-perkemahan pengungsi. Mereka membaca (yang sering dilebih-lebihkan) media yang menghitung banyaknya jumlah bantuan yang diatur untuk para pengungsi (yang sebagian besar tidak pernah diterima oleh mereka). Mereka memprotes bahwa para pengungsi yang menerima sejumlah bantuan, ketika masyarakat setempat telah dilupakan. Keluhan-keluhan ini sering disuarakan ketika mereka melakukan diskusi yang dilakukan oleh sebagian besar pegawai negeri yang tinggal di perkemahan. Gelombang kedatangan pertama para pengungsi berasal dari Ternate dan Tidore yang meliputi sebagain besar pegawai negeri dan guru-guru sekolah yang dulu ditempatkan di penampungan. Orang-orang ini

, yang sebagian besar, dapat mencari pekerjaan dengan mudah di Sulawesi Utara. Nampaknya ketidak berdayaan pegawai negeri di kehidupan seragam di perkemahan, beberapa pengemudi mobil, menunjukkan kepada orang-orang miskin di Manado dan Bitung bahwa para pengungsi tidak memerlukan bantuan sama sekali. Banyak sebagian dari para pengungsi, menerima bahwa sebagian besar dari orang-orang tidak perlu untuk tinggal di perkemahan namun tetap saja melanjutkan untuk tinggal di tempat tersebut dan menyewakan rumah-rumah mereka untuk mendapatkan uang tambahan.

Penyebab utama dari keributan adalah penyedian “rumah-rumah gratis” yang dijanjikan kepada para pengungsi. Terdapat dua proyek perumahan di Sulawesi Utara untuk para pengungsi (tidak termasuk proyek-proyek transmigrasi); konstruksi dari relokasi tempat di desa Pandu dekat Manado dan konstruksi dari beberapa barak-barak di desa Manembo-nembo di Bitung. Barak-barak di Manembo-nembo dibangun untuk pengungsi yang dikeluarkan dari dua markas tentara di Bitung. Pengungsi pindah ke kamp baru, tapi orang setempat piker mereka menerima perumahan gratis and tingkat kecemburuan naik.9 Sudah ada beberapa pengungsi yang tinggal dekat Manembo-nembo sebelum barak-barak baru di bangun. Karenanya, orang Manembo-nembo sudah melihat pengungsi menerima bantuan untuk dua tahun. Mereka sudah marah bahwa pengungsi menerima banyak bantuan, tapi mereka tidak menerima apa pun. Ketika mereka melihat barak-barak baru, (dibikin oleh LSM-LSM, bukan pemerintah) mereka lebih marah.

Satu pemukiman kembali lain dibangun di desa Pandu di belakang Manado. Dari mulainya, posisi relokasi di Pandu diresahkan oleh kecemburuan dari kalangan miskin dari penduduk desa Pandu. Mereka menuntut untuk mengetahui mengapa mereka tidak mendapatkan bagian perumahan dalam program. Di sisi lainnya, kecemburuan ini berpecah menjadi konflik yang mengakibatkan penghancuran lokasi perumahan dan serangan secara fisik kepada para pengungsi. Ketika kedua kelompok perumahan tengah dibangun, sebuah kelompok penduduk desa Pandu membentuk sebuah panitia untuk melihat pendistribusian tersebut. Mereka menahan perumaham baru tersebut dan menolak untuk memberikannya kepada para pengungsi tanpa pemberian sejumlah uang. Mereka juga memulai untuk membuat patroli di lokasi perumahan yang berisikan laki-laki mabuk yang senang berjalan-jalan untuk mengancam dengan parang terhadap para pengungsi dan melempari rumah mereka dengan batu.10

Foto 3: Lokasi Penempatan Kembali Pengungsi, Pandu di Sulawesi Utara. (Foto diambil oleh penulis, Juli 2002).

Ada juga komplikasi di dua lokasi transmigrasi yang dibangun untuk para pengungsi. Lokasi pertama, Kakenturan Dua, dibangun di Kecamatan Modoinding di sebelah barat perbatasan Kabupaten Minahasa. Namun, Kabupaten Bolaang Mongondow menyatakan berhak atas tanah itu. Para pejabat pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) menyatakan mereka memerlukan tanah itu untuk penduduknya, dan menolak pembangunan proyek pemukiman tersebut. Bupati Bolmong menyatakan tidak bisa menjamin keselamatan para pengungsi jika mereka bermukim di sana, dan kehadirannya dapat menimbulkan masalah-masalah sosial baru (Komentar 2001b). Yang dipertaruhkan lebih dari sekedar tanah. Lokasi transmigrasi dibangun di salah satu lahan hutan luas terakhir di wilayah itu (Lihat Foto 4).

Foto 4: Lokasi Transmigrasi Kakenturan Dua di Kecamatan Modoinding, Sulawesi Utara.

(Foto diambil oleh penulis, December 2001).

Kabupaten yang membangunnya terus menerus mendapat penghasilan yang sangat besar dari penjualan kayu. Juga ada rumor tentang emas di daerah itu. Sebelum masalahnya tertuntaskan, dan adanya keberatan dari penduduk Bolaang Mongondow, para pengungsi dipindahkan ke pemukiman. Mereka diselundupkan pada tengah malam untuk menghindari adanya konfrontasi. Pemukiman transmigrasi kedua, Serey-Sangkilang juga diricuhi dengan macam-macam pengakuan tanah; pemerintah telah membeli tanah itu dari satu keluarga, tetapi keluarga lain mengaku memiliki tanah itu (Komentar 2002). Masalah ini juga tetap tidak terselesaikan ketika saya berada di lapangan, tetapi meskipun demikian para pengungsi tetap dipindahkan. Kemarahan dalam kasus-kasus ini diarahkan kepada pihak pemerintah; namun ada kekhawatiran bahwa kemarahan itu dialihkan dan dimuntahkan kepada para pengungsi.

Sumber ketegangan lainnya antara pengungsi dan komunitas tuan rumah adalah perkelahian antar pemuda. Perkelahian antar pemuda inilah yang seringkali membuat hubungan pengungsi/penduduk setempat meledak menjadi konflik kekerasan yang jauh lebih besar. Penempatan pemukiman-pemukiman besar, sebagian di antaranya di pusat kota, menciptakan dinamika baru bagi pemeuda setempat. Batas-batas kelompok-kelompok pemuda lokal yang sebelumnya mapan, kini terganggu. Akibatnya, pemuda pengungsi yang menghabiskan waktunya bersama-sama dianggap sebagai ancaman atau sasaran oleh kelompok-kelompok pemuda setempat. Tawuran antar remaja (seringkali karena pengaruh minuman keras), yang tadinya sekedar perkelahian dua orang remaja, kadang-kadang meluas menjadi konflik kelompok apabila pemuda lokal lari pulang sambil berteriak-teriak bahwa mereka diserang oleh para pengungsi, atau sebaliknya. Dalam berbagai kesempatan hal ini menjadi saling pukul atau saling memanah antara para pengungsi dan komunitas lokal.

Topik konflik pemuda dianggap itu dianggap sebagai masalah yang serius sehingga pada September 2001 LSM internasional yang bernama CARDI (Konsorsium untuk Membantu Pengungsi di Indonesia)11 bersama dengan sebuah LSM lokal bernama Pijak mengadakan serangkaian lokakarya dengan para pemuda dari pemukiman-pemukiman pengungsi, Bitung, dan Manado. Lokakarya itu memusatkan perhatian pada topik-topik toleransi, gender, peace making, dan bahaya stereotip. CARDI berharap pertemuan-pertemuan dan kegiatan-kegiatan terkait itu (termasuk liga sepak bola dan program radio) akan memperbaiki hubungan antara kedua kelompok pemuda itu. Pada akhirnya, sebagian besar orang-orang yang terlibat langsung dengan kegiatan itu menganggap program tersebut berhasil. Namun, usaha-usaha mereka itu tidak disambut dengan kehangatan yang sama di antara segenap segmen komunitas pengungsi. Program itu diakhiri dengan kunjungan ke Ternate oleh para pemuda yang terlibat. Setelah kembali mereka membicarakan kunjungan itu dan pandangannya di suatu siaran radio. Dua pemudi yang diwawancara adalah penduduk setempat dari Manado (anak-anak pengungsi tidak hadir). Mereka berbicara selama satu jam tentang betapa amannya Ternate sekarang dan bagaimana para pengungsi harus kembali. Saya mendengarkan siaran radio itu bersama berepa pengungsi, dan mereka tidak senang dengan pernyataan-pernyataan itu. Mereka berpendapat bahwa pernyataan itu akans menambah buruknya hubungan antara mereka dan penduduk setempat karena yang terakhir ini bahkan akan lebih kurang toleran terhadap kehadirannya jika mereka menganggap Ternate sudah aman.12

Kapan Aman untuk Pulang?

Pengumuman kebijaksanaan baru pemerintah pada bulan September 2001 menunjukkan fokus baru pemerintah dalam upaya pemulangan para pengungsi ke Maluku Utara (Lihat Foto 5). Persoalan utama dalam setiap pembicaraan pemulangan pengungsi adalah masalah keamanan. Para pejabat pemerintah Indonesia cenderung agak tanpa pandang bulu dalam mengambil keputusan mengenai masalah keamanan. Seringkali terbukti bahwa sejak para petinggi di Jakarta memutuskan bahwa para pengungsi harus pulang dan pemukiman perlu ditutup; perintah ini harus dilaksanakan oleh petugas di tingkat provinsi tanpa memperhatikan fakta-fakta di lapangan. Misalnya, pada pertengahan tahun 2002 para petugas di Sulawesi Utara mencemoohkan para pengungsi karena tidak kembali ke Ternate, Maluku Utara. Mereka menyebutkan bahwa peperangan telah berakhir pada tahun 2000. Bukankah suatu genjatan senjata (penghentian perang) merupakan tanda bahwa kondisinya sudah kondusif untuk pulang? Para pengungsi menyebutkan adanya lebih dari 100,000 pengungsi Muslim di Ternate (mereka sendiri ragu-ragu untuk pulang), banyak di antaranya tinggal di rumah-rumah mereka. Para pengungsi juga segera menyebutkan bahwa mereka hanya bisa datang ke gereja di Ternate di markas tentara dengan penjagaan tentara bersenjata. Para pejabat sepertinya sama sekali tidak menghiraukan situasi di lapangan, seringkali mendesak orang untuk pulang ke tempat-tempat pada saat yang sama para pengungsi baru berdatangan dari tempat-tempat itu melarikan diri dari kerusuhan-kerusuhan baru (Lihat foto 6). Misalnya, pemerintah dari kedua propinsi itu mengatakan kepada para pengungsi bahwa sudah aman untuk kembali ke Oba, pada saat yang sama enam pengungsi yang pulang terbunuh dalam sengketa tanah. Insiden-insiden semacam inilah yang mengkhawatirkan para pengungsi.

Foto 5: Pengungsi dari Maluku Utara menunggu dijemput di Pelabuhan Bitung untuk dikembalikan ke Halmahera. (Foto diambil oleh penulis. Bitung, Sulawesi Utara, Januari 2002).

Foto 6: Pengungsi mengungsi lagi ke markas militer di Tobelo, Maluku Utara waktu kerusuhan kembali sementara di daerah. Pada waktu yang sama, pejabat-pejabat di Manado dan Ternate menyuruh pengungsi kembali ke Maluku Utara karena sudah aman.. (Foto diambil oleh penulis, Agustus 2002).

Untuk mengurangi ketakutan pengungsi tentang situasi sosio-politik di Maluku Utara, pemerintah mengumpulkan tim peneliti. Tim itu mengumpulkan 20 pengungsi dari berbagai daerah di Maluku Utara dan membawanya dalam perjalanan penelitian wilayah itu untuk bertemu dengan para pejabat setempat dan membicarakan situasi yang ada. Rombongan peneliti itu pergi ke Ternate kemudian dibagibagi ke dalam kelompok yang lebih kecil yang pergi ke Morotai, Bacan, Obi dan Halmahera Utara. Saya mewawancarai sebagian besar pengungsi yang ikut dalam kunjungan itu dan banyak di antaranya merasa skeptis dengan pengalamannya itu. Pada umumnya mereka bertemu dengan para pejabat dan polisi setempat, semuanya menjamin keselamatan mereka dan meyakinkan mereka bahwa di sana sudah tidak ada lagi rasa permusuhan (ill feelings). Sebagaimana disebutkan banyak pengungsi, ini adalah sikap (posisi) resmi pemerintah, karenanya tentu saja para pejabat pemerintah akan mengatakan sudah aman untuk pulang. Dalam satu pertemuan dengan Satkorlak di Ternate, seorang pengungsi menyebutkan bahwa seorang camat tertentu, berdasarkan perkiraannya sendiri mengenai kecamatannya, menganjurkan agar mereka menunggu barang beberapa bulan lagi sebelum kembali ke rumahnya. Satkorlak menjawab: “Siapa yang mengatakan itu? Dia tidak boleh mengatakan bahwa tidak aman, tentu saja sudah aman.” Sudut pandang mengenai keamanan ini kurang meyakinkan para pengungsi. Hasil pertemuan itu beragam. Menurut pemerintah di Maluku Utara dan Sulawesi Utara pertemuan itu berhasil dan menjadi bukti bahwa sudah aman untuk pulang. Sebaliknya, para pengungsi menyesalkan tidak adanya kesempatan terpisah untuk bertemu dengan penduduk setempat. Banyak pengungsi menyebutkan bahwa orang-orang yang menyebutkan bahwa sudah aman untuk pulang itu seringkali adalah orang-orang yang sama yang mengatakan tidak perlu khawatir dengan kerusuhan pertama. Selain itu, waktu mereka pun terbatas dan sebagian besar rombongan hanya bisa mengunjungi beberapa tempat saja, di sebagian tempat malahan hanya bisa sampai di ibu kota kecamatan saja. Seorang pengungsi yang pergi dengan rombongan ke Bacan menyebutkan bahwa mereka disongsong oleh tentara, dan pergi ke mana-mana dengan pengawalan tentara (begitu pula di Morotai) dan ia berpendapat hal itu merupakan bukti yang cukup bahwa keadaannya belum aman.

Sebagai rangsangan tambahan, pemerintah menjanjikan para pengungsi bahwa pemerintah Maluku Utara dan tentara akan menjamin keselamatannya. Namun para pengungsi berpendapat janji itu tidak menjamin karena kedua lembaga inilah yang mula-mula menyebabkan mereka terusir (mengungsi). Sebagaimana para pengungsi saksikan, mereka diminta menaruh kepercayaan, dan mungkin sekali keselamatan hidupnya, di tangan orang-orang yang dulu telah gagal melakukannya, dan sejak itu prestasinya agak buruk. Para pengungsi menyebutkan bahwa meskipun mungkin nampak aman bagi para pejabat dari luar wilayah itu, wakil-wakil LSM, atau bahkan antropolog, mereka telah mengalami berbagai tindakan kekerasan dan merasa trauma dengan pengalaman-pengalamannya yang silam. Mereka memendam kecurigaan terhadap bekas tetangganya yang seringkali menyerangnya pada saat konflik berlangsung. Para pejabat jarang sekali mempertimbangkan rasa trauma para pengungsi ketika membicarakan pemulangan mereka. Selain itu, para pejabat mempunyai pandangan yang berbeda dari pengungsi mengenai apa yang dimaksud dengan keamanan. Bagi para pengungsi, mereka mau gereja-gerejanya dibangun dulu sebelum mereka pulang sebagai tanda bahwa orang-orang Islam bersedia menerima mereka. Sebaliknya, seorang pejabat terkemuka di Sulawesi Utara mengatakan bahwa tidak semua pengungsi bisa berharap membangun gerejanya kembali dan beribadah di tempat umum. Mereka akan memiliki kebebasan beragama “tetapi hanya di dalam rumah mereka sendiri’ namun ia menyimpulkan sudah aman untuk pulang.

Bagaimana dengan para pengungsi yang tinggal di Sulawesi Utara?

Lebih dari tiga tahun setelah tibanya gelombang pertama pengungsi, ada sekitar 15,000 pengungsi di Sulawesi Utara.13 Program pemerintah yang menganjurkan mereka pulang telah gagal mencapai tujuannya. Berbagai kantor pemerintah menegaskan mengenai jumlah pengungsi yang telah pulang, tetapi karena beberapa hal angka-angkanya tidak tepat. Banyak pengungsi menggunakan program itu sebagai kesempatan untuk bepergian ke Maluku Utara, untuk bisnis atau pesiar, dan mendaftar dengan nama palsu dan kemudian mereka kembali setelah urusannya selesai. Selain itu, orang-orang dari Maluku Utara yang berkunjung ke Manado, seringkali pulang dengan menyamar sebagai pengungsi yang pulang untuk memperoleh tiket gratis. Masalah-masalah korupsi dan mismanajemen yang terelakkan juga menghambat program itu sejak awal (Lihat Foto 7). Selanjutnya, pemerintah propinsi Maluku Utara mulanya menolak untuk melakukan koordinasi bersama Sulawesi Utara, mengatakan kepada salah satu LSM bahwa mereka “tidak perlu melakukan koordinasi pemulangan pengungsi dengan Manado, karena sekarang ini adalah masa otonomi daerah.” Meskipun program itu berjalan lambat, ada arus tetap pengungsi yang pulang. Namun pada akhir tahun 2002, rombongan pengungsi terbesar, dari Ternate dan Tidore, merasa tidak bisa pulang dalam waktu dekat, dan banyak di antaranya yang tidak mau kembali. Sebagian besar pengungsi itu menjual rumahnya di Maluku Utara bila mungkin dan mungkin banyak yang akan tetap tinggal di Sulawesi Utara, terutama di Manado dan Bitung.

Foto 7: Upacara Pelepasan Pengungsi kembali ke Maluku Utara diselenggarakan di Pelabuhan Manado.

(Foto diambil oleh penulis, Maret 2002).

Populasi tarkhir inilah yang membuat khawatir para pejabat setempat dan LSM. Mereka khawatir akan adanya bentrokan antara kedua kelompok itu. Dalam satu pertemuan mengenai pemulangan pengungsi, Satkorlak Propinsi Sulawesi Utara menjelaskan pandangan pribadinya mengenai mereka semua harus pulang. Ia menyebutkan bahwa setiap orang di Indonesia punya tanah air dan mereka harus kembali ke sana, mereka tidak boleh tinggal di tanah orang lain dan akhirnya akan menimbulkan konflik. Ia menyebutkan beberapa contoh jenis konflik ini di Sulawesi Utara dan Indonesia secara keseluruhan. Ia mengakhiri penjelasannya dengan mengatakan:”Jika kamu (para pengungsi) tidak kembali ke Maluku Utara, dalam sepuluh tahun anak-anakku akan membunuh [Terjemahan Malayu Manado: ‘potong’] anak-anakmu, karena ini adalah tanahku (daerahku) bukan tanahmu (daerahmu).” Bukan pernyataan yang menenteramkan dari seorang pejabat yang berwewenang mengurus para pengungsi. Secara umum, baik pemerintah maupun LSM tidak memusatkan perhatian pada upaya-upaya untuk memberbaiki hubungan antar kedua kelompok itu, para pengungsi pun nampaknya tidak begitu berminat dengan program-program semacam itu. Sebagian besar pihak-pihak yang terlibat jauh lebih berminat pada aspek material program-program bantuan, baik dalam bentuk makanan, obat-obatan, atau perumahan. Para LSM dan pejabat pemerintah merasakannya begitu karena bagi mereka lebih mudah menunjukkan hasil kerja mereka kepada atasannya atau lembaga-lembaga pemberi dana. Seperti yang dikatakan salah seorang pekerja:”Anda bisa tunjukkan kepada atasan anda atau donor gambara sekolah telah anda bangun, atau pompa air yang telah dipasang, tetapi anda tidak bisa menunjukkan gambar keberhasilan anda memperbaiki hubungan antara pengungsi dan penduduk setempat.”

LSM CARDI melancarkan kampanye yang ditujukan untuk memeprbaiki hubungan antara pengungsi dan penduduk setempat. Staff CARDI terutama sekali khawatir bahwa bahkan setelah pemukiman dihentikan, para pengungsi masih akan dijuluki pengungsi dan akan tetap menjadi warga kelas dua; situasi yang berpotensi menimbulkan konflik. Mereka berharap kampanye media yang mereka lancarkan akan mencegah terjadinya konflik ini. Bagian lain kampanye itu diarahkan untuk memberikan informasi kepada komunitas-komunitas pengungsi mengenai situasi di Maluku Utara untuk membantu mereka dalam mengambil keputusan untuk kembali atau tidak. Ada kekhawatiran bahwa pemerintah akan mencoba memaksa para pengungsi pulang, dan komunitas-komunitas setempat tidak tahu atau menganggap Maluku Utara sudah cukup aman bagi para pengungsi untuk pulang dan tidak memperhitungkan tindakan-tindakan pemerintah. Moto kampanye itu adalah: “Pulang secara terhormat, atau tinggal (di Sulawesi Utara) secara mulia (dignity/bermartabat).” Kampanye itu menonjolkan iklan-iklan surat kabar dan televisi, konferensi press, dan acara-acara mingguan call-in televisi dan radio. Apakah CARDI mencapai tujuannya mengurangi ketegangan antara kedua kelompok itu masih perlu dilihat, namun, kantornya sudah ditutup karena secara resmi tidak ada lagi pengungsi di Sulawesi Utara.

Dimana mereka akan tinggal?

Banyak para pengungsi yang tinggal di Sulawesi Utara harus mencari tempat tinggal tetap. Sebagian besar dari meraka sudah memilikinya; sejak awal 25,000 pengungsi tidak pernah tinggal di pemukiman. Pada akhir 2002 mereka yang memutuskan tinggal di Sulawesi Utara telah membeli rumah atau kapling di berbagai tempat di seluruh propinsi. Yang lainnya mendaftar untuk ikut proyek-proyek relokasi pemerintah seperti proyek di Pandu, atau proyek transmigrasi di Minahasa. Proyek-proyek pemerintah untuk perumahan gratis, baik di lokasi-lokasi pemukiman atau lokasi-lokasi transmigrasi, selalu bermasalah. Lokasi Pandu yang disebutkan di atas, disamping diwarnai berbagai kerusuhan antara pengungsi dan penduduk setempat, mempunyai sejumlah masalah lain. Sejak awal orang bingung mengenai status perumahan itu. Pemerintah mulanya mengatakan bahwa pengungsi akan menerima hak pakai terhadap rumah itu; mereka tidak akan mendapatkan hak memiliki properti itu. Gagasannya adalah bahwa rumah-rumah itu nantinya akan dipakai untuk mengatasi gelombang pengungsi akibat konflik sosial atau bencana alam. Jadi, para pengungsi dapat tinggal di perumahan ini sampai mereka dapat menemukan atau mampu memiliki rumah sendiri, atau kembali ke tempat tinggalnya semula. Walaupun contoh itu kedengarannya mulia, rencana masa depan itu tidak mungkin berhasil karena beberapa hal. Salah satu di antaranya, perumahan itu begitu kecil, dan pembangunannya tidak baik sehingga para pengungsi masih harus mengeluarkan uang banyak untuk menjadikan perumahan itu layak huni.

Pertama-tama pengungsi itu harus menopang dinding-dindingnya dan membuat rumah itu aman untuk dihuni. Beberapa rumah rubuh karena konstruksinya jelek sekali, dan banyak pengungsi yang takut masuk ke rumah itu kecuali mereka perbaiki dulu (Lihat Foto 8). Pengeluaran lainnya termasuk menambah dapur, kakus, dan memasang listrik serta air. Sebagian besar pengungsi mengatakan bahwa jika pemerintah meminta mereka untuk melepaskan rumah itu ketika pengungsi baru dari konflik sosial yang akan terjadi datang mereka akan meminta kompensasi dari pemerintah atau dari pengungsi baru untuk uang yang telah mereka keluarkan untuk memperbaiki rumah itu. Meskipun kebanyakan mereka datang ke Sulawesi Utara hanya membawa sedikit barang-barang dan uang, mereka agaknya tidak peduli dengan kesulitan yang akan dialami oleh pengungsi baru untuk mengumpulkan uang dalam jumlah besar untuk mengganti biaya yang telah mereka keluarkan. Mereka tetap ngotot bahwa mereka harus menerima kompensasi sebelum mereka mengosongkan tempat itu.

Foto 8: Sebuah rumah dalam kondisi memprihatinkan di Lokasi Penampungan Pandu, Manado, Sulawesi Utara. (Foto diambil oleh penulis, Juli 2002).

Masalah lain dengan tempat pemukiman Pandu adalah lokasinya. Pemukiman itu terletak di perbukitan di belakang Manado. Jarak, dan terutama biaya transportasi umum, menyebabkan pulang pergi Pandu Manado untuk bekerja bukan pilihan yang menarik. Selama periode 2001-2002 pada saat penelitian ini dilakukan, seseorang harus mengeluarkan uang sedikitnya Rp. 8000 untuk pergi ke kota. Buruh harian di Manado mendapat bayaran antara Rp. 20,000 dan Rp. 25,000, jadi cukup besar juga bagian penghasilan yang harus disisihkan untuk biaya transportasi setiap hari. Meskipun demikian, kebanyakan orang di Pandu akan pergi ke Manado untuk bekerja karena kesempatan kerja di Pandu sangat terbatas. Tidak ada lahan terbuka, sehingga pengungsi tidak bisa berkebun, juga tidak bisa membeli tanah karena harganya sangat mahal. Pemukiman itu merupakan tempat ideal bagi para pensiunan, tapi sulit bagi yang lainnya.

Pada akhir 2002 ada dua lokasi transmigrasi yang disediakan untuk para pengungsi. Masalah tanah kedua lokasi ini telah dibahas. Yang tidak disebutkan adalah buruknya perencanaan dalam pemilihan lokasi dan konstruksinya. Ini adalah kesulitan-kesulitan yang melekat dalam pembangunan pemukiman-pemukiman baru di lahan-lahan yang belum pernah digarap sebelumnya. Menyadari kesulitan-kesulitan ini, pemerintah harus berusaha mempermudah transisi pengungsi dari pemukiman dan kota ke lokasi transmigrasi yang baru. Misalnya, buruknya pemilihan lokasi untuk proyek transmigrasi Kakenturan Dua. Daerah sekitar lokasi ini terkenal sebagai pusat penghasil sayuran, seperti wortel, kol, dan bawang. Lokasi transmigrasi baru itu digembar-gemborkan sebagai lokasi yang sempurna untuk meneruskan jenis pertanian yang menguntungkan ini. Namun, seperti yang dikatakan petani didaerah itu, tanah di daerah yang dipilih untuk lokasi transmigrasi tidak cocok untuk ditanami sayuran, hanya baik untuk ditanami pepohonan (tree crops), seperti cengkih. Meskipun cengkih tanaman yang sangat menguntungkan, tetapi memakan waktu tujuh sampai sepuluh tahun bagi pohon cengkih mulai menghasilkan produk yang cukup untuk dipanen. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana pengungsi dan penduduk setempat yang dipindahkan ke pemukiman itu akan mendapatkan nafkah selama masa penantian itu. Untuk sekarang pengungsi dapat hidup dari penebangan kayu, namun dengan tingkat kerusakan hutan (deforestasi) sekarang, hal itu bukan pilihan yang tetap untuk jangka panjang. Bahkan setelah pengungsi dipindahkan ke pemukiman, tidak ada keputusan yang diambil mengenai jenis pertanian yang akan diusahakan. Perencanaan yang lebih baik, dan kerjasama dengan penduduk setempat, akan memperbaiki pilihan dan perencanaan lokasi. Selanjutnya, dengan terburu-burunya memasukkan pengungsi, mereka masuk sebelum pembangunan pemukiman selesai. Sehingga banyak sekali pengungsi yang tiba sebelum ada sekolah untuk anak-anak, atau jalan menuju ke pemukiman. Tidak adanya sarana-sarana kebutuhan ini menyebabkan hidup di sana sulit dan banyak orang yang kembali ke Manado dan Bitung. Lokasi transmigrasi yang lain, Serey-Sangkilang juga mempunyai kesulitan-kesulitan. Lokasi itu tadinya disediakan untuk para nelayan, namun lambung perahu-perahu yang diberikan pemerintah sebagai bagian dari pemukiman telah borok pada saat para pengungsi tiba. Semoga ini hanya masalah-masalah awal saja yang mengganggu pemukiman transmigrasi baru. Waktu jua lah yang akan membuktikannya.

Epilog

Apa sebenarnya implikasi rencana pemerintah untuk “memecahkan masalah pengungsi” pada akhir tahun 2002? Menurut pemerintah, rencana itu agak berhasil; secara resmi hanya ada 200,000 pengungsi di Indonesia (Jakarta Post 2003).14 Jika anda menerima angka-angka ini, pekerjaan pemerintah cukup mengesankan; mereka telah memukimkan kembali lebih dari sejuta orang dalam waktu kurang dari setahun. Hanya saja, mungkin sekali tidak demikian halnya. Batas waktunya telah datang dan pergi dan masih ada ratusan ribu pengungsi di Indonesia, pemerintah mungkin tidak merujuknya sebagai pengungsi, tapi itulah kenyataannya mereka itu. Penghentian bantuan pemerintah pada akhir 2001 mempengaruhi para pengungsi dalam berbagai hal. Sebagian besar bisa bertahan dengan upah yang mereka terima dan sejumlah kecil bantuan yang mereka terima dari kelompok-kelompok gereja dan LSM. Sebagian besar pengungsi telah belajar mengatasi hidup tanpa bantuan pemerintah, karena korupsi dan salah urus telah menghabiskan bantuan itu sampai titik tidak ada nilainya lagi. Namun, yang lebih terpukul adalah para pengungsi yang datang dari pedesaan yang tidak memiliki keterampilan kerja, atau pengungsi yang sudah tua tidak bisa lagi mengerjakan pekerjaan kasar yang ada. Jadi kebijaksanaan itu mempercepat kembalinya segelintir pengungsi, atau, jika tidak merasa aman pulang, mereka dipindahkan ke komunitas pedesaan baru. Pengaruh kebijaksanaan itu tergantung beberapa faktor. Di Maluku Utara, kebijaksanaan itu digunakan sebagai pengesahan untuk memulangkan ribuan pengungsi Muslim ke Halmahera Utara, sebagian di luar kehendaknya. Di Sulawesi Utara, kebijaksanaan itu mendorong banyak pengungsi untuk pulang atau pindah ke tempat lain di Maluku Utara, banyak juga, kalaupun tidak dikatakan lebih, mengabaikan ancaman. Mereka dulu telah diberikan batas waktu yang terbukti dalam banyak hal sama tidak ada artinya dengan yang sekarang.

Usulan untuk memperbaiki hubungan Pengungsi-Penduduk setempat dalam situasi pengungsi yang akan datang

Jangan menangani korban konflik sosial seperti menangani korban bencana alam

Berbeda dengan korban banjir atau gempa bumi yang bisa pulang segera setelah air surut atau goncangan berhenti, pengungsi korban konflik sosial tidak bisa. Para pejabat wilayah perlu menyadari bahwa hanya karena pertempuran sudah berhenti, tidak berarti sudah aman bagi pengungsi untuk pulang. Seringkali alasan berhentinya pertempuran itu karena pengungsi yang dibicarakan itu tidak lagi berada di sana. Dengan meminta pengungsi segera pulang setelah kekerasan berhenti, pejabat pemerintah andil dalam memperburuk hubungan antara mereka dengan masyarakat setempat. Sebelum memanggil pengungsi untuk pulang, pejabat-pejabat pemerintah perlu melakukan analisa yang menyeluruh dan obyektif mengenai situasi yang ada, dan memahami dengan sebenarnya mengapa kekerasan telah berhenti, jika memang telah berhenti.

Para pejabat wilayah perlu diajari dasar-dasar konflik sosial yang menciptakan pengungsi yang mereka tangani

Konflik sosial yang telah menimbulkan datangnya 35,000 pengungsi di Sulawesi Utara itu memang rumit (kompleks). Meskipun para pejabat wilayah mengetahui apa yang telah terjadi, banyak sekali yang tidak mengetahui skala kekerasan, pola terjadinya, dan sejarah di balik konflik itu. Kurangnya pengetahuan itu mempengaruhi kemampuannya bekerja dengan pengungsi, terutama ketika mencoba membantunya untuk pulang ke Maluku Utara. Disamping itu, para pejabat yang merencanakan pemulangan pengungsi tidak mengenatahui geografi dasar Maluku Utara, fakta yang meningkatkan rasa tidak percaya antara pengungsi dan para pejabat

Jangan memusatkan perhatian hanya terhadap para pengungsi di pemukiman dengan mengecualikan pengungsi di luar pemukiman

Kantor-kantor pemerintah dan LSM-LSM (baik lokal maupun internasional) cenderung memusatkan perhatian pada kondisi kehidupan para pengungsi di pemukiman karena itu yang mudah ditemukan/diketahui. Selain itu, para pejabat dan pekerja (secara keliru) percaya bahwa orang yang tinggal di luar pemukiman itu karena kondisi keuangannya lebih baik. Kekeliruan terakhir ini tidak mempertimbangkan bahwa pengungsi tinggal di pemukiman itu berdasarkan tanggal kedatangannya. Rombongan pertama pengungsi dari Maluku Utara berasal dari daerah perkotaan, sebagian besar terdiri dari pegawai negeri, pedagang, dan pekerja trampil (skilled laborers), yang sebagian besar bisa mendapat pekerjaan di Sulawesi Utara. Para pedagang kaya dan pejabat tinggi tidak tinggal di pemukiman, tetapi lainnya yang mampu tinggal di luar pemukiman memilih tetap tinggal di pemukiman untuk memanfaatkan biaya hidup yang murah dan akses terhadap bantuan. Sebaliknya, rombongan-rombongan terakhir pengungsi seringkali berasal dari pedesaan dan karenanya tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Mereka tiba setelah tempat-tempat pemukiman penuh dan harus menyewa rumah dan kurang menerima bantaun karena mereka tinggal terpencar-pencar di seluruh propinsi.

Mendorong pengungsi yang bekerja sebagai pegawai negeri agar keluar dari pemukiman pengungsi

Kehadiran pengungsi yang bekerja sebagai pegawai negeri di dalam pemukiman pengungsi menimbulkan kebencian di kalangan penduduk setempat dan para pengungsi. Pemandangan pegawai negeri yang berseragam kembali ke pemukiman, kadang-kadang bermobil, membuat marah penduduk setempat, terutama yang miskin. Bagi mereka ini adalah contoh bahwa pengungsi tidak memerlukan lagi bantuan dan mereka memanfaatkan pemerintah. Penelitian menunjukkan, bahwa meskipun para pegawai negeri juga menemui berbagai kesulitan (kadang-kadang gajinya tidak dibayar), mereka umumnya keadaanya lebih baik daripada yang lain. Pemindahan pegawai negeri dari pemukiman, hanya setelah mendapatkan kedudukan di dalam pemerintahan setempat, merupakan satu langkah ke arah perbaikan hubungan dengan penduduk setempat, dan membantu para pengungsi yang benart-benar memerlukan bantuan. Di luar pemukiman mereka (pengungsi pegawai negeri) masih menerima bantuan (beras dan uang untuk lauk-pauk); hanya saja, mereka harus membayar sewaan rumah dan segala keperluan (listrik, air), yang mungkin sekali tertanggulangi dengan gajinya dari pemerintah.

Membuka kantor untuk mengkoordinasikan kepulangan sukarela pegawai negeri ke propinsinya semula

Salah satu keluhan utama penduduk setempat adalah pegawai negeri yang sepatutnya bekerja berada di pemukiman. Selain itu, masalah utama dalam pembangunan kembali Maluku Utara adalah larinya guru-guru sekolah dan pegawai negeri dari wilayah itu. Misalnya, kantor pos di Tobelo tidak berfungsi antara 1999 sampai 2002, tetapi pasti ada pegawai negeri di antara 35,000 pengungsi di Sulawesi Utara yang bisa mengisi kekosongan itu. Tambahan lagi, pembentukan beberapa kabupaten dan kecamatan baru meningkatkan perlunya pegawai negeri berpengalaman di wilayah itu. Karenanya perlu dibuka sebuah kantor dengan perwakilan dari setiap propinsi untuk mengkoordinasikan pemulangan para pegawai negeri dan guru-guru sekolah ke Maluku Utara (atau bagian wilayah lainnya). Banyak pegawai negeri yang bekerja di Sulawesi Utara ingin kembali, tetapi mereka perlu mendapatkan kedudukan dan mengurus (seringkali rumit) berkas tertulis untuk kepindahannya. Bupati dan camat dari Maluku Utara dapat menyerahkan daftar persyaratan untuk menjadi pegawainya ke kantor ini dan pada gilirannya daftar ini ditempelkan di pemukiman-pemukiman dan kantor-kantor pemerintah di Sulawesi Utara agar para pengungsi bisa melihatnya. Kantor yang mengkoordinasikan proses ini akan membantu Maluku Utara—dalam mencarikan pegawai negeri yang berpengalaman dan guru sekolah—dan Sulawesi Utara—dengan memulangkan para pengungsi menciptakan lowongan pekerjaan pegawai negeri yang lebih berharga bagi penduduk setempat, jadi bisa mengurangi ketegangan.

Masukkan perumahan untuk kalangan masyarakat setempat yang tidak mampu di lokasi pemukiman untuk pengungsi. Berikan petunjuk yang jelas dan ketat mengenai persyaratan untuk perumahan gratis ini

Ketika membangun kompleks pemukiman untuk para pengungsi, pemerintah perlu mengikutsertakan penduduk setempat. Hal ini sudah menjadi kebijaksanaan standard untuk proyek-proyek transmigrasi, yang menyatakan sekian persen penghuninya harus berasal dari masyarakat setempat. Tidak ada alasan hal ini tidak berlaku bagi proyek-proyek pemukiman pengungsi. Selain itu, dalam membangun perumahan baru pemerintah harus memberikan petunjuk yang jelas dan konsisten tentang siapa yang memenuhi syarat untuk mendapatkan perumahan gratis, status rumah (hak pemilik atau hak pakai) dan hal ini harus dilaksanakan secara konsisten dan transparan. Mengikutsertakan penduduk setempat dalam proyek ini, dan memberikan petunjuk yang jelas dan transparan mengenai perumahan baru, dapat menghindarkan sebagian konflik yang telah terjadi di Sulawesi Utara, terutama di Pandu.

Bangun tempat-tempat pemukiman kecil di lokasi-lokasi pusat, alih-alih membangun tempat-tempat pemukiman besar yang terpencil

Sebagaimana disebutkan di atas, lokasi pemukiman di Pandu dibangun di lokasi terpencil dan dikerjakan secara besar-besaran. Ada dua kekurangan utama dalam model pembangunan lokasi pemukiman kembali ini. Pertama, lokasi terpencil membuat tempat itu tidak menarik bagi para pengungsi untuk pindah ke sana dari tempatnya semula yang seringkali terletak di tengah-tengah pemukiman pengungsi karena besarnya biaya transportasi dan kurangnya kesempatan kerja. Kedua, skala proyek yang besar, dalam hal ini terdiri lebih dari 800 rumah, tentu akan menciptakan ketegangan dalam masyarakat setempat. Lokasi pemukiman kembali itu akan meningkatkan penduduk Pandu secara signifikan, karenanya akan menjadi beban terhadap infrastruktur yang ada dan hubungan masyarakat. Selanjutnya, penampungan pengungsi dalam jumlah besar di satu tempat melembagakan pemisahan (segregasi) antara pengungsi dan penduduk setempat. Sebaliknya, jika pemerintah memilih membangun pemukiman-pemukiman yang lebih kecil yang terdiri dari selusin rumah, di tempat-tempat yang dekat dengan kota, hal ini akan lebih menarik bagi para pengungsi, dan lebih kondusif bagi hubungan pengungsi/masayarakat setempat. Pemukiman yang lebih kecil akan lebih mudah dibaurkan (diasimilasikan) ke dalam masyarakat.

Koordinasikan pengumuman mengenai paket-paekt bantuan di dalam propinsi

Pengumuman paket-paket bantuan pemerintah, seperti bantuan keuangan atau bahan-bahan kepada pengungsi yang pulang harus dilakukan secara terkoordinasi. Dalam kasus Sulawesi Utara, program ini seringkali diumumkan secara sembrono, dan dilakukan oleh berbagai pejabat yang berbeda, baik pada pertemuan-pertemuan, atau melalui wawancara surat kabar. Akibatnya, batas waktu yang berbeda, jumlah bantuan, dan informasi yang bertentangan lainnya beredar di kalangan masyarakat pengungsi. Informasi yang sering bertentangan ini menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan di kalangan para pengungsi. Jika pemerintah propinsi membuat satu pengumuman resmi mengenai paket-paket bantuan ini, dan dikoordinasikan dengan hasil wawancara media, hal itu akan mengurangi kebingungan dan kemarahan berikutnya sekitar pembagian bantuan itu.

Galang koordinasi antar pemerintah propinsi dalam menangani para pengungsi

Dalam berurusan dengan pengungsi, terutama ketika mencoba memulangkan mereka ke tempat asalnya, harus ada suatu koordinasi tingkat tinggi antar propinsi yang mencoba memudahkan proses itu. Hanya dengan kerja sama, kedua propinsi itu dapat memulangkan sejumlah besar pengungsi. Mengkoordinasikan pemulangan pengungsi dan menjamin keamanan kepulangan mereka ke rumahnya semula akan mengurangi kemungkinan muncul kembalinya konflik. Hal ini berbeda dengan ketika pemerintah Sulawesi Utara mulai mengirimkan para pengungsi kembali ke Maluku Utara. Seringkali kapal-kapal penuh pengungsi dari Manado atau Bitung mendarat di Halmahera, dan penduduk setempat tidak mengetahui mereka akan datang. Kedatangan pengungsi yang mendadak itu membuat beban masyarakat Maluku Utara semakin berat, banyak di antaranya telah dibebani oleh ribuan pengungsi. Hal ini meningkatkan keresahan masyarakat setempat terhadap para pengungsi dan juga membuat para pengungsi lebih sulit untuk berintegrasi.

Berikan sumber-sumber informasi yang dapat dipercaya kepada para pengungsi menganai keadaan di daerah tempat asalnya

Para pengungsi perlu diberi informasi mutakhir mengenai situasi sosial dan politik di daerah asalnya, program pemerintah sekarang yang ditujukan untuk mereka, dan hak-haknya sebagai pengungsi. Memberikan informasi ini mungkin di luar jangkauan pemerintah, karena kebijaksanaan resminya menganjurkan para pengungsi untuk pulang. Para pegawai negeri di tingkat bawah mungkin tidak bersedia membicarakan situasi politik yang ada secara terbuka ketika mereka diberi tugas untuk memulangkan para pengungsi. LSM-LSM setempat harus mengisi kekosongan ini.

Lakukan audit terhadap kantor-kantor pemerintah wilayah dan LSM-LSM yang mengaku menyampaikan bantuan kepada pengungsi

Korupsi adalah masalah besar di dalam segala aspek pemerintahan di Indonesia, dan juga menghambat usaha-usaha bentuan untuk pengungsi. Di Sulawesi Utara para pengungsi melemparkan banyak tuduhan korupsi terhadap para pejabat pemerintah. Para pejabat mati-matian membantah tuduhan semacam itu. Namun tak seorang pun pernah didakwa, malahan tak seorang pun pernah diselidiki. Maskipun demikian, tuduhan seperti itu terbukti benar adanya di Ternate di propinsi Maluku Utara di mana sejumlah orang didakwa mengambil kurang lebih Rp. 79 milyar dari dana yang diperuntukkan bagi pengungsi (Forum Keadilan 2002). Meskipun disangkal, nampaknya mungkin korupsi di Sulawesi Utara juga sudah mewabah (enedemik). Salah satu cara untuk mengurangi pencurian bantuan untuk korupsi adalah dengan dibentuknya komite audit yang independen, dengan perwakilan dari para pengungsi, yang secara periodik mengaudit departemen-departemen pemerintah yang menyalurkan bantuan. Komite yang sama juga harus mengaudit LSM-LSM setempat yang mengaku menyampaikan bantuan kepada para pengungsi. Selain itu, pemimpin-pemimpin pemukiman yang bertanggung jawab membagi-bagikan bantuan di dalam pemukiman juga harus diminta pertanggung jawabannya. Ini tugas yang sulit, tapi tugas yang jika berhasil dilaksanakan, akan meredakan ketegangan antara berbagai aktor yang terlibat.

Catatan:

1)Paper ini berdasarkan penelitian lapangan di Sulawesi Utara pada bulan Juli 2000 dan dari Juni 2001 sampai November 2002 dengan sponsor dari LIPI dan Universitas Sam Ratulangi. Penelitian ini didanai oleh the Anthropologists Fund for Urgent Anthropological Fieldwork bekerjasama dengan the Royal Anthropological Institute dan Goldsmith College, University of London.

2)Dalam bahasa Indonesia tidak ada bedanya di antara orang yang mengungsi ke luar negrei dan orang yang mengungsi di dalam negeri. Kedua-duanya disebut pengungsi. Tapi, di bahasa Ingriss, dan dalam hukum internasional ada bedanya. Orang yang berpindah secara paksa atau tidak sukarela ke luar negrei (“refugee” dalam bahasa Ingriss) dilindungi oleh hukum internasional dan beberapa perjanjian internasional. Orang yang berpindah secara paksa atau tidak sukarela dalam batas-batas suatu negera (“internally-displaced persons (IDPS)” dalam bahasa Ingriss) tidak dilindungi oleh hukum internasional. Sementara tidak ada konvensi yang diakui secara internasional yang melindungi hak-hak pengungsi, PBB baru-baru ini mengembangkan suatu kerangka normatif untuk menangani masalah pengungsi, Prinsip-prinsip Panduan bagi Pengungsian Internal (lihat OCHA 2001). Dokumen ini memberikan seperangkat petunjuk yang mendefinisikan hak-hak pengungsi dan kewajiban pemerintah terhadap orang-orang ini, serta sebagai saran bagi kelompok-kelompok yang bekerja dengan pengungsi.

3)Laporan berikutnya terpusat pada pengungsi dari Maluku Utara yang tinggal di Sulawesi Utara. Tadinya (dan sekarang juga) masih banyak pengungsi dipindahkan di wilayah Maluku Utara sendiri betapapun masalah yang dihadapainya tidak dibicarakan secara khusus di sini.

4)Untuk keterangan lebih lanjut mengenai kekerasan di Ambon dan Maluku, lihat Klinken 1999, 2000; International Crisis Group 2000, 2002; Human Rights Watch 1999, Salempessy and Husain 2001; dan Institute Arus Studi Informasi 2000.

5)35,000 adalah angka deterima banyak pihak untuk jumlah pengungsi dari Maluku Utara di Sulawesi Utara. Ini adalah angka yang seringkali dikutip oleh para pejabat pemerintah dan LSM sampai akhir 2001. Setelah pemerintah pusat mengumumkan rencananya untuk memulangkan semua pengungsi pada akhir 2002, dengan anggaran untuk membiayainya, jumlah pengungsi melonjak dari 35,000 menjadi 48,000. Ada yang menyebutkan bahwa tambahan 13,000 itu termasuk pengungsi dari Poso.

6)Disamping tempat-tempat yang disebutkan dalam naskah utama, para pengungsi akibat konflik di Maluku Utara tersebar di berbagai belahan Indonesia Timur. Di Maluku Utara, juga ada sejumlah pengungsi Kristen di kecamatan Kao di Halmahera Utara dan di pulau Rao, di lepas pantai Morortai. Sejumlah pengungsi Kristen dari Obi, ke selatan Halmahera, dibawa ke Papua, dan banyak juga yang dibawa ke Sorong, dan kira-kira 40 keluarga ditempatkan di sebuah lokasi transmigrasi di pedalaman di belakang Manokwari. Pengungsi lain dari Obi akhirnya terdampar di Saumlaki di Tanimbar. Beberapa pengungsi dari Bacan dibawa ke Seram. Pengungsi Muslim yang tidak di Ternate dipusatkan di Soa-sio, Galela, sebelah utara Halmahera, atau di sebelah selatan Morotai sekitar kota Daruba. Banyak transmigran dari Jawa yang terpaksa dipindahkan oleh tentara dipulangkan ke Jawa selama konflik berlangsung.

7)Perlu disebutkan bahwa media lokal di Manado terus-menerus menghembuskan isu ini dengan kolom pendapat hampir setiap hari meratapi merosotnya moralitas kaum remaja setempat dan bahaya pornografi barat, ‘seks bebas’ dan pengaruhnya terhadap moral seksual remaja Manado. Mereka juga seringkali memuat cerita-cerita tentang merebaknya pemakaian ‘drug,’ kekerasan remaja dan perdagangan perempuan muda.

8)Kemarahan terhadap penghuni pemukiman itu tidak hanya terbatas pada penduduk setempat. Para pengungsi yang tinggal di luar pemukiman juga sama-sama merasa cemburu. Pemerintah, LSM, dan penduduk setempat umumnya beranggapan bahwa pengungsi yang tinggal di luar pemukiman itu karena mampu menyewa rumah, dan karenanya tidak memerlukan bantuan. Meskipun hal itu benar untuk sebagian kecil pengungsi, sebagian besar pengungsi terpaksa tinggal di luar karena pada saat mereka tiba semua pemukiman telah penuh. Mereka sendiri punya hal-hal yang ingin dikatakan mengenai orang-orang yang sebenarnya mampu tapi masih tinggal di pemukiman. Kelompok pengungsi terakhir ini sebagian besar terdiri dari petani dan nelayan yang mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan di Sulawesi Utara.

9)Barak-barak di Manembo-nembo akhirnya dibongkar untuk menyediakan tempat bagi kolam renang, meskipun pada saat itu para pengungsi masih tinggal di sana.

10)Penduduk Pandu adalah bagian dari kelompok etnis Bantik. Orang Bantik terkenal memiliki sifat yang sama dengan sifat orang Maluku, keras kepala dan cepat marah. Beberapa pengungsi berpendapat bahwa menggabungkan kedua kelompok itu dalam satu pemukiman merupakan resep untuk timbulnya malapetaka.

11)CARDI adalah sebuah kerjasama konsorsium LSM-LSM internasional, termasuk di dalamnya International Rescue Committee (AS), Danish Refugee Council, Norwegian Refugee Council dan Stichting Vluchteling.

12)Staff di CARDI tidak menghiraukan keluhan-keluhan dari pengungsi ini, dengan alasan bahwa pengungsi itu hanya berminat pada bantuan material belaka, dan karenanya tidak senang dengan program mereka yang ditujukan bagi remaja.

13)Angka ini sekedar perkiraan kasar, karena secara resmi tidak ada lagi pengungsi di Sulawesi Utara.

14)Meskipun pemerintah pusat menyatakan bahwa hanya ada 200,000 pengungsi di Indonesia, antara lain masih ada sekitar 155,000 pengungsi di Ambon (Liputan6.com 2003b), dan pengungsi di Sampit (Liputan 2003a).

Daftar Referensi:

Catatan: Referensi media dari the Jakarta Post, Liputan6.com, Far Eastern Economic Review, Republika, dan Tempo tersedia di http://www.maluku.org

Berita Telegraf. 2001. Palakat Rakyat: Pengungsi Manado Seharusnya Tahu Diri. Berita Telegraf, 25 Juni.

Departemen Sosial. 2001. Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia. Jakarta: Departemen Sosial.

Duncan, Christopher. R. 2002. The Aftermath of a Civil War. Inside Indonesia. Jan-April. 2002. tersedia di http://www.insideindonesia.org

Far Eastern Economic Review. 2001. Strangers in Our Own Land. Far Eastern Economic Review, 18 Januari.

Forum Keadilan. 2002. Korupsi dana untuk Suksesi. Forum Keadilan. 7 Juli: 46-47.

Human Rights Watch. 1999. Indonesia: The Violence in Ambon. Washington DC. Tersedia di http://www.hrw.org/reports/1999/ambom/

Institut Studi Arus Informasi. 2000. Luka Maluku: Militer Terlibat. Jakarta: ISAI.

International Crisis Group. 2000. Indonesia: Overcoming Murder and Chaos in Maluku. International Crisis Group Report. No. 10 Brussels/Jakarta: tersedia di http://www.crisisweb.org/projects/showreport.cfm?reportid=320

____. 2002. Indonesia. Memburu Perdamaian di Maluku, Internasional Crisis Group Laporan No. 31 Brussels/Jakarta. Tersedia di http://www.crisisweb.org/projects/showreport.cfm?reportid=910.

Jakarta Post. 2001a. Local Official Warns Buton a Ticking Time Bomb. Jakarta Post, 22 Desember.

___. 2001b. North Sulawesi Wants Refugees to Return Home. Jakarta Post. 2 Februari.

___. 2003. 200,000 People Remain Displaced Throughout the Archipelago. Jakarta Post. 20 April.

Klinken, Gerry van, 1999. What Caused the Ambon Violence? Inside Indonesia no. 60 Oct-Dec 1999. tersedia di http://www.insideindonesia.org

___. 2001. The Maluku Wars: Bringing Society Back In. Indonesia. 71:1-26

Komentar. 2001. Diduga Jihad, Enam Orang diamankan Polresta Manado. Komentar, 31 December.

____. 2001b. Warganya Butuh Pemukiman, Pemkab Bolmong Tolak Transmigrasi. Komentar 10 Agustus.

____. 2002. Kadistrans Bantah Menyerobot Lokasi Transmigrasi Likupang. Komentar, 30 July.

Liputan6.com. 2003a. Penampungan Pengungsi di Samping ditinggalkan Penghuninya. Tersedia di http://liputan6.com/fullnews/52246.html

___. 2003b. Sebagian Besar Pengungsi Ambom Masih Terlantar. Tersedia di http://www.liputan6.com/fullnews/50277.html

Manado Post. 2001a. Dari Dialog Eksternal Kota Bitung: Pengungsi dituding Pemalas, FKPM Bantah. Manado Post. 9 Agustus.

___. 2001b. Enam Anggota Jihad diCulik di Manado. Manado Post. 31 Desember.

___. 2001c. Hari Ini Warga Pandu Demo. Manado Post. 14 Nopember.

___. 2001d. Kisah Pengungsi yang Rindu Halaman: Tak Punya Ongkos Pulang, Empat Kaos pun Digasak. Manado Post. 29 Juni.

___. 2001e. Provokator Terus Goda Warga Sulut. Manado Post. 12 Desember.

OCHA. 2001. Prinsip-prinsip bagi Pengungsian Internal. Jakarta: Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan. Tersedia di http://www.idpproject.org/training/guiding_principles/Guiding_Principles_Indonesian.pdf

Posko Manado. 2001. Pembunuhan di Eks Diklat BP-7 Dituntut 7 Tahun. Posko Manado. 5 Juli.

___. 2002. Kontekstualisasi Makna Menjadikan Pengungsi sebagai Warga Biasa. Posko Manado. 30 Agustus.

Republika. 2001. Kamp Pengungsi di Bitung Rusuh. Republika. 21 Februari.

Salampessy, Z. And T. Husain. Eds. 2001. Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu: Tragedi Kemanusiaan Maluku di Balik Konspirasi Militer, Kapitalis Birokrat dan Kepentingan Elit Jakarta. Jakarta:Tapak Ambon.

Sihbudi, Riza dan Moch. Nurhasim. Eds. 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia: Studi Kasus Kupang, Mataram, dan Sambas. Jakarta: Grassindo.

Sihbudi, Riza, Awani Irewati, Ikrar Nusa Bhakti, Moch. Nurhasim, Syamsuddin Haris, Tri Ratnawati. 2000. Bara Dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi atas Konflik-konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua dan Riau. Jakarta: Grassindo.

Sudagung, Hendro Suroyo. 2000. Mengurai Pertikaian Etnis. Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat. Jakarta: ISAI.

Sulut Post. 2002. Gubernur Kalah Kasus Pandu. Sulut Post. 31 Agustus.

Tempo. 2001. Gubernur Sulawesi Tenggara Ancam Usir Pengungsi Ambon. Tempo. 10 October.

(Artikel ini diterjemahkan oleh Meta Puji Astuti, Ubaidillah, dan Sukidi).
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/toelehoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044