The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Kamis, 20 Januari 2005

Warga Papua Demo Tolak MRP

Jayapura, Kompas - Gejala konflik seputar Majelis Rakyat Papua mulai terasa. Sekitar 500 warga yang tergabung dalam Koalisi Perjuangan Hak Asasi Rakyat Sipil Papua berdemo menolak kehadirannya. MRP hasil revisi pemerintah dinilai tidak memiliki kekuatan politik dan hukum untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Demikian dikatakan Hans Gebze, juru bicara massa yang berdemo di halaman Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua di Jayapura, Rabu (19/1). Massa yang terdiri atas mahasiswa, pemuda, pelajar, dan masyarakat membawa puluhan spanduk berisikan penolakan terhadap Majelis Rakyat Papua (MRP). Mereka bergerak dari Kampus Universitas Cenderawasih menuju Kantor DPRD yang dinilai sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab atas terbentuknya MRP.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Paskalis Kosay kepada massa mengatakan, MRP tidak boleh dibatalkan atau dihapus karena MRP merupakan jiwa dari UU Otonomi Khusus. Pemerintah membatasi tugas dan wewenang MRP di bidang adat dan budaya agar tugas DPRD tidak bertabrakan dengan tugas-tugas MRP.

"MRP memiliki wewenang memberi pertimbangan setiap keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan DPRD, gubernur dan bupati atau wali kota, apakah keputusan itu bertentangan hak-hak asli orang Papua atau tidak. Tugas dan wewenang MRP ini merupakan sesuatu yang unik bagi orang Papua dalam UU Otonomi Khusus," kata Kosay.

Massa menilai Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP semata-mata demi kepentingan politik pemerintahan Kabinet Bersatu, dan tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat Papua. MRP yang disampaikan masyarakat Papua telah dirombak total oleh pemerintahan Kabinet Bersatu.

Tindakan itu melecehkan harkat dan martabat orang Papua yang tetap dinilai pemerintah sebagai orang bodoh, miskin, tidak berdaya, tidak mandiri, dan tidak memiliki kemampuan membangun daerah sendiri. Cikal bakal lahirnya MRP sebagai bentuk penghormatan terhadap masyarakat Papua yang sudah bertahun-tahun diinjak-injak hak-haknya.

Melecehkan

"Apa gunanya kalau MRP hanya memiliki tugas memperjuangkan hak ulayat masyarakat Papua dan hak mendapatkan pekerjaan. Sementara kasus yang mencolok di Papua adalah persoalan politik, hak asasi manusia, hukum dan status politik Papua yang sampai hari ini mengandung sejumlah pertanyaan di kalangan generasi muda Papua," kata Gebze.

Di sisi lain, keanggotaan MRP diwajibkan memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika demikian, mengapa tugas dan wewenang MRP harus dibatasi. Peran DPRD dengan anggota 56 orang, tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat Papua, meskipun mereka dipilih oleh rakyat. Tetapi DPRD adalah kepanjangan tangan pemerintah yang sudah masuk dalam lingkaran KKN yang saling menguntungkan dengan pemerintah.

Keanggotaan MRP terdiri unsur adat, agama, dan perempuan. Mereka adalah kelompok pejuang moral, hak asasi manusia, budaya, agama, dan martabat orang Papua. Mereka hadir mewakili kelompok masyarakat yang tertindas dan memiliki hati nurani memperjuangkan sejumlah kepentingan orang Papua secara jujur dan bertanggung jawab.

"MRP sebagai representasi kultural yang disebutkan pemerintah, tidak sesuai aspirasi awal masyarakat. MRP sebagai bagian dari UU Otonomi Khusus, serta sebagai jiwa dan undang-undang itu. Ketika MRP dirombak menjadi hak budaya dan adat istiadat, tidak mewakili kepentingan politik dan hukum masyarakat Papua, maka UU Otonomi Khusus tidak memiliki gigi," kata Gebze.

MRP hasil revisi pemerintah dinilai melecehkan harkat dan martabat orang Papua. Ternyata sampai sekarang pemerintah masih memiliki sejumlah kecurigaan terhadap masyarakat Papua. Kecurigaan itu kemudian dituangkan dalam perlakuan dan kebijakan-kebijakan yang tidak manusiawi, tidak bermartabat dan tidak memiliki komitmen membangun Papua secara manusiawi.

312 suku

Dengan membatasi jumlah anggota MRP sebanyak 42 orang, menurut Gebze, pemerintah membuka peluang terjadinya konflik horizontal antarkelompok suku-suku di Papua. Di Papua terdapat 312 suku, dan unsur adat yang duduk di MRP hanya 14 orang. Mereka menilai tidak mungkin 14 unsur adat itu dapat berbicara mewakili 312 suku dengan adat dan budaya yang berbeda.

Karena itu, massa mendesak pemerintah agar menyelenggarakan dialog nasional dan internasional untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Otonomi Khusus bukan solusi final karena UU itu hasil bentukan pemerintah. "Solusi final penyelesaian masalah Papua adalah dialog, kemudian dilanjutkan dengan pilihan rakyat Papua untuk meluruskan sejarah penentuan pendapat rakyat 1969," kata Gebze. (KOR)

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/toelehoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044