ANALISIS
Akhir-akhir
ini perhatian masyarakat memang ditarik oleh gejala dan spekulasi tentang
kemungkinan bangkitnya kembali komunisme di Indonesia. Indikator utamanya,
pertama adalah masuknya tokoh-tokoh yang disebut komunis ke dalam partai-partai
politik tertentu, Novelis, alumnus Pulau Buru, Pramudya Ananta Toer, umpamanya,
terang-terangan bergabung dengan dan diterima baik oleh PRD yang radikal
dan militan, pimpinan Budiman Sujatmiko. Dalam suatu keterangannya; Sujatmiko
pernah pula menyatakan simpatinya kepada PDI Perjuangan pimpinan Megawati
Soekarno Putri.
Kedua
adalah "keberanian" mantan tahanan G-30-S, Latief dan Boengkoes,
keduanya dari ABRI untuk menggugat pemerintah, bahwa mereka sebenarnya
tidak bersalah. Pada akhirnya mereka akan membuktikan bahwa PKI hanyalah
korban peristiwa G-30-S, yang sebenarnya adalah konflik internal Angkatan
Darat. Tapi, berita itu telah membangkitkan Jenderal Besar AH Nasution
untuk speak-up, sampai-sampai membela tindakan Mayjen Soeharto,
Pangkostrad ketika itu, dalam membubarkan PKI.
Persoalannya
adalah mungkinkah komunis bangkit kembali? Pertanyaan itu timbul mengingat
komunis sebagai rezim dan ideologi ditingkat dunia sudah runtuh. Uni Soviet
maupun RRC tidak lagi menjadi pusat gerakan komunisme internasional. Mereka
bahkan telah menjalankan kapitalisme dan mengundang modal asing. Di Indonesia,
masyarakat maupun pemerintah Indonesia telah menolak, bahkan MPR telah
menyatakan komunisme sebagai ideologi terlarang dan pemerintah bisa menindak
siapa saja yang menyebarkan faham ini. Semua golongan agama mendukung sikap
anti komunis yang atheis itu. Atas dasar itu, maka mustahil komunisme akan
bangkit lagi, karena selain ditolak juga tidak lagi punya kemampuan untuk
bergerak setelah dibasmi oleh Pemerintah Orde Baru.
Meskipun
begitu, berita mengenai orang-orang mantan tahanan G-30-S/PKI, cukup mengesankan
juga, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa komunisme mungkin masih bisa
hidup kembali, seperti PKI pada awal '50-an mampu bangkit, padahal baru
saja ditumpas dalam pemberontakan Madiun 1948. Dialam demokrasi, ternyata
PKI berhasil menjadi partai ke-4 terbesar. Sekarang ini, dialam reformasi,
memoar Oei Tjoe Tat 'Pembantu Presiden Soekarno' dan seorang tokoh Partindo,
Baperki, dan gerakan Marhaenis, bisa terbit yang isinya membela habis-habisan
pemikiran dan tindakan Boeng Karno. Buku itu tentu saja menarik untuk dibaca
sehingga kita bisa memahami 'kebenaran' dari sudut pandangan orang Orde
Lama. Di dalamnya kita membaca nilai-nilai kemanusiaan yang membuat kita
bisa menjadi lebih arif. Namun, hal ini memberikan tanda-tanda kepada kita,
bahwa orang sekarang, yang tidak tahu komunisme pada waktu itu mungkin
bisa mempertimbangkan kembali aliran politik yang sudah diberangus, karena
kalah dalam perjuangan politik.
Namun,
hal ini sekaligus juga menimbulkan kekhawatiran baru. Kekhawatiran itu
timbul karena perasaan kita bahwa pemikiran-pemikiran Orde Lama, termasuk
aliran-aliran kiri, menimbulkan daya tarik tersendiri, semacam romantisme.
Mungkin, kita sendiri tidak bisa menerima komunisme atau bahkan sosialisme
sekalipun yang berbeda dengan komunisme, sebab sosialisme masih memberi
peluang bagi paham demokrasi. Tapi dalam era reforamsi ini, kita mungkin
bisa menerima pluralisme yang lebih sempurna, yaitu yang tidak menolak
aliran apapun, sepanjang aliran itu bisa mengikuti aturan demokrasi. Di
Eropa Barat, bahkan di AS sendiri, partai komunis masih dibiarkan hidup,
tidak dilarang walaupun pada umumnya ditolak.
Komunisme
itu mungkin tidak bangkit terang-terangan. Organisasinya mungkin tidak
dibentuk, tapi hanya alirannya saja yang menyusup ke partai-partai dan
gerakan-gerakan yang formal bukan komunis. PRD sendiripun bukan komunis,
bahkan memperjuangkan sistem multi partai, tapi menganut metode perjuangan
kelas. Pandangan ini masih bisa dipahami, karena komunisme masih bisa menerima
demokrasi parlementer. Dengan metode perjuangannya yang canggih, dengan
menunggangi sentimen populis berdasarkan analisis 'garis massa', sebuah
partai komunis bisa mendapat dukungan dan bahkan menang dalam pemilihan
umum yang demokratis, sebagai mana pernah terjadi di Italia. Partai Sosialis,
ternyata bisa menang di negara kapitalis seperti Prancis di bawah kepemimpinan
Francois Mitterand. Kinipun. Partai buruh mampu mengalahkan Partai Konservatif
yang perkasa di Inggris dan Partai Sosial Demokrat yang pada dasarnya berhaluan
sosialis itu, bisa menang di Jerman sekarang ini.
Dengan
demikian yang terpikir dibenak orang adalah bahwa haluan kiri masih bisa
hidup dan mungkin menjadi partai yang berkuasa. Apalagi jika memakai baju
sosial demokrat. Di Indonesia aliran seperti ini masih punya pengaruh yang
cukup kuat. Lihat saja pandangan-pandangan yang cukup vokal dari Mubyarto,
Sri Edi Swasono, Sritua Arief dan Adi Sasono yang kini malah menjadi Menteri
Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah yang mengibarkan bendera "
ekonomi kerakyatan". Bahkan, sekarang ini telah lahir sebuah partai
yang berorientasi pupulis, yaitu Partai Daulat Rakyat (PDR) dengan meningkatnya
jumlah orang miskin dan timbulnya pengangguran akibat krisis sekarang ini,
gerakan populis punya potensi untuk mendapat sambutan.
Pemikiran
seperti itulah barangkali yang melatarbelakangi komentar Presiden BJ Habibie
yang mengingatkan bahaya komunis, sosialis, dan marhaenis, di singkat Komas.
Berita mengenai statement yang diucapkan ketika menerima rombongan
Pemuda Muhammadiyah di Bina Graha itu memang agak simpang siur. Mula-mula
penyebutan Komas itu dikaitkan dengan upaya-upaya disintegrasi bangsa.
Itulah barangkali yang menyebabkan beberapa tokoh marhaenis marah. Tokoh
gaek marhaenis, Dr Ruslan Abdulgani, sempat menilai bahwa pandangan Habibie
itu sangat keliru dan naif. Sedangkan ketua PNI Front Marhaenis, Probosutejo
berencana mengadukan Habibie kepengadilan. Tapi ilmuwan Universitas Airlangga
Dr Hotman Siahaan, menilai bahwa ucapan Habibie itu merupakan upaya mencari
alat represi baru.
Kalangan
Marhaenis berkeberatan mengaitkan marhaenis dengan komunisme. Lebih-lebih
mereka tidak bisa menerima analisis bahwa Komas adalah sumber disintegrasi
bangsa sekarang ini. Belakangan timbul penjelasan Habibie dan pembelaan-pembelaan
dari Menkeh Muladi dan Menpora Agung Laksono, bahwa yang dikhawatirkan
Habibie adalah menyusupnya komunisme ke dalam gerakan-gerakan sosialis,
marhaenis, dan agama. Barangkali mereka membayangkan pola Nasakom di masa
lalu.
Dari
pembelaan-pembelaan terhadap tuduhan Habibie mengenai Komas itu dapat dirarik
kesimpulan bahwa paham marhaenisme sebenarnya masih tetap hidup dan masih
punya simpatisan, dan mungkin masih cukup besar, setidak-tidaknya jika
yang diperhitungkan adalah para pengikut Boeng Karno. Bahkan beberapa waktu
yang lalu, tercatat pula berita bahwa Ketua Pengurus Pusat Keluarga Besar
Marhaenis, Dr Hadori Yunus, pernah menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan
seminar tentang marhaenisme. Seminar itu barangkali akan menarik, walaupun
mungkin akan diliputi pro dan kontra. Tapi setidak-tidaknya kita bisa mengapresiasi
pandangan Bung Karno ditengah-tengah teori radikal kiri yang pernah berkembang
di dunia.
Karena
itu, komentar Habibie mengenai Komas yang mencerminkan kekhawatiran itu
barangkali juga dikaitkan dengan kebangkitan PDI Perjuangan yang untuk
sementara ini dinilai mampu meraih simpati kalangan rakyat jelata itu bisa
mendapatkan penjelasan yang rasional. Jika bangkit komunisme pertama-tama
akan menyusupi partai-partai yang tampak berhaluan sosialis atau marhaenis
apalagi marhaenisme memang "Marxisme yang diterapkan di Indonesia".
Dari sudut ilmiah, marhaenisme sebenarnya merupakan teori yang sangat menarik
dan dapat dipakai sebagai alat analisis baik oleh yang setuju atau menentangnya.
Karena itu, rencana Hadori Yunus, mantan Ketua GMNI yang juga Muhammadiyah
itu, cukup fisibel. Kita ingin melihat apakah teori marhaenisme masih mampu
bertahan atau tidak.
.
|