<< Back >>
MUNGKINKAH KOMUNISME BANGKIT KEMBALI ? (Republika, Senin 10 Mei 1999)

ANALISIS

     Akhir-akhir ini perhatian masyarakat memang ditarik oleh gejala dan spekulasi tentang kemungkinan bangkitnya kembali komunisme di Indonesia. Indikator utamanya, pertama adalah masuknya tokoh-tokoh yang disebut komunis ke dalam partai-partai politik tertentu, Novelis, alumnus Pulau Buru, Pramudya Ananta Toer, umpamanya, terang-terangan bergabung dengan dan diterima baik oleh PRD yang radikal dan militan, pimpinan Budiman Sujatmiko. Dalam suatu keterangannya; Sujatmiko pernah pula menyatakan simpatinya kepada PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarno Putri.

     Kedua adalah "keberanian" mantan tahanan G-30-S, Latief dan Boengkoes, keduanya dari ABRI untuk menggugat pemerintah, bahwa mereka sebenarnya tidak bersalah. Pada akhirnya mereka akan membuktikan bahwa PKI hanyalah korban peristiwa G-30-S, yang sebenarnya adalah konflik internal Angkatan Darat. Tapi, berita itu telah membangkitkan Jenderal Besar AH Nasution untuk speak-up, sampai-sampai membela tindakan Mayjen Soeharto, Pangkostrad ketika itu, dalam membubarkan PKI.

     Persoalannya adalah mungkinkah komunis bangkit kembali? Pertanyaan itu timbul mengingat komunis sebagai rezim dan ideologi ditingkat dunia sudah runtuh. Uni Soviet maupun RRC tidak lagi menjadi pusat gerakan komunisme internasional. Mereka bahkan telah menjalankan kapitalisme dan mengundang modal asing. Di Indonesia, masyarakat maupun pemerintah Indonesia telah menolak, bahkan MPR telah menyatakan komunisme sebagai ideologi terlarang dan pemerintah bisa menindak siapa saja yang menyebarkan faham ini. Semua golongan agama mendukung sikap anti komunis yang atheis itu. Atas dasar itu, maka mustahil komunisme akan bangkit lagi, karena selain ditolak juga tidak lagi punya kemampuan untuk bergerak setelah dibasmi oleh Pemerintah Orde Baru.

     Meskipun begitu, berita mengenai orang-orang mantan tahanan G-30-S/PKI, cukup mengesankan juga, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa komunisme mungkin masih bisa hidup kembali, seperti PKI pada awal '50-an mampu bangkit, padahal baru saja ditumpas dalam pemberontakan Madiun 1948. Dialam demokrasi, ternyata PKI berhasil menjadi partai ke-4 terbesar. Sekarang ini, dialam reformasi, memoar Oei Tjoe Tat 'Pembantu Presiden Soekarno' dan seorang tokoh Partindo, Baperki, dan gerakan Marhaenis, bisa terbit yang isinya membela habis-habisan pemikiran dan tindakan Boeng Karno. Buku itu tentu saja menarik untuk dibaca sehingga kita bisa memahami 'kebenaran' dari sudut pandangan orang Orde Lama. Di dalamnya kita membaca nilai-nilai kemanusiaan yang membuat kita bisa menjadi lebih arif. Namun, hal ini memberikan tanda-tanda kepada kita, bahwa orang sekarang, yang tidak tahu komunisme pada waktu itu mungkin bisa mempertimbangkan kembali aliran politik yang sudah diberangus, karena kalah dalam perjuangan politik.

     Namun, hal ini sekaligus juga menimbulkan kekhawatiran baru. Kekhawatiran itu timbul karena perasaan kita bahwa pemikiran-pemikiran Orde Lama, termasuk aliran-aliran kiri, menimbulkan daya tarik tersendiri, semacam romantisme. Mungkin, kita sendiri tidak bisa menerima komunisme atau bahkan sosialisme sekalipun yang berbeda dengan komunisme, sebab sosialisme masih memberi peluang bagi paham demokrasi. Tapi dalam era reforamsi ini, kita mungkin bisa menerima pluralisme yang lebih sempurna, yaitu yang tidak menolak aliran apapun, sepanjang aliran itu bisa mengikuti aturan demokrasi. Di Eropa Barat, bahkan di AS sendiri, partai komunis masih dibiarkan hidup, tidak dilarang walaupun pada umumnya ditolak.

     Komunisme itu mungkin tidak bangkit terang-terangan. Organisasinya mungkin tidak dibentuk, tapi hanya alirannya saja yang menyusup ke partai-partai dan gerakan-gerakan yang formal bukan komunis. PRD sendiripun bukan komunis, bahkan memperjuangkan sistem multi partai, tapi menganut metode perjuangan kelas. Pandangan ini masih bisa dipahami, karena komunisme masih bisa menerima demokrasi parlementer. Dengan metode perjuangannya yang canggih, dengan menunggangi sentimen populis berdasarkan analisis 'garis massa', sebuah partai komunis bisa mendapat dukungan dan bahkan menang dalam pemilihan umum yang demokratis, sebagai mana pernah terjadi di Italia. Partai Sosialis, ternyata bisa menang di negara kapitalis seperti Prancis di bawah kepemimpinan Francois Mitterand. Kinipun. Partai buruh mampu mengalahkan Partai Konservatif yang perkasa di Inggris dan Partai Sosial Demokrat yang pada dasarnya berhaluan sosialis itu, bisa menang di Jerman sekarang ini.

     Dengan demikian yang terpikir dibenak orang adalah bahwa haluan kiri masih bisa hidup dan mungkin menjadi partai yang berkuasa. Apalagi jika memakai baju sosial demokrat. Di Indonesia aliran seperti ini masih punya pengaruh yang cukup kuat. Lihat saja pandangan-pandangan yang cukup vokal dari Mubyarto, Sri Edi Swasono, Sritua Arief dan Adi Sasono yang kini malah menjadi Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah yang mengibarkan bendera " ekonomi kerakyatan". Bahkan, sekarang ini telah lahir sebuah partai yang berorientasi pupulis, yaitu Partai Daulat Rakyat (PDR) dengan meningkatnya jumlah orang miskin dan timbulnya pengangguran akibat krisis sekarang ini, gerakan populis punya potensi untuk mendapat sambutan.

     Pemikiran seperti itulah barangkali yang melatarbelakangi komentar Presiden BJ Habibie yang mengingatkan bahaya komunis, sosialis, dan marhaenis, di singkat Komas. Berita mengenai statement yang diucapkan ketika menerima rombongan Pemuda Muhammadiyah di Bina Graha itu memang agak simpang siur. Mula-mula penyebutan Komas itu dikaitkan dengan upaya-upaya disintegrasi bangsa. Itulah barangkali yang menyebabkan beberapa tokoh marhaenis marah. Tokoh gaek marhaenis, Dr Ruslan Abdulgani, sempat menilai bahwa pandangan Habibie itu sangat keliru dan naif. Sedangkan ketua PNI Front Marhaenis, Probosutejo berencana mengadukan Habibie kepengadilan. Tapi ilmuwan Universitas Airlangga Dr Hotman Siahaan, menilai bahwa ucapan Habibie itu merupakan upaya mencari alat represi baru.

     Kalangan Marhaenis berkeberatan mengaitkan marhaenis dengan komunisme. Lebih-lebih mereka tidak bisa menerima analisis bahwa Komas adalah sumber disintegrasi bangsa sekarang ini. Belakangan timbul penjelasan Habibie dan pembelaan-pembelaan dari Menkeh Muladi dan Menpora Agung Laksono, bahwa yang dikhawatirkan Habibie adalah menyusupnya komunisme ke dalam gerakan-gerakan sosialis, marhaenis, dan agama. Barangkali mereka membayangkan pola Nasakom di masa lalu.

     Dari pembelaan-pembelaan terhadap tuduhan Habibie mengenai Komas itu dapat dirarik kesimpulan bahwa paham marhaenisme sebenarnya masih tetap hidup dan masih punya simpatisan, dan mungkin masih cukup besar, setidak-tidaknya jika yang diperhitungkan adalah para pengikut Boeng Karno. Bahkan beberapa waktu yang lalu, tercatat pula berita bahwa Ketua Pengurus Pusat Keluarga Besar Marhaenis, Dr Hadori Yunus, pernah menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan seminar tentang marhaenisme. Seminar itu barangkali akan menarik, walaupun mungkin akan diliputi pro dan kontra. Tapi setidak-tidaknya kita bisa mengapresiasi pandangan Bung Karno ditengah-tengah teori radikal kiri yang pernah berkembang di dunia.

     Karena itu, komentar Habibie mengenai Komas yang mencerminkan kekhawatiran itu barangkali juga dikaitkan dengan kebangkitan PDI Perjuangan yang untuk sementara ini dinilai mampu meraih simpati kalangan rakyat jelata itu bisa mendapatkan penjelasan yang rasional. Jika bangkit komunisme pertama-tama akan menyusupi partai-partai yang tampak berhaluan sosialis atau marhaenis apalagi marhaenisme memang "Marxisme yang diterapkan di Indonesia". Dari sudut ilmiah, marhaenisme sebenarnya merupakan teori yang sangat menarik dan dapat dipakai sebagai alat analisis baik oleh yang setuju atau menentangnya. Karena itu, rencana Hadori Yunus, mantan Ketua GMNI yang juga Muhammadiyah itu, cukup fisibel. Kita ingin melihat apakah teori marhaenisme masih mampu bertahan atau tidak.

.