RENCANA MENGENAI BANJAR


Banjarmasin Sarat Berbagai Julukan
 (Muchlis Mondia SH,  Kepala Biro Antara Banjarmasin)

Banjarmasin, ibukota propinsi Kalsel yang baru saja memasuki usia 472 tahun, tanggal 24
September lalu, memang sarat julukan. Dikenal sebagai Kota Seribu Sungai, karena banyaknya
sungai yang ayang ada di wilayahnya walaupun cuma seluas 72 KM persegi. Kemudian dijuluki pula
Kota Seribu Jembatan saking banyaknya jembatan-jembatan kecil akibat banyaknya sungai tadi.

Lalu muncul pula gelar Kota Air, memang wajar karena kota berpenduduk 600 ribu jiwa wilayahnya dikelilingi air, walaupun ada juga kontroversialnya karena sering kesulitan air bersih.

Di musim kemarau akibat intrusi air laut, sungai-sungai di Banjarmasin payau dan asin hingga
terkadang sampai tidak laik digunakan untuk mandi dan cuci apalagi untuk diminum.

Namun julukan Kota Air ini, menurut Walikota Banjarmasin, Sadjoko merupakan akronim dari
singkatan kata Aman, Indah dan Rapi.

"Saya terobsesi Banjarmasin yang menjadi gerbangnya Kalsel ini bisa berkembang menjadi kota
wisata jadi harus ditata sedemikian rupa agar menarik," katanya.

Para turis dan pendatang yang mampir kekota ini harus merasa aman, tertarik dengan keindahan
kotanya yang nyaman, bersih dan di tata rapi," ujar ayah tiga putra kelahiran Solo 54 tahun yang lalu ini.

Dan Sadjoko ketika mengawali jabatannya sebagai walikota, periode pertama tahun 1989-1994
juga melansir julukan Banjarmasin Kota Lima Dimensi yakni sebagai kota pemerintahan, pelabuhan, perdagangan, industri dan wisata.

Sebagai ibukota propinsi, wajar Banjarmasin menjadi pusat pemerintahan, begitu pula karena
memiliki Pelabuhan Trisakti, menumpuknya para pedagang dan distributor serta tumbuh suburnya
industri.

Apalagi karena sering menjadi persinggahan dan banyak dikunjungi orang yang berurusan, pantaslah Banjarmasin berbenah diri menjadi kota wisata. Namun ketika HM Effendie Ritonga menjabat Walikota Banjarmasin 1984-1989, Banjarmasin juga dicanangkannya sebagai Kota Berintegrasi yakni singkatan dari Bersih, Indah, Tertib, Segar dan Serasi.

Brigjen TNI Purn yang mantan Ketua DPD Golkar Sumut ini getol sekali menata kota Banjarmasin
yang kalau meruntut historisnya memang harus lekat dengan budaya air.

Menurut Ritonga, menjadikan kota ini bersih, indah, tertib dan segar memang harus serasi dengan
kondisi alam lingkungannya yang kental dengan budaya air.

Banjarmasin yang sebagian besar wilayahnya tanah rawa bergambut dan berada 16 centimeter
dibawah permukaan laut, memang dimana-mana dikelilingi air.

Oleh karena itu, lalulintas air dan jalan sungai harus dipertahankan, dipelihara dan kalau perlu
sungai-sungai yang dangkal dan mati dihidupkan kembali menjadi alur lintas sungai.

Hal itu, menurut Ritonga, bukan saja untuk mengatasi kepadatan lalulintas darat yang makin sarat
dan semrawut juga menjadikan kota ini memiliki daya tarik sendiri sebagai kota air yang berpotensi
besar menjadi kota wisata.

Dia menginginkan Banjarmasin ini seperti Venezia (Italia) atau minimal seperti kota Bangkok,
Thailand, yang berhasil memanfaatkan sungai-sungainya sebagai obyek wisata yang disenangi turis
mancanegara.

Namun banyaknya julukan dan obesesi yang ingin diwujudkan itu juga tidak mengurangi saratnya
permasalahan yang membelit Banjarmasin yang konon ditasbihkan sebagai kota bandar sejak 24
September 1526.

Waktu itu persis bertepatan dengan pengangkatan Sultan Suriansyah yang sebelumnya dikenal
Pangeran Samudera, sebagai raja Islam pertama yang memerintah Kerajaan Banjar yang konon
berlokasi di daerah Kuin, pinggiran kota sekarang.

Kepala Dinas Tata Kota Banjarmasin, Drs Azis mengakui, banyak peruntukan lahan yang tidak
sesuai dan salah kaprah akibat pesatnya pembangunan kota.

Tata ruang yang menetapkan pembagian wilayah kawasan seperti permukiman, industri, pelabuhan,
perkantoran, perkotaan dan pasar, sepertinya hanya diatas kertas karena kenyataan di lapangan
sering terjadi beralih fungsi.

Sungai-sungai yang tadinya menjadi lintas alternatif guna mengurangi kepadatan lalulintas darat
sekaligus menjadi ciri khas guna memantapkan Banjarmasin sebagai Kota Air kini banyak
mendangkal dan menyempit.

Bahkan beberapa di antaranya sungai-sungai itu mati akibat serobotan demi kepentingan
permukiman yang akhirnya juga merusak ekosistem lingkungan.

Ketika jaman Belanda dulu, perancang tata kota Thomas Kaarsten menyarankan di sekitar pinggiran Sungai Martapura dan Sungai dalam wilayah kota Banjarmasin merupakan kawasan openspace dan jalur hijau yang bebas segala macam bangunan.

Jadi yang namanya toko, kios, kantor, apalagi perumahan tidak dibenarkan dibangun dibantaran
sungai.

Namun rumah-rumah diatas lanting yang merupakan ciri khas orang Banjar sejak jaman kerajaan
dulu dibolehkan saja karena keberadaannya bermanfaat meredam gelombang lalulintas air yang bisa menyebabkan erosi dan abrasi.

Rumah-rumah lanting yang khas dan unik yang jumlahnya puluhan buah ini sampai sekarang masih
bisa terlihat dan sering menarik perhatian wisatawan di Muara Kuin, Kampung Pacinan, Seberang
Mesjid, Teluk Tiram dan Basirih

Namun apakah nanti masih tetap lestari atau keberadaannya dipertahankan ? Jawabannya mungkin
tergantung dari seberapa jauh konsistensi kita mengaktualisasikan berbagai julukan yang disandang
kota Banjarmasin tadi.
 
 




Banjarese System dalam Pertanian Lahan Rawa
(Ir M Rifani Djamhari, Bekerja di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Unlam Banjarmasin )

Lahan dan rawa tersedia cukup luas dibanding dengan jumlah penduduk
yang sangat terbatas. Kecuali lahan dan rawa tersebut tampaknya
merupakan salah satu faktor mengapa kreativitas pengembangan teknologi
olah lahan dan rawa dalam rangka memperoleh nilai tambah hampir-hampir
tidak terlihat perkembangannya. Lebih-lebih dalam arti dapat diunggulkan
dalam era modern.

Alinia di atas (cetak italic dari saya, MRD) adalah bagian dari makalah Dr H
Djantera Kawi, "Etos Kerja Tradisional Orang Banjar" (Seminar Etos Kerja
Orang Banjar. Lembaga Budaya Banjar, di Taman Budaya Kalsel
Banjarmasin, 29/9/98). Tulisan ini mencoba merespon dan memberikan
catatan dengan substansi sebaliknya dari alinea itu. Catatan ini saya cuplik
dari buku yang saya tulis (Karakteristik Ekosistem Pertanian Lahan Basah,
dengan Referensi Khusus: Sistem Orang Banjar)

Sesungguhnya masyarakat Banjar memiliki pengalaman dan sejarah panjang
dalam berinteraksi dengan alam rawa. Karena itu tak mengherankan bila
para petani Banjar, bersama petani Bugis, sekaligus dikenal pula sebagai
petani-pionir dalam pertanian di lahan rawa. Salah satu penemuan petani
Banjar adalah iptek dan kearifan tradisional dalam pembukaan (reklamasi),
pengelolaan dan pengembangan pertanian lahan rawa. Suatu sistem
pertanian tradisional lahan rawa (lahan pasang surut, lebak dan gambut),
yang oleh para ahli, misalnya Collier, 1980: Ruddle, 1987; van Wijk, 1951;
dan Watson, 1984, disebut sebagai Sistem Orang Banjar (Banjarese
System).

Apa dan bagaimana sistem orang Banjar diuraikan dengan baik oleh Collier
(Resources Use in the Swamps of Central Kalimantan: A Case Study of
Banjarese and Javanese Rice and Coconut Producers, 1980). Sebagai
ilustrasi, lahan pertanian di Kertak Hanyar dan Gambut, yang merupakan
lumbung padi Kalsel, adalah contoh (dan monumen) keberhasilan orang
Banjar dalam menerapkan sistem orang Banjar. Persawahan di lahan
gambut itu dicetak orang Banjar dari Hulu Sungai yang merupakan pekerja
pembangunan jalan penghubung Banjarmasin-Martapura tahun 1920.

Dibandingkan transmigran yang disponsori pemerintah, sistem padi/kelapa
petani Banjar menghasilkan pendapatan lebih tinggi dari hanya sistem padi
seperti diterapkan para transmigran. Sistem Orang Banjar hanya menemui
sedikit masalah dengan hama dan penyakit karena lahan sawah baru secara
kontinyu dibuka. Selain membuka hutan untuk pertanian, hanya terjadi
sedikit eksploitasi atau ancaman terhadap hutan yang terdapat di sekitar
lahan itu, sehingga hidrologi dan aliran hara dalam lahan rawa pasang surut
dapat terlindungi. Proyek transmigrasi Purwosari yang disponsori
pemerintah sukses karena para transmigrannya menanam kelapa dan padi
mengikuti sistem orang Banjar.

Pada dasarnya sistem ini suatu contoh sistem pertanian lahan rawa yang
berkelanjutan yaitu:

Pertama, sistem pertanian yang serasi dengan alam dan bertumpu pada
keanekaragaman hayati. Sistem orang Banjar merupakan sistem pertanian
tradisional lahan rawa yang akrab dan selaras dengan alam, yang
disesuaikan dengan situasi ekologis lokal seperti tipologi lahan dan keadaan
musim, yang erat kaitannya dengan keadaan topografi, kedalaman genangan
dan ketersediaan air.

MacKinnon menilai sistem ini sebagai sistem multicropping berkelanjutan
yang berhasil pada suatu lahan marjinal, sistem pertanian yang produktif dan
self sustaining dalam jangka waktu lama. Hal ini terlihat dari penerapan
sistem surjana Banjar dan pola suksesi dari pertanaman padi menjadi
kelapa-pohon buah-buahan-ikan yang diterapkan petani Banjar. Jadi, jauh
sebelum istilah keanekaragaman hayati, agroforestry, multiplecropping
menjadi primadona, petani Banjar sudah mempraktikkannya.

Kedua, pengembangan dan penerapan teknologi ramah lingkungan. Karena
alam kadang menjadi kendala di lahan rawa, maka teknik pertanian yang
diterapkan disesuaikan alam setempat. Sebagai upaya penganekaan
tanaman, petani memodifikasi kondisi lahan agar sesuai dengan komoditas
yang dibudidayakan, petani membuat sistem surjan Banjar
(tabukan-tembokan/tukungan/baluran). Dengan penerapan sistem ini, di
lahan pertanian akan tersedia lahan tabukan yang tergenang (diusahakan
untuk pertanaman padi atau menggabungkannya dengan budidaya ikan,
mina padi) dan lahan tembokan/tukungan/baluran yang kering (untuk
budidaya tanaman palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman tahunan
dan tanaman industri).

Ketiga, pengolahan tanah: integrasi antara pemupukan organik dan
pengelolaan gulma. Pengolahan tanah menggunakan alat tradisional tajak,
sehingga lapisan tanah yang diolah tidak terlalu dalam, dan lapisan pirit tidak
terusik. Dengan demikian, kemungkinan pirit itu terpapar ke permukaan dan
teroksidasi yang menyebabkan tanah semakin masam, dapat dicegah.

Pengolahan tanah dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengelolaan gulma
(menebas, memuntal, membalik, menyebarkan) yang tidak lain merupakan
tindakan konservasi tanah, karena gulma itu dikembalikan ke tanah sebagai
pupuk organik (pupuk hijau). Selain sebagai pupuk, rerumputan gulma yang
ditebarkan secara merata menutupi permukaan lahan sawah juga berfungsi
sebagai penekan pertumbuhan anak-anak rumput gulma.

Keempat, sistem tata air. Penerapan sistem orang Banjar diawali dengan
upaya pembukaan lahan rawa dan pengelolaan air untuk memperbaiki
kondisi drainase lahan. Ketika membuka hutan rawa, para petani Banjar
menggali handil dan anjir. Handil adalah parit irigasi dan drainase yang
dibuat mengikuti sungai kecil atau saluran drainase alami yang telah ada,
bermuara ke sungai besar. Biasanya handil digali tanpa bantuan alat berat.
Sedangkan anjir merupakan saluran/kanal primer yang menghubungkan dua
buah sungai besar.

Untuk keperluan reklamasi, irigasi dan drainase lahannya petani tradisional
memanfaatkan fenomena dan karakter alam rawa seperti dinamika
pasang-surut air melalui handil dan anjir yang telah mereka gali sebelumnya.
Pada saat pasang, lahan pertanian akan menerima pasokan air irigasi segar
dari sungai besar, sedangkan pada saat surut akan terjadi pembilasan
senyawa-senyawa asam dan racun dari lahan sawah yang terbawa ke sungai
besar. Inilah kunci keberhasilan pertanian lahan pasang surut.

Teknik-teknik canggih dan rendah energi untuk transformasi pertanian yang
berhasil pada lahan rawa pasang surut di Kalsel dan Kalteng telah
dikembangkan dan diperluas dalam beberapa dekade oleh orang-orang
Banjar, Bugis dan migran dari Jawa. Ketiga kelompok ini mempergunakan
sistem yang hampir seluruhnya berdasarkan model yang dikembangkan
orang Banjar.

Beberapa inovasi teknologi pengelolaan air yang dilakukan selama ini seperti
sistem kanal (sistem anjir), sistem garpu UGM, sistem sisir, sistem tata air
mikro H Idak Batola, hingga kini sistem sawit dupa sebenarnya berbasis
(mengacu dan memodalifikasi) sistem orang Banjar.

Bahkan petani Banjar di Danau Bangkau (Kab HSS) telah mengembangkan
suatu sistem pertanian terapung (disebut hampung) yang memanfaatkan
kondisi lahan yang tergenang (danau) dan melimpahnya ketersediaan kumpai
sebagai substrat untuk bercocok tanam.

Ketika Orang Banjar migrasi ke daerah lain, sistem ini tetap diterapkan,
dikembangkan dan malah diperkenalkan, kepada mereka etnis asli daerah
itu. Jadi tidak beralasan pernyataan bahwa melimpahnya lahan dan rawa
membuat masyarakat Banjar menjadi malas melakukan inovasi dalam
mengolah lahan rawa menjadi lahan pertanian, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Dr H Djantera Kawi dalam makalahnya itu.

Jauh sebelum PPLG sejuta hektar Kalteng diluncurkan, Ir Pangeran
Mohammad Noor (mantan Menteri Pekerjaan Umum RI, Gubernur
Kalimantan Pertama, dan Abah Pembangunan Kalimantan), selain
melaksanakan proyek kanalisasi (anjir) juga merancang konsep proyek
terpadu pemanfaatan dan pengembangan lahan rawa di Kalsel dan Kalteng
yaitu Proyek Sungai Barito.

Sayang proyek raksasa PSB belum semuanya dapat direalisasikan.
Kendalanya antara lain terletak pada segi pembiyaan yang dinilai terlalu
besar. Salah satu ide Ir Pangeran Mohammad Noor yang telah berhasil
direalisasikan adalah pembangunan PLTA Ir Pangeran Mohammad Noor.
 
 
 



\
ADING BESTARI
(kiriman Azlan Ali Bashah, dari tulisan Sdr. Radius.)

Judul diatas adalah bahasa ibu saya, Banjar. Terjemahan tepatnya agak sukar. Ading = adik. Tapi selalu bernuansa protective karena sayang. Bestari bermakna layak dihormati, disayangi karena halus budi bahasanya, tulus hatinya, bijak dan enak dipandang cahaya mukanya. Nah, demikianlah pengertian ading bestari secara bahasa.

Pengertian kulturalnya lebih dalam lagi. Ading bestari seperti sebuah simbol dalam keluarga Banjar akan kehadiran generasi baru yang lebih luas dan dalam pengertiannya akan hidup dan karenanya sikapnya lebih mulia dan bijak dalam segalanya, meskipun begitu, dia, ading bestari ini, masih juga memerlukan perlindungan. Dia tidak dapat dibiarkan begitu saja menghadapi dunia yang kejam
dan penuh tipu daya, setidaknya sampai dia benar-benar dewasa.

Kultur Banjar dalam bentuk ading bestari ini, saya rasa menarik untuk dilekatkan pada intelektual muda kita.
 
 




KONSEP BUBUHAN
(kiriman Azlan Ali Bashah, dari tulisan  Hj Alfini Daud .)

Berkali-kali kita menyebut bubuhan. Bubuhan adalah merupakan kelompok kekerabatan ambilinial: seseorang menjadi warga masyarakat bubuhan karena ia masih se-keturunan dengan mereka, dari pihak ibu saja atau dari pihak ayah saja, mau pun kedua-duanya, dan menetap dalam lingkungan
bubuhan tersebut.

 Seseorang dapat masuk menjadi warga kelompok apabila ia kawin dengan salah seorang warga dan menetap dalam lingkungan pemukiman mereka. Hal yang sama masih terjadi di kalangan masyarakat Bukit sampai setidak-tidaknya belum lama berselang.

Kelompok bubuhan dipimpin oleh seorang warganya yang berwibawa. Sama halnya dengan masyarakat balai saat ini, kepala bubuhan, yang pada masa kesultanan sering disebut sebagai asli, berfungsi sebagai tokoh yang berwibawa, sebagai tabib, sebagai kepala pemerintahan dan mewakili
bubuhan bila berhubungan dengan pihak luar, sama halnya seperti seorang kepala balai, yang biasanya selalu seorang balian bagi masyarakat Bukit sampai belum lama ini. Ketika terbentuk pusat kekuasaan, kelompok masyarakat bubuhan diintegrasikan ke dalamnya: kewibawaan kepala bubuhan terhadap warganya diakui.

 Biasanya sebuah kelompok bubuhan membentuk sebuah anakkampung, gabungan beberapa masyarakat bubuhan membentuk sebuah kampung, dan salah seorang kepala bubuhan yang paling berwibawa diakui sebagai kepala kampung itu. Untuk mengkoordinasikan beberapa buah kampung ditetapkan seorang lurah, suatu jabatan kesultanan di daerah, yaitu biasanya seorang kepala
bubuhan yang paling berwibawa pula.

  Beberapa orang lurah dikoordinasikan oleh seorang lalawangan, suatu jabatan yang mungkin dapat disamakan dengan jabatan bupati di Jawa pada kurun waktu yang sama. Dengan sendirinya seseorang yang menduduki jabatan formal sebagai mantri atau penghulu merupakan tokoh pula di
dalam lingkungan bubuhannya.

 Dengan demikian dapat kita nyatakan bahwa sistem pemerintahan pada masa kesultanan, dan mungkin juga regim-regim sebelumnya, diatur secara hierarkis sebagai pemerintahan bubuhan. Di tingkat pusat yang berkuasa ialah bubuhan raja-raja, yang terdiri dari sultan beserta kerabatnya
ditambah dengan pembesar-pembesar kerajaan (baca: mantri-mantri).

 Pada tingkat daerah memerintah tokoh-tokoh bubuhan, mulai dari lurah-lurah, yang dikoordinasikan oleh seorang lalawangan, berikutnya ialah kepala-kepala kampung, yang adalah seorang tokoh bubuhan, semuanya yang paling berwibawa di dalam lingkungannya, dan  membawahi beberapa
kelompok bubuhan rakyat jelata pada tingkat paling bawah.

Peranan bubuhan ini sangat dominan pada zaman sultan-sultan, dan masih sangat kuat pada permulaan pemerintahan Hindia Belanda. Belakangan memang dilakukan perombakan-perombakan; jabatan kepala pemerintahan di atas desa (kampung) tidak lagi ditentukan oleh keturunan, melainkan
melalui pendidikan, dan ini terjadi sekitar permulaan abad ke-20, tetapi di tingkat desa peranan bubuhan masih kuat sampai belum lama berselang. Kenyataan tokoh bubuhan tidak lagi menduduki jabatan tinggi membawa pengaruh pada wibawa bubuhan tersebut terhadap masyarakat-masyarakat bubuhan selebihnya.

 Saat ini dominasi bubuhan sebagai kelompok kekerabatan sudah sangat lemah, tetapi masih terasa dan sewaktu-waktu masih muncul ke permukaan. Konsep bubuhan akhirnya difahami sebagai suatu lingkungan sosial sendiri, yang berbeda dengan lingkungan sosial lainnya.

 Demikianlah kita sering mendengar ungkapan bubuhan Kandangan, bubuhan SMP Negeri Pantai Hambawang, bubuhan kami (kelompok kami) atau bubuhan kita (kelompok kita) dan bubuhan ikam (kelompok kamu), bubuhannya (dalam arti kawan-kawan lainnya).

 Kenyataan tentang dominasi bubuhan terhadap bubuhan lainnya dan dominasi tokoh bubuhan terhadap warga selebihnya ikut mewarnai keislaman masyarakat Banjar, yang bekas-bekasnya masih dapat ditemukan sampai sekarang.