The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Potret Buram Pariwisata Ambon


KOMPAS, Sabtu, 29 Juni 2002

Pantai Natsepa
Potret Buram Pariwisata Ambon

Kompas/Sidik Pramono

"KALAU ke Natsepa, jangan lupa rujaknya buat beta," pesan Nita Tiakoly ketika Kompas mengutarakan niat mengunjungi Pantai Natsepa. Rujak berbumbu kacang tanah yang khas itulah trade mark kawasan wisata bahari di Teluk Baguala di sisi timur Pulau Ambon.

Ada apa sebenarnya dengan rujak Natsepa? "Jangan salah, orang-orang mengenal Natsepa dari rujaknya. Pokoknya, jangan bilang ke Natsepa kalau tidak makan rujaknya," lanjut Nita penuh semangat.

Dibutuhkan kurang dari satu jam menempuh jarak 14 km dari pusat Kota Ambon demi memburu keindahan Pantai Natsepa. Untuk sampai ke wilayah ini, siapa pun yang berangkat dari pusat Kota Ambon harus melewati kantung-kantung dua komunitas yang pernah bertikai di Maluku. Jalur transportasi darat yang mulus dari pusat kota dengan pemandangan tepian teluk sepanjang perjalanan menuju Natsepa harus dilewati dengan "perjuangan" karena harus berselang-seling wilayah komunitas yang berbeda.

Baru lepas dari pusat kota, daerah pertama yang harus dilalui adalah wilayah Batu Merah yang menjadi basis kaum Muslim. Tepat di tekukan sudut teluk dalam, wilayah Passo yang dihuni oleh komunitas Nasrani harus dilewati. Selang-seling seperti itulah yang menyulitkan para wisatawan untuk menjangkau daerah yang mereka harapkan bisa menjadi saluran pengendur ketegangan.

Karenanya, tidak mengherankan jika satu obyek wisata terkesan hanya menjadi milik satu komunitas. Pasalnya, siapa yang berani berisiko menjangkau wilayah komunitas yang berbeda jika kondisi keamanan belum bisa menenteramkan perasaan? Lebih-lebih, sensitivitas masyarakat Ambon terhadap isu adanya satu insiden sedemikian tinggi. Tidak mengherankan, jika tersebar berita kerusuhan, masyarakat bisa segera menyiagakan diri. Wilayah perbatasan antarkomunitas pun tidak bisa dilewati dengan sebegitu bebas.

Jika jalur "konvensional" tersebut enggan dilewati, masih ada pilihan lebih sulit untuk mencapai Natsepa. Jalur "gunung" yang ditempuh melewati campuran jalan yang mulus dan berbatu menjadi alternatif yang bisa dipertimbangkan. Dari kota, jalur melewati kawasan Karang Panjang, Naku, Rutong, Hutumuri, Toisapu, Batu Gong, sampai ke Passo, melahirkan keasyikan tersendiri dengan menyisir pandang ke Teluk Baguala dari ketinggian. Untuk jalur ini, tambahkan waktu tempuh minimal setengah jam lebih lama untuk mencapai titik tujuan.

Ketika sampai di Natsepa, setelah membayar tiket masuk ke kawasan wisata seharga Rp 1.000 per orang, pandangan pertama yang bisa dinikmati adalah hamparan pasir putih sepanjang garis pantai. Debur ombak sesekali menghantam butiran pasir halus yang tergambar sepanjang garis pantai yang landai. Jika air laut sedang surut, tarikan garis sekitar 30 meter dari muka laut memberikan ruang yang cukup untuk para wisatawan untuk bermain bola di tepian pantai.

***

DI garis pantai, tengah hari pada pertengahan April silam itu, di bawah rimbun pepohonan dan gerumbul akar-akar yang menyembul di hamparan pasir putih, hanya terlihat kurang dari lima penjaja rujak yang khas itu. Dengan meja kayu kecil yang dipenuhi buah-buahan dan bahan baku rujak, cobek batu besar, para penjaja rujak itu bisa dengan sigap menyiapkan pesanan para pembeli yang dihargai Rp 2.500 setiap porsi. Bahkan, sejak menginjakkan kaki di Natsepa, para penjaja rujak itu sudah saling berebut menarik minat para pengunjung untuk menyinggahi tempat mereka berjualan.

Inilah rujak khas Natsepa yang tersohor itu. Buah-buahan segar, seperti jambu air, belimbing, kedondong, pepaya, mentimun, bengkuang, atau ketela, yang terpotong kecil-kecil, dibubuhi garam, gula merah, air asam, dan kacang merah digerus dalam cobek batu besar. Buah pengisinya bisa apa saja bergantung musim. Ketika nanas sedang melimpah, bisa dipastikan buah itu menjadi pengisi utama rujak Natsepa.

Seperti disebutkan oleh Magdalena Tala (67) yang sudah lebih dari sepuluh tahun berjualan rujak di Natsepa, seingatnya racikan bumbu rujak di Natsepa mengakar tanpa patokan. Magdalena pun berjualan sekadar dari mengamati para "seniornya" dan kemudian menerapkan racikan bumbunya sendiri. Karenanya, ia pun tidak terlampau paham jika ditanya mengenai rahasia bumbu rujak yang akhirnya bisa memancing ingatan tentang Natsepa.

Menurut Magdalena, kunci kekhasan rujak Natsepa terletak pada campuran bumbu kacangnya serta air asam dan belimbing yang menjadi penyedap. Soal takaran, setiap "koki" tentu punya "resep" yang tidak harus dibeberkan.

"Setiap penjual di sini punya resep masing-masing. Tetapi, siapa pun penjualnya, begitu disebut rujak Natsepa, orang sudah tahu," kata Magdalena. Dengan resep yang sekadar ingat, sekadar coba, tergantung "roso" itulah rujak Natsepa menembus ingatan para wisatawan yang pernah menyinggahinya. "Dulu, beta bahkan pung langganan orang Belanda," kata Magdalena lagi.

Jika berkenan membeli, para pembeli bisa langsung menikmati pesanan rujaknya sembari menikmati angin laut yang menampar-nampar muka. Masing-masing penjaja rujak biasa pula menyediakan kursi kayu panjang untuk duduk para pembelinya. Sesekali, jika air laut sedang pasang, gelombangnya bisa sampai ke sela-sela kaki.

***

HARI itu, Natsepa sedang kehilangan peminat. Para pengunjung yang asli Maluku ataupun yang dari luar negeri tidak terlihat menyemut memadati jalur pasir putih yang konon demikian tersohor ini. Hanya terlihat belasan remaja tanggung yang mengaku mahasiswa Universitas Pattimura berpencar dalam berbagai aktivitas. Sebagian memilih duduk-duduk dengan pincuk rucak di tangan di pondok darurat yang reyot dan terlihat seadanya. Sebagian yang lain bersibuk-sibuk di hamparan pasir dan pinggiran pantai.

Menurut Lisa Sopamena, warga Gudang Arang yang ikut dalam rombongan tersebut, kedatangan mereka memang tidak terlalu direncanakan. Menyisip di sela jadwal kuliah yang kebetulan kosong, segera mereka berangkat bersama dengan menumpang speedboat sampai Passo untuk disambungkan dengan angkutan umum jurusan Tulehu.

"Coba kalau hari Minggu, pasti ramai," kata Andy Sagat yang menemani Kompas ke lokasi tersebut. Namun, hari Minggu ataupun hari libur lainnya, jelas kedatangan wisatawan di Natsepa tidak lagi semeriah ketika Ambon masih berjaya dengan tawaran keindahan pantai-pantainya. Seperti yang dituturkan Widodo Nico Pattiruhu (68), suami Magdalena yang menemani perbincangan, masa lalu Natsepa yang bisa diruahi ribuan pengunjung di hari libur hanya tinggal cerita.

Semenjak kerusuhan melanda Maluku, praktis keinginan untuk mengendurkan syaraf dengan berwisata sudah mulai dilupakan. Lebih-lebih untuk lokasi yang persis di kantung komunitas tertentu seperti Natsepa, pengunjung yang datang pun itu-itu saja. Memang sempat antusiasme warga Kota Ambon melonjak untuk mendatangi tempat-tempat wisata seiring dengan adanya kesepakatan penghentian konflik. Saat itu, sedikit demi sedikit mulai tumbuh keberanian untuk menyeberang komunitas yang berbeda.

"Tapi, sekarang, apa kenyataannya? Mbalik lagi kaya' mbiyen, 'kan?" kata Pattiruhu dengan nada pesimis. Insiden selepas Perjanjian Maluku di Maluku justru semakin menebalkan kekhawatiran masyarakat Ambon untuk beraktivitas melintas kantung komunitasnya. Karenanya, di usianya yang semakin menua setelah lama berkelana di Jawa, Pattiruhu dengan rambut ikal yang nyaris seluruhnya putih itu masih menyisakan harapan bahwa keamanan Ambon bisa pulih. Paling tidak, dengan demikian, ia bisa menikmati kembali masa-masa ramainya wisatawan mendatangi Natsepa.

Jadilah, rujak sebagai gambaran paling nyata, pesona Natsepa saat ini. Nyaris tidak ada lagi yang tersisa dari Natsepa. Homestay yang ada di sekitar pantai dibiarkan terbengkalai karena pengunjung yang tidak lagi semeriah dulu. Dinding-dinding yang jebol, atap yang bolong-bolong, tembok yang kusam menandai tidak kurang sepuluh bangunan kecil di sekitar lokasi wisata Natsepa.

Selain itu tidak terlihat fasilitas umum yang memadai, seperti ketersediaan toilet di lokasi ini. Seperti sebuah hubungan sebab-akibat, tidak-lah mengherankan, angkutan umum yang lewat di jalanan dekat lokasi wisata ini pun tidak lagi menumpahkan penumpang yang menjadikan Natsepa sebagai titik singgah.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Maluku Ny Sinda PA Titaley-Pupella dalam perbincangan dengan Kompas mengakui bahwa industri pariwisata di Maluku sedang menjalani masa keterpurukan teramat dalam. Membandingkan kunjungan wisatawan asing dulu dan sekarang sungguh terlihat njomplang. Sampai akhir tahun 2001, wisatawan asing yang mengunjungi Maluku hanya 510 orang dengan lama kunjungan rata-rata tiga hari.

Jumlah itu hanya sekitar 3,5 persen dari jumlah wisatawan asing pada periode tahun 1998. Awalnya adalah krisis ekonomi pada paruh kedua 1997 yang menjadi alasan. Berikutnya, kondisi keamanan yang sangat fluktuatif akibat konflik berbau SARA sejak tahun 1999 masih menjadi satu barometer terpenting untuk mengundang para wisatawan kembali menjenguk Maluku.

Hal tersebut juga diakui oleh Iwan Pabula, pengelola hotel berbintang di Kota Ambon. Masih adanya barikade di sejumlah ruas jalan sebagai penyekat antarkomunitas, pos-pos penjagaan, dan aparat keamanan yang berseliweran dengan senjata lengkap mengesankan ada "sesuatu" di Kota Ambon.

Imbasnya, citra itulah yang telanjur tertanam dan sulit dikembalikan dengan penegasan bahwa Ambon sudah aman untuk disinggahi.

Kembali ke Nita Tiakoly yang memesan rujak Natsepa. Nita sekadar representasi kecil bahwa konflik telah menjadikan warga Ambon sendiri tidak lagi mengenal wilayah mereka yang dulu bebas mereka singgahi. "Sudah lama sekali, mungkin lebih tiga tahun beta tidak rasa rujak Natsepa," kata Nita yang asli Maluku.

Membayangkan itu segera tergambar pula betapa akan lama membangkitkan kembali Natsepa. Lantas, akankah rujak Natsepa terlupakan, seiring dengan memburamnya industri pariwisata di Pulau Ambon dan Provinsi Maluku karena tidak kondusifnya keamanan? Semestinya, tidak ada yang berharap demikian. Banyak Nita lain yang ingin mencicip rujak Natsepa. Masih banyak Nita lain yang berharap kembali berwisata bebas di tanah mereka sendiri. (Sidik Pramono)

Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/unpatti67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044