The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Duka Gadis Korban Rayuan Oknum Tentara


SUARA PEMBARUAN DAILY, 10/7/2002

Pelacur dari Kamp Pengungsi (1)
Duka Gadis Korban Rayuan Oknum Tentara

Oleh Wartawan "Pembaruan" Eko B Harsono

SEORANG dara berambut ikal dan berkulit putih asyik bercengkerama dengan dua rekan sebayanya di pojok kedai makan dan minum yang terbuat dari bambu. Pondok itu dicat hijau, merah, dan biru. Dia mencoba menebar pesona dengan cara melempar senyum ke setiap pria yang datang menghampirinya.

Kedai itu tak ubahnya kebanyakan warung pojok. Pondok Kelapa, demikian anak muda menyebut tempat hiburan yang terletak di tengah Kota Ternate itu. Lokasinya berdampingan dengan bekas Gereja Ayam yang telah terbakar. Bekas gereja itu sekarang menjadi kamp pengungsi korban kerusuhan di Maluku. Di depannya terdapat Gereja Katolik Willy Bordus yang juga sudah hancur.

"Nama saya Henny, baru kali ini ya datang? Abang pasti bukan orang Ternate. Saya hafal setiap tamu yang ke sini," ujar dara itu sambil mengulurkan tangan.

Usai berkenalan, sang dara memesan guraka, sejenis minuman jahe panas. Dara manis yang mengaku berasal dari Jailolo itu mulai menunjukkan sikap manisnya dan mulai enak diajak bicara. "Kalau mau ngobrol lebih enak, torang (kita) keluar aja. Di belakang ada banyak kamar, sewanya murah, Rp 40.000. Tapi, sempit dan tidak cocok buat orang Jakarta seperti abang," katanya merayu.Henny mengaku masih berumur 23 tahun. Dia anak bungsu dari empat bersaudara. Rumahnya di Jailolo telah rata dengan tanah, karena dibakar orang saat kerusuhan.

Seorang kakaknya tewas dalam kerusuhan tersebut. Sekarang dia tinggal bersama ibunya yang sudah renta di kamp pengungsi Gereja Ayam.

"Saya terpaksa begini. Kalau tidak kerja mau makan apa torang sekeluarga. Ibu so (sudah) pasti tidak tahu, kakak juga kerja di sini jadi pelayan," katanya bersemangat.

Henny kemudian menawarkan tempat ngobrol yang lebih asyik. "Kita pindah ke Hotel Nirwana. Sampai pagi abang bisa kasih torang Rp 250.000," kata Henny.

Menurut Henny, dia terdampar di Pondok Kelapa karena sakit hati pada sang pacar. Pacarnya seorang tentara yang bertugas di Ternate tahun lalu. Mereka berpacaran sekitar lima bulan dan sang pacar telah berjanji menikahinya.

Terbuai rayuan sang pacar, Henny menyerahkan seluruh diri dan cintanya. Setelah mendapatkan segalanya, sang pacar pindah tugas kembali ke Jawa. Dia mencoba meminta pertanggungjawaban, namun sang pacar menolak dan mengatakan sudah tidak cinta lagi.

"Karena sakit hati dan merasa sudah ternodai, sekalian saja torang begini. Teman-teman dia masih banyak di sini, belum dipindah tugas. Untuk membalas dendam, sekalian saya kencani teman-temannya," katanya ketus.

Para pekerja seks yang mayoritas bermukim di kamp pengungsian memasang tarif rata-rata Rp 150.000 hingga Rp 200.000. "Tapi kalau torang suka sama abang dan bisa jadi teman, tidak usah bayar torang juga mau. Kalau orang dari Ternate sini mereka biasa bayar cuma Rp 75.000 sampai Rp 100.000. Semua tergantung pembicaraan torang dengan tamu," ungkapnya terus-terang.

Lain lagi kisah Siska (27), sahabat karib Henny yang juga tinggal di kamp pengungsian. Dia bekerja sebagai pelayan di tempat hiburan Taman Ria. Lokasinya di luar kota Ternate. Tempat itu bisa dicapai dengan ojek sepeda motor dari pusat kota. Ongkosnya cuma Rp 3.000.

Siska mengalami nasib lebih tragis ketimbang Henny. Dia mengaku telah dihamili sang pacar yang juga tentara. Ketika menuntut dinikahi, sang pacar pindah tugas ke lain pulau tanpa diketahui di mana keberadaannya. Dia telah menanyakan keberadaan ayah bayi yang dikandungnya, tetapi tidak ada yang tahu.

"Semula dia berjanji mengawini saya, tetapi setelah saya hamil dua bulan, dia menghilang," katanya lirih.

Siska mengaku tidak diberi tahu ke mana sang pacar pergi. Dia sempat frustrasi dan hampir bunuh diri. "Untung saya dapat dukungan dari teman-teman. Sekarang bayi saya hampir satu tahun umurnya," katanya lagi.

Untuk menghidupi sang bayi, Siska secara sembunyi-sembunyi bekerja sebagai pelayan di Taman Ria. Tempat itu tidak lain hanyalah sebuah pub dan tempat berkaraoke. Di tempat ini sering terjadi transaksi seks antara pengunjung dengan para pekerja seks yang mereka bawa dari pinggir Pantai Ria.

"Kalau jadi (transaksi) bisa pergunakan kamar hotel di sini, sewanya Rp 80.000. Perempuan di sini biasanya agak jual mahal," tutur Siska.

Para pekerja seks itu memasang tarif bervariasi. Pria dari Jawa atau dari luar Ternate, mereka kenai Rp 250.000 sampai Rp 400.000. "Itu masih bisa ditawar," jelas Siska lagi.

Lalu bagaimana dengan para pelayan di situ? Menurut Siska, sebagian di antara mereka juga bisa diajak kencan. Biasanya mereka harus bekerja dulu sampai pub dan karaoke tutup pada pukul 01.00 dini hari.

"Pelayan yang mau diajak kencan, biasanya tarifnya lebih murah. Asalkan abang baik-baik sama dorang (mereka)," katanya mengingatkan. *

----------
Last modified: 10/7/2002
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/unpatti67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044