![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Asal Mula Kehidupan Karya: Taman Budicipta |
||||||||
![]() |
||||||||
Seperti yang kita ketahui, Sang Buddha menanggapi pertanyaan sesuai dengan kematangan (baca: kebijaksanaan) si penanya. Dengan demikian, jawaban dari pertanyaan yang sama bisa bervariasi. Seseorang yang kurang waspada kadang akan menyimpulkan bahwa jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan, atau kadang hanya mengetahui satu jawaban saja dan alhasil kurang memahami makna keseluruhannya. Berikut adalah pemahaman kami tentang asal mula kehidupan. Dengan penjelasan dari berbagai aspek ini, kami mengharapkan agar pembaca dapat memetik makna (mengerti jelas) tanggapan dari pertanyaan seperti ini. [Sumber diberikan dengan harapan pembaca meneliti ulang sendiri ketepatan dari makna yang disampaikan.] Latar belakang yang diperlukan Untuk mengangkat beban yang berat diperlukanlah tenaga yang kuat. Begitu pula untuk memahami jawaban dari pertanyaan seperti ini, seseorang perlu kebijaksanaan yang mendalam. Seorang Buddhis kiranya perlu mengerti dulu apa itu Dhamma dan apa itu yang bukan Dhamma. 1. Dhamma bukanlah bersifat intelektual Kiranya kalau Dhamma bersifat intelektual, maka pertanyaan seperti ini akan ditanggapi langsung oleh Sang Buddha (baca di bawah). Umat Buddhis perlu menyadari bahwa Dhamma bukanlah paling sesuai untuk orang-orang pintar, tetapi sebenarnya paling sesuai untuk orang-orang bijaksana. Dan inilah satu contoh yang bagus dimana kita bisa melihat perbedaan dari kepandaian [intelek] dan kebijaksanaan. 2. Tujuan Dhamma Kiranya juga umat Buddhis seharusnya menyadari bahwa tujuan Dhamma bukanlah untuk dijadikan pemuas indera (baik itu indera intelek atau indera lainnya). Melainkan tujuannya adalah untuk melenyapkan penderitaan. Dengan mencamkan hal ini, maka seseorang akan lebih mengerti makna dari sabda Sang Buddha. 3. Dhamma seharusnya digunakan secara bijaksana Dan kiranya kalau saja seseorang menggunakan Dhamma secara tidak bijaksana, maka ia malahan akan sengsara. Contohnya, bila seseorang menggunakan ajaran Sang Buddha untuk berdebat (baik antar sesama Buddhis atau dengan umat lain), maka ia akan sengsara sedikitnya dalam 2 saat. Saat ini ia akan gelisah/khawatir dari akibat langsung dari perdebatannya. Di kemudian saat, ia akan lebih menderita lagi karena ia menyalah gunakan ajaran para Arya (orang suci). [Alagagadupama] 4. Dhamma tak bisa dipaksakan Ajaran Sang Buddha tidak bisa disamakan dengan ajaran lain dalam hal pemaksaan. Tak pernah dikenal adanya pemaksaan dalam sejarah pembabaran Dhamma oleh para Arya. Kita tak bisa mengharapkan semua orang akan mengerti ajaran para Arya. Bila kita berpikiran bahwa semua orang akan mengerti, maka kita seharusnya berkesimpulan juga bahwa di masa Sang Buddha, semua orang telah mengerti ajaran Beliau. Tetapi kenyataannya bukanlah demikian. Walau Sang Buddha selalu hidup dengan penuh belas kasihan (membabarkan Dhamma pada waktunya) dan adalah yang nomor satu dalam hal pembabaran Dhamma, tetapi tidak semua manusia yang hidup di jaman Sang Buddha mengerti makna dari ajaran Beliau [Gilana]. Walaupun benar bahwa Dhamma tak dapat dipaksakan, akan tetapi ini tak berarti sebagai Buddhis kita hanya bersifat pasif dan tak berusaha saling membantu sesama umat Buddhis untuk mengerti lebih jauh tentang ajaran Sang Buddha. Yang perlu dipahami tentang asal mula kehidupan Berikut adalah pemahaman kami dari "apa yang perlu dipamahami" tentang asal mula kehidupan. 1. Asal mula manusia Kalau yang dipertanyakan adalah asal mula manusia di bumi ini, maka seseorang dapat membaca penjelasan tentang hal ini di bawah. Perlu diketahui bahwa alasan Sang Buddha menceritakan hal ini adalah karena rasa belas kasihan Beliau terhadap Bhikkhu-bhikkhu yang berasal dari ras/kaum Brahmana yang dihina dan dicaci oleh kaum Brahmana sendiri (saat itu masyarakat India menganggap kaum Brahmana sebagai ras/kaum tertinggi dan Bhikkhu hanya sebagai kaum peminta-minta, sehingga kaum Brahamana yang menjadi Bhikkhu dihina habis-habisan oleh kaum Brahmana yang bukan pengikut Sang Buddha). Jadi hal ini diceritakan oleh Sang Buddha bukan sekedar untuk pemuasan terhadap rasa ingin tahu ataupun sebagai bahan perdebatan dengan umat lain. Hal ini diceritakan lebih kurang seperti berikut: Setelah bumi hancur, dalam jangka waktu yang lama, akan terbentuk lagi bumi yang baru. Ingat, bahwa susunan bintang-bintang di ruang angkasa mengikuti hukum astrofisik sehingga posisi mereka dipengaruhi satu sama lainnya. Akan ada kondisi yang sesuai lagi untuk terbentuknya bumi yang baru (jarak antara matahari dan bumi, komposisi materi bumi, dll). Bumi baru ini akan terlihat sangat indah dari kejauhan. Makhluk-makhluk yang memiliki kemampuan luar biasa (dari alam lain) akan terkesan melihat indahnya bumi dari kejauhan dan akan ada yang mendekatinya dan mencoba rasa manis yang diproduksi bumi (bagaikan proses pembentukan gula, fotosintesis, oleh tanaman). Karena terikat oleh rasa yang manis ini, mereka terus-menerus mencicipinya sampai-sampai tubuh mereka yang halus menjadi kasar (karena zat gula adalah zat padat, dan sebelumnya tubuh mereka bukan padat). Karena tubuh mereka menjadi padat, maka rupa mereka terlihat jauh lebih berbeda. Ada yang terbentuk menjadi lebih indah, ada yang terbentuk menjadi lebih jelek. Yang indah mengejek yang jelek, dan yang jelek mengucilkan diri. Dari proses inilah, terbentuk makhluk-makhluk di bumi. Dan karena moral mereka semakin menurun ini (keserakahan terhadap rasa manis dan pengejekan), maka gula yang diproduksi (tanaman) bumi semakin hari semakin kurang manis. Akan tetapi makhluk-makhluk ini telah terlanjur menjadi padat tubuhnya sehingga mereka kehilangan kemampuan mereka dan tak dapat lagi kembali ke asal mereka yang dahulu. Dan secara evolusi, terbentuklah kelamin. Dan mulailah terlihat adanya hubungan seks. Mereka yang berhubungan seks dikucilkan karena dianggap rendah. Moral semakin menurun. Dan usia manusia semakin lama semakin menurun. Begitulah penjelasan Sang Buddha tentang awal terbentuknya manusia di bumi. Sekali lagi, proses evolusi ini mengikuti hukum biokimia (walau tak dapat dikatakan sesuai dengan teori Darwin). Untuk keterangan lebih jauh, bacalah [Agganna]. 2. Topik yang salah Tidak semua topik diskusi itu bermanfaat. Bila seseorang tak bijaksana dalam memilih topik, maka pikirannya akan dikuasai oleh kerumitan dan hasilnya ia akan kehilangan ketenangan diri. Di diri orang yang tak tenang, tak akan terdapat pengertian yang jelas. Ini telah diumpamakan Sang Buddha: bagaikan orang yang tertusuk anak panah yang beracun, tetapi ia malahan bertanya sana sini tentang perihal anak panah yang beracun tersebut dan bukannya secepatnya mengobati lukanya yang mematikan. [Ingat, Dhamma bukan bersifat intelektual] Dan Sang Buddha juga pernah menekankan bahwa Beliau tak pernah menjanjikan pengikutNya tentang penjelasan/jawaban dari hal-hal yang seperti ini [karena topik-topik seperti ini bukanlah Dhamma] [Cula Malunkyovada]. Dalam banyak hal, Sang Buddha adalah bagaikan guru yang penuh kasih sayang yang membimbing dan menunjukan kepada kita, “Janganlah lalui jalan itu, tapi laluilah jalan yang ini...dst.” 3. Kebijaksanaan Anathapindika Ketika ditanya tentang hal-hal seperti, "apakah alam semesta ini terbatas atau tak terbatas," [asal mula alam semesta, dll] saudagar bijaksana dan kaya raya ini menjelaskan bahwa alam semesta terbatas atau tidak adalah suatu pandangan (konsep/ide/teori) yang mana kita ketahui bahwa konsep/ide/teori itu sendiri hanya bisa ada (keberadaannya tergantung pada) pikiran ini. Sedangkan kita juga telah mengetahui bahwa keberadaan pikiran ini sendiri tergantung pada hal-hal lainnya [pelajarilah Paticcasamupada]. Dan inilah yang perlu disadari dari hukum sebab akibat ini: Semua yang bersifat tergantung pada hal lain (tak stabil / tak kekal) adalah sendirinya sumber penderitaan. Mendengar jawaban yang luar biasa terhadap pertanyaan ini, Sang Buddha memuji saudagar ini sebagai pengikut Beliau yang bijaksana [Ditthi]. 4. Jadi apa asal mulanya? Yang jelas asal mula dari ide/konsep/teori adalah pikiran. Dalam arti, pikiran adalah sebagai pelopor terbentuknya ide-ide. Terbentuknya badan, pikiran, beserta unsur batiniah lainnya adalah tergantung pada kesadaran awal (kesadaran penghubung antar dua kehidupan). Munculnya kesadaran awal ini tergantung pada ketidakpahaman terhadap Dhamma. Singkatnya, awal mulanya adalah ketidakpahaman terhadap Dhamma. Oleh karena ketidakpahaman ini, maka makhluk akan terus menerus bertumimba lahir. Bila ketidakpahaman ini lenyap, maka lenyap jugalah kelahiran kembali. [Untuk detailnya, baca Paticcasamupada]. 5. Jadi apa kiranya awal dari segala awal? Secara spesifik, awal dari segala awal memang tidak dapat diketahui secara mendetail [Danda, Duggata]. Sang Buddha mengatakan bahwa ada 4 hal yang tak dapat diketahui secara mendetail [Acintita]: a. kemampuan seorang Buddha b. jangkauan Jhana seseorang c. detailnya hasil dari suatu perbuatan (kamma) d. awal dari segala awal 6. Apa sebenarnya yang patut untuk kita pahami? Ilusi bahwa adanya diri (aku) dan paham nihilistik (semuanya tidak ada / semuanya ilusi) adalah dua hal yang tak sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Seandainya saja seseorang benar-benar mengerti apa yang telah disabda berulang kali oleh Sang Buddha ini [Anattalakkhana], maka di dirinya akan dengan sendirinya muncul pemahaman yang benar tentang asal mula kehidupan, yang tak lain adalah kekeliruan tentang adanya kepuasan, keabadian, dan diri. Dengan tuntasnya kekeliruan ini, maka akan tuntaslah juga sumber pendorong/pembentuk unsur fisik dan batiniah ini (parinibbana). |
||||||||
![]() |