|
Terdapat dua ekstrim dalam hal ini. Yang pertama adalah sekelompok orang yang berpandangan: “Kalau bukan demikian, maka pasti salah. Hanya yang ini benar, yang lainnya salah.” Ini adalah pandangan ekstrim jenis pertama. Jenis orang seperti ini adalah tergolong orang yang super kolot, ekstrimis, yang umumnya kurang memiliki toleransi. Kesulitan yang akan ditempuh jenis orang pertama ini adalah ketenangan batin. Mereka cenderung akan sulit meraih batin yang tenang dan tentram, yang merupakan persyaratan dalam mencapai kebahagiaan dalam Dhamma.
Jenis ekstrim kedua adalah orang yang berpandangan, “Tak ada kebenaran dan kesalahan. Semuanya adalah sama saja.” Jenis orang kedua ini adalah orang yang super liberal, yang umumnya tak memiliki kepercayaan, yang skeptikal. Mereka cenderung akan sulit meraih kebijaksanaan yang mendalam, yang juga merupakan persyaratan dalam mencapai kebahagiaan dalam Dhamma. Mengerti bahaya dari kedua pandangan ekstrim ini, maka seorang Buddhis seharusnya menelusuri jalan tengah, yang terelak dari dua ekstrim yang berbahaya yang disebut di atas. Kalau kita meneliti ajaran Sang Buddha secara lebih mendalam (yakni, secara kwantitas kita mempelajari lebih banyak khotbah Beliau) dan secara lebih cermat (yakni, secara kwalitas kita mempelajariNya lebih teliti), maka kita akan mengetahui dengan jelas bahwa ajaran Sang Buddha adalah bersifat perlahan-lahan meningkatkan pemahaman kita (pandangan), kemudian meningkatkan perilaku kita (sila), dan setelah itu meningkatkan kwalitas pikiran kita (meraih kebijaksanaan dan ketenangan batin yang lebih tinggi tingkatnya), dan pada akhirnya menyuruh kita untuk melepaskan semuanya! Point yang ingin ditekankan di sini adalah kata “perlahan-lahan.” Banyak umat Buddhis yang begitu ingin mencapai tujuan akhir (Nibbana) sehingga mereka langsung tancap gas ke latihan meditasi tanpa mengerti secara jelas dulu apa yang akan diraih dari meditasi mereka dan apa peran meditasi dalam mecapai tujuan akhir tersebut. Mereka lebih memilih mengikuti ajaran seseorang yang terkenal dalam bidang meditasi, tanpa secara cermat dan teliti menganalisa metode yang diajarkan tersebut terdahulu. Tanpa ragu, kita dapat mengatakan bahwa “analisa Dhamma” adalah sesuatu yang harus dimiliki dan dikembangkan dalam diri seorang Buddhis. Analisa Dhamma adalah faktor kedua dari 7 faktor pencerahan, yang merupakan persyaratan utama yang telah disebut dan dijelaskan oleh Sang Buddha berkali-kali. Pandangan adalah sebagai landasan utama. Pandangan yang tak sejalan dengan Dhamma akan menghasilkan pikiran yang juga tak sejalan dengan Dhamma, kemudian menghasilkan perkataan dan perbuatan yang juga tak sejalan dengan Dhamma. Dalam hal ini, seorang Buddhis seharusnya mengutamakan pandangan mereka. Secara umum, Buddhis atau tidak bukanlah dinilai dari berapa kalung Buddha yang ia pakai atau dari organisasi apa yang ia ikuti, akan tetapi dari pandangannya terhadap hidup ini. Seseorang dapat meraih pandangan yang sesuai Dhamma dengan banyak cara. Semua hal ini juga telah dijelaskan oleh Sang Buddha, antara lain, rajin dan teliti mendengar ceramah Dhamma [Sutta pitaka], bergaul dengan mereka yang kita rasa memiliki pandangan Dhamma, sering merenungi dan menganalisa Dhamma [yang telah didengar/dibaca tersebut]. Maka kalau kita kembali ke topik pembahasan kita, “Benar dan salah, sejauh itukah saja?” tentu kita akan menarik kesimpulan bahwa Dhamma mengajarkan kita secara bertahap-tahap cara untuk menghindari hal-hal yang merugikan (yakni, hal-hal yang menjauhkan diri kita dari tujuan Dhamma), kemudian mengembangkan hal-hal yang meningkatkan kwalitas kita demi meraih ketenangan batin dan kebijaksanaan (keduanya adalah syarat kebahagiaan sejati dalam Dhamma). Dan dalam konteks ini, benar dan salah hanyalah berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing kita ke tujuan, dan bukanlah sesuatu yang mutlak (tak terkondisi). Yakni ia sendiri bukanlah tujuan, melainkan alat yang dipakai untuk mencapai tujuan. Dan pada akhirnya alat ini juga akan dilepaskannya. Contohnya bila seseorang terlalu terikat pada apa yang benar dan salah, dan tak mengerti tujuan yang lebih mendalam darinya, maka ia akan berdebat sengit dengan orang lain, “Yang ini benar, yang lainnya salah.” Dari pandangan ini, maka kebencian akan muncul. Sebagai Buddhis yang terpelajar, kita dapat menyimpulkan tanpa keraguan bahwa, “Apapun yang menghasilkan kebencian adalah dengan sendirinya tak sesuai dengan Dhamma.” Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan ekstrim seperti ini adalah tak sejalan dengan Dhamma. Contoh lain adalah dalam hal Vinaya, peraturan kebhikkhuan. Bila memang Vinaya dianggap mutlak, maka tak mungkin Sang Buddha mengizinkan Sangha untuk merubah peraturan-peraturan kecil sebelum parinibbana Beliau. Akan tetapi karena Beliau mengerti bahwa peraturan-peraturan kecil (bukan yang besar) ini adalah tergantung pada situasi dan kondisi (zaman), maka Sang Buddha menyampaikan pesan ini kepada Bhante Ananda. Dan bila memang semuanya hanya dapat ditinjau dari benar dan salah saja (mutlak dan tak terkondisi), maka juga tak mungkin peraturan-peraturan di Vinaya dikategorikan ke peraturan-peraturan utama (pelanggaran berat), menengah, kecil, dst. Akan lebih tepat bila tak dikategorikan sama sekali karena pelanggaran kecil tetap adalah pelanggaran. Tetapi bukanlah demikian. Peraturan ini dibuat sebagai alat pembantu dalam mencapai ketenangan batin dan kebijaksanaan, yang keduanya melampui tingkat keduniawian/awam. Jadi dalam hal ini, kita seharusnya memiliki pandangan yang sesuai dengan Dhamma, yang dapat melihat langsung pandangan-pandangan dangkal yang ekstrim tersebut, dan setelah itu melenyapkan pandangan-pandangan ekstrim tersebut dari diri kita. |
|