Kita Bunuhkah Mereka?
Sumber: Taman Budicipta
Pertanyaan Gunawan:

Seorang ayah atau ibu yang anaknya cacingan.   Apakah ayah atau ibu itu sebaiknya tetap membiarkan cacing-cacing itu terus berkembang biak di dalam perut anaknya dan menggerogoti tubuh anak itu, demi kebahagiaan cacing-cacing ?

Atau apakah ayah atau ibu itu sebaiknya memberikan obat cacingan kepada anaknya, diminumkan, kemudian obat itu membunuh cacing-cacing di dalam perut anak itu, sehingga anaknya sehat kembali, demi kebahagiaan sang anak ?

Berikut adalah artikel tanya jawab dengan Bhante Uttamo yang membahas kasus semacam ini:

Dalam pengertian Buddhis, membunuh apapun alasannya adalah tetap membunuh yang merupakan pelanggaran sila pertama.  Namun, semakin seseorang terpaksa melakukan pembunuhan, kamma buruk yang diterimanya semakin berkurang.  Jadi, perbedaannya kualitas pembunuhan ini adalah pada niat yang dimiliki si pelaku, bukan pada proses pembunuhannya.

Pembunuhan mahluk dengan alasan melepaskan penderitaan adalah merupakan alasan yang dibuat oleh si pelaku sendiri, sedangkan untuk si mahluk, belum tentu menerimanya.  Jadi, kalaupun ada mahluk yang menderita hendaknya orang tetap merawat, mengobati dan menjaganya sampai ia meninggal sendiri.  Penderitaan yang dialaminya adalah merupakan buah kamma yang ia harus terima dalam kehidupan ini.

Membunuh dengan dalih melepaskan penderitaan makhluk lain tetap merupakan perbuatan membunuh yang melanggar sila pertama.  Semua syarat pembunuhan terpenuhi yaitu adanya makhluk hidup, kita tahu makhluk itu hidup, ada niat untuk mengakhiri kehidupannya, ada langkah untuk membunuh, dan makhluk itu mati.  Jadi, pada saat itu kita telah melakukan pembunuhan.

Kalau pembunuhan itu dilakukan dengan landasan pikiran kasihan pada makhluk tersebut yang sedang menderita, maka pikiran kasihan ( karuna ) itu adalah pikiran yang baik.  Kita ingin makhluk itu bebas dari penderitaan.

Jadi, dalam peristiwa ini, kita berbuat dua kamma berbarengan, yaitu kamma pikiran yang welas asih ( ingin membuat makhluk lain tidak menderita ) dan juga kamma perbuatan membunuh.  Kamma mana yang berbuah lebih dulu, mana yang lebih besar akibatnya, tergantung pada kekuatan kamma itu sendiri.  Tentu saja, pembunuhan dalam kasus ini tidak seberat kamma membunuh yang dilandasi oleh kebencian / kemarahan.

Semoga bermanfaat.

Salam metta,
B. Uttamo
30 Januari 2004


Jawaban Andromeda:

Wah kalau sudah menyangkut-nyangkut cacing, rumit deh. <ketawa> Sebenarnya dalam sila pertama, tak pernah disebutkan "dilarang membunuh" akan tetapi "kami berjanji untuk berusaha untuk menghindari pembunuhan dan penganiyaan terhadap makhluk hidup." 

Di samsara (kelahiran tumimba lahir yang tak habis-habisnya ini), kita akan mengalami banyak situasi dan kondisi dimana kadang kita harus mengambil pilihan, seperti misalnya kasus cacing tadi.

Saya tak tahu pasti apakah ada cara untuk mengeluarkan cacing dari perut tanpa membunuh mereka (salah satu adalah pembedahan; atau makan obat tradisional yang mampu memaksa mereka keluar tanpa terbunuh).  Cara-cara ini seharusnya dipikirkan oleh seorang buddhis. 

Seperti yang dikatakan Bhante Uttamo, pembunuhan yang didasarkan kehendak (cetena) tetap akan menghasilkan buah kamma.  Beratnya hasil kamma tersebut tergantung cetena. 

Jadi sebagai seorang buddhis, kita harus menyadari bahwa samsara ini adalah tempat yang sangat berbahaya.  Mending kalau kita disajikan pilihan: obat cacing atau kesehatan anak.  Kalau disajikan menu yang lebih pedas gimana?  Makanya kita harus tetap melatih Dhamma dan memupuk kamma baik.

Melatih Dhamma berguna karena sewaktu kita mengalami dilema, kita mampu mengambil jalan terbaik yang ada.  Memupuk kamma baik juga berguna karena kamma baik yang banyak akan melemahkan kamma buruk yang ada.  Dan moga-moga dengan banyaknya Dhamma dan kamma baik, kita akan segera terlepas dari penderitaan samsara ini (Nibbana).

Bagaimana menurut kalian?


Pertanyaan lanjut dari Gunawan:

Ngomong-ngomong soal menu yang lebih pedas, saya pernah mengalami situasinya.  Saya masih ingat, waktu itu tanggal 13 Mei 1998 malam antara jam 19.00 - 03.00 dini hari.  Saya dan isteri saya menyiapkan segala macam benda yang dapat dijadikan senjata.  Saya mencoba mengeraskan hati saya dan isteri saya.  Kalau pun para perusuh itu sampe juga ke rumah saya, saya dan isteri saya akan melawan, apa pun yang terjadi.  Kalo perlu, mati sama-sama dengan para perusuh.

Memang, waktu itu saya dan isteri saya belum tau sama sekali tentang ajaran Buddha.  Tapi, seandainya sudah, kaya'nya sikap kami akan tetap begitu.

Habis, mau apa lagi ?  Diam saja ?

Jadi, bagaimana sebaiknya ?  Thanks anyway.


Jawaban Andromeda:

Wah yang cacing kemarin rumit, yang ini rumit dan benar-benar pedas.  Kemarin saya baru coba mikirin sebuah contoh yang pedas dan kebetulan contohnya hampir sama seperti yang ditulis Ko Gunawan di atas.

Tentang masalah 13 Mei 1998 itu, sebenarnya saya bukan orang yang cocok ditanya soalnya saya sudah tak begitu mengetahui keadaan Indonesia.  Mungkin yang lain bisa memberikan saran?

Tetapi kita harus selalu ingat bahwa tujuan ajaran Sang Buddha adalah untuk melenyapkan penderitaan hidup dengan jalan mengurangi lobha, dosa, moha di diri kita.  Dan menurut hukum kamma, kalau memang sudah kamma buruk kita untuk menjadi target 13 Mei, maka kita tak akan bisa mengelaknya (baca: tetap harus berusaha untuk melindungi diri, bukan sekedar pasif doang, karena kita tak tahu apakah kita itu target atau bukan). 

Yang berkeluarga tentunya terikat dengan keluarganya (anak dan isteri).  Dan juga ia berkewajiban melindungi keluarganya dalam bahaya.  Menurutku (nih sudah menuju ke pendapat pribadi), sebaiknya kalau bisa, kita mencari tempat bersembunyi yang paling aman.  Dikatakan bahwa sewaktu nanti usia manusia hanya ~10 tahun (umur ~3 tahun manusia sudah dewasa) dan moral manusia sudah hancur-hancuran dan saling bunuh membunuh, orang yang bermoral akan bersembunyi di hutan-hutan menghindari perbuatan saling bunuh membunuh itu.  Nah sampai semuanya terbunuh, barulah orang-orang baik ini keluar dari tempat persembunyiaan mereka.  Dan mulai saat itulah umur manusia pelan-pelan meningkat lagi ke ribuan tahun panjangnya.  Jadi dari cerita singkat ini, rasanya salah satu jalan terbaik adalah bersembunyi diri. 

Nah adapun jalan lain adalah dengan memakai kecerdasan, yakni mencari berbagai cara untuk menghindari diri menjadi korban.  Misalnya menghitamkan kulit kita dengan arang dan beraksi seperti non-chinese.  Ide gile!  Yah maklumlah, sudah lama ngak disana jadi kelupaan gimana.

Singkatnya pembunuhan dan penganiyaan itu seharusnya diusahakan untuk dihindari sedapat mungkin.  Dan yang paling penting itu yakni setiap saat pikiran kita juga harus diusahakan terhindar dari lobha, dosa, dan moha. Kalau memang kita sudah merasa akan dibunuh, fokuskanlah pikiran kita ke Dhamma (metta--susah utk situasi ini tapi bukannya tak mungkin; kwalitas suci TiRatana; kemurnian sila kita--kalau lumayan bagus, kalau tidak jangan deh; atau lebih bagus lagi bagi yang telah sering melatihnya, yakni merenungkan ketidakkekalan jiwa). 

Nah inilah yang kusebut bahayanya samsara!  Karena kita tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri kita, bukan?  Makanya rajin-rajinlah kita melatih Dhamma.  Karena pikiran sebelum meninggal itu akan sangat mempengaruhi tujuan hidup kita selanjutnya.  Jadi kita harus selalu bersiap diri.

Inilah pendapatku.  Kalau ada yang kurang tepat atau ada tambahan, silahkan dibagi-bagi.


Pertanyaan lanjut dari Herdi:


Memang sungguh sulit jikalau kita diharuskan untuk memilih dalam situasi dan keadaan yang sangat mendesak untuk melakukan pembunuhan terhadap makhluk lain dengan kondisi terpaksa harus melakukan itu.

Seperti Bro Gunawan yang telah bercerita mengenai pengalaman pribadi pada tragedi Mei yang sangat mengerikan tersebut dan memang pengalaman saya pribadi tidaklah seseru Bro Gunawan dan seperti yang telah dikatakan bahwa kita sebagai insan Buddhis diwajibkan untuk melatih sedikitnya lima latihan kemoralan (sila) yang mana salah satunya adalah menghindari pembunuhan, tetapi kadangkala dalam situasi tertentu hal tersebut kemudian menjadi suatu dilema bagi diri kita, sebagai suatu contoh dalam tragedi Mei tersebut banyak sekali menimbulkan korban, entah itu sengaja dibunuh, ataupun terbunuh, dan untunglah saat hari kerusuhan tersebut saya sedang cuti, tapi sempat panik juga melihat asap bertebaran di sekeliling daerah rumah saya, saat itu apapun diambil dan saya pribadi mendapatkan balok kayu ranjang untuk mempertahankan diri, kamma baik memang masih berpihak pada saya sehingga daerah rumah saya terhindar dari kerusuhan, mungkin sudah keburu dihalau di depan pintu masuk komplek, tetapi rasa takut dan cemas masih menyelimuti selama beberapa hari karena kami tidak bisa tidur karena harus selalu siaga siang malam, setiap kali ada kentongan pada tiang listrik, itu menjadi tanda buat kami agar bersiaga dan siap bertahan ataupun melawan dengan peperangan........

Saya pribadi juga ingin menanyakan pula yang mungkin agak mirip dengan Bro Gunawan, yakni apabila ada seseorang yang berniat jahat ingin membunuh kita, katakanlah bahwa pada saat itu mereka menyerang kami?  apakah yang harus kita lakukan ? menghindar ? kalau bisa menghindar...tetapi setelah itu kemudian kita terjepit..... dan yang jelas2 kita tau orang tersebut tidak ingin yang lainnya selain dari niatnya  ingin menghabisi kita, perlukah kita melawan ? duel ? atau gimana ? sebab saya pernah mendengar ceramah yang mengatakan bahwa kita harus melawan dan jangan pasrah terhadap segala sesuatu yang menimpa diri kita (aktif yah bro Andro?), karena menurutnya yang berlaku saat itu adalah azas manfaat.......diri kita ataukah lawan yang lebih berharga ?

Mudah2an rekan yang lain dapat memberikan jawaban yang bijak untuk hal ini.

Terima kasih atas adanya bincang2 Dhamma yang sangat bermanfaat ini.


Jawaban Musin:


Saya tergerak untuk memberi sedikit pandangan saya yang mungkin sempit mengenai hal ini, terutama sesudah membaca peristiwa yg menimpa ko Gunawan dalam peristiwa Mei 98. Saya sendiri waktu itu ikut mengalami suasana mencekam yang menyelimuti Jakarta waktu itu. Walaupun waktu itu saya belum menikah dan masih hidup sendiri di sebuah apartemen di pusat Jakarta, saya dapat merasakan kepanikan yang melanda kaum non-pri yang menjadi sasaran.

Dilihat dari sisi Dhamma, semua yang diutarakan bro Andromeda dan Bhante Utamo adalah benar adanya.....sebab Dhamma adalah kebenaran mutlak yang berlaku universal tanpa pandang bulu.

Ditilik dari sisi manusia biasa seperti kita2 ini yang masih belum mencapai kesempurnaan, maka pembelaan diri adalah 'natural'.

Pembelaan diri atau sanak keluarga dalam kondisi terdesak sehingga harus membunuh atau melukai makhluk menurut pendapat saya adalah otomatis muncul dalam situasi tertentu sehingga walaupun itu melanggar hukum universal tapi secara kualitas adalah tidak seperti membunuh atau melukai makhluk yang didasari oleh cetena yang bersifat akusala (tidak baik) sebab pembelaan diri dalam keadaan yang amat terdesak tidaklah kita rencanakan bukan? Jadi konsekwensi dari perbuatan kita dalam pembelaan itu tetap kita akan terima dalam kadar tertentu dikemudian hari.

Tapi bekerjanya suatu kamma amatlah pelik adanya sehingga hanya seorang Sammasambuddha lah yang sanggup untuk menjelaskannya, sehingga ada kemungkinan kamma yang dilakukan oleh seseorang itu tidak berimbas ke dirinya 1:1. Bagaimanakah hal ini mungkin? Jelas mungkin......saya rasa teman2 se Dhamma telah berulang kali mendengar perumpamaan air dan garam. Garam yang jumlahnya satu sendok jika dimasukkan hanya kedalam segelas air, maka air itu amat ga karuan rasanya. Tapi jika sesendok garam itu dimasukkan ke dalam air katakanlah satu bak mandi, apakah orang tersebut masih akan merasakan asinnya air tersebut jika diminum? Jelas tidak. Demikianlah kamma yang dilakukan walaupun kadar beratnya sama tapi jika dilakukan oleh dua makhluk yang berbeda kualitas kebijaksanaannya (banyaknya air) maka kamma itupun akan berefek berbeda.

Ingat kisah Y.M Mahamoggalana bagaimana Beliau meninggal dengan cara yang mengenaskan?  (akibat tumpukan akusala kamma Beliau dikehidupan2 yang lampau).  Mengenaskan dipandang dari orang yang belum mencapai kebijaksanaan seperti Beliau. Tapi bagi Beliau sendiri hal itu tidaklah berefek apa2 alias hambar......karena Beliau telah merealisasi Nibbana, telah mencapai kesempurnaan tertinggi, sehingga sebanyak apapun garam yang dituangkan di sungai, sungai itu tidak akan terasa asin (kira2 maksud saya air tawar yang maha luas).

Seperti yang bro Andro utarakan, sila pertama adalah ungkapan suatu tekad untuk tidak melakukan pembunuhan atau penyiksaan terhadap makhluk hidup.

Jadi benarlah bahwa
samsara ini amat berbahaya bagi kita, karena kita tidak bisa tahu kita terlahir dalam kondisi seperti apa dan bahaya2 apa yang akan datang menjemput kita. Tapi saya setuju dengan usaha kita untuk menghindari pembunuhan selagi kita masih mampu, karena disinilah kita bisa melatih metta kita yang akan membawa kita tujuan akhir. Banyak cara untuk menghindari pembunuhan2 tersebut.

Saya sendiri memakai patokan seperti berikut :

- nyamuk.....ini amat susah. Tapi saya memilih untuk tinggal 65 km jauhnya dari Jakarta untuk mencari tempat yang sedikit nyamuknya. Saya harus berkorban utk bangun pagi dan pulang malam setiap harinya karena perjalanan yang jauh tersebut dari tempat kerja saya yang di Jakarta. Sebelumnya saya tinggal di apartemen tingkat 21 di Jakarta untuk menghidari hal yang sama......gangguan nyamuk...hehehehe

- semut, kecoa, lalat.....Cobalah berpikir, lahan yang kita tempati sekarang sebagai rumah kita itu, dulunya apa?? Tanah bukan? Semut sudah duluan hidup disana, jadi kalo mereka sampai nyasar ke rumah kita harus kita maklumi bukan? Jadi, seandainya ada semut nyasar...ya kita bisa 'pindahkan' mereka keluar rumah. Datang lagi? Ya pindahkan lagi.....Semua ini akan meringankan kita jika kebersihan rumah tetap terpelihara. Prinsipnya, ada yang nyasar masuk, kita pindahkan. Kecoa cari makan dari sampah dll, bersihkan sampah dari rumah. Mereka hanya cari makan kok...seperti kita juga bukan?  Saya sebenarnya jijik dengan kecoa, tapi krn saya pantang membunuh saya terpaksa memberanikan diri untuk menangkap kecoa itu dgn bantuan kertas atau tissue lalu membuangnya keluar rumah. Juga lalat....mereka ada karena didekatnya pasti ada sumbernya...yaitu sampah atau tempat yang jorok. Disitulah kita harus fokus.Jangan terburu2 ambil obat nyamuk lalu ceesssss......

Oh ya, adalagi cara saya dalam mengembangkan hal ini.....saya yakin bahwa kita pun pernah menjadi makhluk2 seperti itu, atau salah satu sanak saudara kita yang kita cintai. Sulit memang dalam menerapkan sila pertama, tapi jika kita bertekad, maka semua itu adalah mungkin.
Pengorbanan adalah mutlak dalam hal ini.

Kembali lagi ke peristiwa Mei 98. Saya setuju dgn bro Andro yang mengatakan jika tumpukan kamma kita sudah matang sehingga kita harus menjadi korban dari peristiwa itu, tidak ada yang bisa mengelak.

Betul, kita harus berusaha semaksimal mungkin dalam menerapkan Dhamma dalam hidup ini, inilah kesempatan emas bagi kita. Untuk itu lihatlah kemungkinan2 lain yang bisa kita lakukan untuk menghindari pelanggaran sila2. Disertai oleh panna (kebijaksanaan) maka semua itu adalah mungkin! Ingat.....hidup ini adalah bukan yang pertama bagi kita dan bukan yang terakhir, manfaatkanlah sebaik2nya. Samsara adalah amat berbahaya........

Semoga semua makhluk berbahagia, semoga semua makhluk mencapai Nibbana .. Sadhu! Sadhu! Sadhu!


Jawaban Anggriani:

Rekan2 milis yang berbahagia,

Seperti yg ditulis oleh rekan Herdi, sungguh sulit jika kita harus memilih tindakan apa yg harus diambil jika kita dalam keadaan yg amat sangat terdesak, misalnya seperti yg ditanya oleh rekan Herdi, ada yg berniat jahat, ingin membunuh kita.

Menurut pendapat saya, sila pertama itu mempunyai batasan yg jelas, apa yg dimaksud dengan membunuh.  Adanya objek, mengetahui bhw objek itu hidup, kemudian adanya niat/keinginan utk membunuh objek tersebut, adanya tindakan (dalam hal ini membunuh obyek tersebut), dan akhirnya objek tersebut mati/meninggal.  Seandainya kita diserang oleh orang yg berniat membunuh kita, kemudian kita mempertahankan diri, melawan sekuat tenaga, dan pada akhirnya orang tersebut mati ditangan kita, apakah kita membunuhnya??

Ya. Tapi apa yg ada dalam pikiran kita ketika kita melakukan hal tersebut, bukanlah niat utk membunuhnya, kita memperthankan diri. Kalo ditanya tentang karmanya, saya kurang mengerti hehe...

Menurut pendapat saya, niat/kehendak itu berperan penting. Lain masalahnya kalo dari pertama, ketika kita tahu ada yg berniat "menghabisi" kita, kita juga berniat membalas.

Begitu pendapat saya, kalo ada yg salah, mohon diluruskan ya??? Maaf kalo ada salah2 kata

Salam Metta,
Feifei (Anggriani)


Jawaban Andromeda:

Ko Herdi,

Saya tak berhak mengatakan, "Tak boleh membunuh" dalam hal ini.  Karena kita tak boleh memaksa kehendak orang, apalagi kalau sudah menuju ke perlindungan terhadap keluarga mereka.  Saya juga tak bisa mengatakan "Bunuh saja" karena itu tak berdasarkan Dhamma lho. 

Yang saya bisa sarankan, "usahakanlah sedapat mungkin utk  tak membunuh.  Kalau kita bunuh, kita akan menerima kamma buruk yang tergantung pada pikiran apa yang ada di benak kita.  Kalau kita tak bunuh, kita harus yakin bahwa kita telah berusaha sedapat mungkin melindungi keluarga kita."

Ingat, sila pertama tak mengatakan "dilarang membunuh."  Sila adalah, spt yg dikatakan Ko Musin, itikad/janji untuk melatih diri.  Seseorang yg memiliki Dhamma yg tinggi, tak akan susah baginya untuk melaksanakan sila dalam kehidupan sehari2nya karena itu telah menjadi kebiasaannya (mengakar di dirinya)--ini ditujukan pada aryan. 

Mettacittena,