|
Seorang umat bertanya kepada bhikkhu Samahita penyebab dari kebodohan mental & cacad mental. Bhikkhu Samahita menjelaskan bahwa penyebab dari kebodohan mental adalah penghinaan terhadap makhluk-makhluk suci ataupun makhluk-makhluk yang tak bersalah. Penyebab dari cacad mental hampir sama, hanya intensitas perbuatan jahat tersebut lebih kuat. Siapakah yang mampu melihat jelas kemurnian seseorang? Tanpa mengetahui jelas kemurnian seseorang, mereka yang bodoh menghina dan mencaci orang tersebut, dan kelak akan menderita panjang atas perbuatan mereka ini.
Pertanyaan:
Ketika saya membaca e-mail ini, saya sempat tertegun. Beberapa kali saya membaca e-mail ini dan saya memutuskan untuk bertanya. Saya memiliki saudara ipar yang cacat mental. Setahu saya, cacat mental tersebut disebabkan karena keturunan, ibu mertua saya beserta beberapa saudara perempuannya merupakan carier gen tersebut. Dan memang setiap saudara perempuan ibu mertua saya memiliki satu anak yang cacat mental. Dari penjelasan di atas, saya ingin tahu apakah juga dijelaskan oleh Bhikku Samahita tentang kondisi ibu yang merupakan carier ? Dari pelajaran biologi waktu saya SMA, sebagai carier maka peluang untuk mendapatkan anak cacat mental adalah 50%. Apakah itu berarti si ibu juga memiliki kesalahan yang sama di masa lampau ? Mohon penjelasan dan bimbingannya. Terima kasih.
Jawaban:
Bila ditinjau dari segi biologi, maka penyakit mental yang disebut di atas tersebut mungkin adalah "X-link" yang artinya gen yang menyebabkan penyakit mental tersebut berada di chromosome X (wanita memiliki XX sedang pria memiliki XY). Ini adalah kesimpulan yang diambil dari family tree (pedigree) yang diberikan. Umumnya 50% dari anak laki-laki dari ibu yang carier mendapat penyakit tersebut. Anak-anak perempuan dari ibu carrier tersebut biasanya gak mendapat penyakit tersebut. Untuk memastikannya, pedigree yang lebih lengkap harus diperoleh terlebih dahulu. Bila ditinjau dari Buddhism, maka seperti yang dijelaskan Bhante, kemungkinan adalah dulunya mereka pernah menghina orang-orang yang tak bersalah (terutama orang-orang yang luhur batinnya). Dan mungkin juga mereka sekeluarga pernah menghina orang yang tak bersalah tersebut secara bersamaan; dan karena ikatan mereka yang kuat ini, mereka dilahirkan kembali di keluarga/famili yang sama. Ini adalah umum, karena sering kali orang-orang yang dekat dengan kita akan dilahirkan lagi di keluarga/lingkungan kita kelak. Walau terlihat biologi & Buddhism menjawab pertanyaan yang sama secara cukup berbeda, tetapi sebenarnya bukanlah demikian. Biologi menjelaskannya dari segi proses materi, bagaimana materi (gen/DNA) menghasilkan akibat yang nampak (phenotype). Sedangkan Buddhism lebih memilih menjelaskannya dari segi "pikiran/niat/kehendak" (cetana) sebagai alasan mengapa sesuatu itu terjadi. Seseorang hanya bisa mendapatkan gen yang buruk setelah ia menanam kamma buruk di kehidupan lampau. Ia tak mungkin mendapat gen yang buruk tanpa melakukan kamma buruk terdahulu. Jadi setelah melakukan perbuatan buruk tersebut di kehidupan lampau, ia perlu dilahirkan di keluarga yang carrier untuk mendapatkan gen tersebut (ini adalah kondisi yang diperlukan supaya hasil kamma tersebut dapat berbuah). Jadi terlihat bahwa jalan kerja hukum kamma sangatlah kompleks, tergantung situasi/kondisi, dll. Bila kondisi tepat, maka kamma tersebut berbuah dan ia menerima hasilnya. Bila kondisinya belum tepat, kamma tersebut tak dapat berbuah (latent) tetapi si-pemilik akan menerima hasilnya bila kondisinya sudah tepat. Dalam Buddhism, seorang anak tak boleh menyalahkan orang tuanya (ibu yang carrier) karena masing-masing individu menerima hasil kamma mereka masing-masing. Karena sesungguhnya DNA/gen itu adalah materi yang kita peroleh berdasarkan kamma lampau kita. Orang tua kita hanyalah sebagai sumber materi DNA/gen tetapi mereka tak menentukan DNA/gen mana yang akan kita peroleh. Tak heran bila seorang Buddha memiliki ciri-ciri agung fisik yang luar biasa dikarenakan semua kwalitas baik yang telah ia kembangkan selama jangka waktu yang tak terhitung lamanya. Menjawab pertanyaan selanjutnya, ibu carrier tak memiliki kamma buruk yang sama seperti anaknya karena ia tak cacad mental. Di sisi lain, ia menerima hasil kamma buruk karena ia mendapat anak yang cacad mental. Terlihat di sini, sekali lagi, bahwa anak dan ibu mempunyai ikatan kamma yang kuat, karena kedua-duanya menderita. Sangat sering sekali bila hal ini terjadi (tapi tak harus 100%), ibu dan anak tersebut dulunya melakukan perbuatan jahat bersama-sama, cuman mungkin perbuatan jahat si ibu tak separah punya si anak. Dan sekali lagi masing-masing individu menerima hasil dari perbuatan mereka masing-masing, dan tak dapat dikatakan gara-gara ibu, anak menderita; atau gara-gara anak, ibu menderita. Hanya pelaku perbuatan menerima hasil perbuatan tersebut dan bukan orang lain. Dalam hal ini, hasil perbuatan si ibu dan anak berbuah dalam waktu yang sama walau dengan intensitas yang berbeda. Semoga cara kerja hukum kamma ini dijelaskan dengan cukup jelas. |
|