Pandai-pandailah mencari guru
Karya: Taman Budicipta
Kebanyakan umat Buddhis mempelajari ajaran Sang Buddha melalui tokoh-tokoh Buddhis.  Tokoh-tokoh Buddhis termasuk para Bhikkhu dan umat awam yang mendalami ajaran Sang Buddha.  Dalam ajaran Sang Buddha pantas tidaknya seseorang mengajari Dhamma bukanlah dilihat dari statusnya (bhikkhu atau tidak), melainkan dari pengertiannya terhadap ajaran Sang Buddha.  Contoh yang sangat bagus adalah Citta, seorang perumah tangga.  Cukup banyak isi Sutta Pitaka yang menyebutkan beberapa bhikkhu yang mempelajari Dhamma dari Citta.  Di Sutta Pitaka juga disebutkan adanya beberapa bhikkhu yang mencela Citta.  Sang Buddha menegor para bhikkhu tersebut dengan mengatakan, “O bhikkhu, bagaimanakah pantas seorang bhikkhu mencela umat awam seperti Citta ini?”  Seperti yang kita ketahui, Sang Buddha menjadikan Bhante Sariputta dan Maha Moggalana sebagai standard tertinggi untuk para bhikkhu.  Sang Buddha berkata, “O bhikkhu, engkau seharusnya menjalani kehidupan kebhikkhuan ini selayaknya Sariputta dan Maha Moggalana...”  Standard yang sama diberikan juga oleh Sang Buddha kepada umat awam.  Citta adalah standard tertinggi tersebut.  Maka jelaslah dalam ajaran Sang Buddha bukan status seseorang yang terpenting, akan tetapi Dhamma yang ia pahami dan telusurilah yang lebih penting. 

Jadi setelah kita menyadari kenyataan yang penting tersebut, marilah kita kembali ke topik pembahasan kita.  Bagaimanakah kita memilih seorang guru?  Sang Buddha berkata, “Tidaklah mungkin bagi mereka yang tidak bijaksana untuk mengetahui mereka yang bijaksana; tetapi mungkin bagi mereka yang bijaksana untuk mengetahui mereka yang tidak bijaksana.”  Arti dari ucapan Sang Buddha: sulit bagi kita untuk mengetahui siapa yang benar-benar memiliki pemahaman yang benar terhadap ajaran Sang Buddha sebelum kita memahaminya sendiri terlebih dahulu.  Jadi tidaklah heran banyak umat Buddhis yang mengalami banyak kesulitan mencari seorang guru.  Umumnya apa yang dicari mereka adalah:

1)  kepopuleran: semakin populer bhikkhunya semakin disukai
2)  kesenioran: semakin senior bhikkhunya semakin disukai
3)  sanda gurau: semakin pandai bersanda gurau bhikkhunya semakin disukai
4)  meditasi: semakin banyak ajaran meditasinya semakin disukai
5)  aliran/tradisi: kalau bhikkhunya sealiran maka disukai

Point-point di atas akan dibahas satu per satu dengan harapan kita dapat lebih jeli memilih seorang guru.  Penjelasan ini tidaklah bermaksud untuk memojoki bhikkhu-bhikkhu atau umat awam tertentu, tetapi sebenarnya bersifat general.


Kepopuleran

Ini boleh dikatakan sifat universal.  Kalau seorang bhikkhu yang populer datang memberikan ceramah, tempat tersebut menjadi padat; semua pada berbondong-bondong pergi.  Yang perlu disadari adalah seorang yang populer belum tentu lebih bagus dibanding seorang yang tidak populer.  Kadang kepopuleran malahan menurunkan kwalitas seseorang.  Bagaimanakah bisa?  Manusia umumnya menyukai kesenangan duniawi dan tak menyukai sesuatu yang mengajarkan hal-hal yang tak berhubungan dengan kesenangan duniawi.  Oleh karenanya, seseorang bisa sedikit mengubah apa yang diajarinya sehingga ajarannya akan menjadi lebih disukai orang banyak, yakni apa yang diajarinya akan menjadi kurang berhubungan dengan sesuatu yang diluar kesenangan duniawi.  Kadang hal ini tak disadari dirinya sendiri, kadang disadari.  Inilah bahayanya kepopuleran.  Sang Buddha berkata, “Dhamma ini adalah untuk ia yang suka hidup hening, bukan untuk ia yang suka kepopuleran.”  Tentunya apa yang dimaksudkan di sini adalah seorang yang populer belum tentu bagus, tetapi seorang yang populer belum tentu tak bagus.  Singkat kata: janganlah kita menjadikan kepopuleran sebagai faktor dalam usaha kita mencari seorang guru.


Kesenioran

Kembali kita seharusnya mengingat kata-kata Sang Buddha: “Di saat mendatang akan terdapat bhikkhu-bhikkhu senior, populer, yang banyak pengikutnya;  ketika ditanyai hal-hal yang memiliki makna yang mendalam--tanpa disadari--mereka terjatuh ke dalam pandangan gelap.”  Saat ini ajaran Sang Buddha telah berusia 2.500 tahun.  Sulit dibantah seandainya ucapan Sang Buddha ini sudah berlaku untuk saat ini.  Ini bukan berarti kita seharusnya tidak menghormati kesenioran.  Seharusnyalah kita menghormati mereka yang lebih senior dari kita.  Akan tetapi kita tak seharusnya menerima 100% perkataan mereka karena seharusnyalah kita lebih menghormati Dhamma daripada kesenioran seorang bhikkhu.


Sanda gurau

Terutama untuk kalangan muda-mudi Buddhis, semakin pandai seorang bhikkhu bercanda, maka semakin disukai mereka.  Oleh Sang Buddha sendiri disebutkan: “O bhikkhu, pemahaman yang sungguh-sungguh terhadap Dhamma ini memerlukan keseriusan...”  Tidak heran kita akan sulit menemukan lelucon-lelucon di dalam kotbah Sang Buddha.  Hal ini dikarenakan sulitnya bagi diri kita untuk memahami makna ajaran Sang Buddha tanpa didengar dengan sungguh-sungguh terdahulu dan direnungi dari saat ke saat.  Ketika seseorang menyelip terlalu banyak lelucon di dalam ajarannya, maka perhatian dari para pendengar akan buyar oleh lelucon tersebut.  Lebih bahaya dari itu: tanpa sadar umat Buddhis datang lebih untuk lelucon tersebut daripada Dhammanya.  Sesuatu yang lucu dan menyenangkan hati bukanlah sama sekali tak diperbolehkan.  Ada saatnya Sang Buddha sendiri tersenyum dan kemudian menceritakan kisah-kisah lucu di kehidupan lampaunya, misalnya ketika rambutnya ditarik Ghatikara sewaktu mandi di sungai, atau sewaktu dewa Sakka yang dengan penuh keakrabannya menyinggung-nyinggung tentang kulitnya yang hitam.  Bhante Maha Moggalana sendiri tersenyum ketika ia melihat perilaku beberapa makhluk yakkha dengan kemampuan mata dewanya.  Tetapi yang jelas adalah sewaktu mereka membabarkan Dhamma, mereka membabarkannya dengan keseriusan.  Sebenarnya di masa Sang Buddha semua orang mengetahui bahwa ketika Sang Buddha berkotbah, tidak ada orang yang berani bersuara.  Ketika ada yang bersuara, orang-orang yang disampingnya akan berkata, “ssttt, Tathagata sedang berkotbah...!”  Sebagai umat Buddhis ada baiknya kita mengetahui tradisi di masa Sang Buddha ini.


Meditasi


Jalan pintas...inilah masalahnya!  Mau pintas malahan nyangkut.  Kalau kita teliti Sutta Pitaka kita akan menyadari bahwa kepada pemula Sang Buddha tak mengajari meditasi.  Pertama-tama Sang Buddha dengan kesadarannya sendiri akan mencari tahu tingkat batin si pendengar.  Setelah itu beliau akan memberikan nasehat yang sesuai dengan diri si pendengar.  Kepada pemula Sang Buddha mengajari manfaat dana dan sila.  Sang Buddha memberikan mereka pemahaman yang benar tentang dana dan sila terdahulu.  Setelah itu baru diberikan ajaran Dhamma yang bermakna dalam.  Nah, siapapun yang mampu mencerap inti ajaran yang lebih dalam itu dikatakan sebagai si pemenang arus (sotapanna).  Banyak tokoh-tokoh Buddhis yang berpandangan bahwa seseorang perlu mencapai konsentrasi dalam meditasi terdahalu (jhana) sebelum mampu mencerap inti tersebut.  Pentingnya mata Dhamma tanpa harus didukung oleh meditasi adalah sesuai dengan banyak penjelasan-penjelasan di dalam Sutta Pitaka:

1)      Bhante Ananda yang merupakan seorang Sotapanna sering dinasehati oleh Sang Buddha untuk melatih jhana.  Apabila seorang Sotapanna telah meraih jhana, kiranya Sang Buddha tak mungkin akan menyuruh Bhante Ananda untuk melatih sesuatu yang telah ia capai.
2)      Sang Buddha menyebutkan bahwa hanya setelah mencapai jhana seseorang baru bisa mencapai tingkat Anagami.  Tentunya bila jhana harus dicapai sebelum mencapai Sotapanna, Sang Buddha akan menyebut Sotapanna dan bukan Anagami.
3)      Seseorang yang telah mencapai jhana akan dilahirkan di alam Brahma.  Tetapi di dalam Sutta Pitaka disebutkan bahwa Anathapindika, Visakha, raja Bimbisara (semuanya adalah Sotapanna) tidaklah dilahirkan di alam Brahma.  Kemudian kalau kita teliti lebih lanjut, seorang Anagami akan dilahirkan untuk terakhir kalinya di alam Brahma yang hanya didiami para Anagami.  Mengapa?  Karena seperti yang disebutkan, seorang Anagami tentunya telah memiliki jhana dan secara langsung ia akan dilahirkan di alam Brahma, dalam hal ini alam Brahmanya para Anagami.
4)      Mungkin bukti yang lebih kuat adalah di dalam pelatihan diri Bhante Maha Moggalana.  Seperti yang kita ketahui Bhante Maha Moggalana mencapai tingkat Sotapanna sewaktu ia mendengar syair singkat dari Bhante Sariputta.  Setelah itu barulah mereka berdua pergi mencari Sang Buddha (saat itu mereka sama sekali belum pernah bertemu beliau).  Setelah bertemu, Sang Buddha mengajari Bhante Maha Moggalana bermeditasi.  Bhante Maha Moggalana dituntun setehap demi setahap dari jhana pertama (rupa jhana) sampai arupa jhana.  Bhante Maha Moggalana sendiri mengakui bahwa kalau ada seorang bhikkhu yang dituntun dalam meditasi setahap demi setahap oleh Sang Buddha, maka dialah bhikkhu tersebut.
5)      Dan masih banyak lagi isi Sutta Pitaka yang menjelaskan tentang hal ini yang tak dapat dijelaskan satu per satu di sini.

Mengapa perlu tidaknya jhana dalam mencapai tingkat Sotapanna dibahas dengan panjang lebar?  Karena kalau umat Buddhis berpandangan bahwa jhana itu diperlukan untuk memahami inti ajaran Sang Buddha, maka mereka akan lebih mengutamakan meditasi daripada mempelajari ajaran Sang Buddha.  Dan oleh karenanya, meditasi mereka tak akan berhasil karena fondasi yang diperlukan tersebut tidak ada.  Fondasi dalam hal ini adalah pemahaman yang benar tentang inti ajaran Sang Buddha yang mengandung makna yang sangat dalam ini.  Jadi pandangan ini tentunya akan menghambat perkembangan batin seseorang karena apa yang seharusnya akhir menjadi awal, apa yang awal menjadi akhir.  Inilah bahayanya.  Cukup banyak umat Buddhis yang rajin retreat tetapi pemahaman mereka tentang inti ajaran Sang Buddha tak cukup sehingga kadang mereka mati-matian mengikuti teknik meditasi guru A, B, dst.  Kalau suatu teknik meditasi itu benar-benar ampuh, bukankah dapat kita harapkan bahwa Sang Buddha telah mengajarinya?


Aliran/Tradisi

Ini mungkin adalah hal yang paling sensitif, tetapi ada baiknya kita semua mengesampingkan dulu semua aliran/tradisi yang ada.  Setelah membahas hal-hal di atas, cukup kiranya kita akan menjadi lebih waspada terhadap hal-hal yang diajari kepada kita sejak kecil (terutama yang Buddhis sejak kecil) yang sebenarnya tidak semuanya benar.  Banyak ajaran yang bertentangan langsung dengan ajaran Sang Buddha yang telah menyebar luas dan mengakar, sayangnya hal-hal tersebut tak disadari oleh umat Buddhis.  Sebagian dari hal-hal tersebut telah dijelaskan satu per satu di atas.  Jadi janganlah kita memilih seorang guru hanya karena aliran/tradisinya. 

Tetapi ada kecenderungan juga di antara tokoh-tokoh Buddhis untuk menyamakan semua aliran/tradisi.  Mungkin tujuan mereka adalah untuk menyatukan umat Buddhis supaya tercipta keharmonisan.  Sesungguhnya ini bukanlah tindakan yang bijaksana.  Kadang perpecahan yang telah muncul tersebut adalah dikarenakan oleh perbedaan dalam pemahaman yang mendasar terhadap ajaran Sang Buddha.  Sang Buddha sendiri menyarankan agar para bhikkhu menjauhi diri mereka dari bhikkhu yang pandangannya tak sesuai dengan Dhamma, yang tak bertindak selayaknya seorang bhikkhu.  Andaikata saja kita seharusnya menerima semua aliran/tradisi sebagai Buddhis, maka apakah kita juga akan menerima aliran baru, yang katakanlah diciptakan oleh orang luar (yang bukan Buddhis) yang hanya memakai kata Buddha di sana sini?  Tentu tidak.  Tetapi tentunya juga kita tak seharusnya mencela aliran/tradisi lain setelah kita benar-benar memahami bahwa tidak ada satu tradisi/aliran pun yang pantas dikatakan 100% sesuai tradisi di masa Sang Buddha.  Karena ketika seseorang telah memahami makna sesungguhnya dari ajaran Sang Buddha, ia akan mengetahui mana yang sesuai mana yang tidak, mana yang pantas, mana yang tak pantas.  Seperti yang dikatakan Sang Buddha, “Andaikata saja pohon ini tahu mana yang pantas mana yang tak pantas, mana yang sesuai mana yang tak sesuai, maka kepada pohon ini juga aku nyatakan ia seorang Sotapanna.”


Kesimpulan


Jadi siapakah guru tersebut?  Sang Buddha.  Tetapi Sang Buddha telah tiada.  Apakah Sang Buddha ada memberikan pesan kepada kita siapa yang akan menjadi guru kita setelah beliau tiada?  Tentu.  Sang Buddha berkata, “O bhikkhu, janganlah kalian berpikir bahwa setelah kepergianku, kalian sudah tidak mempunyai seorang guru lagi.  Setelah kepergianku, Dhamma dan Vinaya yang telah aku tunjukan itulah yang akan menjadi guru kalian.”  Maka oleh kita Dhamma dan Vinaya ini kita jadikan guru.  Siapapun bhikkhu yang mengajari hal-hal yang sesuai dengannya adalah dengan sendirinya menjadi guru yang pantas.  Maka pelajari dan pahamilah ajaran-ajaran tersebut yang telah dicantum dalam Sutta Pitaka, terutama ajaran-ajaran pokok di bagian Digha, Majjhima, Samyutta, dan Anguttara Nikaya.