|
Ajaran Sang Buddha berbeda dengan ajaran agama lain. Ajaran Sang Buddha mengatakan bahwa kita seharusnya tak menerima sesuatu secara naif, biarpun itu dari kitab suci sekalipun, sebagai yang benar dan tepat. Kita diharapkan untuk dapat menganalisa, meneliti, membandingkan apa yang disebut di sana terlebih dahulu. Selanjutnya kita juga diajarkan untuk tak beremosi apabila ajaran Sang Buddha dikritik orang, baik oleh yang bukan Buddhis maupun Buddhis. Sebelum dilanjutkan, marilah kita mendengar sedikit cerita dulu. Nama saya Andromeda. Saya memperoleh kesempatan mengikuti praktek pabajja (penabhisan sementara dalam Sangha) di bawah bimbingan Bhikkhu Henepola Gunaratana di tahun 1999. Sudah 7 tahun lamanya ketika Bhante mengatakan kepada saya, "Nah inilah sekarang harta satu-satu yang kamu miliki, mangkuk yang mengkilat--mobil BMW barumu!" Saya berkesempatan mengenal Bhante sedikit, dan ini adalah cukup langka karena memang ia adalah bhikkhu yang memiliki banyak tugas. Sekitar 3 tahun yang lalu, saya dan Bhante beserta 3 bhikkhu lainnya memanjat Stoney Mountain di Atlanta. Ini bukanlah gunung yang sangat tinggi--lumayan mudah dan tak memakan terlalu banyak waktu untuk memanjatnya. Saya kagum melihat Bhante yang sudah tak muda lagi itu dapat dengan mudah naik turun Stoney Mountain. Tapi yang lebih kagum lagi adalah ketika saya melihat begitu penuh kasih sayangnya 3 bhikkhu lainnya tersebut berusaha menolong Bhante ketika ada tanjakan yang curam. Saya tahu bahwa memang keempat bhikkhu ini adalah sahabat yang dekat, hidup rukun dan selalu saling mengundang satu sama lainnya ketika ada acara khusus. Saya sendiri cukup dekat dengan bhikkhu-bhikkhu Sri Lanka di Amerika. Pertama-tama saya mengenal satu bhikkhu, terus bhikkhu yang satu tersebut memperkenalkanku kepada bhikkhu yang lain, dst. Saya telah beruntung mendapat banyak diskusi Dhamma dengan para bhikkhu. Dan kesempatan ini teramat bermanfaat ketika kita memang benar-benar tertarik untuk mempelajari ajaran Sang Buddha. Sambil tertawa, Bhante Gunaratana mengatakan kepadaku, "Jadi sekarang semua teman-temanmu adalah bhikkhu Sri Lanka ya?" Di masa pabajjaku, saya berkesempatan membaca disertasi PhD Bhante. Bhante cukup terkejut mengetahui bahwa saya membaca habis karyanya itu. Di disertasi tersebut, Bhante membahas secara rinci tentang jhana (tingkat pencapaian konsentrasi dalam ajaran Sang Buddha). Yang terlihat jelas adalah penggunaan Abhidhamma sebagai referensi utama di disertasi tersebut. Tapi kalau kita mendengar ceramah Bhante sekarang atau membaca buku-buku terbarunya, maka kita akan mengetahui bahwa pandangan Bhante tidaklah sama seperti ketika ia menulis disertasi PhDnya itu. Di disertasinya, Bhante berkesimpulan bahwa jhana bukanlah merupakan persyaratan yang wajib untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Sekarang hampir di setiap ceramahnya, Bhante menegaskan bahwa jhana itu adalah persyaratan yang wajib. Malahan ketika Bhante Sukhemo (yang juga mempelajari banyak Abhidhamma) kita berdiskusi dengan Bhante Gunaratana, Bhante Gunaratana mengatakan sambil ketawa bahwa ia (dirinya sendiri) terlalu bodoh untuk mengerti Abhidhamma yang terlalu rumit itu. Pada pertemuan itu, saya berkesempatan bertanya kepada Bhante Gunaratana tentang pendapatnya mengenai persyaratan jhana dalam pencapaian kesucian Sotapanna. Bhante mengatakan bahwa jhana adalah syarat yang wajib untuk mencapai kesucian Sotapanna. Ini tentunya berbeda dengan pandangan Bhante Sukhemo. Tetapi kita dapat mengharapkan walau berbeda pandangan, kedua bhikkhu senior ini tak berdebat secara tak karuan. Saya dibesarkan dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi ilmu/pendidikan. Sejak kecil, pendidikan adalah sesuatu yang dinomor satukan. Ini bukan berarti kita dipaksa untuk meraih ranking satu, tetapi mencerap semaksimal mungkin dari apa yang dipelajari. Oleh karena itu, telah menjadi watakku bahwa sesuatu itu tak begitu saja kupercayai tanpa analisa dan penelitian yang cermat terdahulu. Saya diajari untuk bertanya pertanyaan yang sesuai demi meraih pengertian yang lebih mendalam (bukan hanya asal tanya). Meneliti kembali alasan munculnya banyak perbedaan antar sesama Buddhis ataupun antar sesama anggota Sangha yang senior, saya berkesimpulan bahwa ada beberapa faktor utama sebagai penyebabnya. Yang pertama adalah kebijaksanaan individu yang berbeda-beda. Satu kalimat yang mengandung makna yang dalam bisa diartikan secara cukup berbeda oleh dua orang. Yang kedua adalah sumber yang dipakai. Kita tahu bahwa telah muncul banyak aliran agama Buddha, dimana beberapa dari mereka menggunakan sumber (kitab suci) yang berbeda. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab perselisihan antar umat Buddhis. Masing-masing menganggap pegangannya yang terbenar. Saya berpendapat apabila terdapat banyak versi kitab suci, kita dapat memilihnya dengan berbagai cara. Yang pertama adalah kita meneliti mana yang paling tua diantara semua versi. Tetapi cara pertama inipun bukanlah mutlak. Dalam arti walau versi yang satu lebih tua, ia tak menjamin dirinya sebagai yang asli. Mungkin yang lebih tua darinya telah hilang/lenyap dan yang tertua yang ada di tangan kita itu telah diubah dari yang telah hilang/lenyap tersebut. Tetapi biarpun itu yang terjadi, masih ada "kecenderungan" bagi yang tertua itu sebagai yang lebih asli. Yang kedua adalah kita memilihnya setelah membaca semua versi dan menganalisa dan meneliti semuanya dengan cermat. Kerumitan muncul karena cara ini sangat tergantung kepada "kebijaksanaan peneliti." Lagi-lagi, dua orang yang membandingkannya akan dapat mengambil kesimpulan yang berbeda. Oleh karena alasan-alasan inilah maka tak heran muncul perselisihan. Saya berpendapat bahwa kita seharusnyalah memilih apa yang kita rasa paling sesuai untuk diri kita. Jangan kita ikuti kata orang, biarpun ia seorang bhikkhu yang paling ternama sekalipun, tanpa terdahulu menelitinya. Bukankah sudah nyata bahwa dua bhikkhu yang ternama sekalipun bisa berbeda pandangan? Tentu sayang sekali bahwa Sang Buddha telah parinibbana sehingga perbedaan ini tak dapat diselesaikan sendiri langsung oleh Beliau. Tetapi tentunya sebagai guru yang tiada taranya, Beliau pasti telah meninggalkan banyak pesan kepada kita supaya kita dapat mengetahui mana yang sesuai. Sayangnya berapalah dari kita yang benar-benar meneliti pesan tersebut? Kembali ke topik di atas: kitab suci versi mana yang paling sesuai? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita dapat menjawab terdahulu kitab suci versi mana yang paling tua usianya. Nah, usia ini seharusnya diteliti juga berdasarkan pemilihan kosa kata, struktur bahasa, style bahasa dari isi masing-masing versi, dll. Berdasarkan penelitian dari para ahli, bahasa yang dipakai oleh Sang Buddha di daerah Magadha itu sangatlah dekat dengan bahasa Pali. Dan penelitian juga memberitahukan kita bahwa bagian yang tertua dari kitab suci Pali adalah Sutta pitaka dan Vinaya pitaka. Abhidhamma ditambah setelahnya. Kalau diteliti lebih lanjut lagi, Sutta pitaka sendiri terbagi menjadi Digha, Majjhima, Samyutta, Anguttara, dan Khuddaka Nikaya. Herannya Khuddaka Nikaya yang artinya kumpulan kecil malahan lebih banyak isinya dari keempat Nikaya lainnya. Tak heran bila penelitian menunjukan bahwa banyak isi dari Khuddaka Nikaya adalah tambahan yang muncul setelah munculnya keempat Nikaya lainnya tersebut. Dari isi Khuddaka Nikaya, Dhammapada, Sutta Nipata, Theragatha, Therigatha, Itivuttaka and Udana adalah yang diteliti sebagai yang tertua. Apakah kita harus langsung mempercayai penelitian ini? Tidak juga. Kita seharusnya meneliti sendiri apakah benar apa yang disebut di atas. Tetapi tidaklah gampang untuk menelitinya karena kita harus mendalami bahasa Pali, mempelajari struktur bahasa yang dipakai, mempelajari sejarahnya masing-masing, dll. Cara yang lebih sesuai menurutku adalah dengan membandingkan isi dari masing-masing versi. Ambilah makna masing-masing dan bandingkanlah. Bila terdapat perbedaan, maka kita tahu pasti telah terjadi perubahaan. Dan kenyataan bahwa Bhante Gunaratana berbeda pendapat dengan pendapatnya sendiri yang dulu menunjukan kepada kita bahwa memang ada perbedaan dalam makna antar Abhidhamma dan Sutta pitaka. Jadi bila ada perbedaan, manakah yang kita anggap lebih sesuai? Berdasarkan kriteria "usia" yang dijelaskan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Sutta pitakalah yang seharusnya dianggap sebagai yang lebih sesuai. Tetapi marilah kita menelitinya lebih lanjut, berdasarkan asal mulanya. Kita tahu bahwa Abhidhamma itu sangat rumit. Banyak yang menganggap Abhiddhamma itu adalah ceramah Sang Buddha kepada dewa-dewi di alam Tusita (ditujukan terutama kepada ratu Mahamaya). Dan bila memang ini adalah ceramah untuk dewa-dewi, apakah bukan lebih layak bagi kita untuk mempelajari sesuatu yang memang diberikan oleh Sang Buddha kepada manusia? Dan apakah bijaksana bagi seseorang untuk mempelajari sesuatu yang lebih rumit sebelum ia mempelajari apa yang lebih sederhana terdahulu? Dan marilah kita meneliti beberapa perbedaan isi dari keduanya. Di Abhidhamma disebutkan bahwa Sotapanna magga dan Sotapanna phala terjadi dalam waktu yang sangat singkat (phala langsung muncul setelah magga). Akan tetapi di dalam Sutta pitaka, Sang Buddha menjelaskan bahwa dana yang diberikan kepada seorang Sotapanna magga lebih kurang kwalitasnya dibanding dana yang diberi kepada seorang Sotapanna phala. Bila memang phala langsung muncul setelah magga, tak mungkin bisa dibedakan antara mereka yang berada dalam kategori magga dan phala. Ini adalah perbedaan pertama. Perbedaan kedua adalah dalam hal pentingnya jhana dalam pencapaian Arahat. Abhidhamma memberikan kesan bahwa jhana bukanlah hal yang wajib dimiliki untuk mencapai kesucian Arahat. Di Sutta pitaka disebutkan berkali-kali bahwa jhana adalah sesuatu yang wajib dimiliki untuk mencapai kesucian Arahat. Perbedaan-perbedaan ini seharusnya dipelajari sendiri oleh diri kita masing-masing daripada disebutkan satu per satu. Karena tujuan dari artikel ini bukanlah untuk mendiskredit satu di antara yang lain. Tetapi tujuannya adalah untuk membiasakan diri kita untuk menganalisa dan meneliti sesuatu secara cermat terdahulu sebelum menerimanya. Walaupun Bhante Gunaratana adalah guru pembimbingku, akan tetapi tidak semua pandangannya adalah sesuai dengan pandanganku. Ini bukanlah hal yang tak sopan. Andaikata saja semua murid menyetujui semua pandangan gurunya, maka apa yang akan terjadi bila saja guru tersebut salah? Saya selalu mendengar ceramah Bhante secara cermat, merenunginya, dan kemudian menyetujui atau tidak menyetujui pandangan Bhante. Akan tetapi, walaupun berbeda dalam hal-hal tertentu, saya selalu menganggapnya sebagai guru, merasa berhutang budi kepadanya, menghormatinya, dan selalu memperlakukannya dengan baik dan penuh rasa sayang. Saya tak pernah berdebat dengannya. Malahan kehendak berdebat dengannya sama sekali tak pernah muncul di benakku. Jadi pesan yang ingin disampaikan di sini adalah pandailah memilih yang terbaik untuk dirimu sendiri. Janganlah berdebat sengit dengan yang lain. Biarlah mereka masing-masing menelusuri jalan mereka. Kita hanya dapat menjelaskan kepada mereka sesuai pengertian kita, tetapi kita seharusnyalah membiarkan mereka menentukan jalan mereka sendiri. |
|