![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Homoseksual Sumber: Taman Budicipta |
||||||||
![]() |
||||||||
Handaka: Ini ada pertanyaan dari seorang teman. Bisa kita bahas bersama? saya ingin tanya, apakah dalam agama buddha, homoseksualitas itu dilarang? tolong beri penjelasan yah, seeblumnya terima kasih banyak. sadhu.. saddhu.. saddhu... Johnny: Kembali lagi, saya ingin ikut sedikit mengomentari diskusi ini. Seperti yang pernah saya tulis dahulu, dalam melihat "benar" atau "salah", "dilarang" atau "tidak" ada 2 hal yang dapat kita jadikan pegangan. yaitu : 1. Vinaya (Sila) 2. Dhamma Menurut Vinaya, dari 5 sila (Pancasila), salah satunya adalah kita harus menghindari perbuatan asusila. Perbuatan asusila, adalah melakukan hubungan seks bukan dengan orang/cara yang sah. Apa syarat orang/cara yang sah itu? - dia merupakan suami atau istri nya sendiri. Atau - orang yang melakukan hubungan kelamin itu sudah dewasa. dewasa dalam artian bukan hanya dewasa dalam segi umur, tapi juga sadar dan dengan penuh tanggung jawab atas perbuatan itu (secara psikologi telah dewasa). dewasa juga dalam artian orang yg melakukan hubungan itu, tidak dalam tanggung jawab orang tuanya lagi (sudah mandiri). - orang yang melakukan hubungan kelamin itu bukan atas paksaan, ancaman ataupun tekanan (sama2 mau n bahagia). - hubungan seks itu dilakukan bukan dengan barteran atau bayaran. Rasanya saya belum pernah membaca atau pun mendengar bahwa ada intepretasi di vinaya, orang yang dimaksud yang melakukan hubungan seks itu harus antara pria dan wanita. walaupun demikian, bukan berarti saya pro kaum homoseksual loh. :) jadi menurut saya kalau syarat orang yg "sah" itu sudah dipenuhi, homoseksual atau heteroseksual, jelas ok2 saja. apakah demikian juga seks "bebas"? Ya. secara vinaya apabila syarat2 diatas telah terpenuhi, maka seks "bebas" juga ok2 saja. Bagaimana kalau ditinjau dari segi dhamma? dhamma dalam arti luas, bukan hanya ajaran2 Sang Buddha saja. Tapi hukum negara, adat istiadat, norma2 yang berlaku di masyarakat juga merupakan dhamma. Oleh karena itu penjelasan secara vinaya saja tidak cukup untuk mengatakan homoseksualitas atau heteroseksualitas atau seks bebas itu ok2 saja. Didalam masyarakat timur secara umum, masih belum dapat menerima homoseks atau pun seks bebas. Jadi kita harus lah bijaksana dalam menyikapi orang atau pun masalah sosial yang muncul karena homoseksualitas ini. Kita dianjurkan untuk mengembangkan cinta kasih. Jangan lah karena sikap atau pun norma masyarakat yang ada saat ini, kita membenci dan mengucilkan atau pun mendiskriminasi kaum homoseks. Terima lah apa adanya bahwa mereka juga manusia. manusia yang juga butuh kebahagian untuk hidup dan berkarya. Kaum homoseks sendiri juga harus lah bijaksana dalam menyadari kecendrungan orentasi seksualnya. tidak lah bijaksana bermesraan atau pun menunjukkan homoseks anda di depan umum. cukup dilakukan di mana orang umum tidak tahu. dengan demikian anda bisa bahagia, lingkungan juga bisa aman dan bahagia. melihat kaum heteroseksual menunjukkan kemesraan yang berlebihan di depan umum saja, sudah merupakan suatu "kerisihan" apalagi melihat kaum homoseksual bermesraan di depan umum. :) Wisely, lihat lah alam di mana anda tinggal. Jika di amerika, mungkin tidak perlu se "strict" seperti di timur. jika di belanda, kaum homoseks bahkan boleh menikah. So apa kesimpulannya? Bijaksanalah. Jawaban ada pada diri anda sendiri. Maya: Menurut saya jawaban dari pertanyaan ini berbeda2 tergantung kepada siapa kita tanyakan. Dulu saya juga pernah menanyakan pertanyaan tersebut, pertama kepada orang2 Mahayana. Menurut mereka, homoseksual itu tdk dilarang. Mungkin karena mereka lebih toleran dan juga lebih cenderung menyesuaikan diri dgn kemajuan zaman. Aliran theravada lebih mementingkan keutuhan vinaya2. Saya ajukan lg pertanyaan ini kepada orang Theravada, menurut Bpk. ini homoseks sudah melanggar dhamma. Katanya setiap orang pasti ada bibit homoseks dan heteroseks. Tergantung lingkungan dan pergaulan kita yg dpt mewujudkan sexuality kita...sebenarnya orang yg homoseks bisa saja dilatih sehingga tdk tertarik dgn sesama jenis dan juga sebaliknya dgn heteroseks. Tapi menurut saya, semakin maju Zaman ini, semakin sulit u/ melarang homoseksual, mungkin juga karena saya terpengaruh lingkungan di Amerika yg begitu bebas. Kita ambil contoh saja...misalnya Handphone / cellular phone. Dulu kita masih bisa hidup tanpa HP, dan ketika kita melihat orang yg menggunakannya, timbul perasaan "So keren aja loe...etc...mau pamer2 di depan orang...etc...". Tapi coba kita lihat sekarang...apa lagi di Indonesia, hampir semua orang menggunakan HP, bahkan jika kita tdk menpunyainya maka kita dikatakan orang aneh. Maka dari itu saya rasa cepat atau lambat semua orang pun akan bisa menerima kaum homoseksual. Sebenarnya kalau dipikir2 lagi...orang2 yg melarang seks bebas mempunyai alasan yg tepat. Selain seks bebas menambah hawa nafsu, seks bebas juga dapat menimbulkan penyakit seperti AIDS, Herpes, hepatitis, dll Jadi Sila merupakan suatu pencegaha terhadap hal2 yg dpt merugikan diri sendiri dan orang lain. Sebenarnya adat orang Timur ada benarnya juga, sayangnya banyak sekali yg menyepelekannya. Saya sadari semakin maju Zaman ini semakin sulit u/ benar2 berjalan seiring dgn dhamma. Pergaulan semakin bebas, teknologi semakin maju sehingga apa saja bisa kita dapatkan, gangguan semakin banyak, dan kesempatan semakin sempit. Jadi gunakanlah kehidupan ini u/ benar2 melatih diri menuju kebebasan. =) Andromeda: Untuk menjawab pertanyaan ini dengan lebih sistematis, marilah kita menganalisa bersama beberapa alasan khas yang melarang hubungan homoseksual: 1. Hubungan homoseksual itu menjijikan Bila seseorang mengecam kaum homoseksual dengan alasan bahwa perbuatan kaum homoseksual itu menjijikan, maka ia juga seharusnya mengecam kaum heteroseksual dengan alasan yang sama karena keduanya sama-sama dikuasai nafsu. 2. Hubungan homoseksual itu tak alamiah Dan bila seseorang mengecam kaum homoseksual dengan alasan bahwa homoseksual itu bukanlah hal yang alamiah (bukan dari awalnya demikian), maka ia juga seharusnya mengecam kaum heteroseksual dengan alasan yang sama. Karena pada awal terbentuknya dunia ini (baca Aganna sutta), makhluk tak memiliki kelamin. Kemudian perlahan-lahan tubuh mereka menjadi lebih padat (karena makan makanan yang berzat padat). Perbedaan kelamin menjadi lebih menonjol, dan pada saat itulah terdapat beberapa orang yang mulai berhubungan seks. Mereka dicaci dan dikucilkan karena pada saat itu hubungan seks dianggap sungguh menjijikan. Pada zaman sekarang, orang yang menjauhi hubungan sekslah yang dianggap tak normal. Dan kayaknya cacian dan pengucilan terhadap kaum homoseksual terulang kembali seperti halnya dulu terhadap kaum heteroseksual. Begitulah pandangan dunia ini yang selalu berubah menurut perkembangan zaman. 3. Kaum wanita diciptakan untuk kaum pria Tentunya dalam agama Buddha tak dikenal istilah, ÒKaum wanita diciptakan untuk kaum pria.Ó Kita bertumimba lahir dikarenakan kekeliruan kita tentang ketiga kenyataan mutlak ini, yakni ketidakpuasan, ketidakkekalan, dan tanpa Òaku.Ó Selagi kekeliruan ini masih ada di diri kita, kita tak akan bebas dari kelahiran kembali. Dengan sendirinya kekeliruan inilah penyebab penyakit, usia tua, dan kematian (penderitaan yang berkepanjangan) . Dan untuk menghapus kekeliruan ini, seseorang harus melenyapkan dulu keserakahan (nafsu) dan kebencian. 4. Agama Buddha menganjurkan pernikahan heteroseksual Hubungan seks, baik itu homoseksual maupun heteroseksual, adalah berakar pada keserakahan. Dengan sendirinya, agama Buddha tak dapat menganjurkan kedua-duanya. Sang Buddha dengan tegas melarang hubungan seks kepada para Bhikkhu karena Beliau mengetahui bahwa hubungan seks akan pasti mengagalkan usaha seseorang menuju ke kesucian. Bagi mereka yang masih terikat pada kehidupan duniawi, Sang Buddha memberikan petunjuk hidup berkeluarga yang baik (baca Sigalovada sutta). Tapi hal ini tak boleh diartikan bahwa Sang Buddha menganjurkan pernikahan. Manusia sudah hidup berkeluarga sebelum Sang Buddha muncul di dunia ini. Dan karena Sang Buddha menyadari bahwa tak semua umat berkeluarga dapat (hendak) melaksanakan hidup suci, maka kehidupan berkeluarga tak dilarang Beliau (tetapi tak dianjurkan juga). Jadi apakah agama Buddha memperbolehkan hubungan homoseksual? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus memganalisa dulu sila ketiga dari Pancasila Buddhis. Sila Ketiga dari Pancasila Sebenarnya tujuan sila adalah untuk melatih diri. Jadi sila melatih perbuatan kita (sebagai landasan) sehingga pikiran kita nantinya akan lebih mudah terlatih (bhavana). Bila suatu perbuatan mendatangkan keresahan dan kekhawatiran, maka seharusnya kita hindari. Hubungan seks yang salah adalah hubungan seks yang dilakukan dengan seseorang yang telah berpasangan ( telah memiliki pacar, tunangan, suami/isteri) atau dilindungi ayah, ibu, saudara, saudari, famili (relative), atau dhamma (ajaran agamanya, norma wilayah setempat, dll). Jadi bila seseorang berada di wilayah yang melarang hubungan homoseksual, maka seks homoseksual seharusnya dihindari. Bila seseorang berada di wilayah yang tak melarangnya, maka hubungan tersebut tak termasuk seks yang salah asalkan semua faktor di atas terpenuhi. Free sex Free sex (definisi: hubungan seks yang bebasÑmau sama mau, tak peduli dia itu tunangan kita atau bukan) juga seharusnya dihindari karena itu melanggar norma masyarakat, terutama norma masyarakat Asia. Sebenarnya di negara Barat juga kalau seseorang terlalu bebas dalam hubungan seks, maka akan dianggap Òtak pantas.Ó Baik dari segi kesehatan, psychology (mental health), dan hubungan sosial, free sex telah membawa banyak kerugian. Premarital sex Premarital sex (definisi: berhubungan seks dengan pacar/tunangan kita) memang sudah diperbolehkan di sebagian besar negara Barat. Akan tetapi di Asia, hal ini belum dapat diterima, sehingga premarital sex juga seharusnya dihindari oleh kita (orang Asia). Ini adalah untuk mencegah keresahan diri yang akan timbul kelak. Kesimpulan Sebagai Buddhis, kita dianjurkan untuk berusaha mengurangi nafsu dan kebencian di diri kita. Jadi sudah selayaknyalah kaum heteroseksual tak membenci kaum homoseksual, dan sebaliknya. Agama Buddha tak mengajarkan hal lain selain jalan menuju ke lenyapnya penderitaan. Jadi kurang pantaslah bila seseorang mengatakan bahwa agama Buddha memperbolehkan hubungan seks, baik itu heteroseksual maupun homoseksual. Kepada kita yang kurang bijaksana, Sang Buddha telah menunjukan kategori seks yang akan membawa penderitaan yang besar. Dan kepada mereka yang bijaksana Sang Buddha menunjukan bahayanya segala hal yang berhubungan dengan seks. Kemudian Beliau dengan tabah membimbing mereka yang bijaksana setahap demi setahap sehingga mereka akan mampu melenyapkan dengan tuntas penderitaan hidup ini. Walau kelihatannya Sang Buddha mengajarkan dua hal yang berbeda, akan tetapi sebenarnya Sang Buddha menyadari bahwa tak semua orang bersedia menjalani kehidupan suci (jadi mereka tak diajarkan hidup suci). Ini juga adalah salah satu kebijaksanaan Beliau dalam membimbing umat manusia dan para dewa. Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat. Bhante Dhammadhiro: Dalam Buddhadhamma, tidak ada pelarangan atau perijinan terhadap Homoseksual (gay/lesbian), Polygami (satu suami banyak istri), Polyandri (satu istri banyak suami) ataupun terhadap monogami (satu suami satu istri). Semua bentuk di atas merupakan tindakan yang didasari oleh nafsu birahi (r‰ga) yang, menurut Sang Buddha, memberi sedikit kebahagiaan tetapi menemui banyak penderitaan. Sang Buddha memberi nasihat untuk tidak mengumbar pada kesenangan terhadap nafsu birahi tersebut; paling tidak dengan mengetahui batas-batas kewajaran (kesusilaan) dalam melakukannya. |
||||||||
![]() |