|
Apa benar merosot?
Ajaran Sang Buddha tak mungkin dapat lagi berkembang sehebat di masa kehidupan Sang Buddha. Pernyataan ini bukanlah berasal dari pandangan pesimis, akan tetapi berdasarkan beberapa alasan yang kuat. Alasan pertama: Sang Buddha adalah sang pembimbing, sang guru yang tiada taranya. Ketika sang pembimbing telah tiada, maka banyak pengikutnya akan mulai menjadi bingung dan ragu, akan muncul juga banyak percekcokan dan perpecahan di antara pengikutnya, dst. Pentingnya seorang pembimbing ini dapat kita pelajari dari perbincangan antara Sang Buddha dan Bhante Ananda sesaat setelah meninggalnya Bhante Sariputta. Oleh karena sifat Bhante Sariputta yang sangat mirip dengan sifat Sang Buddha, maka tak heran Bhante Ananda sangat dekat dengan Bhante Sariputta (dibanding dengan bhikkhu-bhikkhu lainnya). Nah sesaat setelah Bhante Ananda mengetahui bahwa Bhante Sariputta telah tiada, iapun kehilangan kendali diri, pandangannya tiba-tiba menjadi kabur, atau dengan kata singkat ia terpukul hebat. Apakah yang dikatakan Sang Buddha kepada Bhante Ananda? Dari seluruh pengikutnya, tak dapat dibantahi bahwa Bhante Sariputta adalah salah satu bhikkhu yang paling sering dipuji oleh Sang Buddha. Hubungan mereka juga sangat dekat. Sang Buddha mengatakan kepada Bhante Ananda bahwa kehilangan Bhante Sariputta ini adalah bagaikan pohon besar yang telah kehilangan cabang utamanya (pohon=Sangha, cabang utama=Bhante Sariputta) [SN 47.13]. Begitulah uniknya Bhante Sariputta di mata Sang Buddha. Kalau begitu, tentunya parinibbana Sang Buddha ini berdampak lebih drastis terhadap keberlangsungnya ajaran Sang Buddha. Ini dapat kita pelajari dari syair Bhante Ananda (saat itu Bhante Ananda telah mencapai kesucian Arahat tetapi ketiga makhluk luar biasa telah tiada, yakni Sang Buddha, Bhante Sariputta, dan Bhante Maha Moggalana). Syair tersebut menyebutkan bahwa Bhante Ananda lebih banyak menyendiri setelah kepergian teman-teman baiknya [Theragatha 17.3].
Alasan kedua dari kemerosotan ini: pelatihan diri dari para pengikut Sang Buddha semakin merosot. Ini jelas terlihat di kehidupan kita saat ini. Alasan ketiga: telah terjadi cukup banyak perubahan terhadap ajaran Sang Buddha tanpa disadari oleh umatnya sendiri. Ketika ajaran yang sangat mendasar ini telah berubah di mata para pengikut Sang Buddha, maka tak pantaslah dikatakan bahwa ajaran Sang Buddha berkembang biarpun, katakanlah, jumlah umat Buddhis di dunia ini bertambah banyak sekalipun.
Masa sih telah berubah?
Beberapa hal mendasar yang sudah menyebar luas tetapi tak sesuai dengan ajaran Sang Buddha adalah:
1) Vipassana adalah jalan satu-satunya
Di mana-mana, baik itu di retreat atau di ceramah Buddhis, Vipassana menggempar. Sayang sekali, banyak umat Buddhis yang tak menyadari bahwa tanpa Samatha, Vipassana hanyalah ½ jalan saja [AN 4.170]. Yang lebih gawat adalah keberanian beberapa kelompok yang menuduh bahwa Samatha hanya akan menghalang perkembangan seseorang menuju Nibbana. Pandangan ini cukup fatal dan tentunya akan menambah kemerosotan ajaran Sang Buddha. Mengapa? Karena dengan pandangan salah ini, umat Buddhis tak akan lagi melatih Samatha. Tanpa samatha boleh dikatakan ajaran Sang Buddha akan menjadi cukup lumpuh jadinya.
2) Jhana itu tak penting
Cukup singkat & jelas: tiada jhana maka tiada Anagami dan Arahat. Sang Buddha telah memberikan perumpamaan. Seseorang tak mungkin dapat memotong bagian dalam dari batang pohon sebelum ia memotong bagian luarnya terdahulu. Demikian juga, seseorang tak mungkin dapat mencapai kesucian Anagami dan Arahat tanpa mencapai tingkat Jhana terdahulu [MN 64]. Kalau jhana sudah tak dihargai sendiri oleh umat Buddhis, maka boleh dikatakan umat Buddhis sendirilah yang merusak ajaran Sang Buddha ini.
3) Mempelajari Sutta itu tak penting
Banyak kalangan Buddhis yang tak menyadari pentingnya mempelajari Sutta. Malahan ada yang berpikiran negatif terhadapnya (alamak!). Sang Buddha mengatakan bahwa bila para pengikutnya sudah lebih tertarik mempelajari hal-hal lain yang terdengar luar biasa (rhetoric) dan tak tertarik lagi untuk mempelajari Sutta, maka saat itu ajaran Sang Buddha akan merosot pesat [SN 20.7]. Seperti yang akan dijelaskan di bawah, ketika kalangan Buddhis sudah tak menghargai Sutta lagi, maka saat itulah akan muncul banyak hal-hal yang yang bertentangan dengan ajaran Sang Buddha yang akan dipercayai oleh umat Buddhis.
4) Terlalu dini ber-ehipassiko
Ini juga adalah trend umat Buddhis zaman sekarang. Kebanyakan umat Buddhis asal-asalan berucap, “ehipassiko lho.” Tanpa mempelajari terdahulu ajaran Sang Buddha, tak mungkin seseorang bisa ber-ehipassiko secara benar (apa yang mau di-ehipassiko-kan ya?) Bila ia dapat ber-ehipassiko tanpa mengerti terdahulu tentang ajaran Sang Buddha, maka dia itu kalau bukan Pacekka Buddha maka pasti Sammasambuddha. Mengapa? Karena hanya dua jenis individu inilah yang mampu melihat Dhamma tanpa mempelajarinya terdahulu dari orang lain. Trend asal-asalan ber-ehipassiko ini akan mengakibatkan semakin sedikitnya umat Buddhis yang akan mempelajari ajaran Sang Buddha (merasa cukup terpelajar, padahal masih belum benar-benar memahami ajaran Sang Buddha yang sangat mendalam ini). Hal ini tentunya akan mengakibatkan kemerosotan ajaran Sang Buddha.
Mengapa bisa sampai begini?
Zaman sekarang boleh dikatakan mayoritas umat Buddhis hanya mengikuti ajaran bhikkhu-bhikkhu populer. Semakin populer bhikkhunya, maka semakin banyak pula umat Buddhis yang mengikuti ajaran mereka. Boleh dikatakan, hampir semua perkataan dari bhikkhu-bhikkhu populer ini diterima 100% oleh pengikutnya. Banyak umat Buddhis yang menganggap, “Bhikkhu A itu Arahat, Bhikkhu B itu Anagami, dst.” Padahal sebenarnya hanya seorang yang setingkat atau lebih tinggi tingkatannyalah yang mampu mengetahui hal ini [MN 110]. Jadi gosip-gosip seperti ini tak seharusnyalah diterima dengan begitu saja. Sebenarnya gosip-gosip seperti ini hanya akan menambah kemerosotan ajaran Sang Buddha. Sang Buddha sendiri telah memberikan peringatan bahwa di masa mendatang, bhikkhu-bhikkhu yang terkenal dan senior sekalipun bisa berpandangan salah [AN 5.88].
Jadi gimana dong?
Pengikut Sang Buddha seharusnya mempelajari ajaran langsung dari Sang Buddha. Ajaran ini tercantum di Sutta, bagian utama dari kitab suci agama Buddha. Ajaran dari para bhikkhu, biarpun yang paling terkenal dan senior sekalipun, seharusnya dibandingkan terdahulu dengan isi dari Sutta [DN 16]. Apabila sesuai maka boleh diterima. Apabila tak sesuai maka boleh ditolak (tapi tolong jangan diiringi dengan demo-demo). Inilah sebenarnya yang dinamakan pengikut Sang Buddha yang setia dan yang memiliki keyakinan yang tinggi.
Lho kan berlindung juga pada Sangha?
Pengikut Sang Buddha berlindung kepada Sangha. Tetapi Sangha yang dimaksud di sini adalah 8 jenis makhluk: Sotapanna-magga, Sotapanna-phala, Sakadagami-magga, Sakadagami-phala, Anagami-magga, Anagami-phala, Arahat-magga, Arahat-phala. Ini yang dibaca di dalam paritta, bukan? (Ataukah paritta tersebut hanya sekedar dibaca tetapi maknanya tak diketahui?) Seperti yang disebutkan di atas, umat biasa tak mampu mengetahui apakah seorang bhikkhu itu termasuk ke dalam 8 jenis makhluk ini. Seorang bhikkhu sendiri yang bukan termasuk 8 jenis makhluk ini tak akan mampu mengetahui bhikkhu lainnya. Jadi umat Buddhis seharusnya tak langsung menerima perkataan para Bhikkhu sebagai sesuatu yang benar & tepat.
Melestarikan kembali ajaran Sang Buddha
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sudah saatnya kita semua kembali kepada ajaran langsung dari Sang Buddha ini. Ajaran ini seharusnya kita pelajari dengan seksama. Maknanya kita hayati. Ceramah/karya tulis dari para bhikkhu seharusnya kita dengar dengan seksama juga. Setelah itu, kita bandingkan dengan apa yang telah kita pelajari dari sabda Sang Buddha (Dhamma/Vinaya) [DN16]. Bila terdapat perbedaan, maka kita seharusnya mencari tahu alasannya dengan mendiskusikannya dengan teman-teman atau bhikkhu-bhikkhu lainnya. Pada akhirnya diri kita sendirilah yang memutuskan apa yang sesuai dengan ajaran Sang Buddha . Pengertian yang matang akan ajaran Sang Buddha ini akan dengan sendirinya menjadi sang guru pembimbing. |
|