BUDDHIST WISDOM
dalam MANFAAT HIDUP BERAGAMA

Oleh: Sri Pannavaro Maha Thera
Di antara kita ada yang sering pesimis tentang “apa sebenarnya manfaat kita beragama”. Bukankah agama itu sudah lama, tetapi kenapa perdamaian, kebahagiaan, atau kesejahteraan masih saja merupakan persoalan yang tidak ada habis-habisnya. Menarik sekali bahwa di antara para tokoh-tokoh agama dari berbagai agama yang sering bertemu, berbicara dan berdialog, menyadari bahwa sering sekali melakukan formalitas agama sudah dianggap sebagai penganut agama.

Jadi jika sebagai umat Buddha kita sudah melakukan formalitas agama, puja bakti secara agama Buddha, menggunakan lambang dan simbol-simbol atau aksesoris Buddhis, mungkin juga mempunyai nama Buddhis dalam bahasa Pali, kita dianggap sudah sangat beragama. Dan gejala ini tidak hanya di dalam lingkungan umat Buddhis saja, tapi para pemuka agama lain juga menyadarinya. Ada pada umat berbagai agama. Kalau seseorang sudah melakukan formalitas agama, orang itu merasa bahwa ia sudah beragama.

Dalam suatu kesempatan di depan pengurus dan undangan pada kongres ICRP (Indonesian Conference of Religion and Peace) di Jakarta, Ketua Umum Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Kardinal Darmaatmadja, mengungkapkan satu kalimat pandangan Katolik dikutip dari salah satu ayat kitab suci yang intinya bahwa, bagaimana manusia mau mengasihi Tuhan, bagaimana manusia mau mengasihi Allah, kalau mengasihi sesama manusia saja tidak bisa. Demikian juga salah satu tokoh Islam, K.H. Salahuddin Wahid, adik dari mantan Presiden K.H. Abdulrahman Wahid; pernah menyampaikan koreksi atau mungkin kritik yang keras sekali. Beliau mengatakan masyarakat Indonesia rajin bersembahyang sehingga sepertinya intim, akrab, dan dekat dengan Tuhan; tetapi amat jahat dengan sesama manusia.

Fenomena inilah yang disoroti oleh pemuka agama. Jadi beragama tidak dapat diukur hanya dengan tekun bersembahyang, memakai simbol-simbol agama, dan sebagainya, karena semua itu ternyata tidak membawa banyak manfaat bagi kita semua dan bagi masyarakat Indonesia. Kerusuhan masih saja terjadi, masyarakat merasa tidak aman karena masih ada bom dimana-mana, para pelajar dan mahasiswa sering bertengkar dan bertawuran, dan sebagainya; padahal masyarakat kita ini hampir seluruhnya mempunyai agama dan memeluk agama. Sehingga orang bertanya-tanya, kalau begitu apa manfaat beragama? Karena kelihatannya sembahyangnya keras, kejahatannya juga keras; sembahyangnya rajin korupsinya juga rajin sekali. Itulah yang disoroti oleh pemuka; tidak hanya dari agama Buddha; tetapi juga dari pemuka-pemuka agama lain.

Secara singkat manfaat hidup beragama adalah apabila terjadi perubahan atas diri kita ke arah yang lebih baik. Kalau seseorang memeluk suatu agama dan dengan memeluk, menganut dan setuju dengan agama yang dianut itu kemudian terjadi perubahan di dalam dirinya menuju ke arah yang lebih baik; maka agama itu bermanfaat bagi orang tersebut.

Mohon maaf, kalau ada yang merasa senang dan mengaku umat Buddha, tetapi dengan memeluk agama Buddha orang tersebut tidak mengalami kemajuan, tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik; maka agama Buddha yang dianut tidak berguna untuk dirinya karena tidak membawa perubahan.

Di Semarang sewaktu peresmian Vihara Buddhagaya, saya mengatakan lebih baik Saudara memilih agama lain jika agama baru yang Saudara pilih itu bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik daripada Saudara menganut dan memeluk agama Buddha, tetapi tidak ada manfaat yang Saudara dapatkan. Manfaat itu adalah perubahan, perubahan pada diri Saudara sendiri; perubahan perilaku, perubahan kualitas hidup ke arah yang lebih baik. Dan kalau itu tidak Saudara dapatkan, maka tidak ada manfaatnya Saudara menganut agama tersebut.

Tetapi di antara kita ada yang berkata : “Bhante, kalau saya datang ke vihara kemudian bersembahyang dengan cara masing-masing; ada yang Paritta Pali, ada yang Sangskarta, ada yang membaca Keng, ada yang hanya memuja dengan bersujud dan sebagainya; saya merasa tentram setelah selesai bersembahyang. Kalau Saudara beragama hanya untuk mencari kepuasan dan ketentraman batin pada saat Saudara sembahyang; itu juga tidak banyak gunanya, tidak banyak artinya bagi hidup kita. Kalau hanya rasa puas, rasa tentram, dan rasa senang pada saat Saudara sembahyang, itu yang Saudara cari, Saudara sama sekali mencari hiburan spiritual. Seperti seseorang yang ketika tiba di rumah, pusing dengan berbagai macam masalah: pekerjaan, anak, keluarga, dan masih banyak lagi. Orang tersebut kemudian mencari hiburan, nonton film atau mungkin pergi ke karaoke. Longgar dan rasa puas, namun ketika pulang masalahnya masih tetap ada.

Ketika seseorang merasa jenuh dan berada keadaan yang sulit, kemudian datang bersembahyang dengan harapan pada saat sembahyang menjadi rileks, batin menjadi tentram dan puas; maka beragama tidak ada bedanya dengan mencari hiburan. Tetapi ini namanya hiburan spiritual. Memang itu berguna, tetapi amat sedikit, seperti Saudara pergi ke tempat hiburan. Hiburan itu berguna tetapi amat sedikit, tidak menyelesaikan masalah; persoalan tetap persoalan, kesulitan tetap kesulitan. Kembali dari hiburan Saudara akan dihadapkan pada persoalan yang belum selesai. Sama dengan yang puas saat sembahyang, namun persoalannya datang kembali ketika pulang ke rumah. Kalau seseorang ingin mengharapkan manfaat dari hidup beragama, menganut suatu agama, agama apa pun; agama itu harus bisa mengubah kualitas hidup dan perilaku seseorang. Tanpa perubahan, agama yang dianut tidak bermanfaat untuk orang itu.

Tetapi agama jangan disalahkan, mengapa? Guru Agung kita, Buddha Gotama mengatakan ajaran yang beliau ajarkan itu seperti rakit, seperti perahu. Kalau saat ini ibarat mobil. Mobil akan bermanfaat, akan bisa melancarkan tugas pekerjaan kita dan mempermudah urusan sehari-hari  kalau mobil itu digunakan atau kalau perahu atau rakit itu digunakan atau didayung. Jadi kalau mobil itu tidak digunakan karena sayang, karena mahal, karena baru, hanya ditaruh di garasi, diberi selimut; jangan pernah menyalahkan mobil tersebut. Mobil atau rakit atau agama seperti alat. Apabila alat itu tidak digunakan dia tidak akan bermanfaat. Jadi kalau agama Buddha tidak bermafaat untuk seseorang, tidak membawa perubahan bagi hidupnya, bukan agama Buddha yang salah tetapi orang itu tidak menggunakan agama Buddha dengan baik.

Jika saja hanya puas beragama, puas bersembahyang dan setelah itu selesai, maka agama tidak membawa kemajuan hidup bagi seseorang. Oleh karena itu, marilah kita menggunakan alat dan sarana yang disebut dengan Dhamma atau agama Buddha dengan sebaik-baiknya untuk membuat perubahan dalam kehidupan kita masing-masing. Perubahan itu harus diusahakan, tidak bisa diminta. Kita bisa mengharapkan dari yang lain, kita tidak bisa mengharapkan dari Sang Buddha sekali pun. Kita sendiri yang harus berjuang untuk mengubah hidup kita.

Ada beberapa hal yang amat penting dari sekian banyak ajaran yang diajarkan oleh Guru Agung kita, Sang Buddha, yang mudah diingat untuk membuat perubahan dalam hidup kita, perubahan ke arah yang lebih baik. Yang pertama adalah KEYAKINAN. Keyakinan adalah awal, keyakinan adalah fondasi. Jika kita mengaku sebagai umat Buddha, kita harus mempunyai keyakinan. Tanpa keyakinan, kita tidak akan punyai ukuran untuk mengambik keputusan. Sehingga keputusan yang diambil itu bisa menghancurkan kita sendiri. Bukan memberikan manfaat, tetapi sebaliknya.

Apakah yang menjadi keyakinan umat Buddha? Di dalam agama lain keyakinan itu disebut iman. Apakah yang diimani umat Buddha? Umat Buddha harus yakin terhadap Hukum Karma. Kalau berbuat baik akan memetik yang baik, kalau melakukan yang tidak baik maka akan memetik penderitaan. Perubahan yang buruk akan berakibat penderitaan, perbuatan yang baik akan berbuah kebahagiaan. Ini adalah keyakinan yang sangat penting, tidak bisa ditawar. Di dalam Anguttara Nikaya, Sang Buddha mengatakan : “O para bhikkhu, tidak mungkin sama sekali, dan tidak akan pernah terjadi perbuatan yang baik berakibat penderitaan; tidak akan pernah terjadi kejahatan berbuah kebahagiaan. Kebaikan akan memberikan kebaikan, perbuatan yang buruk atau kejahatan akan mengakibatkan penderitaan.” Ini adalah keyakinan sentral bagi setiap umat Buddha; golongan apapun, sekte apa pun, majelis apa pun, keyakinan terhadap Hukum Karma sama bagi semuanya.

Keyakinan terhadap Hukum Karma akan memberikan dampak, memberikan pengaruh kepada perilaku kita. Kalau kita setuju dan menerima Hukum Karma sebagai keyakinan, sebagai hokum universal – yang berlaku bagi semuanya, tidak hanya bagi umat Buddha – maka perilaku-perilaku atau kebiasaan-kebiasaan buruk harus dikurangi sedangkan hal-hal yang baik atau perbuatan-perbuatan yang baik harus ditambah. Bila seseorang merasa yakin dengan Hukum Karma bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, tetapi tidak berhenti berbuat jahat; tidak malu berbuat jahat, tidak takut akibat kejahatan dan tidak ada perubahan di dalam perilakunya atau tidak ada perbaikan di dalam tingkah lakunya; meskipun orang itu bisa menerima Hukum Karma, setuju dengan Hukum Karma dan mengakui Hukum Karma itu logis dan benar, sulit dikatakan bahwa dia mempunyai keyakinan terhadap Hukum Karma. Orang seperti itu tidak menganut Hukum Karma. Sebab kalau menganut Hukum Karma, dia akan konsisten dengan yang diyakini dan tahu bahwa kejahatan akan berakibat penderitaan, maka dia akan mengurangi kejahatan serta karena tahu bahwa perbuatan baik akan membawa kebahagiaan, maka dia senang berbuat baik.

Kalau ada orang yang menerima Hukum Karma tapi perbuatannya tidak berubah, kebiasaan-kebiasaan jahatnya tidak dikurangi, maka orang ini tidak menganut Hukum Karma tetapi hanya pengagum Hukum Karma. Jika kita konsisten dan yakin pada Hukum Karma, kita harus berusaha keras meskipun sulit untuk mengurangi kejahatan dan menambah perilaku atau perbuatan-perbuatan baik. Sang Buddha juga mengingatkan kepada kita bahwa kebaikan betapa pun kecilnya jangan diremehkan. Memberi makanan kepada seekor anjing atau kucing itu juga perbuatan baik; jangan meremehkan perbuatan baik meskipun hanya kecil. Marilah kita memulai dari diri kita sendiri dulu untuk melakukan perubahan. Jaman sekarang ini adalah jaman orang menuntut, dimana-mana orang menuntut. Menuntut pada siapa? Menuntut orang lain. Kalau hanya menuntut dan menggugat orang lain, apa yang bisa kita dapatkan? Yang bisa kita dapatkan hanya marah-marah.

Ada editorial di sebuah Koran yang judulnya menarik, yaitu:”Mengapa masih sajakah ada perbuatan jahat? Mengapa masih sajakah ada tindak kejahatan?” Artinya mengapa di bumi ini, di Negara ini, masih ada dan masih saja ada perbuatan jahat, masih saja ada tindak kejahatan. Kelihatannya kalimat itu baik, tetapi akan lebih baik kalau diganti dengan kalimat, “Apakah saya sudah berhenti berbuat jahat?” Mengapa kita hanya menuntut orang lain dan tidak menuntut diri kita sendiri dulu: “Apakah saya sudah berubah menjadi lebih baik?” Kalau kita hanya menuntut, menggugat, mendemo, nanti yang ada hanya kebencian dan kemarahan saja; tidak ada perbaikan untuk diri sendiri.

Saya ingin memberikan contoh. Seorang ayah, seorang suami tentunya menginginkan keluarganya tentram, sejahtera, dan saling menghargai. Tetapi jika suami itu sendiri, ayah itu sendiri tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri lebih dulu; mudah marah, mudah tersinggung, tidak bisa berpikir dewasa; maka si suami, si ayah akan menjadi sumber ketegangan di dalam rumah tangganya sendiri. Tidak masuk akal apabila dia mengharap rumah tangganya harmonis dan bahagia. Kalau si suami, si ayah menginginkan keluarganya harmonis, bahagia, tidak banyak ketegangan, maka dia harus memulai memperbaiki dirinya sendiri dulu. Demikian juga seorang ibu, seorang istri. Seorang ibu atau istri hendaknya tidak hanya menuntut – menuntut anak-anaknya, menuntut suaminya – supaya keluarganya tenang, tentram, tidak selalu dalam ketegangan, tidak selalu diliputi suasana yang panas; tetapi ibu itu harus memulai dari dirinya sendiri lebih dulu. Kalau si ibu selalu marah-marah, selalu curiga, sulit diajak berunding, menimbulkan ketegangan, maka si ibu akan menjadi sumber kekacauan di dalam rumah tangganya sendiri. Bagaimana mungkin si ibu mengharapkan rumah tangga yang damai dan bahagia? Omong kosong! Kalau kita menjaga diri kita sendiri, itu berarti sama dengan menjaga orang lain, karena kita tidak membuat masalah untuk orang lain. Kalau kita ingin menjaga orang lain; agar mereka tidak susah, tidak menderita, caranya adalah jagalah diri kita sendiri lebih dulu. Kalau kita ingin menjaga orang lain, tetapi tidak mau mengendalikan diri kita sendiri dulu, tidak mungkin. Justru kita menjadi sumber ketegangan, sumber persoalan bagi keluarga, bagi orang lain.

Yang terakhir ini lebih penting, karena merupakan mahkota, puncak ajaran agama Buddha. Ciri khas atau ciri istimewa agama Buddha adalah THE BUDDHIST WISDOM  atau KEBIJAKSANAAN BUDDHIS. Ada dua hal kebijaksanaan Buddhis; yang pertama agak mudah dan yang terakhir agak sukar. Sering sekali kami para bhikkhu mendengar keluhan dari umat: ”Bhante, saya sudah menjaga diri saya, saya sudah berusaha menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, saya masih mempunyai kesempatan mengabdi untuk organisasi, untuk majelis, untuk perkumpulan social, untuk vihara, untuk para bhante dan sebagainya. Tetapi mengapa Bhante, masih mengalami kesusahan-kesusahan, kesulitan-kesulitan, kadang-kadang cacian, hinaan, fitnah dan bermacam-macam kesulitan yang tidak ada habis-habisnya?”

Lazimnya adalah Commn Wisdom atau Kebijaksanaan Umum. Ada umat yang bertanya: “Bhante, mengapa ada rumah seseorang yang dijarah sampai habis dan dibakar?” Common Wisdom atau Kebijaksanaan Umum mengatakan sekarang masyarakat ini sudah tidak punya norma, tidak takut lagi melakukan kejahatan, benar-benar jahat. Orang yang menjadi korban kekerasan akan marah pada orang yang melakukan penjarahan dan pembakaran. Itulah yang disebut Common Wisdom, Kebijaksanaan Umum.

Tetapi Kebijaksanaan Buddhis sangat berbeda. Kalau kita sudah hidup hati-hati, sudah melakukan hal-hal yang baik, yang benar, tetapi masih menjadi sasaran kejahatan, sasaran kekerasan, maka agama Buddha akan menjawab bahwa karma kita sendiri yang sedang berbuah. Kalau bukan akibat perbuatan (karma) kita sendiri, kita tidak akan mengalami penderitaan seperti yang dialami sekarang. Satu contoh: mengapa tetangga di sebelah kanan dan kiri rumahnya tidak menjadi sasaran kekerasan, tetapi mengapa hanya rumahnya sendiri? Karena karma buruk sedang berbuah pada dirinya. Buddhist Wisdom mengajak kita untuk melihat ke dalam diri kita dulu, tidak ke orang lain.

Common Wisdom atau Kebijaksanaan Umum itu selalu melihat ke diri orang lain dulu: wah dia jahat, dia tidak punya moral, dia itu bukan manusia, kerjanya hanya marah terus. Tapi Buddhist Wisdom mengajak kita melihat ke dalam diri kita sendiri. Orang mengatakan The Buddhist Wisdom adalah Uncommom Wisdom, kebijaksanaan yang tidak umum.

Rumah orang yang menjadi sasaran kekerasan, dijarah bahkan sampai dibakar karena ada sebab, yaitu dalam hidup yang lampau dia pasti pernah menjarah atau membakar rumah orang lain atau melakukan kejahatan lainnya. Kalau tidak ada sebab atau orang itu tidak membuat sebab, tidak mungkin akibat akan datang pada orang tersebut. Jika kita telah mengerti kebijaksanaan Buddhist ini, maka kita tidak akan marah kepada orang yang melakukan penjarahan, kekerasan, fitnah, surat kaleng; justru yang timbul adalah Karuna, rasa kasihan. “Saya kasihan melihat dia berbuat kejahatan, Bhante. Nanti kalau perbuatan dia berakibat, dia akan lebih menderita dari saya. Saya kasihan melihat tingkah laku dia, melihat perbuatan dia.” Bukan kemarahan yang keluar, bukan kebencian yang keluar, bukan dendam yang keluar tetapi rasa kasihan, kasihan kepada orang yang sudah berbuat jahat, karena kejahatan itu pasti akan berbuah pernderitaan bagi dirinya.

Dulu di daratan Tiongkok ada seorang pejabat tinggi yang sangat tidak senang dan benci sekali kepada seorang guru meditasi yang sudah tua. Suatu hari pejabat ini datang ke vihara dimana Bhante, guru meditasi ini sedang berasa. Pejabat itu kemudian bertanya: “Bhante, kalau Guru melihat saya seperti apa?” Guru menjawab, “Kalau saya melihat Yang Mulia , Yang Mulia seperti Buddha.” Murid-murid guru meditasi tersebut sudah menjadi tidak sabar. “Orang ini sangat benci kepada agama Buddha, sangat tidak senang kepada guru, mr\engapa guru memuji-muji, menyanjung-nyanjung dan mengatakan dia seperti Buddha.” Itu commom wisdom, itu kebijaksanaan umum. Sekarang murid-muridnya balik bertanya kepada pejabat tinggi tersebut: “Nah, kalau Yang Mulia Pembesar melihat guru saya seperti apa?” “Oh, gurumu sepertu kerbau”, kata pejabat tersebut. Murid-murid guru meditasi menjadi marah: “Guru saya menghargai Tuan, memuji Tuan, menyanjung Tuan, mengapa Tuan menghina guru saya? Guru saya dikatakan binatang, dikatakan kerbau, hinaan yang luar biasa.” Itu juga the commom wisdom, kebijaksanaan umum. Kebijaksanaan Buddhis berbeda. Kebijaksanaan Buddhis itu uncommom wisdom.

Bagaimana kebijaksanaan Buddhis melihat? Kebijaksanaan-kebijaksanaan umum melihat bahwa Sang Guru dihina, dilecehkan, dan dikatakan kerbau oleh Pembesar. Kebijaksanaan Buddhis mengatakan Pembesar itu berotak kerbau; kalau tidak berotak kerbau, mulutnya tidak akan berbicara “kerbau”. Karena di dalam otaknya berisi kerbau, dia mengucapkan “kerbau”. Tetapi pikiran guru meditasi itu pikiran yang murni. Yang dipikirkan selalu yang baik-baik saja kare itu mulutnya mengatakan: “Yang Mulia seperti Buddha.” Karena pikirannya baik, dari mulutnya akan keluar ucapan yang baik; kalau pikirannya jelek maka daru mulutnya akan keluar kata-kata yang jelek. Itu Buddhist Wisdom. Jadi yang sebenarnya seperti Buddha adalah gut\ru meditasi, sedangkan yang kerbau adalah Pembesar itu. Kalau kita memakai Buddhist Wisdom, kebijaksanaan Buddhis itu enak, kita tidak perlu marah-marah dan dendam.

Kalau kita mengalami kesulitan, dicaci-maki, teman yang dulu baik sekarang ingin menghancurkan usaha kita, kemudian kita datang kepada para bhikkhu. Para bhikkhu tidak akan berkata,”Bersabarlah, Anda sedang dicoba.” Tetapi akan mengatakan: “Karmamu sedang berbuah.” Mengapa dikatakan demikian? Yah supaya dia tidak mendendam kepada orang itu, supaya dia tidak membenci kepada orang itu, karena karmanya sendiri yang berbuah. Kalau bukan karmanya sendiri tidak mungkin dia mengalami hal yang seperti itu. Justru dia merasa kasihan: “Saya kasihan melihat pegawai saya itu, perilakunya yang jahat akan membuat dia menderita, mngkin lebih sengsara dari penderitaan atau kesulitan yang sekarang sedang saya alami.”

Kita pasti menghibur yang menderita itu: “Di dunia ini tidak ada yang kekal, semuanya sementara, penderitaan yang kita alami juga tidak kekal, jangan membenci: kalau ada kesempatan berbuat baik tambahkan kebajikan.” Tetapi sebelum dihibur, pertama kali harus “ditembak” dulu dengan Buddhist Wisdom, bahwa karma jeleknya sendiri yang sedang berbuah; supaya tidak timbul kemarahan, tidak timbul dendam, tidak timbul kebencian.

Kebijaksanaan yang kedua agak sulit untuk dipahami, tapi kalau bisa dipahami, itulah mahkota keistimewaan agama Buddha; kalau dibandingkan dengan ajaran-ajaran yang lain. Apakah kebijaksanaan yang kedua? Agama Buddha meminta kepada kita “Siapkah untuk menerima perubahan?” Tidak ada yang kekal di alam semesta ini, semuanya berubah. Apa yang tidak berubah? Apa saja berubah! Perubahan memang dapat membawa kemajuan. Yang kecil menjadi besar; yang di bawah kemudian menjadi naik; karena perubahan. Kalau tidak ada hukum perubahan tidak ada kemajuan. Tetapi hukum perubahan itu juga membawa kehancuran; yang muda menjadi tua, yang sehat menjadi sakit, yang di atas kemudian turun ke bawah, yang sukses kemudian mengalami kegagalan, itu juga karena perubahan. Tidak ada yang abadi, tidak ada yang tetap di alam semesta ini.
Menurut agama Buddha, orang yang paling menderita adalah orang yang sulit menerima perubahan terutama perubahan yang tidak enak. Mengapa perubahan harus diterima? Karena kita tidak bisa menghentikan perubahan. Suatu ketika misalnya, kita mempunyai mobil baru yang baru dikredit dan belum lunas. Ketika dibawa sopir mobil itu masuk ke jurang, hancur. Kita terima atau tidak? Memang selera kita, hawa nafsu kita sulit untuk menerima. Kita tidak ingin itu terjadi, tidak ingin melihat mobil itu rusak berat. Selama kita tidak bisa menerima kenyataan, itulah penderitaan. Kalau mobil tidak masuk jurang, kita tidak akan menderita. Sekarang kita sangat menderita karena mobil kita yang baru masuk jurang. Jadi kita menderita akibat mobil kita masuk jurang? 

Salah Saudara! Kelihatannya betul, tetapi salah. Yang menjadi sebab penderitaan bukan karena mobil itu masuk jurang, tetapi kita tidak bisa menerima kenyataan. Keinginan mobilnya tidak masuk jurang, keinginan mobilnya masih utuh, tetapi nyatanya sekarang mobilnya sudah rusak; itulah yang membuat penderitaan.

Jadi, Bhante kalau menderita karena mobil kita masuk jurang, itu salah kita sendiri? Ya, menurut agama Buddha sumber penderitaan itu 100% dari dalam diri kita sendiri. Tidak dari luar, sama sekali tidak dari luar. Sumber penderitaan dari dalam diri kita sendiri sepenuhnya. Kalau kita tidak ingin menderita, bisa saja. Bagaimana caranya, Bhante? Kalau kita mendengar laporan: “Pak, Bu, mobilnya masuk jurang. Sekarang sudah hancur.” “Oh, masuk jurang?! Yah…. sudahlah.” Kita tidak akan menderita. Selesai! “tetapi saya butuh mobil, Bhante. Mobil yang dibeli sekarang masuk jurang.” Beli lagi, tidak sulit kan. “Tetapi, Bhante beli lagi itu kalau punya uang, beli lagi tidak punya uang kan juga menderita.” Ya sudah, keinginan untuk beli mobil lagi dibuang. Tentu, tidak akan menderita! Nafsu keinginan kita, konflik kita dengan kenyataan, dengan perubahan itulah yang membuat ketegangan, penderitaan dan depresi yang tidak ada habis-habisnya, membuat hidup tidak enak, tidak bahagia, tidak senang; semua sumbernya dari dalam diri kita. Begitulah penderitaan!

Kita juga bisa kalau kita tidak ingin dan tidak mau menderita. Kita menderita karena kita yang membuat sendiri. Kalau kita tidak mau menderita, maka yang menjadi sebab penderitaan harus dibuang. Mobil sudah rusak, sudahlah; kita tidak perlu menderita. Kalau kita tegang, marah-marah, bahkan walaupun membenci sopir kita; mobil itu tetap rusak. “Sudahlah, lain waktu hati-hati kalau mengemudi.” Kenyataan itu diterima dulu, bukan marah dulu. Kalau nanti bisa diperbaiki, diperbaiki. Kalau tidak bisa, ya beli lagi. Kalau tidak punya uang ya tidak usah beli lagi, selesai. Melepaskan keinginan yang tidak bisa dicapai akan membawa kebahagiaan, memegang keinginan yang tidak bisa dicapai itulah penderitaan.

Apa yang disebut dengan penderitaan, apa yang disebut dengan sebab penderitaan, apa yang disebut dengan kebahagiaan; tidak sulit; sebabnya sepenuhnya ada di dalam diri kita sendiri. Agama Buddha mengenal tiga utusan. Sang Buddha memang bukan utusan, mencapai Pencerahan dengan usaha sendiri, tidak diutus oleh siapa pun. Tapi agama Buddha mengenal tiga utusan dan utusan ini datang pada setiap orang ketika umur sudah bertambah. Apa ketiga utusan itu? Umur tua, sakit, kematian. Ketika rambut sudah berwarna putih sedikit, utusan pertama sudah datang; umur tua. Kemudian rematik, encok, ginjal, jantungnya tidak sehat, utusan kedua sudah datang: sakit. Pada akhirnya nanti utusan ketiga yang akan datang: kematian. Apa harus berurutan? Tidak harus berurutan. Kadang-kadang utusan pertama belum datang, utusan ketiga sudah datang. Belum tua, sakitnya belum parah kemudian meninggal. Ketika usia bertambah dan menjadi tua kemudian tenaganya berkurang, sakit-sakitan, terimalah kenyataan itu sambil diobati. Biar sakit tapi tidak menderita. Biar jasmani kita sakit, tapi kita tidak harus menderita; kenyataan itu diterima dan penyakit tersebut diobati. Bukan penyakit yang membuat penderitaan. Kenyataannya sudah menjadi tua, tetapi hawa nafsu (keinginannya) tidak ingin dirinya menjadi tua,  itulah penderitaan! Terimalah kenyataan tersebut! Jadi sebab penderitaan itu persis berada di dalam diri kita. Secara filosofis dapat dikatakan bahwa: ”Ajaran agama Buddha tidak dapat menghentikan perubahan.”  Tidak mungkin ada yang dapat menghentikan perubahan, termasuk kematian; tidak mungkin! Tetapi agama Buddha dapat menghentikan penderitaan. Perubahan tidak bisa dihentikan, tetapi penderitaan bisa dihentikan. Mau menderita atau tidak terserah pada diri kita sendiri.

Inilah uraian the Buddhist Wisdom yang mungkin agak dalam. Biarlah ada uraian yang agak sederhana dan ada uraian yang agak dalam, supaya kita semua menjadi puas. Itulah mahkota ajaran agama Buddha. Mungkin sulit menerima uraian tersebut, yang berbeda dengan ajaran-ajaran lain. Penderitaan dan kebahagiaan sepenuhnya tanggung jawab kita. Kita ingin menderita atau ingin mengurangi penderitaan untuk mencapai kebahagiaan, bukan urusan factor luar. Tetapi kuncinya adalah bagaimana kita menghadapi perubahan, bagaimana kita menghadapi hal-hal yang tidak enak. Kalau kita bisa mengubah cara berpikir kita, sikap mental kita; kita tidak akan menderita. Biar usia tua terjadi, biar penyakit terjadi, biar perubahan terjadi, biar kematian sekalipun terjadi, silakan; kita tidak akan menderita. Mengapa kita menderita menghadapi perubahan? Perubahan tidak bisa dihindari, akan berlaku dan akan terjadi pada semua orang. Bukan saja semua orang, tetapi akan terjadi pada segala sesuatu di alam semesta ini. Semua perpaduan tidak kekal, tidak ada di alam semesta ini yang kekal atau tetap. Semuanya berubah terus menerus.

Kalau kita dapat membiasakan cara berpikir dan memiliki sikap mental seperti ini, penderitaan tidak perlu terjadi di dalam diri kita. Kalau kita menderita itu salah kita sendiri. Kalau kita tidak ingin menderita, kita pun bisa tidak menderita, karena penderitaan itu sumbernya dari dalam diri kita sendiri.

Keberagamaan kita akan bermanfaat apabila terjadi transformasi atau perubahan; perubahan sikap mental, perubahan cara pikir, perubahan kebijaksanaan, perubahan perilaku kea rah yang lebih baik. Marilah kita berjuang dengan sungguh-sungguh, agar kita memperoleh manfaat sebagai umat Buddha (***)

Untuk direnungkan :

Perubahan tidak bisa dihindarkan, akan berlaku dan akan terjadi pada segala sesuatu di alam semesta ini.
Mengingkari perubahan yang terjadi merupakan penderitaan.
Diperlukan latihan untuk menerima perubahan, bukan hanya sebatas wacana.
Dengan dapat menerima perubahan, kita tidak akan menderita dan batin tidak menjadi “hancur”.

Ceramah Dhamma, 8 Juni 2003 di Teater Makassar, Makassar.