SINAR HARAPAN, Sabtu, 24 Juli 2004
Pdt Andrew Lake: Melayani Sambil Mencatat Sejarah
JAKARTA - Di negeri ini tidak banyak pendeta yang membuat catatan atau memoar
mengenai kisah atau pengalaman pelayanannya. Catatan seperti itu sesungguhnya
akan sangat bermanfaat, mungkin tidak untuk saat ini, namun di masa depan.
Membuat karya tulis seperti itulah yang dilakukan Pendeta Andrew Lake dari All
Saints Church Jakarta, yang akhir Juli ini mengakhiri tugasnya di Indonesia, untuk
kembali ke Australia.
"Pengalaman melayani di Jakarta sungguh pengalaman yang sangat luar biasa.
Ketika saya baru dua tahun bertugas di sini, tahun 1998, istri dan anak harus
dievakuasi karena pecah kerusuhan di Jakarta," katanya, ketika meluncurkan buku itu
pekan ini di kediaman Dubes Inggris di Jakarta.
Namun, Andrew bisa melalui periode-periode yang mungkin menakutkan itu, bahkan
di sela-sela pelayanannya sebagai pendeta, dia berhasil menyusun sebuah tesis
berjudul Changes & Chances a Personal History of All Saints Jakarta untuk
menyelesaikan studi pascasarjananya. Buku itu bukan saja berisi sejarah gereja itu,
tetapi juga tokoh-tokoh dan berbagai peristiwa yang menyertainya.
All Saints Church Jakarta tercatat sebagai gereja berbahasa Inggris tertua di
Indonesia. Cikal bakal gereja berbahasa Inggris itu dirintis oleh Sir Stamford Raffles
yang ikut mendirikan Java Auxiliary of the British and Foreign Bible Society (BFBS)
tahun 1814.
Gereja itu sendiri didirikan oleh tiga pendeta, yakni Robert Morrison, William Milne,
dan Walter Medhurst, anggota Ultra-Ganges Mission of theLondon Missionary
Society (LMS-UG). Medhurts adalah orang yang pertama menyusun terjemahan Kitab
Perjanjian Baru dalam bahasa Melayu pasar.
Gereja itu sendiri awalnya hanya bangunan sederhana dari kayu dan bambu, tempat
para ekspatriat berbahasa Inggris itu berkumpul setiap hari Minggu. Pendirian
bangunan permanen baru dimulai tahun 1930 dari hasil pengumpulan dana yang
digalang Medhurst Dalam perjalanannya, perluasan terjadi beberapa kali yakni 1831,
1839 dan 1863.
Andrew juga berhasil menyusun daftar orang-orang yang pernah menjadi pendeta di
gereja itu.
Bangunan gereja itu sendiri tidaklah bergaya Inggris, bahkan bergaya Belanda. Dalam
catatan Andrew, keinggrisan gereja itu tampak karena generasi demi generasi orang
Inggris selama 170 tahun membuat ornamen-ornamen tambahan bergaya Inggris,
tanpa menyentuh bangunan utamanya.
Jemaatnya akhirnya lebih bersifat oikumenis terdiri dari warga dari negara-negara
persemakmuran, Amerika, Eropa, maupun Indonesia. Jadi kini, anggota Dewan
Gereja terdiri dari aliran Presbiterian, Baptis, Katolik, Lutheran, dan Metodis.
Nama All Saints Church baru muncul pada tahun 1950, sebelumnya selama satu
abad orang-orang Belanda menyebutnya sebagai Engelsche Kerk dan orang-orang
Indonesia menyebutnya sebagai Gereja Inggris.
Menariknya, buku ini tidak melulu menulis mengenai sejarah gereja itu, tetapi juga
kaitan-kaitan situasi sosial dan politik yang menyertai setiap era perkembangannya.
Nama All Saints Church, yang pernah dinamakan the Church of British Protestant
Community, mulai digunakan sebulan setelah 17 Agustus 1950, ketika masyarakat
internasional memberikan pengakuan kedaulatan.
Nama itu dipakai untuk menghilangkan kesan Inggris, karena jumlah orang Inggris
yang beribadah juga semakin sedikit, sementara orang-orang Amerika semakin
banyak. Itu semua terjadi semasa Oswald McCarthy menjadi British Chaplain in Java
(Maret 1950-Januari 1951).
Misalnya, ada catatan menarik semasa Konfrontasi (1964), ketika rasa permusuhan
terhadap Inggris demikian besar, dan pemerintah Soekarno memutuskan hubungan
dengan PBB, pengurus gereja ini juga terancam akan disita tanahnya oleh pemerintah
sehingga akhirnya menyerahkan hak pakai tanah kepada DGI (kini PGI) untuk
mendapat perlindungan dalam sebuah perjanjian.
Buah hubungan dengan DGI itu adalah berdirinya Yayasan Sumber Asih yang
menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak terbelakang mental.
Sebuah Misteri
Dalam penelusuran yang dilakukan Andrew, ada kasus menggemparkan terkait
dengan gereja itu, yakni pembunuhan terhadap Pendeta Eric Constable pada 29 Juli
1974. Penerbitan bukunya ini kebetulan dekat dengan peringatan 30 tahun peristiwa
menyedihkan itu, sehingga ia juga ingin mengungkapkan sejumlah fakta seputar
peristiwa tersebut.
Pendeta Erick dibunuh oleh tiga pria berpakaian rapi dan berjaket yang diantar masuk
menemuinya oleh Sukiman, mantan anggota TNI yang menjadi petugas keamanan.
Erick yang baru dua minggu berada di Indonesia tidak merasa curiga, namun
kemudian kejadian mengerikan itu berlangsung. Ketiga pelaku mengeluarkan pisau
dan menikamnya dan juga Sukiman.
Versi resmi menyebutkan pembunuhan itu hanyalah kasus perampokan biasa.
Namun, juga memunculkan sejumlah pertanyaan: mengapa seorang pengusaha asal
Surabaya Hasyim Yahya, yang tidak punya catatan kriminal menjadi perampok?
Mengapa tidak ada barang yang dicuri? Mengapa massa yang hadir di persidangan
Hasyim Yahya meneriakkan slogan-slogan berbau keagamaan? Mengapa terdakwa
kasus pembunuhan itu dibebaskan? Mengapa Sidang Umum Dewan Gereja-Gereja
Dunia yang akan dilaksanakan di Indonesia pada 1975 akhirnya harus dipindah ke
Nairobi? (hal. 148).
Dalam bukunya itu Andrew mengungkapkan kasus ini baru terungkap 26 tahun
kemudian, dan itu ada dalam buku Gereja-Gereja Dibakar, terbitan tahun 2000, yang
menyebutkan alasan pembakaran banyak gereja di Indonesia, termasuk kampus
Doulos di Cilangkap, Jakarta Timur. Dalam buku itu disebutkan Adrian Hussaini,
penulis buku, bertemu dengan Hasyim Yahya ketika naik haji tahun 1997, dan
Hasyim menuturkan bahwa dia termasuk salah satu orang yang tidak suka dengan
perkembangan agama Kristen sejak Soeharto berkuasa termasuk polemik yang
berkembang menyangkut Yusuf Roni, kini pendeta. Dan yang paling membuat marah
adalah ketika Pemerintah akhirnya menyetujui penyelenggaraan Sidang Dewan
Gereja-Gereja Dunia di Jakarta tahun 1975. Dalam Gereja-Gereja Dibakar itu
terungkap bahwa pembunuhan terhadap Erick Constable merupakan perintah untuk
membunuh lawan yang agresif.
Dalam percakapan dengan SH, Andrew menilai kasus pembunuhan 30 tahun lalu itu
meski dilakukan dengan motif-motif keagamaan tetap tidak dapat dianggap bahwa
tidak ada toleransi beragama di Indonesia. "Bagaimana pun, selain Pendeta Erick
juga ada Sukiman yang dibunuh, dia bukan orang Kristen," katanya.
Melewati Krisis
Kini, All Saints Church Jakarta membuka cabang di Sekolah Don Bosco, Pondok
Indah, di Jakarta Selatan. Cabang ini dibuka sejak pecah berbagai kerusuhan pecah
di Indonesia, dan banyak ekspatriat yang pulang sehingga jumlah jemaat di gereja itu
menyusut. Ketika situasi mulai membaik, banyak ekspatriat berbahasa Inggris itu
beribadah di Don Bosco, jadilah di sana cabang gereja ini.
Kini, ketika situasi mulai membaik, dilakukan langkah-langkah untuk
mempertahankan keasilian All Saints Church Jakarta, sebagai salah satu tempat
bersejarah di Jakarta. Salah satu yang akan dipertahankan adalah kapel Medhurst,
yang meski tidak lagi menjadi tempat ibadah utama, namun punya nilai sejarah bagi
All Saints maupun Gereja Anglikan Indonesia.
Bahkan, dalam kerjasama dengan Persekutuan Alumni Perkantas, dibentuklah
skema kredit mikro bernama Christian Micro Enterprise Development, yakni kredit
untuk mengembangkan usaha kecil, dengan memanfaatkan potensi para profesional
yang menjadi jemaat.
Andrew juga mengalami sendiri krisis demi krisis yang melanda Indonesia sejak
1997. Dia menyaksikan rangkaian peristiwa seperti kerusuhan Mei 1998, bentrokan di
Jalan Ketapang, Jakarta Barat, November 1998, yang berbuntut pada pembakaran
dan perusakan sekitar 31 bangungan gereja, konflik di Ambon dan Poso,
pengeboman malam Natal tahun 2000, bom bali 12 Oktober 2002, bom JW Marriot
Agustus 2003 dll.
Namun, hal itu tidak membuatnya pesimistis mengenai Indonesia. Dalam
pandangannya, di negara sebesar Indonesia dengan pemeluk agama Islam terbesar di
dunia, ia merupakan negara yang dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain di
dunia mengenai kehidupan beragama yang bertoleransi.
"Memang ada kasus-kasus, tapi itu tidak dominan. Bahkan kalau ada konflik
masyarakat seperti di Ambon atau Poso, hal itu sifatnya lokal, tidak meluas sampai
ke daerah-daerah lain di Indonesia," katanya. (xha)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|