Sinar Harapan, Sabtu, 1 Desember 2001
10.000 Warga Poso Pesisir Mengungsi ke Hutan
Poso, Sinar Harapan - Situasi Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah
masih membara hingga Jumat malam, menyusul aksi penyerangan sporadis yang
terus dilakukan oleh kelompok yang bertikai sejak Selasa (27/11).
Terakhir, dua korban dinyatakan tewas di desa Sangginora, desa terakhir yang
dibumihanguskan oleh kelompok penyerang.
Sementara, sekitar 10.000 pengungsi dari empat desa, masing-masing, Betalemba,
Patiwunga, Tangkura, Sangginora, terpaksa menyelamatkan diri melalui hutan-hutan
dan gunung, lainnya menuju ke Kota Tentena dengan berjalan kaki puluhan kilometer.
Langkah pengamanan yang dilakukan oleh empat regu aparat gabungan TNI/ Polri,
ternyata tidak mampu membendung aksi penyerangan yang dilanjutkan dengan
pembakaran rumah-rumah penduduk setempat.
"Aparat tidak bisa berbuat banyak, ketika rumah-rumah penduduk dan rumah ibadah
dibakar," ujar Elta Jamawo (68) warga desa Tangkura, yang selamat setelah
menumpang kendaraan umum menuju Palu. Dikatakan, anak-anak dan cucunya tidak
diketahui nasib mereka.
"Kami tidak tahu lagi dimana mereka berada, sebab ribuan pengungsi terus berupaya
menyelamatkan diri dengan lari ke gunung dan hutan," ujarnya.
Selain itu, warga juga mencoba mengungsi ke desa Napu, yang terletak 60 km,
dengan berjalan kaki, atau menuju Tentena melalui jalur hutan dan gunung-gunung.
Desa Sangginora, yang letaknya 18 km dari desa Tangkura, yang menjadi tempat
pengungsian terakhir bagi tiga warga desa, luluh lantak akibat penyerangan Kamis
pagi.
"Warga di sana hanya bisa mencegah para perusuh dengan menebang pohon-pohon
untuk menghalangi jalan mereka," tukasnya sedih.
Pihak Polda Sulawesi Tengah, hingga tadi malam dan Sabtu pagi, telah mengirimkan
tambahan pasukan, sebanyak empat peleton Brimob dari Bali yang baru dimutasikan.
"Kami sudah menambah pasukan untuk mencegah meluasnya konflik Poso," ujar
Kadispen Ajun Komisaris Besar Polisi Drs Agus Sugianto, ketika dihubungi via
telepon.
Dikatakan, pengiriman pasukan melalui dua jalur, yakni lewat desa Napu, dan jalur
Poso. Pengiriman pasukan dari dua arah berlawanan itu, untuk mencegah meluasnya
konflik ke daerah sekitar. "Setelah ini akan ada 4 Peleton dari Mamboro, 2 SSK dari
Mabes Polri, 2 SSK aparat TNI dari Gorontalo dan Palopo," ujar Sugianto yang
dikenal akrab dengan wartawan.
Meski reaksi terlambat, namun pihak pemerintah Provinsi Sulteng menyatakan akan
mendukung sikap Presiden Megawati yang meminta segera dihentikannya pertikaian
di Poso, melalui sidang Kabinet Menkopolsoskam di Jakarta, Jumat kemarin.
"Jangan ada lagi aksi baku tembak, saya minta aparat bertindak tegas di lapangan,"
ujar Gubernur Aminuddin Ponulele kepada wartawan.
Selain itu, ia berharap agar masyarakat turut mendukung dan beritikad baik segera
mengakhiri konflik."Masyarakat juga menjadi penentu, kalau mereka mau
menghentikan pertikaian, maka masalah ini bisa segera selesai," tukasnya.
PBB Harus Turun Tangan
Sementara itu, sekretraris Crisis Centre Tentena, Noldy Taco yang dihubungi SH tadi
malam menyatakan, kasus Poso sudah menjadi masalah internasional, karena sudah
menyangkut nyawa puluhan ribu manusia. "Aksi penyerangan yang terakhir dengan
membumihanguskan empat desa hanya dalam waktu dua hari, harus segera disikapi
oleh dunia internasional," ujarnya.
Ia mengatakan, tidak ketidakmampuan aparat setempat melakukan pengamanan,
membuktikan pemerintah Indonesia tidak serius menyelesaikan masalah konflik
berbau SARA di wilayah Sulawesi Tengah.
"Atas nama kemanusiaan, PBB harus turun tangan sebelum korban semakin
bertambah. Saat ini saja, ada sekitar sepuluh ribu pengungsi baik anak-anak, orang
tua, wanita hamil, sedang berada di hutan-hutan dan gunung-gunung," tukasnya.
Sementara itu, laporan dari Tentena menyebutkan di kota kecamatan ini terdapat
sekitar 63.000 penduduk, yang hanya menunggu dengan pasrah gelombang
pembantaian akan segera sampai ke daerah mereka. Karena para penyerang
bergerak secara sistematis dan diperlengkapi dengan senjata api, banyak di
antaranya senjata organik. (mic)
Copyright © Sinar Harapan 2001
|