Hati yang
Malu
Suatu hari, demikian dikisahkan,
seorang lelaki mendatangi Imam Hambali (780-855). Ia lelaki
yang banyak bergelimang maksiat. Tiba-tiba ia datang ke
majelis pengajian Imam Hambali untuk menceritakan mimpinya.
Dalam mimpi itu, kata lelaki
itu, ia merasa tengah berada dalam kerumunan manusia yang ada
di hadapan Rasulullah SAW. Rasul tampak berada di tempat yang
agak tinggi. Satu per satu, orang-orang mendatangi Rasul dan
berkata, "Doakan saya ya Rasulullah." Rasul pun
mendoakan orang-orang itu.
"Akhirnya tinggal aku
sendiri," kata lelaki yang menceritakan mimpinya itu.
"Aku pun sangat ingin mendatangi beliau, tapi aku malu
atas berbagai maksiat yang telah kulakukan. Rasul lalu
berkata,"Mengapa kau tidak datang kepadaku dan minta
kudoakan?"
"Wahai Rasulullah,"
kata lelaki itu, "Aku terhalang oleh rasa malu akibat
perbuatan-perbuatan burukku di masa lalu." "Kalau
engkau merasa terhalang oleh rasa malu, berdirilah dan
mintalah agar aku mendoakanmu. Bukankah engkau tak pernah
menghina para sahabatku," jawab Rasul dalam mimpi
tersebut.
Itu hanya sebuah kisah kecil
dari pergulatan panjang umat manusia meninggalkan kemaksiatan
untuk hijrah ke bumi kebaikan. Perjumpaan serta dialog dengan
Rasul pun hanya ada dalam mimpi, bukan dalam kenyataan. Mimpi
bukanlah dasar yang kukuh untuk dijadikan pegangan, walau para
pecinta sejati Rasulullah meyakini bahwa mimpi bertemu
Rasulullah adalah sama dengan pertemuan yang sebenarnya, dan
mimpi seperti itu hanya mungkin dialami oleh mereka yang
mendapat syafaat.
Tapi Imam Hambali menghargai
keterangan lelaki pendosa tersebut. Laki-laki itu punya rasa
malu atas perbuatan-perbuatan buruknya. Rasa malu itu yang
mencegahnya terperosok semakin dalam ke jurang kemaksiatan,
dan malah mengangkatnya ke dataran kebaikan. Mimpi itu adalah
jalan yang mengantarkannya menuju pertobatan dengan menemui
Imam Hambali. Maka, Imam Hambali pun berkata pada lelaki itu
untuk menyebarkan kisah tersebut agar memberi kemanfaatan pada
orang-orang lain.
Di dalam perjalanan manusia
sebagai hamba untuk mendekat pada Sang Kekasih, Allah Azza
Wajalla, rasa malu baru merupakan tangga yang pertama. Masih
sangat jauh dari perwujudan rasa cinta yang semestinya. Tapi,
apa yang membuat kita dapat mencapai tangga ke-99 bila tangga
pertama pun kita tak sanggup menapakinya? Bukankah kita tak
melupakan petunjuk Rasulullah bahwa "Malu adalah sebagian
dari iman."
Rasul sekalipun menggenggam
rasa malu di hadapan Allah Sang Maha Penyayang. Setidaknya itu
tercetus dalam kisah Mi'raj, saat Muhammad SAW menerima
perintah secara langsung agar umatnya menegakkan salat. Konon,
mula-mula Allah memerintahkan salat 50 kali dalam sehari.
Rasulullah sempat menyanggupi, namun Rasul lain yang ditemui
dalam perjalanan gaib tersebut mengingatkannya bahwa tugas itu
terlalu berat bagi umat Muhammad.
Rasul pun meminta keringanan
sehingga tugas diturunkan lima kali. Masih terlalu berat,
Rasul meminta keringanan lagi. Demikian terus-menerus hingga
kewajiban salat hanya lima kali sehari. Saat itu, Muhammad SAW
diingatkan bahwa lima kali sehari masih terlampau berat. Namun,
Rasul telah malu hati untuk kembali mengajukan keringanan pada
Allah SWT.
Hanya Allah yang Mahatahu
seberapa benar kisah tersebut, tapi kisah itu telah
menunjukkan peran malu dalam kehidupan ruhaniah Rasul.
Punyakah kita rasa malu karena mengabaikan salat? Malukah kita
karena hanya punya sedikit tabungan kebaikan dalam kehidupan
ini.
Allah menyaksikan setiap
langkah kita. Maka semestinya kita malu berbuat hal yang
mubazir, apalagi maksiat, di hadapan-Nya. Semestinya kita malu
tak cukup beribadah kepada-Nya. Semestinya kita malu bila
tidak berkerja keras menyelesaikan amanat-masing-masing.
Semestinya kita malu tidak
mensyukuri nikmat, menuntut kenaikan gaji dengan
mengumpat-umpat bukan dengan meningkatkan kualitas kerja
sendiri. Semestinya kita malu bila menjadi atasan tak mampu
mengangkat nasib bawahan, dan sebagai pemimpin gagal
menyejahterakan rakyat yang kita pimpin. Lazimnya, kita hanya
malu untuk urusan duniawi di hadapan manusia lain, bukan
urusan kebaikan di hadapan Tuhan.
Tokoh sufi Rabi'ah Al-Adawiyah
juga mengungkapkan rasa malunya. Suatu saat, ia ditanya
mengapa tidak minta pertolongan materi dari sahabat-sahabatnya.
Rabi'ah menjawab tenang. "Aku malu kalau harus minta
materi pada Allah, padahal Dialah pemilik segala materi.
Apakah aku harus minta materi pada orang yang jelas bukan
pemilik materi itu."
Suatu doa acap dikumandangkan
sebagai pujian di lingkungan pesantren. "Tuhanku, aku
merasa tak pantas untuk mendapat surga-Mu. Tapi akupun tak
sanggup menanggung azab neraka-Mu. Maka terimalah tobatku,
maafkan segala dosaku. Sungguh Engkau adalah Pengampun Yang
Maha Besar."
Rasa malu telah membuat seorang
wali Allah memanjatkan doa itu. Tidakkah kita malu bila tak
mengikuti jalan yang telah ditempuh Rasulullah dan para wali
Allah untuk menuju ke haribaan-Nya. (zaim
uchrowi)
|