Apa
Kata Alquran Tentang Tsunami?
Nasaruddin Umar
Gurubesar Ilmu Tafsir UIN Jakarta dan Wakil Direktur Pusat Studi Alquran
Ketika dalam penerbangan menuju Milan, Italia, di samping saya duduk seorang
relawan yang baru saja pulang dari Aceh. Ia memperkenalkan diri sebagai
emergency field co-ordinator pada Medecins Frontieres Arsen Zonder Grenzen,
Belanda. Saya juga memperkenalkan diri sebagai gurubesar ilmu tafsir di UIN
Jakarta yang akan mengikuti seminar dan workshop di Bellagio, Italia. Diskusi
kami menarik karena ia juga aktif mempelajari kitab-kitab suci dan sangat kagum
terhadap tulisan-tulisan Karel Armstrong, mantan seprofesinya sebagai perawat,
yang kini menjadi penulis produktif tentang Islam. Di sela-sela perbincangan
kami ia mendesakkan sebuah pertanyaan, What does the Qur'an really say about
Tsunami in Aceh?. Ia merasa bingung terhadap pernyataan tokoh-tokoh agama di
berbagai media di Indonesia. Ada yang mengatakan tsunami sebagai hukuman
(punishment), yang lain mengatakan musibah biasa meskipun dahsyat (calamity),
dan ada juga yang mengatakan balabencana (disaster). Sesungguhnya ia ingin
menanyakan perbedaan antara azab, musibah, dan bala di dalam Alquran.
Pertanyaan ini cukup berat, untung saja inti pertanyaan ini baru saja saya
bahas di dalam khutbah Idul Adha di Mesjid Istiqlal yang baru lalu.
Ketiga istilah tersebut memang sering digunakan agak rancu di dalam masyarakat,
terutama pascatsunami. Jika pembicaraan diarahkan untuk menyabarkan masyarakat
yang tertimpa musibah maka peristiwa tsunami diasumsikan mushibah atau bala.
Jika diarahkan untuk mengingatkan kepada para pendosa dan orang-orang yang
melampaui batas maka peristiwa tsunami diasumsikan azab.
Manusia, alam, dan bencana
Di dalam Alquran, ketiga istilah tersebut dapat dibedakan. Azab lebih banyak
digunakan untuk menyatakan siksaan dan hukuman Tuhan terhadap para pendosa dan
orang-orang yang melampaui batas. Azab hanya ditujukan kepada para pendosa,
sedangkan orang yang baik-baik luput dari azab itu. Sedangkan musibah dan bala
lebih banyak digunakan untuk menyatakan ujian dan penderitaan kepada
orang-orang, baik kepada para pendosa maupun kepada orang yang baik-baik.
Perbedaan antara musibah dan bala hanya terletak pada skalanya. Musibah
skalanya lebih besar dan lebih luas, sedangkan bala skalanya lebih terbatas dan
umumnya bersifat personal. Sebab musabab musibah terkadang sulit dijelaskan
karena lebih banyak bersifat makro dan akumulatif, sedangkan bala lebih banyak
bersifat mikro dan kasuistik, misalnya kecerobohan seseorang berpotensi
mendatangkan bala.
Dalam beberapa kasus memang agak sulit dipetakan secara skematis. Perilaku
menyimpang dan dan perbuatan melampaui batas manusia sebagai makhluk
mikrokosmos seringkali berbanding lurus dengan perilaku ganas alam raya sebagai
makhluk makrokosmos. Alam raya memang telah ditundukkan (taskhir) untuk
mengabdi kepada kepentingan manusia sebagai khalifah di bumi (khalaif al-ardl),
akan tetapi alam raya sepertinya memberi syarat sepanjang manusia menjadi
khalifah yang baik dan benar. Kapan manusia tidak lagi bersahabat dengan alam,
bahkan merusaknya, maka alam pun tidak akan bersahabat, bahkan tidak
segan-segan ''menghukum'' sendiri manusia itu.
Hubungan dialektis antara makhluk mikrokosmos dan makhluk makrokosmos banyak
diuraikan di dalam Alquran. Antara lain misalnya hujan yang tadinya pembawa
rahmat (QS al-An'am/6:99), tiba-tiba menjadi sumber malapetaka banjir yang
memusnahkan areal kehidupan (QS al-Baqarah/2:59). Gunung-gunung yang tadinya
sebagai pasak bumi (QS al-Naba'/78:7), tiba-tiba memuntahkan debu, lahar panas,
dan gas beracun (QS al-Mursalat/77:10).
Angin yang tadinya mendistribusi awan (QS al-Baqarah/2:164) dan menyebabkan
penyerbukan dalam dunia tumbuh-tumbuhan (Q.S. al-Kahfi/18:45), tiba-tiba tampil
begitu ganas memorak-porandakan segala sesuatu yang dilalewatinya (QS
Fushshilat/41:16). Laut yang tadinya begitu pasrah melayani mobilitas manusia
(QS al-Haj/22:65), tiba-tiba mengamuk dan menggulung apa saja yang dilaluinya
(QS al-Takwin/81:6). Kilat dan guntur tadinya menjalankan fungsi positifnya,
melakukan proses nitrifikasi (nitrification process) untuk kehidupan makhluk
biologis di bumi (QS al-Ra'd/13:12), tiba-tiba menonjolkan fungsi negatifnya,
menetaskan larva-larva betina (telur hama) yang kemudian memusnahkan berbagai
tanaman para petani (QS al-Ra'd/13:12). Disparitas flora dan fauna tadinya
tumbuh seimbang mengikuti hukum-hukum ekosistem (QS al-Ra'd/13:4), tiba-tiba
tumbuh dan berkembang menyalahi keseimbangan dan pertumbuhan deret ukur
kebutuhan manusia (QS al-A'raf/7:132).
Azab, mushibah, dan bala dalam Alquran memang ada. Azab yang merupakan siksaan
yang ditujukan kepada umat-umat terdahulu yang melampaui batas, seperti umat
Nabi Nuh yang keras kepala dan diwarnai berbagai kedlaliman (QS al-Najm/53:52),
dihancurkan dengan banjir besar dan mungkin gelombang tsunami pertama dalam
sejarah umat manusia (QS Hud/11:40); umat Nabi Syu'aib yang penuh dengan
korupsi dan kecurangan (QS al-A'raf/7:85; QS Hud/11:84-85) dihancurkan dengan
gempa yang menggelegar dan mematikan (QS Hud/11/94); umat Nabi Shaleh yang
kufur dan dilanda hedonisme dan cinta dunia yang berlebihan (QS
Al-Syu'ara'/26:146-149) dimusnahkan dengan keganasan virus yang mewabah dan
gempa (QS Hud/11:67-68).
Umat Nabi Luth yang dilanda kemaksiatan dan penyimpangan seksual (QS
Hud/11:78-79) dihancurkan dengan gempa bumi dahsyat (QS Hud/11:82); penguasa
Yaman, Raja Abraha, yang berusaha mengambil alih Ka'bah sebagai bagian dari
ambisinya untuk memonopoli segala sumber ekonomi, juga dihancurkan dengan cara
mengenaskan sebagaimana dilukiskan dalam surah Al-Fil (QS al-Fil/105:1-5).
Cara kerja azab Tuhan di dalam Alquran hanya menimpa kaum yang durhaka dan
tidak menimpa atau mencederai orang-orang yang shaleh dan taat pada Tuhan.
Sedangkan cara kerja mushibah dan bala tidak membedakan satu sama lainnya.
Contoh adzab misalnya Nabi Nuh dan orang-orang taat yang menyertainya selamat
dari terpaan banjir besar. Nabi Syu'aib dan pengikut setianya selamat dari
amukan gempa yang menggelegar. Nabi Shaleh dan segelintir pengikut setianya
selamat dari serangan wabah virus yang mematikan secara massal itu. Nabi Luth
dan pengikut setianya juga terbebas dari bencana alam yang mengerikan itu.
Demikian pula virus dahsyat yang dibawa oleh serangga Ababil hanya menghancur
luluhkan pasukan Abrahah. Dalam riwayat, Abu Thalib, kakek Nabi yang
menyaksikan bencana itu tidak ikut korban dalam bencana itu.
Bentuk azab yang pernah menimpa umat terdahulu antara lain: 1) banjir besar
(mungkin ini gelombang tsunami pertama) seperti yang ditimpakan pada umat Nabi
Nuh; 2) bencana alam dahsyat berupa suara yang menggemuruh seperti yang
ditimpakan kepada umat Nabi Syu'aib; 3) tanah longsor dahsyat seperti yang
ditimpakan kepada umat Nabi Luth; 4) Virus hewan yang menular kepada manusia
secara mengerikan, seperti yang menimpa umat Nabi Shaleh. Menurut Prof Opitz,
seorang ahli sejarah penyakit, kemungkinan virus ini virus anthrax karena
gejalanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits, hari pertama warna kulit mereka
berwarna kuning, hari kedua berwarna merah, mungkin karena terjadi pendarahan
yang hebat sehingga pori-pori mengeluarkan darah, dan hari ketiga berwarna
hitam, mungkin karena empedu pecah dan seluruh cairan dalam tubuh berwarna
hitam. Ujung hari ketiga virus ini bekerja pada sistem saraf termasuk sistem pendengaran,
maka mereka mati bergelimpangan seperti mendengarkan suara yang amat keras.
Azab lain berbentuk bakteri yang mematikan dibawa oleh serangga sebagaimana
ditujukan kepada umat pasukan Abrahah. Dalam Tafsir Al-Manar karya Muhammad
Abduh, kata thair dalam surah al-Fil diartikan dengan serangga yang membawa
virus dan kata al-hijarah min sijjil diartikan semacam zat yang mematikan. Cara
kerja virus ini menurut Prof Opitz agak mirip dengan virus Ebola yang
mengenaskan itu. Azab Tuhan sulit dipredeksi dan tidak akan pernah bisa
ditangkal oleh kekuatan manusia. Sedangkan musibah dan bala ada kemungkinan
untuk diprediksi dan diupayakan penangkalnya, antara lain dengan bentuk doa
sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW.
::
.:cinta blogged on 2:41 PM:.
...
.:Sunday, January 23, 2005:.
::
Anak
Bertemu Kembali Dengan Ayah
SALATIN SAH, 44, warga Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), salah seorang korban
gempa dan gelombang tsunami yang selamat Selasa (18/1) sekira pukul 09.00,
sengaja mengenakan jaket dan topi.
Dia, sehari sebelumnya tiba di Kota Medan dan langsung menuju Posko Kemanusiaan
Aceh Sepakat di Jl. Imam Bonjol No.42 Medan, yang tidak begitu jauh dari
Bandara Polonia.
Dia mengaku sengaja mengenakan pakaian dan topi untuk membuktikan apakah anak
pertamanya Tajuz Gibransah yang selamat dari terjangan tsunami Minggu (26/12),
masih menandai dan ingat padanya. Saya sangat gembira karena masih bisa
menemukan Azus (panggilan akrabnya), meskipun hingga kini istri saya Misnawati
dan seorang anak saya bernama Raisa Kamila berusia satu tahun, belum ditemukan,
ungkap Salatin Sah, PNS Dinas PU Kota Banda Aceh ini.
Dalam pertemuan hari itu, Azus bocah berusia 3,5 tahun yang menjadi
darah-dagingnya itu beberapa menit memandangi sang ayah, kemudian berteriak
dengan suara bocahnya memanggil sang ayah. Keduanya pun berangkulan.Si kecil
seperti tidak hendak lepas dari gendongan si ayah, lalu kemudian menanyakan
adik dan ibunya.
Pertanyaan si Azus kecil, membuat Salatin haru-biru dan tidak kuasa dia
membendung airmatanya. Dia menciumi si anak yang terpisah sejak musibah bencana
alam dahsyat melanda NAD dan sebagian Sumatera Utara. Anak adalah harta paling
berharga di dunia ini, terlebih lagi saya rasakan setelah peristiwa yang tidak
disangka dan tentu tidak diinginkan semua orang, tuturnya.
Dari pertemuan di Posko Aceh Sepakat, Salatin mengaku mendapat obat dari
kesedihan yang dialaminya sejak musibah yang menggemparkan dunia internasional
itu. Yang diketahui Salatin, ayah dan dan ibu mertuanya selamat, dan kini
menjalani perawatan medis di Bagan Siapi-api. Dia cukup berat bahkan sangat
berhati-hati menuturkan peristiwa musibah bencana alam itu. Bahkan pada bagian
tertentu kisahnya dia seperti emosional hingga airmatanya mengalir.
Sedangkan Ketua Umum DPP Aceh Sepakat H Fauzi Usman yang mendapingi Salatin
mengungkapkan, bocah Azus sebelumnya diselamatkan oleh Ny Endang Suwarya istri
Pangdam Iskandar Muda. Ny. Endang Suwarya juga mengalami musibah bencana itu
dan ikut tergulung dalam gelombang tsunami yang menghantam Banda Aceh. Isteri
Pangdam Iskandar Muda ini pun menitipkan Azus di RS Malahayati Medan, dengan
pesan agar si bocah dirawat sebaik-baiknya. Sementara dia berobat ke Bandung,
Jawa Barat.
Setelah beberapa hari menjalani perawatan medis di RS Malahayati, akhirnya Aceh
Sepakat membawa Azus ke Posko di Jl. Imam Bonjol Medan yang langsung diawasi
oleh H Fauzi Usman dan kawan-kawan. Di sana Tim Kesehatan Kemanusiaan dari
Korea sedang memberikan pelayanan gratis pemeriksaan dan perobatan 'free'
kepada warga pengungsi korban tsunami.
Jika Allah SWT berkehendak, itulah awalnya yang menjadi pertemuan sang ayah dan
si anak yang tinggal satu-satunya. Kisahnya memang singkat. Dua hari
sebelumnya, sepupu Salatin bernama Nur Wahidah yang juga pengungsi dari NAD
datang dan memeriksakan kesehatan di Posko tersebut.
Ditakdirkan Tuhan, dia berpapasan dengan Tajuz Gibransah alias Azus yang memang
dia kenal dan si bocah pun mengenalnya di salah satu ruangan di Posko tersebut.
Spontan hari itu juga dia menelefon ke Banda Aceh, kepada keluarga di sana
menginformasikan bahwa Azus selamat dan berada di Medan.
Hari itu Salatin spontan berangkat ke Kota Medan dari Banda Aceh untuk bertemu
dengan darah dagingnya yang selamat, meski sejak kejadian dia merasakan anak
yang satu ini benar-benar selamat. Bathin saya menyatakan Azus selamat,
katanya.
Memang gerak bathin Salatin terbukti ketika hari itu dia menemukan Azus, salah
seorang dari 2 anaknya ketika berumahtangga dengan Misnawati, yang belum
ditemukannya. Ketua Umum DPP Atjeh-Sepakat H Fauzi Usman didampingi Kepala
Bagian Hubungan Antar Kota dan Daerah (HAKDA) Pemko Medan H Ikrom Helmi
Nasution, SH, mengatakan dari sikap serta spontanitas si Azus ketika bertemu
ayahnya, memberikan keyakinan benar bocah itu adalah anak Salatin.
Namun kami memerlukan wawancara dan dialog dengan Salatin untuk lebih
meyakinkan kami bahwa Azus benar-benar anak Salatin, dan tentunya diiringi
surat-surat serta administrasi yang diperlukan, ujar Fauzi Usman. Mana tahu,
lanjutnya, kelak ada perubahan atau hal-hal tertentu, maka kami bisa
menghubungi Salatin dan anaknya Azus, selain menghindari munculnya permasalahan
serta isu-isu yang berkaitan dengan nasib bocah-bocah dari keluarga yang hilang
atau korban musibah gempa-tsunami.
Hari itu, Salatin terus memangku Azus dan tidak ingin melepaskan anaknya, dia
semakin erat dan ketat merangkul dan memeluk si bocah Azus. Kemarin dia tampak
sangat gembira, tetapi kemurungannya hari ini mungkin dikarenakan tentang
adiknya Raisa Kamila dan ibunya Misnawati belum ditemukan, kata Fauzi (FKUI
/WASPADA)
Pengungsi Aceh Tewas Akibat Hirup Lumpur
Korban tsunami, Nurbaiti, 35, penduduk Aceh Besar, meninggal dunia Selasa
(18/1) setelah menjalani perawatan di ruang ICU RSU Pirngadi Medan. Ketua
Komite Medik RSU Pirngadi Medan Dr. Amran Lubis, SpJ yang dikonfirmasi Waspada
mengatakan, korban meninggal dunia akibat terkena aspirasi pneumoni (terhirup
lumpur) saat terjadi bencana alam di NAD.
Lumpur yang terhirup itu kemudian masuk ke dalam sel paru-paru. Bila lumpur
yang terhirup itu hanya sebatas saluran pernafasan, kemungkinan masih bisa
diselamatkan, ujar Amran. Menurut pihak keluarga, suami dan kedua anak korban
lebih dulu meninggal pada 26 Desember. (FKUI /WASPADA)
::
.:cinta blogged on 10:22 AM:.
...
.:Saturday, January 22, 2005:.
::
Kesaksian
Korban Tsunami, Yunizar, Abdul, dan Halimah
Air Laut Sempat Surut dari Pinggir Pantai Sekira 1 Kilometer
MINGGU 26 Desember 2004. Yunizar (35) mengikat perahu boat-nya di sebatang
pohon kelapa yang ada di kawasan pariwisata Lampuuk, Kecamatan Lhok Nga, Aceh
Besar atau sekira 20 km arah barat Kota Banda Aceh.
Meski waktu belum menunjukkan pukul 8.00 WIB, Yunizar mengakhiri kegiatannya
memancing di laut. Entah kenapa, hanya sedikit ikan yang dia peroleh hari itu.
Padahal permintaan ikan segar untuk hari Minggu biasanya banyak, seiring
berdatangannya para wisatawan yang doyan ikan bakar di sepanjang Pantai
Lampuuk.
Yunizar sempat merasakan gempa saat kapalnya merapat di pantai. Akan tetapi,
gempa itu tak kuat terasa. Saat gempa pertama berkekuatan 8,9 richter itu, dia
masih berada di tengah laut. "Saya melihat kondisi laut tiba-tiba agak
aneh saat itu," katanya kepada "PR", baru-baru ini.
Maksud ungkapannya itu, yakni pada hari Minggu (26/12), ombak tidak memecah
bibir pantai, namun bergeser terus ke tengah hingga membentuk gelombang
setinggi 10 meter. Dirinya yang sudah lima tahun bergelut profesi sebagai
nelayan tahu betul setiap "perubahan" air laut. Apalagi dia tinggal
di Desa Balee, Kemukiman Lampuuk yang terletak di garis pantai. Tapi dari semua
pengetahuannya tentang laut, hanya satu yang terlewati, malah sialnya justru
inilah yang paling penting, yaitu dia tidak tahu bahwa akan ada gelombang
tsunami selepas gempa.
Betapa ia termangu melihat ombak raksasa itu bergerak perlahan menuju pantai
dari arah tengah laut. Dari laut, terlihat gerakannya lambat, sehingga membuat
Yunizar sempat terpaku hingga 10 menit.
Saat itu, posisinya sendiri sudah berada di tepi pantai dan hendak melabuhkan
perahunya. Ketika sadar bahwa ombak itu bisa mencapai daratan, Imran sudah
terlambat untuk secepatnya lari ke perkampungan. Dia akhirnya memutuskan naik
ke atas sebuah pohon pinus yang berjajar di dekatnya.
Tidak lama dia tiba di pucuk pohon pinus, dia melihat ada dua gelombang
setinggi 10 meter dan 15 meter itu susul menyusul mendekati bibir pantai.
Warnanya hitam pekat. Gelombang pertama langsung menghantam dirinya yang sedang
bertengger di atas pohon pinus.
Yunizar memeluk batang pinus yang kasar itu dengan sekuat tenaga. Mulutnya
membaca doa. Dia berhasil, pegangannya cukup kuat. Setelah menghantam pohon
pinus, ombak itu kemudian bergerak menghantam pemukiman Lampuuk.
Tempatnya tinggal selama ini. Dalam sekejap, pemukiman yang berada di tepi
pantai itu rata dengan tanah. Penderitaannya ternyata belum selesai. Gelombang
susulan setinggi mencapai 15 meter kembali datang dan menghantam dirinya. Kali
ini pegangannya pada pohon pinus terlepas. Yunizar langsung terjun bebas ke air
laut yang penuh dengan kayu itu.
Berkali-kali dia dibawa berputar-putar selama dua jam. Kadang dirinya terantuk
kayu dan seng. Cukup banyak air laut bercampur lumpur itu yang terminum
olehnya. "Sampai akhirnya saya berhasil meraih sebuah papan. Papan itu
yang menyelamatkan saya," katanya tersenyum.
Celakanya, dia merasa sangat lemah. Di atas papan itu, Imran tertidur saking
lelahnya. Dia baru bangun ketika jam di tangannya menunjukkan pukul 15.00 WIB.
Dia masih di air saat papannya mengarahkannya ke dekat pemukiman Lamlhom, Aceh
Besar, sekira tiga kilometer dari Kemukiman Lampuuk.
Yunizar beruntung karena selamat dari gelombang tsunami. Tapi tak urung, ia
kehilangan 15 orang anggota keluarganya, termasuk istri dan anaknya.
* *
KENYATAAN senasib juga dialami Abdul (37). Pria asal pemukiman Lampuuk ini
kehilangan orang terdekatnya. Bahkan, 30 anggota keluarga besarnya lenyap
digerus tsunami. Abdul mengaku dibawa gelombang ke pemukiman Lamlhom, sehingga
akhirnya terpaksa mengungsi di sana. Namun dia menolak disebut sebagai
pengungsi asal Lamlhom.
Memang bukan hanya Yunizar dan Abdul yang diseret hingga Lamlhom. Ada 750 warga
Lampuuk lainnya yang selamat yang juga didamparkan di sana. Jumlah ini tentu
saja tak seberapa dibanding jumlah penduduk Lampuuk yang mencapai 6.000 jiwa
dan tersebar di lima desa itu. Dari 750 orang yang selamat itu, semuanya ada
laki-laki. Jarang terlihat anak-anak atau perempuan. "Untuk selamat memang
selain perlindungan Allah juga ditentukan kuat tidaknya kita bertahan di
air," kata Yunizar.
Ketika ditemui "PR" saat itu, mereka sedang membuat tenda di kawasan
Lamlhom. Pengungsi Lampuuk yang paling banyak terdapat di Madrasah Ibtidayah
Negeri (MIN) Lamlhom.
"Syukurlah, di Lhamlom ini air bersih cukup banyak. Kalau tidak bisa
bahaya," katanya.
Untuk sementara, saat "PR" berada disana, mereka bertahan dengan
bantuan yang sekadarnya dari para dermawan. Tapi kini "PR" pun tidak
tahu dan hanya berharap, mudah-mudahan Yunizar beserta pengungsi lainnya telah
mendapat bantuan.
Namun satu jawaban, ketika ditanya apa keinginan mereka selepas bencana? Jawab
mereka "Kami ingin pulang, kembali ke daerah kami."
* *
LAIN lagi cerita korban tsunami bernama Halimah. Wanita (31) asal Kampung
Belakang, Meulaboh. Minggu pagi itu (26/12) setelah gempa dirinya pergi ke
pantai bersama ratusan warga kampung lainnya. Orang ramai ke sana, karena ingin
melihat air laut kering (surut). "Betul, saya melihat air kering sampai
sekira 1 kilometer," katanya kepada "PR"
Pengakuan Halimah ini senada dengan Yunizar dan Abdul. Memang, saat itu konon
banyak warga terpesona melihat fenomena alam yang belum pernah tersaksikan mata
itu. Malah tak sedikit orang dewasa dan anak-anak berebutan menangkapi
ikan-ikan yang menggelepar di pasir yang tadinya dasar laut.
"Hampir setengah jam orang-orang berebutan ikan, tapi ya Allah sekejap
terdengar suara bergemuruh dari arah laut. Saya melihat gulungan air bah
setinggi sekira 10 meter dari kejauhan. Saat itulah orang-orang mulai panik dan
berlarian," tuturnya.
Dengan sekuat tenaga dirinya berusaha lari ke arah kampung mereka. Saat itulah
dia masih melihat banyak orang yang berjatuhan dan kesulitan untuk berdiri.
Anak-anak yang tadi menangkapi ikan juga terlihat panik. Saat menoleh ke
belakang, gulungan air yang mengalir cepat itu terlihat semakin dekat menyapu
apa saja yang menghalangi.
Halimah beruntung, meski terjatuh sampai tiga kali, dia terus berlari dan
sampai ke perkampungan. Karena panik, dia sembarangan masuk ke rumah orang.
Rumah itu berdinding permanen. "Saya rasa, saya pasti aman di situ karena
dindingnya batu," katanya lagi.
Tapi air terus menerjang. Malah semakin kencang dan terus meninggi. Merasa
kurang aman, Halimah lalu memanjat langit-langit rumah. Dia lalu memukul asbes
rumah itu sampai pecah, naik ke kuda-kuda rumah dan sampai ke atap rumah.
"Tanganku sampai luka," katanya sambil menunjukkan bekas luka yang
sudah mengering. Ternyata di situ sudah banyak orang. Air terus meninggi.
"Tolong, tolong, tolong," jerit orang yang terseret air di tengah
deru air. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, selain menangis ketakutan.
Selama 31 tahun tinggal di kampung itu, tak pernah dia melihat air naik
setinggi itu. Air terus naik. "Seingat saya gelombang air datang sampai
tiga kali. Dan yang kedua paling parah sampai menelan sejumlah rumah di kampung
kami," katanya sambil mengingat kejadian itu.
Karena takut ikut terseret arus, ia pun lalu pindah ke rumah lain yang lebih
tinggi. Dari situlah matanya merekam semua pemandangan yang memilukan. Banyak
orang yang terseret arus tapi tidak bisa berenang karena tersangkut kayu dan
bahan-bahan bangunan lain.
Beberapa jam kemudian perlahan-lahan air mulai surut. Merasa sudah aman,
Halimah lalu turun dan mencoba mencari suami dan anaknya yang terpisah saat
lari menyelamatkan diri.
"Aku ke Masjid Agung, karena orang banyak berkumpul di situ."
Beruntung, mereka masih hidup dan berada di Masjid Agung. Malam itu mereka
menumpang tidur di rumah orang yang tidak terkena hantaman tsunami.
Saat itu, mayat-mayat masih berserakan. Didorong rasa lapar, sang suami Anwar
lalu berusaha mencari makanan ke toko-toko yang sudah porak-poranda.
"Untunglah kami bisa menemukan biskuit dan Indomie. Selama dua hari, hanya
itulah yang bisa kami makan," katanya.
Hari Rabu (29/12), bantuan bahan makanan mulai datang. Karena merasa masih
trauma, dirinya bersama keluarganya lalu mengungsi ke Medan dengan menggunakan
transportasi darat. Karena tidak punya saudara di Medan, mereka lalu bergabung
bersama pengungsi lainnya di posko bencana. Sedikit lega karena banyak orang
dan jauh dari kampungnya, juga berada di posko tersebut.
Sekarang ini, Halimah cuma bisa berharap bantuan dari pemerintah. "Saya
dengar, keluarga yang terkena bencana akan mendapat uang besar," tanyanya
kepada "PR".
Seandainya pemerintah membangunkan kembali rumah mereka, ia bersama suami dan
anaknya, masih ingin kembali ke Meulaboh. "Tapi kalau tidak, saya tak mau
ke sana lagi. Apalagi kami sudah tidak punya apa-apa di sana. Tolonglah
sampaikan pesan kami ini," lanjutnya menutup cerita.
(Rizwan/"PR")***
::
.:cinta blogged on 7:28 AM:.
...
.:Thursday, January 20, 2005:.
::
Karomah
dari Tanah Duka
Bermacam keajaiban dan kebesaran Allah, nampak di Aceh. Mulai dari besarnya
gelombang sampai cara-cara selamat yang tak masuk akal.
Pagi itu, daerah Krueng Raya yang berada di pantai barat Privinsi Nanggroe Aceh
Darussalam ramai. Seperti biasa. Perkampungan di garis pantai itu, dipenuhi
anak-anak yang turun bermain di bibir laut. Di daerah itu pula, Taufik bin
Ahmad tinggal bersama istri dan seorang anaknya.
Rumah sederhananya berdiri di samping sebuah meunasah, atau mushalla, An Nur.
Di meunasah itu pula, Taufik bin Ahmad setiap malam sampai subuh mendirikan
shalat tahajud dengan sujud-sujud panjangnya. Mengajar ngaji anak-anak kecil
dari perkampungan pantai dan juga berdakwah. Seperti hari-hari sebelumnya, pagi
itu, hari Ahad (26/12) langit juga cerah. Awan putih bergumpal dan berarak di
langit biru. Tapi tiba-tiba bumi berguncang dengan kuatnya. Kepanikan, sesaat
melanda penduduk perkampungan di garis pantai itu.
Tapi tak lama. Kepanikan yang mengepung segera sirna. Maklum, gempa memang
bukan hal yang aneh pagi penduduk Serambi Mekkah ini. Tapi bukan karena itu
saja, air pantai yang surut hingga lebih dari satu kilometer yang menyisakan
ikan-ikan yang menggelepar di pantai begitu menggoda penduduk. Berduyun
anak-anak dan juga orang dewasa, turun ke pantai yang garisnya sudah jauh
surut. Mereka berebut ikan yang menari-nari di atas pasir.
Tapi, tidak dengan Taufik bin Ahmad. kepada SABILI ia mengaku perasaannya
begitu ngeri melihat air surut dari pantai dengan cepatnya. Ia berteriak-teriak
pada orang-orang untuk tak turun ke pantai. “Jangan. Jangan ke pantai,”
pekiknya. Tapi tak ada yang hirau pada teriakan itu.
Ia berlari dan bilang pada istrinya, untuk segera menjauh dari pantai. Meski ia
tak tahu apa yang bakal terjadi, perasaannya mengatakan ada yang tak wajar. Ia
menyuruh istri dan anaknya untuk kembali ke rumah. Tak berapa lama, hanya dalam
hitungan tak sampai beberapa menit ombak yang seperti tembok tingginya datang
bergulung-gulung. Menggulung pantai, orang dan rumah-rumah. Taufik bin Ahmad
pun terpisah dari anak dan istrinya.
Istri Taufik dan anaknya, masuk ke dalam meunasah. “Saya yakin, Allah tidak
akan berbuat apa-apa dengan meunasah ini. Saya yakin, Allah akan menyelamatkan
meunasah dan orang-orang di dalamnya,” ujar istri Taufik pada SABILI beberapa
hari setelah badai usai.
Dan memang, meunasah itu tak apa-apa. Meunasah sederhana yang terbangun dari
papan itu memang terbawa arus sampai beratus-ratus meter dari tempatnya berdiri
semula. Begitu juga istri dan anak Taufik bin Ahmad. Dari dalam meunasah ia
merasakan hantaman ombak tsunami, pusaran air yang menggulung-gulung. Tapi
meunasah itu selamat, begitu juga anak dan istri Taufik bin Ahmad. Beberapa jam
setelah air surut, suami, istri dan anak itu bertemu. Dengan selamat.
Padahal, tak jauh dari sana, masih di Krueng Raya, tangki-tangki Pertamina yang
berukuran besar, dari besi dengan bobot berton-ton telah poranda. Bentuk
aslinya telah hilang oleh gelombang tsunami yang menghantam. Meunasah kecil An
Nur yang sederhana, adalah keajaiban Allah yang dituturkan oleh keluarga Taufik
bin Ahmad, keluarga yang selamat di dalam rumah Allah itu.
Masih di Kreung Raya, keajaiban dipertontonkan pada manusia. Sebuah dayeuh atau
pesantren, Darul Hijrah namanya, adalah saksi sekaligus penerima dari karomah
yang luar biasa itu. Pesantren yang berdiri di tepi pantai itu cukup indah
dengan pemandangan langsung ke arah pantai. Tapi itu adalah pemandangan sebelum
gelombang tsunami menghantam.
Meski pantai sudah tak seperti dulu lagi, Darul Hijrah masih tetap seperti
semula. Dayeuh dengan enam bangunan yang terbuat dari rumah panggung papan itu
bahkan tak bergeser sedikit pun. Puluhan santrinya selamat, tak kurang suatu
apa.
Menurut keterangan santri dan penduduk sekitar, gelombang tsunami memang
menerpa. Namun, tepat di sekitar dayeuh, arus gelombang seakan melemah. Bahkan
gelombang seolah terbelah dan membiarkan dayeuh selamat dari terjangan tsunami.
Padahal, sekali lagi, Pertamina yang tak jauh dari tempat itu, hanya berjarak
beberapa kilometer saja, lantak oleh tsunami. Tangki-tangki besar yang berbobot
mati berton-ton penyok, tak sesuai bentuk asalnya. Bahkan tangki-tangki itu tak
berdiri di tempatnya semula.
Pesantren atau dayeuh lain yang selamat adalah Nasrul Muta’alimin, di kecamatan
Muara Batu, Aceh Utara. Dayeuh yang berada hanya beberapa ratus meter saja dari
laut yang menjadi pusat tsunami ini selamat tak kurang suatu apa. Begitu juga
para santrinya, tak seorang pun menjadi korban. Menurut seorang santri,
Halimah, yang ditemui SABILI, para penghuni pesantren mengamati terjangan
tsunami sejak awal. Detik demi detik. Sementara itu, di dalam pesantren,
seluruh santri dan guru berzikir tak putus dan memanjatkan doa tiada henti.
Dan alhamdulillah, doa mereka seakan terjawab. Gelombang air yang begitu
dahsyat itu seolah terpisah saat sampai di Pesantren Nasrul Muta’alimin. Air
hanya lewat dengan begitu tenang di bawah bangunan pesantren yang berbentuk
rumah panggung. “Kami semua membaca al-Qur’an dan berdoa tak henti-henti ketika
ombak laut datang,” ujar Halimah yang saat itu tak menyangka akan begitu
banyak korban yang ditelan tsunami yang melintas di hadapannya.
Masjid Kreung Raya pun tetap utuh seperti sedia kala. Air memang sempat masuk
ke bangunan masjid. Tak tak satu pun tiang atau sudut bangunan masjid ini yang
roboh. Masjid ini masih berdiri kokoh di ujung muara kreung (sungai, Aceh).
Jika melihat posisi masjid yang benar-benar nyaris di bibir pantai, rasanya
mustahil bagi akal untuk menerimanya tetap berdiri tak kurang suatu apa. Allah
memang telah memilih apa yang hendak diselamatkan, dan apa pula yang hendak
dilumatkan.
Daerah garis pantai Kreung Raya memang menyimpan banyak cerita setelah tsunami
reda. Di pantai itu pula ulama besar dari abad silam, Syiah Kuala dimakamkan.
Makam yang indah di tepi pantai.
Di tepi pantai itu pula, dua malam sebelum bencana, menurut keterangan penduduk
yang selamat, beberapa anggota Brimob yang beragama Kristen merayakan malam
Natal. Acara cukup meriah, ujar seorang penduduk yang selamat. Tapi tak hanya
perayaan Natal. Pada malam berikutnya, perayaan Natal berganti dengan pesta.
Tak jelas, apakah orang-orang yang berada di tempat tersebut sama dengan
orang-orang sebelumnya, tapi yang jelas, malam itu lebih meriah dengan malam
sebelumnya.
Pesta api unggun hingga pagi hari. Tenda-tenda juga didirikan. Suara-suara
perempuan terdengar oleh penduduk dari kejauhan. Entah sedang berlangsung pesta
apa di pantai dekat makam Syekh Syiah Kuala itu. Pesta memang terus berlangsung
hingga sinar matahari memecahkan gelap langit. Penduduk sekitar menceritakan,
orang-orang tersebut bahkan masih berada di pantai saat gempa mengguncang.
Peserta pesta semalam itu, dituturkan, terkaget-kaget juga saat air pantai
surut hingga jauh ke laut. Mereka terbengong-bengong dan tak tahu apa yang
terjadi.
Di saat seperti itulah, air datang. Tapi anehnya, menurut penduduk, air tak
hanya datang dari arah laut. Air keluar dari arah makam. Air hitam, tinggi
menjulang. Dan para peserta pesta pun terkepung. Dari depan mereka, arah laut,
sebelum sempat sadar, gelombang dengan kecepatan setara jet komersial datang
menghantam. Sedangkan dari belakang, air yang memancar tinggi, setinggi pohon
kelapa dan juga bagai tembok, panjangnya menghalangi jalan keluar.
Benarkah cerita yang dituturkan penduduk Kreung Raya itu? Tentang air hitam
yang keluar dengan dahsyat dari areal makam? Wallahu alam. Yang jelas, makam
Syiah Kuala yang berusia ratusan tahun itu kini telah hilang, nyaris tak
meninggalkan bekas di tempatnya.
Keajaiban dan karomah lain diperlihatkan lewat pemeran lain. Kali ini
hewan-hewan, bukan manusia. Sebelum gempa dan gelombang tsunami menghantam,
tanda-tanda yang disampaikan oleh alam dan hewan telah bertebaran. Kawanan
burung putih terbang berarak-arak di langit kota Banda Aceh. Menurut kakek
nenek dan orang-orang dulu, jika kawanan burung putih melintas di atas langit,
akan ada bencana yang datang dari laut. Begitu juga jika air laut surut dengan
cepat dari pantai. Orang tua dulu telah memberikan nasihat turun-temurun, jika
air surut dengan cepat, depat-cepat lari naik ke hutan. Karena tak lama, ombak
setinggi pohon kelapa akan segera datang.
Setelah bencana terjadi pun, keajaiban yang ditunjukkan oleh alam dan binatang
juga terjadi. Mayat-mayat yang terbengkalai di mana-mana, hingga hari ini
dikhawatirkan menimbulkan gelombang bencana susulan. Gelombang wabah kolera.
Tapi hingga hari ini, dua pekan lebih setelah hari bencana, belum diketahui ada
korban selamat yang terjangkit kolera. Dan ini adalah keajaiban lain.
Keajaiban yang lain adalah, tak ada lalat-lalat yang mengerumuni mayat yang
sudah pasti akan membantu cepatnya penyebaran virus atau bakteri kolera. Keheranan
akal ini dicermati dengan teliti oleh dr. Mastanto dari Posko Keadilan Peduli
Umat (PKPU). “Saya heran, benar-benar tidak ada lalat. Saya tak bisa
membayangkan kalau lalat-lalat ada. Kolera pasti tak terbendung,” ujarnya.
Keajaiban dan karomah, kebesaran dan karunia Allah memang tak pernah absen dari
kehidupan manusia. Asal kita pandai membaca tanda-tanda, kebesaran Allah selalu
ada di mana-mana. Dan seharusnya, kebesaran itu pula yang akan membuat kepala
kita kian tertunduk, hati dan jiwa kita kian mengerti bahwa hidup tidak lain
kecuali untuk beribadah. Kepada-Nya.
Herry Nurdi
sabili cybernews 2004
::
.:cinta blogged on 6:53 AM:.
...
.:Wednesday, January 19, 2005:.
Selalu
Teringat Teriakan Minta Tolong Kedua Anaknya
Nenah Ingin Pulang ke Bandung
BERIBU cerita duka seakan tak pernah berhenti mengalir dari bumi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD). Di balik cerita-cerita lara itu, siapa sangka apabila salah
satu di antaranya menimpa warga Jawa Barat yang semula tinggal di Jln.
Linggawastu No. 130 A-25 RT 01/16, Wastukancana Kota Bandung.
Orang yang sedang dirundung malang itu adalah Nenah Hanefi (39) warga Leung
Bata Timur, Lorong Nya Aling No. 42 Kota Banda Aceh.
Betapa tidak, akibat gelombang tsunami, ibu asal Bandung itu kehilangan dua putranya
yakni Sukri Heryansyah (18) dan Taufikurohman (14) dalam waktu sekejap. Hingga
sekarang peristiwa tersebut seakan tidak mau lenyap dari benak Nenah. Lambaian
tangan serta teriakan minta tolong kedua anaknya pada saat-saat terakhir mereka
mau berpisah, terus menghantui dirinya.
Kondisi psikis Nenah pun menjadi terganggu. Dia kini harus menjalani terapi
khusus di Medan agar psikisnya kembali ke semula.
Ya, kisah nestapa itu dituturkan langsung oleh Husni Johan (43) yang tiada lain
adalah suami Nenah sendiri. Husni menganggap perlu membagi cerita duka yang
menimpa istrinya tersebut, kerena merasa terharu atas kehadiran para relawan
asal Jawa Barat yang gigih membantu korban gempa dan tsunami.
"Ketika melihat ada relawan mengenakan baju bertuliskan Jawa Barat, dia
menangis terisak-isak. Bahkan kepada para relawan dia mengutarakan keinginannya
untuk kembali ke Bandung," tutur Husni Johan (43), suami Nenah ketika
dihubungi di Posko Bantuan Jawa Barat untuk korban gempa dan tsunami di Leumbaro
Banda Aceh, Senin (17/1).
Menurutnya, Nenah pertama kali menginjakkan kaki di bumi Banda Aceh pada tahun
1986. Waktu itu Nenah mengikuti dirinya yang ditugaskan mengajar di sekolah
kejuruan di Banda Aceh.
Buah dari perkawinan mereka dikaruniai lima orang putra, masing-masing Sukri
Heryansyah, Taufikuroman, Alfizar Fikri, Aris Munandar, dan Ilham Yunaldi.
Selama berpuluh-puluh tahun mereka hidup dengan damai dan sejahtera di Kota
Banda Aceh. Bahkan, dari hasil jerih payah mencari nafkah di Banda Aceh, mereka
mampu membangun rumah di Lorong Nya Aling Jln. Leung Bata Timur. Dalam
waktu-waktu luang, mereka menghabiskannya untuk bercengkerama di rumah
tersebut, hingga akhirnya datang malapetaka yang pasti tidak akan terlupakan
seumur hidup.
Pada Minggu 26 Desember 2004, dua dari lima putra mereka lenyap tersapu
tsunami. Demikian pula rumah mereka tempat bernaung dari panas dan hujan ikut
rata dengan tanah kerena tergerus gelombang pasang.
Sehari setelah kejadian jenazah Taufikurohman berhasil ditemukan. Namun jenazah
kakaknya hingga kini masih belum diketahui secara pasti.
Diceritakan, pada saat kejadian sebenarnya mereka sedang berkumpul bersama di
dalam rumah sambil menonton acara televisi. Ketika sedang asyik-asyiknya
tiba-tiba bumi berguncang. Sambil meneriakkan takbir mereka sekeluarga
berhamburan ke luar untuk menyelamatkan diri.
Namun belum lagi reda rasa kaget mereka, terdengar teriakan-teriakan lain yang
lebih menyayat hati. Semua warga yang berhamburan ke luar tiba-tiba lari
terbirit-birit, karena melihat ada air setinggi pohon kelapa mengejar mereka.
Menurut Johan, melihat hal itu secara reflek dia segera meraih anak-anaknya
yang masih kecil untuk mencari perlindungan ke tempat yang aman. Sementara dua
anaknya yang sudah sedikit besar diperintahkan berlari sendiri.
Pilihan Husni Johan dan Nenah jatuh ke ruangan Masjid Al'Badar yang terletak
sekira 150 meter dari rumah mereka. Ternyata pilihan mereka berlindung di
tempat ibadah sangat tepat. Sebab ketika air mulai naik, mereka pun sudah
berhasil naik ke langit-langit masjid yang memang lebih tinggi dari
bangunan-bangunan lain.
Sayangnya, nasib dua anak mereka yang lain tidak semulus nasib adik-adiknya.
Sebelum keduanya berhasil menyusul, sebuah gelombang besar talah menghantam
tubuh mereka dan menghanyutkannya entah ke mana. Husni dan Nenah tidak bisa
berbuat banyak, karena mereka pun harus menjaga nasib anak-anaknya yang masih
kecil.
Akhirnya mereka hanya bisa menatap pilu bencana yang menimpa kedua
anak-anaknya. Dalam hati kecil mereka terus-menerus memanjatkan doa agar kedua
anaknya bisa selamat. Akan tetapi, Tuhan berkendak lain. Esoknya, Taufikurohman
ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Sementara Sukari Hernansyah
hingga kini belum ditemukan. Sukri dilaporkan kepada petugas sebagai salah satu
korban hilang dalam bencana tersebut.
Menangis tersedu-sedu
Peristiwa gempa dan tsunami yang telah merenggut nyawa ke dua anaknya, membuat
Nenah bertapakur. Dia pun kemudian teringat akan ibunya, Nunung yang tinggal di
Jln. Linggawastu Kota Bandung. Karena impitan derita yang terlalu menekan
pikirannya, Nenah sering kali mencucurkan air mata.
Begitu juga ketika dia melihat para relawan asal Jawa Barat bekerja membantu
para korban, air matanya tidak terbendung. Dia menangis sesenggukan sambil
mengutarakan keinginannya untuk pulang ke Bandung. Namun apa daya, jangankan
untuk ongkos ke Bandung, semua harta benda termasuk rumahnya lenyap disapu
tsunami.
Akibatnya dia hanya bisa memohon kepada relawan untuk menyedikan tiket ke
Bandung. Melihat hal itu, para relawan Jawa Barat yang dikoordinasi oleh Rumah
Zakat Indonesia Dompet Sosial Ummul Qurro (RZI DSUQ), berinisiatif mengumpukan
uang secara suka rela. Akhirnya dalam waktu singkat terkumpul uang sebesar Rp
2,5 juta yang rencananya akan diserahkan kepada Nenah.
Diharapkan, Nenah yang tengah dirundung duka itu bisa menginjakkan kakinya lagi
di Bumi Parahiyangan untuk bertemu dengan ibunya.
"Kami akan segera menyerahkan uang tersebut setelah Ibu Nenah pulang dari
Medan. Dan kami pun berdoa agar Ibu Nenah sekeluarga diberi kekuatan batin
dalam menerima semua takdir Allah tersebut," tutur Asep Mulyadi, Ketua
Pelaksana Posko Jabar Peduli Aceh, di Leumbaro. (Dodo R./Marsis S.)***
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/20/cinta02.htm
::
.:cinta blogged on 2:58 PM:.
...
.:Tuesday, January 18, 2005:.
::
Bocah-bocah
yang Selamat Itu Berkisah
SEORANG bocah laki-laki berpegangan erat di sebuah papan. Warga yang
bergerombol di sebuah jembatan pada Jumat (31/12) lalu melihatnya. Mereka
mengamatinya sesaat, lalu segera menolong. Bocah itu sudah tak bernyawa.
Tubuhnya diayun-ayun riak air, membentur-bentur pilar jembatan. Warga
mengangkatnya dari air, meletakkannya bersama jenazah lain untuk dikuburkan
secara massal.
Bocah itu tidak seberuntung Aulia (11) dan Mohammad (4), yang berhasil lolos
dari maut ketika gempa bumi dan gelombang dahsyat tsunami melanda Nanggroe Aceh
Darussalam, Minggu (26/12). Aulia kepada Gordon Weiss, Koordinator Media dan
Operasi Kedaruratan UNICEF (Badan Dunia untuk Dana Darurat bagi Anak-anak),
mengisahkan, ia lari sekencang-kencangnya ketika gelombang pasang mulai
menerjang. Secara naluri, ia hanya mengikuti langkah kakak laki-lakinya, menuju
daratan yang lebih tinggi, sebuah perbukitan di belakang rumah mereka.
Terbata-bata ia mengenang, ia nyaris tertelan gelombang saat itu, kalau saja
ibunya tidak segera meraihnya, menariknya kuat-kuat.
Mohammad tergulung ombak hingga ke laut bersama ibunya. Ibunya, sambil memeluk
erat Mohammad, sempat berpegangan pada dahan sebatang pohon yang tercerabut
hingga ke akar-akarnya dan tergulung ombak. Namun, karena derasnya air,
pegangan ibunya terlepas dari pohon itu. Mohammad terus memeluk ibunya, yang
dengan sisa-sisa kekuatannya mencoba meraih pohon lain yang hanyut dan
tergulung gelombang pasang. Mereka bertahan di pohon itu, hingga air menyurut.
Mukjizat
Gempa bumi dan gelombang pasang tsunami meninggalkan trauma pada anak-anak yang
mengalaminya. Mulyawan Putra (4), yang berhasil menyelamatkan diri bersama
ayah, ibu dan adiknya, dalam waktu yang lama ketakutan jika melihat gerombolan
orang. Bahkan, sesekali ia pingsan. Dengan pelan ia mengaku, ketika
menyelamatkan diri, dari balik punggung ayahnya ia melihat segerombol orang
digulung ombak. Pemandangan itu membuatnya ketakutan.
Tiga bocah Thailand menceritakan pengalamannya saat luput dari bencana dahsyat
itu.
Oat (3) sedang sarapan bersama ibunya ketika gelombang mematikan itu menghantam
kampungnya di Baan Nam Kem, Minggu itu. Ayah Oat yang bekerja sebagai nelayan,
sedang melaut.
Ibunya langsung menyambarnya ketika gelombang tsunami mulai datang dan lari
sekencang mungkin. Tetapi usahanya sia-sia. Gelombang pasang menggulungnya.
Satu hal yang tetap diingatnya adalah tidak melepaskan Oat sedetik pun. Ia,
yang tak bisa berenang, berjuang sekuat tenaga, hingga terlihat serombongan
orang bertengger di atap sebuah mobil. Ia berteriak-teriak minta tolong, dan
orang-orang itu meraihnya.
Malang bagi mereka, atap mobil itu tidak cukup tinggi ketika gelombang pasang
susulan menerpa. Semua orang di atap kendaraan itu terseret gelombang pasang.
Oat terlepas dari tangan ibunya, dan tergulung-gulung gelombang. Si ibu yang
tak bisa berenang nekat terjun ke air, meraihnya, dan memanggulnya. Dengan
sisa-sisa kekuatan, ia terus berjuang lepas dari jebakan air, menggapai sebuah
pohon dan bertahan di tempat itu hingga datang pertolongan.
"Oat terserang demam. Ia terlalu banyak kemasukan air laut. Tubuhnya
berubah kuning. Bersyukur, setelah dirawat di rumah sakit keadaannya mulai
membaik," kata ibunya.
Namun, penderitaan keluarga itu belum berakhir. Kini Oat diliputi trauma. Ia
sering ketakutan, lalu tiba-tiba saja tubuhnya menggelung, mengerut. Demi
anaknya, keluarga itu kini memutuskan pindah ke Ranong, tempat yang lebih aman,
dan gelombang tsunami tak akan mencapainya.
Trauma juga melingkupi Ing (11). Ia selamat karena sempat melarikan diri
bersama neneknya. Mereka ditolong orang-orang yang melarikan diri dengan naik
truk. "Gelombang pasang itu tinggi sekali, setinggi pohon pinus. Kami yang
berada di truk menangis menjerit-jerit ketakutan," katanya mengenang.
Ing mendapati rumah bibinya, tempat ia tinggal selama ini, rata dengan tanah.
Kenyataan itu membuatnya takut. Ia tak ingin tinggal di wilayah itu lagi.
"Saya tak sempat menyelamatkan bibi yang selama ini memelihara saya. Saya
hanya mendapati baju dan jam tangannya," ia menambahkan.
Diew (3) luput dari bencana alam karena mukjizat. Ketika gelombang pasang
datang menggulung wilayah pantai barat Thailand pada Minggu (26/12) itu, ia
terseret gelombang. Namun, tubuhnya tersangkut pepohonan mangrove. Tiga hari
kemudian ia ditemukan tim pencari.
"Ia sedang berada di rumah tetangga ketika gelombang pasang pertama
melanda. Saya mendengar orang-orang berteriak untuk menyuruh kami lari. Segera
saya mendapatkannya, lalu kami lari sekencang mungkin. Saya terluka,
konsentrasi saya terpecah, dan Diew terlepas dari saya," kata Suparat
(28), ibu Diew.
Dalam kepanikan dan kesakitan ia mencari-cari Diew, tetapi gelombang pasang
susulan menerjangnya. Suparat memusatkan perhatian untuk menyelamatkan diri,
dalam kondisi badan yang sudah sangat lelah dan lemah. Ia selamat.
Diew ditemukan tim pencari tiga hari kemudian dalam keadaan lemah. Tubuhnya
penuh bekas gigitan nyamuk. Namun, ia tidak tampak ketakutan.
"Lapar," kata Diew ketika ditemukan. Ia juga minta Coca-Cola. Sungguh
mukjizat, ia tidak terluka serius, kecuali tergores di sana-sini dan penuh
bekas gigitan nyamuk.
Selain lapar, Diew mengatakan sangat merindukan ibu dan ayahnya. "Takut
gelap. Manggil-manggil, tapi tidak ada yang datang," ia berkisah. Suparat
menambahkan, anaknya itu menggerak-gerakkan pohon mangrove ketika mendengar
orang datang. Diew, kata tim pencari, telah menolong dirinya sendiri.
Suparat bersyukur bencana itu tidak membuat anaknya trauma. Diew bahkan sudah
berenang di laut. Kini ia mendapat julukan baru, "iron man", si
manusia besi.
(Berbagai sumber/UNICEF.org/A-18)
Suara Pembaruan Daily
::
.:cinta blogged on 11:19 AM:.
...
.:Monday, January 17, 2005:.
::
Kamis, 13 Januari 2005
Pak, Masih Bisakah
Puteri Sekolah...?
KETIKA Kompas menjenguknya di ruang perawatan Rumah Sakit Haji Adam Malik,
Medan, Selasa (11/1), buku Soal-soal Ulangan untuk Kelas V Sekolah Dasar tampak
terpegang erat di tangan kiri Puteri (15). Ia tampak terusik dengan kehadiran
beberapa orang di dekat ranjangnya. Sempat melirik, tetapi beberapa saat
kemudian matanya terus asyik kembali membaca kalimat demi kalimat pada buku
yang membahas soal-soal ulangan berbagai mata pelajaran Kelas V SD itu.
KETIKA ditanya buku apa yang dibaca, Puteri menjawab pelan, "Sedang
membahas soal-soal mata pelajaran Agama dan Ilmu Pengetahuan Alam. Karena lagi
sakit, jadi belajarnya di rumah sakit saja. Supaya jangan ketinggalan pelajaran
kalau kembali ke sekolah nanti," kata Puteri.
Tetapi, sembari meringis menahan sakit, Puteri tiba-tiba menaruh buku di
tangannya, digeletakkan begitu saja di kasur. Ia coba duduk dan menatap tajam
dengan kening berkerut. "Tetapi, Pak, masih bisakah Puteri sekolah?"
ucapnya lirih.
Tiba-tiba, raut muka Puteri tampak memerah menahan amarah, kesal. Ia hanya
diam. Tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingnya, Puteri berpaling dan
memejamkan matanya. Butiran bening tampak membasahi pipi gadis kecil belasan
tahun asal Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu.
"Ia terlihat sangat kesal ketika menyadari tangan kanannya sudah tidak
utuh lagi. Kalau sudah begitu, ia berubah jadi pemarah. Puteri seolah tidak
bisa menerima kenyataan yang dialami sekarang. Ia pun merasa dihantui kalau
cacat tangannya akan membuat ia tidak bisa sekolah lagi," tutur Nurhaimah,
warga asal Banda Aceh yang bersimpati atas nasib Puteri saat ditemui ketika
mendampingi gadis itu.
Puteri memang tampak trauma dan terpukul. Jika ditanya kisahnya sampai selamat
dari bencana itu, ia malah diam dan melihat dengan tatapan kosong. Kalau sudah
begitu, butiran air mata tampak jatuh di pipinya. Puteri pun tak banyak cakap,
memilih memalingkan muka dan tampak memejamkan matanya dalam-dalam.
Gadis kecil pelajar kelas V Sekolah Dasar (SD) Negeri 87 Ulee Lheue, Banda
Aceh, yang semula periang itu kini berubah drastis menjadi pendiam. Tidak ada
tawa ceria, kecuali rasa sedih dan menyesali nasib. Bahkan, kalau ia ingat masa
depan dan kelanjutan sekolah, Puteri malah kadang berubah temperamental. Ia
marah, tetapi entah kepada siapa.
Perubahan sikap Puteri yang perasa, sensitif, dan kadang emosional itu
bagaimanapun bisa dimaklumi. Sebab, gelombang tsunami setinggi 10-an meter yang
menghantam rumahnya di Ulee Lheue, 26 Desember 2004, telah membalikkan hidup
dan masa depan Puteri ke titik nol.
Ibunya, Sahniati, memang selamat dan kini setia mendampingi di RS Adam Malik,
Medan. Akan tetapi, ayahnya dan dua adiknya sampai kini belum diketahui
nasibnya.
Tidak hanya itu yang membuat Puteri terpukul. Bencana tsunami telah membuat
Puteri kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Tangan kanannya harus
diamputasi. Ia kini hanya memiliki satu tangan, tangan kiri. "Kadang,
dalam gerakan refleks, Puteri lupa tangan kanannya sudah tidak utuh lagi. Pada
saat itulah ia jadi emosional, sensitif. Kalau sudah begitu, Puteri hanya diam
dan air matanya menetes," jelas Sahniati, yang terus memberi semangat
hidup kepada Puteri yang kini menjadi anak semata wayang.
Menurut Sahniati, anaknya kini penuh kegamangan. Ia kadang-kadang tidak percaya
diri dan ragu-ragu apakah ia masih bisa sekolah, menulis, atau mandiri seperti
keadaannya selama ini. "Kami beruntung ada relawan PKS (Partai Keadilan
Sejahtera) yang 24 jam menemaninya. Relawan ini menghibur dan memberi semangat
bahwa tangan cacat tidak menjadi halangan bagi orang untuk belajar. Inilah yang
sekarang memompa semangat Puteri sehingga ia mulai terlihat percaya diri dan
berambisi untuk sekolah kembali," tutur Sahniati.
Betapa hasrat Puteri untuk belajar tetap tinggi, terbukti ketika Kompas datang
menjenguknya di RS Adam Malik. Ketika itu, Puteri spontan minta dibelikan
buku-buku. Ia pun menyodorkan sejumlah daftar buku bacaan, seperti buku
Himpunan Soal-soal Ulangan untuk Kelas V SD, Kupas Tuntas untuk SD, Gembira
Belajar Sains, majalah Bobo, dan lain-lain.
"Terima kasih banyak, Pak," ucap Puteri ketika Kompas menyerahkan
buku-buku yang dimintanya. Dalam sekejap, perhatiannya tercurah ke buku-buku
itu. Meski mungkin asanya masih teramat perih, untuk sesaat Puteri tampak bisa
melupakan kepedihan atas kehilangan satu bagian raganya itu.
BAGI anak-anak seusia Puteri, bencana tsunami mungkin tidak akan dilupakan
seumur hidup. Gelombang dahsyat yang berawal dari gempa bumi itu telah
merenggut semua yang mereka kasihi, ya orangtua, adik, kakak, saudara, teman,
rumah, dan gedung sekolah mereka. Bahkan juga merenggut bagian terpenting dari
tubuh mereka.
Puteri memang tidak sendirian. Meski angka konkret belum terdata, barangkali
ada ratusan atau ribuan anak usia sekolah yang mengalami nasib tragis seperti
yang dialami Puteri. Hati mereka mungkin sangat luka, teramat perih. Namun,
karena tidak berdaya, jeritannya hampir-hampir tidak ada yang mendengar.
Tengoklah Suwardi yang kini terbaring di ruang perawatan RS Malahayati, Medan.
Pelajar sekolah menengah pertama (SMP) negeri di Banda Aceh ini pun mengalami
nasib tragis karena kini ia kehilangan kaki kiri. "Dengan satu kaki
seperti ini, apa saya masih bisa sekolah? " ujarnya.
Pelajar yang sebelumnya tinggal di Lampase, Banda Aceh, itu kini mengaku hanya
sebatang kara. Kedua orangtua dan saudaranya sampai kini belum diketahui
keberadaannya. "Setelah digulung tsunami beberapa menit, saya akhirnya
nyangkut di satu pohon. Inilah yang membuat nyawa saya selamat. Tetapi, sayang
kaki kiri saya terpaksa diamputasi karena kata dokter sudah membusuk,"
kata Suwardi.
Gelombang tsunami memang membuat banyak anak usia sekolah kehilangan
segala-galanya. Maliki Syahputra (11), juga pelajar SMP di Krueng Cut, Banda
Aceh, sedikit beruntung. Kakinya bisa diselamatkan kendati sudah patah dan
luka-luka parah.
Kini, tsunami memang sudah reda. Akan tetapi, bencana itu menyisakan banyak
luka di "Tanah Rencong" tersebut. Sekarang, sepertinya hanya satu isi
tangis anak-anak di bumi Serambi Mekkah, "Pak, masih bisakah kami
sekolah...?" (ahmad zulkani)
::
.:cinta blogged on 1:54 PM:.
::
Tanggal: 16 January 2005 Kategori: Reportase
Reuni di Mata Ie
Tak pernah terlintas dalam pikiran Sofyan Musa (43) untuk meninggalkan
istri dan kedua putrinya dijemput maut. Tapi nyaris seperti itulah yang terjadi
pada hari Minggu, 26 Desember lalu.
Pagi itu, pegawai Kantor Kependudukan dan Mobilitas Penduduk Provinsi NAD ini
mengajak dua dari empat putrinya berjalan-jalan, melihat usahanya di kawasan
Jeulingke. Maka ditinggalkan lah dua orang putri dan istrinya, Teti (28), di
rumah mereka di Desa Garot, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar.
Tapi, Sofyan dan dua orang putrinya itu juga mendekati daerah maut. Yang jelas,
saat gelombang datang, keluarga itu terpisah.
Saya sambil mengendong anak yang baru berumur 2,5 tahun dan memegang tangan
anak usia enam tahun, lari ke jalan. Di sana mayat sudah bergelimpangan karena
digilas bus, truk atau kendaraan lainnya, jelas Teti sambil menggeleng-geleng
kepala, lalu menangis terbayang tragedi itu.
Menurut Teti, tak semua jenasah yang bergelimpangan di jalan-jalan itu akibat
gempa atau gelombang tsunami, tapi ada juga karena digilas kendaraan roda
empat, ketika terjadi kepanikan yang luar biasa dan setiap orang berusaha
menyelamatkan jiwanya masing-masing.
Itulah yang disaksikan Teti. Gelombang tsunami belum lagi sampai di Desa Garot,
tapi puluhan korban sudah berjatuhan di Jalan Elak, Banda Aceh. Jalan Elak itu
dua jalur. Tapi tidak ada yang menggunakan jalur ke arah Simpang Dodik, semua
ke arah Keutapang. Saya pikir betul-betul saat itu dunia dah kiamat, jelas ibu
empat anak itu.
Memacu kendaraan ke arah Simpang Dodik tentu sama dengan menyongsong maut.
Simpang Dodik adalah pintu masuk menuju Lamteumen, sebuah kawasan yang babak
belur dihajar gelombang tsunami. Padahal, jaraknya sekitar 4-5 kilometer dari
pantai Ulee Lheue atau Lamawe.
Setelah berhasil menghindari air bah, Teti yang hanya mengenakan baju tidur
itu, tanpa pikir panjang, lalu menyetop bus PMTOH yang melaju ke arah Medan.
Namun baru di Seulimum, Aceh Besar ia minta turun.
Yang terpikir di pikiran saya Bang Yan (suaminya), sudah meninggalkan saya
serta dua anaknya yang masih duduk di kelas IV dan III SD, kata Teti.
Teti tak asal menduga. Jeulingke tak terlalu jauh dari garis pantai. Dan ketika
jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB pada hari naas itu, Teti semakin lemas,
ketika mendengar orang menyebut-nyebut daerah Jeulingke gelombangnya sangat
tinggi dan dahsyat.
Bagaimana nasib Sofyan? Inilah yang dialaminya.
Setelah membawa dua orang putrinya dan pamit hendak pergi ke Jeulingke, Sofyan
berubah pikiran. Di depan Masjid Raya Baiturrahman ia mengubah rute perjalanan,
memilih Jalan Cut Meutia yang menurutnya lebih cepat sampai di tujuan. Sebab, bila
melintasi Simpang Lima tentu memakan waktu lama akibat lampu merah.
Ternyata keengganannya berjumpa lampu merah itulah yang menyelamatkan jiwa
Sofyan dan kedua putrinya. Tepat di depan BRI Cabang Banda Aceh, ia melihat air
hitam pekat setinggi pohon kelapa. Begitu melihat pemandangan yang seumur hidup
tak pernah dilihatnya itu, ia langsung menghentikan laju sepeda motor dinasnya
itu.
Sofyan mencabut kunci kontaknya dan langsung membawa lari kedua putrinya ke
arah Masjid Raya Baiturrahman. Sambil lari, pikiran saya mengatakan tempat yang
lebih aman ke Masjid Raya, kisah Sofyan.
Namun kurang 50 meter lagi sampai di masjid, Mona, putrinya yang nomor dua
mengeluh capek. Ayah, Mona capek dan Mona pakai sepatu baru ini, kata bocah itu
sambil ngos-ngosan.
Tinggalkan saja sepatu itu dan kuatkan, sudah mau sampai ini, jawab Sofyan
menguatkan putrinya.
Sofyan sendiri mengaku setengah putus asa mendengar teriakan putrinya. Walaupun
saya juga sudah ngos-ngosan, sambil ngomong sudah mau sampai, tangan kedua anak
saya harus saya tarik paksa.
Sesampainya di masjid, Sofyan melihat seorang bilal (tukang adzan, red), justru
sedang menyapu lantai. Ia lalu segera meminta bilal mengumandangkan adzan
karena air bah sudah besar dan sudah sampai di Jalan Cut Meutia.
Tapi bilal itu tidak melaksanakan adzan, melainkan ia turun ingin menyaksikan
air yang saya ceritakan itu, jelas Sofyan.
Sofyan mengaku sebagai orang pertama yang masuk masjid, baru disusul seorang
anak muda. Melihat sang bilal tak mengindahkan permintaan Sofyan, anak muda itu
lalu menawarkan diri. Tapi sial, mikrofon masjid gagal difungsikan.
Sofyan sudah berada di dalam masjid. Tapi ayah yang memegang erat tangan kedua
anaknya itu masih merasa tidak aman. Dia lalu mencari pintu untuk naik ke
lantai selanjutnya. Saya baru merasa aman ketika saya sudah berada di tingkat
tiga, ungkapnya.
Dari sanalah, Sofyan dan kedua putrinya menyaksikan kotanya digerus air bah.
Saat itu, ratusan orang sudah berada di bagian atas masjid.
Saat air mulai surut, Sofyan bergegas hendak pulang untuk melihat istri dan dua
anaknya di rumah. Namun, sesampainya di bawah, ia melihat banyak mayat sudah
bergelimpangan di halaman masjid, bahkan ada yang tergolek di tangga masjid.
Perasaan gundah semakin membucah. Apa yang terjadi di rumahnya? Apakah istri
dan dua anaknya yang masih kecil selamat? Atau bernasib seperti jenasah-jenasah
yang disaksikannya itu?
Lalu sambil melihat-lihat jalan mana yang bisa dilewati, karena di depan masjid
penuh dengan puing-puing bangunan, Sofyan kemudian melintasi jalan bekas Hotel
Aceh. Tapi sesampainya di depan Geunta Plaza, ada orang berteriak, Air naik
lagi, air naik lagi
Begitu saya dengar ada orang mengatakan air naik lagi, saya langsung masuk
komplek Geunta Plaza. Sampai di sana ada orang melarang, karena bangunan itu
tidak kokoh lagi akibat gempa tadi. Tapi saya katakan kami bukan berlindung
dari gempa, melaikan menghindari dari air,kata Sofyan seraya menambahkan bahwa
teriakan air datang itu ternyata tidak benar.
Singkat cerita, sesampainya di rumahnya di Desa Garot, Kecamatan Darul Imarah,
Aceh Besar, ia mendapati rumahnya telah kosong. Istrinya dan dua anak yang
ditinggalkannya sudah tak ada. Namun air di rumahnya hanya setinggi tumit.
Pikirannya bertambah kacau. Ke mana harus mencari. Kemudian ia keluar tanpa
tujuan pasti. Dan inilah yang dilakukannya: sambil berjalan, setiap ditemukan
jenasah, ia melihat apakah itu istri dan anaknya.
Namun setelah sekian lama, ia pun memilih pulang ke rumah, dan di sana ia
menulis pesan bahwa ia dan dua anaknya selamat dan sekarang berada di rumah
teman di Mata Ie. Sofyan pun lalu menuliskan alamatnya secara jelas.
Ketika saya pulang melihat istri ndak ada lagi, pikiran saya kacau dan terpikir
apakah saya harus tinggal bersama dua anak? kata Sofyan.
Pikiran yang sama, yang juga mendera Teti yang saat itu tengah galau di
Seulimum.
***
Adzan maghrib sudah berkumandang. Beberapa orang baru saja mengerjakan shalat.
Teti dengan menuntut kedua putrinya, tiba di Mata Ie. Dan keluarga itupun
berkumpul kembali. [dan]
acehkita.com
::
.:cinta blogged on 10:11 AM:.
::
Hilangnya
Sang Anak Tunggal
Sudah satu jam lebih Yusuf (32) duduk bengong di ruang tunggu Rumah Sakit Umum
Fakinah, Banda Aceh. Kemeja kotak-kotak coklat yang dikancing hingga pergelagan
tangannya begitu lusuh. Tangan kirinya menggengam botol air mineral yang berisi
setengah.
Ditatapnya satu per satu tenaga medis yang lalu lalang membawa bungkusan
plastik putih berisi obat-obatan. Sesekali dia mengernyitkan dahi kepada seorang
personel militer Australia yang mengajaknya tersenyum. Tersembul sedikit luka
dari wajahnya yang kusut.
Sudah dua minggu saya berkeliling Banda Aceh untuk mencari anak saya. Tapi,
hingga sekarang anak saya belum ada kabarnya, Yusuf membuka perbincangan pada
acehkita, Sabtu (15/1) sore.
Buah hatinya adalah Rizal, anak satu-satunya hasil perkawinan warga Ulee Lheu,
Kecamatan Meuraksa, Kota Banda Aceh ini dengan Yunizar, wanita asal Tapak Tuan,
Aceh Selatan. Menurut Yusuf, Rizal hilang setelah tsunami menghancurkan kawasan
pesisir kampungnya.
Rizal berusia enam tahun. Rencananya, kami akan memasukkan Rizal ke sekolah
dasar pertengahan tahun ini, kata Yusuf, sembari menunjukkan selembar foto
anaknya.
Terlihat seorang bocah berwajah manis, kulit putih dan mata kebiruan. Bagi
Yusuf, Rizal adalah segalanya. Rizal selalu mengobati lelahnya saat baru pulang
dari kantor tempat Yusuf bekerja di sebuah perusahaan swasta. Anak semata
wayang ini pula yang selalu menemaninya tidur atau jalan-jalan sore keliling kota.
Kini saya kehilangan dia, ujar Yusuf. Lalu dia terisak sesaat. Kemudian, dia
mencoba kembali tenang. Yusuf memulai ceritanya, sebuah kisah pahit yang kini
menjadi mimpi terburuknya.
***
Pagi itu, 26 Desember 2004. Yusuf baru saja bangun dan beranjak dari tidurnya.
Sedikit kesiangan, karena dia sengaja bangun lebih telat pada hari Minggu.
Yusuf terbangun setelah Rizal mengguncang pundaknya beberapa kali. Rizal
mengatakan ada gempa yang baru saja terjadi.
Semalaman itu saya begadang sambil nonton televisi. Kalau tidak dibangunkan
Rizal, mungkin saya masih terus tidur, cerita Yusuf.
Mendengar kabar gempa dari anaknya, Yusuf masih berusaha tenang sambil perlahan
menuju ruang tamu rumahnya yang berukuran 4 x 6 meter. Di sana, Yusuf berusaha
menenangkan anak dan istrinya dengan cara duduk di lantai sambil berdoa.
Saya masih tenang saat gempa masih kecil. Dan saya benar-benar tenang setelah
gempa reda sesaat, katanya. Menurut Yusuf gempa pertama terjadi lima menit
sebelum jam 08.00 WIB.
Tapi, katanya, sungguh di luar dugaan. Gempa kembali terjadi. Kali ini
kekuatannya lebih dahsyat. Tubuh saya terjerembab begitu saja. Lalu saya
mencoba bangun dan menggendong Rizal menuju halaman depan rumah. Tangan kiri
saya merangkul pundak istri, katanya.
Di luar rumah, ternyata Yusuf mendapati ratusan warga dan tetangganya berteriak
ketakutan. Sesekali pekik takbir Allahu Akbar terdengar dari mulut-mulut
mereka. Yusuf bahkan melihat langsung dengan kedua matanya saat beberapa
bangunan rumah dihadapannya tumbang mencium tanah.
Merasa tidak aman, Yusuf langsung menyusul gerombolan warga yang mulai
berlarian ke arah jalan raya. Rizal tetap berada di gendongan sambil menangis
ketakutan. Sedangkan Yunizar, istrinya, berlari mengikuti sang suaminya sambil
mengangkat rok dan menjinjing sepasang sandal jepit.
Saat itulah Yusuf mendengar gemuruh yang begitu besar dari arah pantai. Dia
mengaku sempat mengalihkan pandangan ke belakang. Masya Allah... Saya melihat
air setinggi pohon kelapa sekitar seratus meter di belakang saya, ceritanya.
Langkah kaki Yusuf untuk menyelamatkan nyawa diri, anak dan istrinya ternyata
kalah cepat dengan arus tsunami yang dahsyat. Semua warga panik. Masing-masing
berupaya menyelamatkan diri. Tak ada guna lagi berpaling ke belakang, kendati
teriakan tolong dari warga terus berkecamuk.
Saya meminta istri saya untuk melepas genggaman tangannya, lalu dia menurut dan
lari sambil menangis. Sementara saya, sudah bertekad, jika pun saya mati, saya
tidak akan melepas Rizal dari gendongan, sambungnya.
Tapi, Tuhan berkehendak lain. Niat Yusuf yang membara untuk tetap bersama anak
tunggalnya diluluhlantakkan oleh gelombang yang datang.
Anak saya terlepas dari gendongan ketika air mulai meninggi dan menenggelamkan
dada saya,cerita Yusuf yang sudah tampak tenang.
Tak Kunjung Jumpa
Beberapa menit setelah air laut surut ke pantai, Yusuf mulai panik karena
kehilangan buah hati yang begiru dicintainya. Yunizar yang berhasil selamat
dengan memanjat sebatang pohon tinggi, berdiri di sebelahnya sambil memeluk
pundak suami dari arah belakang.
Saat itu, saya masih tidak yakin dengan kejadian yang baru saja saya alami.
Saya berharap agar semua itu mimpi. Tapi ternyata itu nyata, katanya.
Setelah yakin situasi kembali aman, perlahan Yusuf dan istrinya mulai berjalan
mencari Rizal. Dia terus berjalan ke berbagai arah. Dia tak mengenali lagi
kampungnya. Bahkan, Yusuf tidak bisa mengenali lagi lorong-lorong yang biasanya
dilalui saat pulang dari kantor. Tidak ada lagi rumah di sana. Yang tersinya
hanya balok-balok kayu dan genangan lumpur.
Saya mencari anak saya di sana sampai maghrib. Tapi Rizal tidak ditemukan.
Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan kampung itu untuk mengungsi ke desa
terdekat, ungkapnya. Yusuf tak sendiri. Ratusan warga lain yang selamat ikut
mengungsi bersamanya.
Keesokan harinya, Yusuf kembali ke kampungnya untuk mencari anaknya. Tapi
nihil, Rizal tetap tidak ditemukan. Demikian juga esoknya dan seterusnya. Buah
hatinya yang baru bisa mengayuh sepeda ini lenyap bak ditelan samudera.
Setiap hari selama seminggu, saya menunggui tiap-tiap jenazah korban yang
dievakuasi oleh relawan. Saya berharap, jika pun anak saya sudah meninggal
dunia, saya bisa melihat jasadnya untuk terakhir kali. Tapi tidak berhasil
juga, kata Yusuf.
Kali ini dia menangis tanpa menghiraukan orang yang sedang keluar masuk pintu
utama RSU Fakinah.
Hingga kini, Yusuf masih berusaha menemukan anaknya. Puluhan lokasi penampungan
pengungsi sudah didatanginya. Sejumlah rumah sakit tempat perawatan korban
selamat sudah dijenguknya. Tapi Rizal, anak tunggalnya itu belum ditemukan
juga.
Bahkan, nasib Yusuf makin terasa getir setelah istrinya terpaksa dirawat di
salah satu posko kesehatan tim medis asing akibat kelelahan dan kondisi
kesehatan fisiknya yang menurun. [dan]
Monday, January 17, 2005
Dika - Banda Aceh, 2005-01-17 08:48:36
*****
::
.:cinta blogged on 9:52 AM:.
::
Walau
Hidup Tapi Disayat Sembilu
LEBAM-lebam berwarna biru dan goresan memanjang hingga ke telinga masih
membekas di pipi kirinya. Sementara bekas luka lain yang sudah sembuh juga
menjadi pertanda benturan keras yang menghujam ke sekucur mukan dan kepala
Aulia Fachrizal (9) saat tergulung ombak Tsunami dan gempa di Aceh (26/12)
lalu.
Wajah polosnya memancarkan kegalauan. Bungsu dari dua bersaudara itu kini
tinggal di Jakarta untuk sementara dengan ayahnya, sebagai satu-satunya
keluarga inti yang masih hidup. Sementara Ibunda tercinta, Hasnah, dan
kakaknya, Amelia (13) dipastikan tewas dan mayatnya hingga sekarang belum
ditemukan.
Hantaman gelombang laut setinggi sembilan meter di Aceh yang membuat seluruh
dunia tercengang itu kini masih membekas dalam di hati dan benak Aulia yang
biasa menyebut dirinya Adik itu.
Bertutur tidak runut Adik mencoba mengingat kejadian. Rasa pedih yang terus
menghantuinya juga sering datang dalam mimpi. Dalam mimpinya Adik mengaku masih
sering melihat mamak dan kakaknya.
Adik yang ditemui di posko Media Group Kedoya pada Jum'at (7/1),
dalam percakapan sering tiba-tiba terdiam dan perlahan menundukan kepala. Beban
hidup yang dia emban dalam usia belia tampaknya terlalu berat. Sehingga Adik
seakan tidak sanggup memaparkan secara runut gambaran akan Ibu dan Kakak dalam
mimpinya.
Dengan mata menerawang, Adik menceritakan kisah pilu bagaimana ia bisa selamat
dari terpaan gelombang Tsunami yang datang tanpa diduga itu telah menghempaskan
dia dan sanak saudarnya tanpa arah. Sesaat Adik mengetahui terpaat gelombang
besar telah melepaskan ia dari mereka. Rasa ingin hidup ada pada diri Adik dan
dia pun naik ke ambar (karpet). Namun beban Adik mempuat ampar tenggelam.
Entah berapa lama dari peristiwa itu, Adik kemudian sadar kalau dia sudah
berada di atas beton dan ditunggui oleh seorang bapak.
Seakan ada yang menusuk dalam hatinya, adek sekali lagi menundukkan badan
disertai kepala saat melanjutkan pengalamannya. Berusaha menguatkan ingatan dan
melanjutkan ceritanya, dia mengaku baru bertemu dengan ayahnya setelah hari
sudah gelap karena lampu seluruh kota mati. Mereka bertemu diatas trotoar
dengan seorang pembantu yang menemani.
Siswa kelas 4 SD Bhayangkari ini ternyata kini masih mengalami trauma mendalam.
Begitu membekas dan mengerikan di ingatannnya Tsunami itu, sehingga menurut
ayahnya Syamsul Bahri, Adik masih takut dengan ketinggian, getaran dan suara
gemuruh. Begitu juga nonton televisi yang menayangkan peristiwa itu.
Adapun keberadaan Syamsul dan Adik di Jakarta berkat bantuan kantor Perusahaan
Listrik Negara (PKL). Kini mereka tinggal di daerah Slipi Jakarta Barat.
Samsyul sendiri tadinya berniat tingga di kamar lantai tujuh, tetapi menurutnya
Adik keberatan dan memilih tinggal di lantai dasar, karena takut ketinggian.
Trauma Adik memang bukan main-main, disaat kepalanya diusap-usap ayahnya,
tiba-tiba dia berteriak bertanya 'ada gempa' ujarnya sembari mendekap ayahnya.'
Padahal sesunguhnya yang terjadi adalah kursi dimana dia duduk hanya bergoyang
sedikit.
Menurut Syamsul, setelah musibah Tsunami yang menyebabkan Adik kehilangan
orang-orang yang dicintainya, bocah laki-laki kurus ini terlihat sering duduk
diam dan termenung, bahkan terkadang matanya yang bulat dan berwarna gelap
meneteskan air.
Bahkan Syamsul yang juga tampak sangat terpukul itu mengatakan, beberapa kali
dia bertanya akan renungan Adik, namun selalu mendapat jawaban, "Tidak
apa-apa dan ia mengaku tidak menangis.''
Syamsul sendiri juga tampak bagai disayat sembilu ketika dia bercerita saat
anaknya dipergokinya meneteskan air mata dan tiba-tiba bertanya dimana kakaknya
dak ibunya.
Adik memang kerap melontarkan pertanyaan ''Pak, Mamak dimana? Mamak selamat?
Kalau tidak, dimana kuburannya?.'' Dengan berusaha manahan air mata menetes
Syamsul mengaku kalau pertanyaan itu tidak bisa dia jawab. Dia sendiri terahir
melihat istri dan anak yang dikasihinya terhimpit diantara batang kayu dan
pagar besi.
Dengan suara purau dia melanjutkan bicara, " Lalu saya tidak melihat
mereka lagi karena kami kembali diterpa gelombang Tsunami kedua,'' kata Syamsul
berusaha menahan tangis dengan menggigit bibir.(Indira\M-1).
www.mediaindo.co.id
*****
::
.:cinta blogged on 3:52 AM:.
::
Akhir
Doa Seorang Sopir
Saat Nazmi (38) hamil muda, Ridwan (45) selalu berdoa agar Tuhan
menganugerahkan anak perempuan kepadanya. Setelah menikah, penduduk Desa Tanoh
Aye, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar ini memang dikaruniai tiga orang anak. Tapi
semuanya laki-laki. Tak heran bila dalam tujuh tahun terakhir, Ridwan sangat
mendambakan seorang putri.
Doa kami dikabulkan. Tapi mau tak mau harus menerima cobaan ini. Anak perempuan
yang saya dambakan selama tujuh tahun lalu, menjadi kenyataan. Namun ditemukan
sudah menjadi mayat di samping ibunya, tidak jauh dari rumah, kata Ridwan
kepada acehkita, Jumat (14/1) di rumah kerabatanya di Darul Imarah, Aceh Besar.
Kecamatan Lhoong kini terisolir. Tapi sejumlah desa di tepi pantai telah rata
dengan tanah. Sejak itu, Ridwan yang berprofesi sebagai sopir lebih banyak diam
dan duduk termenung. Dia memang sudah kehilangan segala-galanya. Selain Nazmi
dan bayi perempuan yang didambakannya, ketiga orang putranya juga meninggal
digulung gelombang yang mahadahsyat itu.
Ridwan teringat ketika pada hari Minggu, 26 Desember itu, dia mengajak dua dari
tiga putranya untuk pangkas rambut. Yah, saya dengan adik ikut ayah pangkas
rambut ke Banda Aceh, ya..kata Ridwan menirukan anak tertuanya yang duduk di
kelas 3 SMP.
Permintaan itupun dituruti, kendati Ridwan tak mengajak anak-anaknya pangkas ke
Banda Aceh, melainkan membawanya ke tukang pangkas di pasar Lhoong. Setiap hari
Ridwan memang bolak-balik Aceh Besar – Banda Aceh, karena profesinya sebagai
sopir angkutan umum L-300. Biasanya, jam setengah delapan pagi, dia sudah
berangkat dari rumah. Namun Minggu pagi itu, ia memilih menemani dua putranya
pangkas rambut terlebih dahulu. Setelah selesai dan mengantar mereka pulang,
barulah Ridwan narik seperti biasa.
Siapa yang mengira itulah pertemuan terakhir dengan keluarganya.
Sekitar empat kilometer dalam perjalanan ke Banda Aceh, Ridwan merasa ada yang
tidak beres dengan mobilnya. Saat itu dia membawa beberapa orang penumpang. Ia
berhenti dan turun dari mobil. Namun belum sempat melihat kondisi mobilnya, ia
hampir terjatuh akibat guncangan yang keras.
Saya merasa mau jatuh. Habis saya pilih duduk terus sambil mengatakan kepada
semua penumpang turun, turun, gempa, gempa, kisah Ridwan.
Setelah usai gempa, Ridwan bersama delapan penumpannya tak lagi melanjutkan
perjalan ke Banda Aceh. Saya teringat sama istri dan anak-anak, maka saya ajak
semua penumpang balik.
Balik aja ya. Ini gempa kuat kali, siapa tahu rumah-rumah kita di sana tumbang
semua, kata Ridwan kepada para penumpangnya. Para penumpang pun mengangguk
setuju.
Mobil itupun berputar haluan, kembali ke Aceh Besar. Tapi berselang setengah
jam kemudian, dari kejauhan mereka melihat air pasang mulai menggulung
pemukiman di kawasan Lhoong. Dengan kerongkongan tercekat, mereka pun memilih
menunggu sampai gelompang tsunami surut. Perasaan orang-orang di dalam mobil
L-300 yang dikemudikan Ridwan semakin tak menentu.
Ketika Ridwan tiba di Desa Tanah Aye, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, semua rumah
penduduk telah rata dengan tanah. Tepatnya, rata dengan air laut. Tapi ia tidak
terlalu hirau sebab pikirannya hanya tertuju pada rumah dan keluarganya. Para
penumpang memilih turund di sejumlah tempat yang tak dapat diingatnya lagi.
Sampai di rumahnya, dia telah menemui kondisi rumah permanennya yang rubuh dan
rata dengan tanah. Jantungnya semakin berdebar-debar, mencari ke mana istri dan
anak-anaknya. Apalagi bila teringat bahwa Nazmi, sang istri sedang hamil tua.
Ia semakin kalut dan kalang kabut saat melihat mayat-mayat yang berserakan di
antara puing-puing bangunan.
Satu persatu saya lihat mayat, ternyata tidak ada. Lalu di mana ada orang saya
datangi dan saya tanya di mana istri dan anak-anak saya, tapi tidak satupun
yang tahu,ungkap Ridwan.
Hari sudah menjelang maghrib, namun Ridwan tak menemukan satupun anggota
keluarganya. Esok harinya, sang ayah yang tinggal sebatang kara ini,
melanjutkan kembali pencarian. Ia tak kenal lelah walaupun perutnya tidak
pernah terisi nasi dan makanan lainya, setelah sarapan pagi pada hari Minggu
(26/12) itu.
Hari kedua pun sudah menjelang dzuhur, tapi yang dicari masih sirna.
Bermodal kegigihan dan pantang menyerah dalam pencarian keluarganya, sekitar
200 meter dari bekas rumahnya, dalam pepohonan yang tumbang dan puing-puing
bangunan, sopir L-300 itu menemukan putra tertuanya. Lalu tak jauh dari situ,
dia juga menemukan putranya yang kedua dalam kondisi sudah menjadi jasad.
Kedua putranya inilah yang sempat diantarkan pangkas rambut sebelum Ridwan
berangkat kerja. Rupanya itulah wujud kasih sayangnya yang terakhir sebagai
seorang ayah, sebelum akhirnya berpisah untuk selama-lamanya.
Di hari ketiga, Ridwan yang berbadan tegap itu masih mencari istri dan seorang
putranya yang belum ditemukan. Ridwa sama sekali tidak menyadari bahwa dia
sesungguhnya tengah mencari tiga orang lagi, yaitu istri, seorang anak
lelakinya, dan seorang bayi.
Bayi?
Usai ashar, ketika melintasi bebatuan, terlihat sesosok jasad perempuan
terjepit batu. Itulah jenasah Nazmi. Tak jauh dari situ, dia pun menemukan
jasad putranya yang lain. Dengan hati hancur, lalu sang suami setia ini
menyingkirkan bebatuan itu. Perasaan sedih menyayat begitu menyaksikan seorang
bayi perempuan di samping jasad istrinya yang kini tak lagi hamil tua.
Waktu ditinggal sedang hamil tua, ternyata waktu saya temukan sudah menjadi
mayat bersama bayi perempuan yang dilahirkan, jelas Ridwan sambil mengusap air
mata dengan lengan baju yang dipakainya.
Itulah bayi perempuan yang selama ini diidam-idamkannya. Selama sembilan bulan
ini, Ridwan mengaku selalu berdoa agar jabang bayi yang dikandung Nazmi adalah
bocah perempuan.
Doa kami dikabulkan. Tapi, mau tak mau harus siap menerima cobaan ini. Anak
perempuan yang saya dambakan, menjadi kenyataan. Namun, ditemukan sudah menjadi
mayat di samping ibunya, katanya menutup kisah. [dan]
Monday, January 17, 2005
Reporter: Rosmad - Lhokseumawe, 2005-01-17
08:33:36