Syaikh Ahmad Khatib
memiliki banyak wakil, di antaranya adalah: Syaikh Abdul Karim dari Banten,
Syaikh Ahmad Thalhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah dari Madura,
Muhammad Isma'il Ibn Abdul Rahim dari Bali, Syaikh Yasin dari Kedah Malaysia,
Syaikh Haji Ahmad dari Lampung dan Syaikh Muhammad Makruf Ibn Abdullah
al-Khatib dari Palembang. Mereka kemudian menyebarkan ajaran tarekat ini di
daerah masing-masing.
Penyebaran ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah di daerah Sambas
Kalimantan Barat (asal Syaikh Ahmad Khatib) dilakukan oleh dua orang wakilnya
yaitu Syaikh Nuruddin dari Philipina dan Syaikh Muhammad Sa'ad putra asli
Sambas. Baik di Sambas sendiri, maupun di daerah-daerah lain di luar pulau
Jawa, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tidak dapat berkembang dengan
baik. Keberadaan tarekat ini di luar pulau Jawa, termasuk di beberapa negara
tetangga berasal dari kemursyidan yang ada di pulau Jawa. Penyebab
ketidakberhasilan penyebaran tarekat ini di luar pulau Jawa adalah karena
tidak adanya dukungan sebuah lembaga permanen seperti pesantren.
Setelah Syaikh Ahmad Khatib wafat (1878), pengembangan Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah dilakukan oleh salah seorang wakilnya yaitu Syaikh Tolhah
bin Talabudin bertempat di kampung Trusmi Desa Kalisapu Cirebon. Selanjutnya
Beliau disebut Guru Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah untuk daerah
Cirebon dan sekitarnya. Salah seorang muridnya yang bernama Abdullah Mubarok
bin Nur Muhammad yang kemudian dikenal sebagai Pendiri Pondok Pesantren
Suryalaya. Setelah berguru sekian lama, maka dalam usia 72 tahun ,beliau
mendapat khirqah (pengangkatan secara resmi sebagai guru dan
pengamal ) Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dari gurunya Mama Guru
Agung Syakh Tolhah Bin Talabudin ( dalam silsilah urutan ke 35 ). Selanjutnya
Pondok Pesantren suryalaya menjadi tempat bertanya tentang Thoreqat
Qodiriyah Naqsabandiyah.
Dengan demikian , Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad ra. dalam silsilah
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah berada pada urutan ke 36 setelah
Syaikh Tholhah bin Talabudin ra.
Syaikh Abdullah Mubarak
bin Nur Muhammad di kalangan para ikhwan (murid-muridnya) lebih dikenal
dengan panggilan "Abah Sepuh".karena usia beliau memang sudah tua
atau sepuh, saat itu usianya sekitar 116 tahun. Di antara murid-murid beliau
ada yang paling menonjol dan memenuhi syarat untuk melanjutkan kepemimpinan
beliau. Murid tersebut adalah putranya sendiri yang ke-5 yaitu KH.A.
Shohibulwafa Tajul Arifin diangkat sebagai (wakil Talqin) dan sering diberi
tugas untuk melaksanakan tugas-tugas keseharian beliau, oleh karena itu para
ikhwan tarekat memanggil beliau "Abah Anom " (Kyai Muda) karena
usianya sekitar 35 tahun. Sepeninggal Syaikh Abdullah Mubarak bin Nur
Muhammad sebagai mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah yang
berpusat di Pondok Pesantren Suryalaya dilanjutkan oleh KH.A. Shohibulwafa
Tajul Arifin ( Abah Anom) sampai sekarang, beliau mempunyai wakil talqin yang
cukup banyak dan tersebar di 35 wilayah, termasuk Singapura dan Malaysia.
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah sebuah tarekat yang berdiri
pada abad XIX M. oleh seorang sufi besar asal Indonesia. Hal ini menunjukkan
bahwa dinamika intelektual umat Islam Indonesia pada saat itu cukup
memberikan sumbangan yang berarti bagi sejarah peradaban Islam, khususnya di
Indonesia. Kemunculan tarekat ini dalam sejarah sosial intelektual umat Islam
Indonesia dapat dikatakan sebagai jawaban atas "keresahan Umat"
akan merebaknya ajaran "wihdah al-wujud" yang lebih
cenderung memiliki konotasi panteisme dan kurang menghargai Syari'at Islam.
Jawaban ini bersifat moderat, karena selain berfaham syari'at sentris juga
mengakomodasi kecenderungan mistis dan sufistis masyarakat Islam Indonesia.
Pesatnya perkembangan tarekat ini rupanya tidak terlepas dari corak dan
pandangan kemasyarakatan. Contoh kiprah kemasyarakatan termasuk dalam masalah
politik yang diperankan oleh mursyid tarekat ini memberikan isyarat bahwa
tarekat ini tidak anti duniawi (pasif dan ekslusif). Dengan demikian, kesan
bahwa tarekat adalah lambang kejumudan sebuah peradaban tidak dapat
dibenarkan.
Azas Tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah
Pondok Pesantren Suryalaya
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Ilahi Anta
Maqshuudii Waridloka Mathluubi A’thini Mahabbataka wa Ma’rifataka
Artinya : Ya
Tuhanku ! hanya Engkaulah yang ku maksud, dan keridlaan Mulah yang kucari.
Berilah aku kemampuan untuk bisa mencintaiMu dan ma’rifat kepadaMu.
Doa tersebut diatas
oleh para ikhwan Thoriqah Qadiriyah Naqsayabandiyah wajib dibaca dua kali.
Dalam doa tersebut
mengandung tiga bagian :
- Taqorub terhadap Allah SWT.
Ialah mendekatkan diri kepad Allah dalam jalan ubudiyah yang dalam hal
ini dapat dikatakan tak ada sesuatunyapun yang menjadi tirai penghalang antara
abid dan ma’bud, antara choliq dan makhluq.
- Menuju jalan mardhotillah
Ialah menuju jalan yang diridloi Allah SWT. baik dalam ubudiyah
maupun di luar ubudiyah, jadi dalam segala gerak-gerik manusia
diharuskan mengikuti atau mentaati perintah Tuhan dan menjauhi atau
meninggalkan larangan-NYA.
Hasil budi pekerti menjadi baik, akhlak pun baik dan segala hal
ikhwalnya menjadi baik pula, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun
yang berhubungan dengan sesama manusia atau dengan mahluk Allah dan
insya Allah tidak akan lepas dari keridloan Allah SWT.
- Kemahabbahan dan
kema’rifatan terhadap Allah S.W.T
Rasa cinta dan ma’rifat terhadap Allah “Dzat Laisa Kamitslihi
Syaiun” yang dalam mahabbah itu mengandung keteguhan jiwa dan
kejujuran hati. Kalau telah tumbuh Mahabbah, timbullah berbagai macam
hikmah di antaranya membiasakan diri dengan selurus-lurusnya dalam hak
dhohir dan bathin, dapat pula mewujudkan “keadilan” yakni dapat
menetapkan sesuatu dalam haknya dengan sebenar-benarnya. Pancaran dari
mahabbah datang pula belas kasihan ke sesama makhluk diantaranya cinta
pada nusa ke segala bangsa beserta agamanya. Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah ini adalah salah satu jalan buat membukakan diri
supaya tercapai arah tujuan tersebut.
Suryalaya 10 November 1960
Ttd.
(KH. A Shohibulwafa Tajul ‘Arifin).
|