DZIKIR
Manusia dengan kapasitas berfikir yang
telah Allah karuniakan, senantiasa berusaha menggapai ‘kebahagiaan’ dengan
bahasa perasaannya masing-masing. Pada masa sekarang ini manusia mencoba
meraihnya dengan membuat ungkapan-ungkapan batin lewat visualisasi fisik yang
banyak menguras waktu, harta, tenaga dan pikiran. Kesemuanya itu rela ia
korbankan untuk melampiaskan perasaan batinnya, meski terkadang pengungkapannya
itu kurang masuk akal sehat.
Kebahagiaan dalam format berfikir mereka
adalah suatu bentuk idealisme yang bisa membuat perasaannya bergolak dan orang
lain yang memperhatikannya ikut hanyut dalam gerak rasa yang dimainkannya.
Dan memang kebahagiaan itu merupakan
bentuk yang abstrak, sesuatu yang tinggi, dan sebagai pusat tujuan. Gagasan
abstraklah yang membawa manusia melahirkan instrumen rasa batinnya.
Allah, yang kalau manusia mengetahui
adalah sumber gagasan abstrak yang bisa menjadi eksak dalam pandangan
orang-orang pilihan-Nya. Allah menyapa manusia ketika ia ingin mencapai gagasan
abstrak kebahagiaannya itu dengan kata ‘Aku dekat’ (bahkan lebih dekat daripada
urat leher).
Selanjutnya Allah menciptakan sebuah
nama yang kemudian diiringi dengan nama-nama lain-Nya yang indah (hal ini yang
Dia ajarkan pertama kali kepada Adam As.) sebagai jembatan penghubung antara
Pencipta (Khaliq) dan yang dicipta (makhluk).
Pemahaman kita tentang Tuhan (makrifat)
kepada-Nya sesungguhnya menggambarkan cakrawala pandang kita tentang Tuhan.
Agama dan setiap golongan dalam suatu umat memiliki kacamata berbeda dalam
memandang gagasan tentang Tuhan yang sebenarnya. Inilah Aqidah (tujuan) hidup,
dan sumber kebahagiaan yang banyak orang cari sekarang ini.
Makrifat (pengenalan) akan Tuhan itu
diawali dengan menyebut Nama-Nya, yakni Dzikir kepada Sang Pencipta. Dengan
dzikir (ingat) inilah muncul istilah jauh dekatnya manusia kepada Tuhan yang
menciptakannya.
Dzikir merupakan penghubung antara manusia dengan
sumber kehidupan. Sesosok makhluk merupakan gambaran sebuah komponen
elektronik, yang apabila tidak berhubungan dengan sumber energi listrik, maka
ia tidak akan hidup. Dan juga apabila ia hanya berhubungan dengan hanya satu
sumber ia juga tidak akan berjalan, karena arus memiliki dua kutub, positif dan
negatif (ada takdir baik dan buruk). Orang yang ingat kepada Allah berarti ia
hidup, dan yang melupakannya berarti sesungguhnya ia mati.
Para Ulama telah menetapkan tentang keutamaan dan
kelebihan berdzikir dari segala amal saleh yang lain, bahwa dzikir bisa
dilakukan pada saat kapan saja dan dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Karena
waktunya tidak tertentu, dan malahan dianjurkan untuk dilakukan secara terus
menerus. Semua orang bisa berdzikir tanpa syarat, termasuk orang yang berhadats
kecil maupun besar, orang yang sedang bekerja maupun senggang dan beristirahat.
Berbeda dengan ibadah yang lain seperti: shalat, puasa dan membaca al Quran,
maka bagi ibadah-ibadah ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berikut
waktu-waktu yang tetap, yang tidak sah ibadah itu jika dilakukan di luar
waktu-waktu tersebut.
Ibadah yang paling utama ialah shalat, dan ia
dilarang dikerjakan pada kira-kira sepertiga waktu siang. Yakni, bermula
sesudah shalat shubuh hingga matahari tampak meninggi. Begitu pula sesudah
shalat ‘Ashar hingga matahari terbenam.
Puasa tidak boleh dilakukan melainkan pada siang
hari saja. Manakala membaca al Quranul Karim dilarang kepada orang yang junub,
yakni yang berhadats besar. Dan tidak dituntut kepada orang yang sedang sibuk
bekerja, yang tidak akan mampu membagi hati untuk membaca dan bekerja. Larangan
ini dikenakan, disebabkan kehormatan al Quran dan kebesarannya.
Adapun dzikir, maka Allah SWT telah memberikan
kesempatan yang luas untuk dikerjakan sebagai rahmat dan karunia utama kepada
seluruh hamba-Nya. Sedang ia mudah dilakukan dan tidak membutuhkan usaha dan
tenaga yang banyak jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain. Dalam hal
ini, dzikir itu melebihi segala amalan dari segi keutamaannya, meski
amalan-amalan selain dzikir itu juga mempunyai keutamaan-keutamaan tersendiri
dari segi yang lain pula.
Di antara kelebihan dzikir adalah ia mudah
dilakukan, sedang keutamaannya pun banyak. Dapat dilakukan secara terus
menerus, sehingga pada tempat-tempat yang dimakruhkan berdzikir dengan lisan.
Misalnya di jamban, atau waktu berjima’, dibolehkan baginya untuk berdzikir
dengan hatinya. Demikianlah menurut para Ulama.
Dzikir dengan
gerak seluruh jiwa dan raga merupakan suatu kebutuhan dan fitrah bagi manusia.
Hal ini telah dibuktikan oleh gejala alamiyah manusia yang selalu ingin
mengekspresikan jiwanya dengan berbagai bentuk hasrat, dan di antaranya adalah
ingin didengar dan dilihat orang lain. Mereka sedang membutuhkan perhatian di
saat banyaknya energi bebas yang tak bisa disalurkan sehingga melahirkan
berbagai gejolak jiwa. Terkadang mereka hanya membutuhkan suatu sensasi untuk
memuaskan gejolak perasaannya yang tersumbat.
Ada semacam ketidakpuasan manusia dengan
berbagai atribut yang disandangnya. Kepuasannya terhadap alam fisik, melahirkan
kegersangan batin yang harus diobati. Banyak energi mubadzir yang dikeluarkan
manusia untuk mencapai maksud yang diinginkannya, hingga menyebabkan petaka
bagi dirinya bahkan orang lain.
Manusia semakin hari dipacu untuk
merespon kejadian demi kejadian setiap waktu, yang hal ini bisa membuat hati
dan pikirannya jenuh. Sehingga dengan adanya percepatan rotasi gerak kehidupan
sekarang ini manusia telah melampaui ruang dan waktu serta daya kemampuan
orang-orang sebelumnya. Oleh karena itu dengan adanya kondisi yang demikian,
kita akan bertanya-tanya ‘Adakah solusi atau petunjuk dari Allah Sang Pencipta
menghadapi semuanya ini melalui format ibadah yang telah diperintahkan-Nya
dalam Al Quran’?
Allah begitu sempurna dengan teknik
ciptanya. Tiada solusi yang tertutup atau tertinggal di sisi Allah terhadap
berbagai masalah dan petaka yang sedang dihadapi manusia, jika ia ingin
mencarinya. Allah telah menyiapkannya melalui Kalam-Nya yang Qadim dan
Sempurna, lalu mengajak kita untuk kembali merenungkan fitrah kejadian yang
sebenarnya sebagai pedoman yang lurus dalam menjalankan Agama-Nya.
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (Ar Rum: 30)
Agama disusun sesuai dengan fitrah manusia, yang tak
lepas menguraikan permasalahan lahirnya manusia hingga pertumbuhannya sampai ia
dibangkitkan di hadapan-Nya nanti. Proses pembentukan pertumbuhan dan
perkembangan manusia menurut ilmu biologi dimulai dari proses pembentukan
darah. Darah yang pernah dipresentasikan Nabi SAW sebagai wadah yang dapat
dialiri oleh bisikan syaithaniyyah pada diri manusia, dihasilkan dari tulang.
Hal ini sejalan firmanNya yang mengatakan:
“Maka manusia
hendaknya memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air
yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan dada”.
(Ath-Thariq: 5-7)
Berdasarkan ayat tersebut awal penciptaan manusia
dimulai ketika darah terpancar dari dua tulang, yakni sulbi dan dada, dengan
kata lain tulanglah yang punya peranan yang sangat penting dalam proses
pembentukan darah.
Tulang pada manusia menurut penuturan Al Ghazali
berjumlah 256 buah (belum termasuk dalam rangkaian sumsum, kepala, dsb).
Kesemuanya bergerak dengan dihubungkan dengan sendi-sendi yang begitu elastis.
Pergerakan anggota tubuh manusia dipondasikan oleh gerakan tulang yang membawa
kepada bentuk gerakan tubuh manusia secara utuh. Salah satu kelebihan tulang
adalah sifat kekekalannya dibandingkan dengan anggota tubuh lainnya. Ia akan
tetap menjadi saksi kehidupan manusia meskipun anggota tubuh lainnya hancur.
Kandungan tulang yang ada pada dasar tanah mengandung zat resap tertentu yang
bisa membantu para ilmuwan menentukan berapa usia atau tahun berapakah makhluk
yang mempunyai tulang itu hidup, fosil-fosil (tulang purbakala) membuktikan hal
itu.
Sifat daya resap dan pertumbuhan tulang ini bisa
menentukan perkembangan energi pada manusia baik secara ruhaniyah maupun
jasmaniah. Pola pembentukan tulang yang dipengaruhi dengan gerak langkah dzikir
/ taat kepada Allah akan cukup banyak mempengaruhi gen keturunan seseorang
berdasarkan adat kebiasaannya.
Pengaruh dzikir begitu dirasakan dan dianggap urgent
ketika Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya untuk memperdengarkan Adzan
dan Iqamat di telinga seorang bayi yang baru lahir ke dunia, sebelum ia
menikmati suara atau bunyi-bunyi lain yang akan menutup jiwanya dari datangnya
hidayah Ilahi. Suara akan mempengaruhi rasa batin, jiwa manusia akan menentukan
sendiri mana instrumen musik yang ia sukai, apakah musik keras, lembut, slow,
dll. yang kesemuanya menentukan karakter jiwa yang sedang membentuk dirinya.
Oleh karenanya dzikir jahar yang melibatkan banyak karakter tubuh ini di masa
sekarang begitu penting untuk dikembangkan menyambut fenomena gerak jiwa
manusia yang semakin dinamis dalam berbagai bentuk kehidupan.
Shalat diibaratkan sebagai tiang agama. Pelaksanaan
shalat melibatkan gerak tubuh dan hati, suatu pola pendidikan yang seimbang
dengan memfungsikan dua elemen manusia. Dengan dasar itulah metode dzikir yang
ditentukan Allah SWT dengan memfungsikan seluruh anggota tubuh seperti gerakan
dalam shalat, secara tidak langsung menyimpulkan bahwa perintah dzikir dengan
jahar itu menyesuaikan struktur bentuk tubuh manusia. Dalam firman-Nya yang
lain dikatakan: “Maka apabila kam4u telah
menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan
di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah
shalat itu”. (An Nisaa‘: 103)
Dzikir jahar adalah seperti shalat, yang melibatkan
seluruh anggota tubuh untuk melaksanakan perintah dzikir. Kalau kita amati
dengan seksama, seluruh gerakan shalat itu sesuai dengan struktur bangun tubuh
manusia. Apa yang diciptakan Allah SWT untuk makhluk yang bernama manusia
adalah sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya. Adalah shalat, dengan
pergerakan silih berganti mulai dari takbir hingga salam memanfaatkan segala
persendian dalam melaksanakannya. Tidaklah gerakan takbir, berdiri, ruku’
sujud, duduk tasyahud, salam, dsb. menyulitkan seseorang untuk menggerakkan
anggotanya. Semuanya sesuai dengan ruang gerak ciptaan-Nya.1
Dzikir jahar menghendaki adanya suatu gerakan tubuh
secara optimal yang menyeimbangkan keberadaan struktur tubuh manusia untuk
menjadi sarana/alat untuk mengingat-Nya. Adanya gerakan-gerakan tubuh yang
begitu teratur mengakibatkan terjadinya gesekan-gesekan persendian tulang, yang
hal ini menyebabkan timbulnya energi panas (arus listrik).2 Arus listrik tersebut bisa menciptakan medan
magnet yang bisa menarik benda-benda di sekelilingnya. Hal ini juga
menggambarkan jika timbul semacam energi magnetis pada persendian tulang yang
sedang diajak berdzikir, secara alamiah akan dapat menarik atau merekam Asma (Kalimat-kalimat) Allah ke dalam
tubuhnya. Kondisi yang demikian itu akan menciptakan konsentrasi yang kuat
terhadap perkembangbiakan jiwa dan raga manusia.
Asma-asma Allah yang terpendam dalam tubuh manusia
itu memudahkan terciptanya dzikir sir, yang menimbulkan getaran panjang seperti
gong jika dipukul. Atas dasar inilah banyak para Guru pembimbing ruhani
mengatakan bahwa dzikir yang lembut suaranya tidak banyak memberi faedah bagi
seorang mubtadi (pemula). Maka
dianjurkan untuk berdzikir jahar untuk menimbulkan gema yang kuat pada jiwanya.
(lihat Qoul Ulama tentang dzikir jahar)
Dzikir jahar adalah upaya menciptakan resonansi
dzikir qalbu yang konsisten di setiap waktu dan tempat. Dengan membahanakan
dzikir ke langit-langit alam malakut melalui pintu hati kita, gema dzikir itu
akan memantul dan muncul dengan sendirinya. Panjangnya gaung (resonansi) dzikir
itu sebagai perwujudan supaya mengistiqamahkan dzikir di dalam hati. Sehingga
dalam segala aktivitas ia tidak mudah lupa kepada Allah. Allah SWT berfirman: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadahmu,
maka berdzikirlah (menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut [(membangga-banggakan)
para leluhurmu], atau bahkan berdzikir yang lebih dahsyat dari itu”.
Ibadah memiliki inti dzikir (ingat) kepada Allah,
sehingga dalam segala aspek ibadah Allah sering menambahkan kata ‘dzikir’
sesudah ibadah-ibadah lainnya.
Asyadda dzikra mengandung arti kesungguhan
yang menggunakan segenap kekuatan jiwa raga untuk melampiaskan kerinduan atau
kecintaan kepada Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya: “Dan orang-orang yang beriman itu teramat sangat mencintai Allah”.
Dzikir tidak saja menambah pahala bagi orang yang
melakukannya, tapi juga menggugurkan dosa-dosa. Bisa diibaratkan sebuah pohon
yang daunnya sudah menguning (tua) bila digerakkan dengan kekuatan lemah
berbeda dengan kekuatan yang hebat. Maka daun yang berguguran akan lebih banyak
bila pohon tersebut digerakkan dengan kekuatan yang keras. Itulah gambaran
dosa-dosa kita. Jika daun-daun yang telah layu itu telah berguguran, yang
tersisa adalah daun yang segar dan hidup. Yakni seperti hati yang hidup, karena
selalu berdzikir kepada-Nya.
Banyak orang yang merasa ‘kurang cocok’ dengan
dzikir jahar karena kurang memahami ayat berikut: "Janganlah engkau keraskan bacaan di kala sholatmu dan jangan
tersembunyi, tetapi ambillah yang pertengahan di antara keduanya itu".
(Al An’am: 97)
Ayat tersebut digunakan untuk menunaikan ibadah
sholat, bukan dzikir secara khusus. Dengan mengutamakan dalil ayat itu untuk
menolak dzikir jahar berarti kita menafikan ayat lainnya yang memerintahkan
dzikir jahar sebagaimana tertera dalam berbagai nash Al Quran maupun hadits.
1
Tidaklah mengherankan bahwa seorang ilmuwan kedokteran pernah mengungkapkan
bahwa gerakan-gerakan shalat adalah senam tubuh yang sangat bermanfaat bagi
kesehatan seseorang.
2
Sebagai contoh: jika benda-benda padat mengalami gesekan dengan teratur akan
menimbulkan panas (arus listrik). Arus listrik tersebut selanjutnya dapat
menarik benda-benda halus di sekelilingnya.
Berdzikir dengan metode jahar memiliki sandaran kuat
dari Al Quran dan Hadits. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala: “Maka jika engkau telah menunaikan shalat,
berdzikirlah kepada Allah dengan keadaan berdiri, duduk dan berbaring”. (an
Nisaa’: 102)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim: Dari Ibnu ’Abbas
Ra. berkata: "bahwasanya dzikir
dengan suara keras setelah selesai shalat wajib adalah biasa pada masa
Rasulullah SAW". Kata Ibnu ’Abbas, “Aku segera tahu bahwa mereka telah
selesai shalat, kalau suara mereka membaca dzikir telah kedengaran”.1
Para pendidik ruhani masa lalu menyatakan dengan
berbagai landasan eksperimennya bahwa “Orang-orang yang mubtadi (pemula) dan bagi orang-orang yang menuntut terbukanya
pintu hati adalah wajib berjahar dalam dzikirnya”. Syaikh Abdul Wahhab asy
Sya’rani Rahimahullahu Ta’ala berkata: “Sesungguhnya
sebagian besar Ulama Ahli Tasawuf telah mufakat bahwasanya wajib atas murid itu
berdzikir dengan jahar, yakni dengan menyaringkan akan suaranya dan
didalamkannya. Dan berdzikir dengan sirri dan perlahan-lahan itu tidak akan
memberi faidah kepadanya untuk menaikkan kepada martabat yang tinggi”2
Berdzikir jahar yang dimaksud adalah berdzikir
dengan suara keras yang sempurna, sehingga bagian atas kepala hingga kaki
mereka itu bergerak. Dan seutama-utama dzikir jahar adalah berdiri, dengan
menghentak, bergerak teratur dari ujung rambut hingga ujung kaki, hingga
seluruh jasadnya turut merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla.
Keunggulan dzikir jahar itu adalah seperti yang
dikatakan seorang Ulama Ahli Tasawuf: “Apabila
seorang murid berdzikir kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla dengan sangat kuat dan
semangat yang tinggi, niscaya dilipat baginya maqam-maqam thariqah dengan
sangat cepat tanpa halangan. Maka dalam waktu sesaat (relatif singkat) ia dapat
menempuh jalan (derajat) yang tidak bisa ditempuh oleh orang lain salam waktu
sebulan atau lebih”.
Syekhul Hadits, Maulana Zakaria Khandalawi
mengatakan, ‘Sebahagian orang mengatakan bahwa dzikir jahar (dzikir dengan mengeraskkan suara) adalah termasuk bid’ah dan perbuatan yang tiada
dibolehkan). Pendapat ini adalah menunjukkan bahwa pengetahuan mereka itu di
dalam hadits adalah sangat tipis. Maulana
Abdul Hayy Rahimahullahu Ta’ala
mengarang sebuah risalah yang berjudul ‘Shabahatul
Fikri’. Beliau menukil di dalam risalahnya itu sebanyak 50 hadits yang
menjadi dasar bahwa dzikir jahar itu disunnahkan’.3
Dan dzikir jahar itu dianjurkan dengan berjama’ah4, dikarenakan dzikir dalam berjama’ah
itu lebih banyak membekas di hati dan berpengaruh dalam mengangkat hijab.
Imam al Ghazali Rahimahullahu
Ta’ala telah mengumpamakan dzikir seorang diri dengan dzikir berjama’ah itu
bagaikan adzan orang sendiri dengan adzan berjama’ah. Maka sebagaimana
suara-suara muadzin secara kelompok lebih bergema di udara daripada suara
seorang muadzin, begitu pula dzikir berjama’ah lebih berpengaruh pada hati
seseorang dalam mengangkat hijab, karena Allah Ta’ala mengumpamakan hati dengan
batu. Telah diketahui bahwa batu tidak bisa pecah kecuali dengan kekuatan
sekelompok orang yang lebih hebat daripada kekuatan satu orang”.5
1 Lihat Shahih Muslim
I, Bab Shalat.
2 Lihat Siyarus
Salikin III: 191.
3 Fadhilat zikir, Muh
Zakariya Khandalawi. Terj. HM. Yaqoob Ansari, Penang Malaysia, hal 72.
4 Rasulullah SAW
bersabda: “Tiadalah duduk suatu kaum
berdzikir (menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla) melainkan mereka dinaungi oleh
para malaikat, dipenuhi oleh rahmat Allah dan mereka diberikan ketenangan hati,
juga Allah menyebut-nyebut nama mereka itu dihadapan para malaikat yang ada di
sisi-Nya”. (At Targhib wat Tarhib,
II: 404)
5 Minahus Saniyyah,
Abd. Wahab as Sya’rani.
Dzikir sesungguhnya terbagi menjadi 3
bagian: (pertama) Dzikir atas
Zat-Nya, yakni pengucapan Laa Ilaaha
illallaah. Kita memerlukan bentuk kalimat penafian untuk menyeimbangkan dan
menselaraskan hati dengan Nama Pencipta. (kedua)
Dzikir atas Ilmu-Nya, yakni pengucapan Muhammadur
Rosuulullaah. Allah melahirkan bentuk pengetahuan melalui sosok Nabi
Utusan-Nya. Melalui lidahnya-lah pengajaran-pengajaran Allah dituturkan kepada
yang berhak mendapatkan petunjuk. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa ‘Aku
(Rasulullah SAW) adalah kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya’. Sosok Ali Ra.
menggambarkan wasilah (penghubung). (Ketiga)
Dzikir atas Af’al-Nya, yakni pengucapan Fii
kulli lamhatin wa Nafasin ’Adada maa wasi’ahuu ’Ilmullah (Sebanyak kedipan
dan nafas makhluk, serta seluas ilmu Allah). Pengungkapan dzikir tersebut
merupakan kalimat tafakkur atas perbuatan/penciptaan
Allah berupa gerak nafas dzikir seluruh makhluk-Nya baik yang terlihat maupun
yang tak terlihat, yang besar maupun yang terkecil sekalipun. Penghayatan
dzikir inilah yang berhubungan dengan firman-Nya: “Yakni orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan berdiri, duduk
dan berbaring (atas lambung-lambung mereka) dan bertafakkur tentang penciptaan
langit dan bumi”. ( Ali Imran: 191)
Konsep penghayatan dzikir itu tidak
hanya terhenti pada aspek mengucapkan atau melantunkan dzikir saja, tapi
sentuhan jiwa kepada Sifat Allah Yang Rahman dan Rahim menjadi cermin utama
dalam menyikapi berbagai keadaan dalam kehidupan.
Allah Ta’ala yang menjadi obyek yang
disebut dalam dzikir akan berubah menjadi subyek, manakala perwujudan
Sifat-sifat Allah yang tampak pada setiap ciptaannya baik yang di langit maupun
yang ada di bumi mengambil tempat pada sikap atau perilaku jiwa yang berdzikir.
Dengan bertafakkur pada kondisi demikian kesadaran terhadap luasnya ilmu Allah
akan tampak begitu nyata.
Aspek dzikir adalah masalah mengingat,
sedangkan inti segala ibadah adalah mengingat Allah. Rasulullah pernah
menyinggung bahwasanya perumpamaan orang yang berdzikir (mengingat Allah)
dengan orang yang tidak ingat Allah seperti orang yang hidup dan orang yang mati.1 Orang yang hidup sebenarnya adalah orang
yang memiliki keselarasan lahir batinnya dengan Allah SWT. Inilah pencapaian
hasil dzikir yang hakiki dan sempurna.
1
HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al Asy’ari Ra.
Adab merupakan hal penting untuk diperhatikan bagi
setiap orang yang ingin melaksanakan dzikir. Oleh karena itu kita harus
mengetahui adab/ etika berdzikir terlebih dahulu agar bisa mendapatkan buah dan
faedah keutamaan dzikir dengan izin Allah Ta’ala.
Pengetahuan adab/etika dalam berdzikir sesungguhnya
telah diatur sedemikian rupa oleh para Guru-guru kita terdahulu. Hal demikian
menyangkut tata aturan dan urutan dalam melaksanakan dzikir. Maka syarat yang
teramat penting dalam melaksanakan suatu awrad adalah mengambil bai’at dzikir kepada salah seorang Syekh
Mursyid yang kamilah, agar keberkahan para Masyayikh terdahulu yang silsilah
ajarannya sambung menyambung kepada Rasulullah SAW tercurah kepada kita. Hal
demikian menjadi konsekuensi adab selanjutnya, yakni bertawasul, mengenang
perjuangan mereka yang telah berhasil mengantarkan ajaran-ajaran Rasulullah SAW
kepada kita.
Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah engkau kepada Allah dan
carilah wasilah sebagai jalan mendekatkan diri kepadaNya dan bermujahadahlah di
jalanNya, semoga engkau termasuk orang-orang yang beruntung”. (Al Maidah:
35)
Tersebut dalam Musnad Firdaus sabda Nabi SAW: “Menyebut-nyebut nama para Nabi adalah
ibadah, menyebut orang-orang shalihin adalah kaffarat (penebus dosa),
mengingat-ingat mati adalah shadaqoh dan mengingat-ingat kubur adalah
mendekatkan dirimu kepada syurga”. (HR. Dailami)
Dengan mengenang mereka, berarti mengantarkan aroma
semerbak ruhani suci di majelis kita, karena kedekatan maqam mereka di sisi
Allah SWT. Bukankah telah dikatakan bahwa para Wali Allah dan orang-orang yang
terbunuh di jalan Allah itu tidak mati, melainkan mereka hidup?
Adab batin sebelum memulai berdzikir adalah
mensucikan dirinya, sebagaimana orang yang mengaku dirinya hina ingin menghadap
kepada seorang Raja yang mempunyai wibawa dan kemuliaan. Secara syari’at adalah
melakukan thaharah (bersuci), dan
secara hakikat adalah merasakan penyesalan atas segala dosa melalui lantunan
istighfar.
Di antara adab batin yang perlu diperhatikan adalah
menghilangkan berbagai keinginan atau maksud yang akan menodai keindahan
dzikir. Di antaranya adalah menginginkan berbagai perubahan nasib, dihilangkan
berbagai ujian, menaikkan maqam duniawi atau ukhrawi, dsb. Seorang yang diberi
hidayah ketika berdzikir akan berusaha menepis berbagai keinginan yang
mengandung maksud-maksud tertentu yang bersembunyi di balik aktivitas
dzikirnya.
Memperdengarkan ayat-ayat suci Allah ketika
berdzikir Sir mengandung maksud bahwa Allah SWT melalui firman-Nya itu mengajak
kita untuk bercakap-cakap dengan-Nya, seolah-olah Allah sedang menjawab
panggilan dzikir kita. Bukankah Allah akan segera menjawab dzikir seorang hamba
yang menyebut-nyebut nama-Nya? Maka ketika ayat itu sedang dibacakan kita harus
mendengarkan dengan penuh khusyu’
(konsentrasi) dan tadharru’
(menghinakan diri), dan lebih sempurna lagi mencermati apa-apa yang terkandung
dalam ayat-ayat yang didengar sebagai pesan-pesan spiritual bagi pribadinya
yang senantiasa mengharapkan bimbingan dari-Nya.
Firman Allah SWT: “Dan apabila dibacakan Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. Dan sebutlah (nama)
Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai”. (Al A’raf: 204-205)
Diceritakan dalam kitab Afdhalus Sholawat karya Syekh Yusuf bin Ismail an Nabhani, hal.
170:
“………… Adapun Sholawat yang pertama yaitu Sholawat
‘Azhimiyyan, telah ditalqinkan oleh Nabi SAW langsung kepada Sy. Ahmad bin
Idris dengan tanpa perantara, sekali dan dengan perantara Nabi Khidir sekali.
Sesungguhnya telah dijelaskan oleh Syekh yang Kamil, orang yang Alim lagi
mengamalkan, Sayyidi Syekh Ismail an Nuwab yang bermukim di Mekkah al
Musyarafah, dari Gurunya Barakatul Wujud,
Sayyidi Syekh Ibrahim as Rasyid, dari Gurunya yang Agung, Sayyidina Syekh Ahmad
bin Idris, bahwa beliau ditalqin oleh Nabi SAW sendiri Awrad-awrad Thariqat
Syadziliyyah, dan memberinya Awrad yang tinggi nilainya serta Thariqat Suluk
yang teristimewa (khusus).
Bersabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang sampai kepadamu
(wasilahnya) maka ia tidak akan tersesat ke daerah yang lain atau kepada
jaminan yang lain, tetapi akulah yang menjadi kekasihnya dan dia menjadi
tanggunganku”.
Syekh Ahmad bin Idris berkata: “Aku berkumpul
bersama Nabi SAW secara nyata beserta Nabi Khidir As. Nabipun memerintahkan
kepada Nabi Khidir As. agar menalqinkan kepadaku Wirid-wirid Thariqat
Syadziliyyah. Lalu Nabi Khidir mengajarkan dzikir tersebuta di hadapan beliau
SAW. Kemudian bersabda Nabi SAW kepada Nabi Khidir: “Wahai Khidir, talqinkan
(ajarkan) dia wirid-wirid yang mencakup seluruh dzikir, sholawat dan istighfar,
yang lebih utama ganjaranya dan lebih banyak jumlahnya”. Berkata Nabi Khidir:
“Apakah itu wahai Rasulullah?” Bersabda beliau SAW: “Katakan olehmu: Laailaaha
illallaahu Muhammadur Rosuulullaah, Fii kulli lamhatin wanafasin
’adada maa wasi’ahuu ’ilmullaah. Sehingga akupun meniru
bacaan setelah keduanya (Rasulullah SAW & Nabi Khidir As) selesai
mengucapkannya. Diulangi oleh Rasulullah SAW hingga 3 (tiga kali). Lalu beliau
bersabda: “Ucapkan: Allaahumma innii as ‘aluka bi nuuri Wajhillaahil
’Azhiim……
Kemudian bersabda Nabi SAW: “Ucapkan:
Astaghfirullaahal ’azhiim. Alladzii laa ilaaha
illaa huwal hayyul qoyyuum…… Itulah Istighfar Kabir, lalu diulangi oleh Nabi
Khidir, dan aku mengulanginya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Ya Ahmad,
sungguh aku berikan kunci langit dan bumi, itulah dzikir yang khusus, sholawat
yang agung, dan istighfar yang besar”.
Dikatakan pula oleh Syekh Ahmad: “kemudian aku
menerima awrad tersebut langsung dari Rasululah SAW dengan tanpa perantara,
sehingga aku talqinkan kepada para murid sebagaimana yang telah ditalqinkan
kepadaku”.
Pernah suatu kali Rasulullah SAW bersabda kepada
Syekh Ahmad:
Laailaaha illallaahu Muhammadur
Rosuulullaah, Fii kulli lamhatin wanafasin ’adada maa wasi’ahuu
’ilmullaah. Aku menyimpannya untukmu, wahai Ahmad. Tiada seorangpun yang dapat
mendahului keutamaan engkau, wahai Ahmad. Ajarkan pada para pengikutmu, agar
mereka menjadi orang pertama yang mengetahuinya”.
Syekh Ahmad berkata, “Rasulullah SAW membacakan
untukku hizib-hizib dari lafazh beliau”. Sehingga, ulama pengikutnya merasa
kesulitan pada suatu kalimat dalam hizib. Maka ia berkata, “Wahai saudara kami,
demikianlah Rasulullah SAW mengucapkan kepadaku”.
Para Guru Shufi mengatakan bahwa dasar
Thariqat Syadzili diambil dari Syekh Ahmad bin Idris. Dan setiap awrad yang
diambil dari beliau berarti berasal dari Nabi SAW.1
Murid Ahmad bin Idris yang terbesar,
Sayyidi Muhammad bin Ali as Sanusi dalam kitabnya Masyariqul Anwar menceritakan bahwa ia pernah ditanya ‘Kepada siapa
awrad ini dinisbahkan?’ Beliau katakan bahwa setiap murid yang ditalqin oleh
Syekh Ahmad bin Idris pada awalnya, berarti ia ditalqin oleh Nabi SAW.2
Apa yang terkandung dalam dzikir ini
mencakup segala dzikir seluruh makhluk, baik yang ada di langit maupun yang ada
di bumi. Secercah benda cair maupun padat, yang bernyawa atau tidak merupakan
bagian terkecil dari Ilmu-Nya, yang tak lepas dari pengamatan-Nya, kesemuanya
terangkum dalam keluasan Ilmu Allah (Wasi’ahu
’Ilmullaah).
Tulang-tulang purbakala (fosil) yang
berumur sekian juta tahun yang lalu melahirkan pertanyaan ‘Ciptaan yang ke
berapakah kita ini?’ Semua makhluk terangkum dari awal penciptaan ruhani hingga
hari kebangkitan nanti, tidak bisa kita bayangkan. Lautan yang begitu dalam
masih menyisakan keheranan yang tak habis-habis bagi kita mengenai kehidupan di
laut, serta aneka jenis hewan di sana yang kelihatannya baru diciptakan,
lantaran ketidaktahuan kita.
Dalam sebuah penemuan ilmuwan baru-baru ini
ditemukan bintang yang berjarak 60.000 tahun perjalanan cahaya (perjalanan
cahaya 300.000 km/detik). Kita tidak mampu menjangkau luasnya ciptaan Allah,
apalagi Ilmu-Nya yang dilahirkan dari segala ciptaan-Nya, baik yang terbesar
maupun yang terkecil. Dan sesunguhnya apa-apa yang tak terjangkau atau
tersembunyi di balik alam jagad raya ini merupakan bagian ciptaan-Nya. Itulah
bukti Kebesaran-Nya dan kekerdilan pengetahuan manusia. Kesemua pengetahuan
yang demikian luas itu terangkum dalam intisari dzikir Fii kulli lamhatin wa nafasin ’adada maa wasi’ahu ’ilmullaah.
Dzikir Fii
kulli lamhatin dari Rasulullah mengkondisikan perjalanan dzikir jahar kita
menuju sir. Dengan membiasakan seluruh tubuh kita berdzikir dengan lafazh ini
maka akan membentuk tubuh yang senantiasa ingat kepada-Nya. Seluruh
aktivitasnya dihakikatkan berasal dari-Nya, dan Allah yang menggerakkan apa
yang kita lakukan. Inilah yang membuktikan sifat-sifat Allah dalam Asma’-Nya
menyerap ke dalam tubuhnya.
Lafazh dzikir Fii
kulli lamhatin mempunyai keselarasan dengan ritme gerak tubuh orang yang
berdzikir. Semua persendian tubuh bisa merefleksikan intonasi irama dzikir ke
dalam bentuk perwujudan gerak tubuh. Hal ini membuktikan adanya aspek dinamis
dalam setiap pergulatan hidup manusia sehari-hari yang melibatkan semua
rangkaian organ tubuh.
1
Thariqat-thariqat yang mengambil sumber Awrad / ajaran dari Syekh Ahmad adalah
Al Idrisiyyah, Sanusiyyah, Dandirawiyyah, Rasyidiyyah, Shalihiyyah, Madaniyyah,
Ja’fariyyah, Majdzubiyyah,
Khatmiyyah, Mirghaniyyah.
2
Demikian pula disebutkan oleh Sayyid Muhammad Utsman al Mirghani dalam kitab Ratib dan Sayyidi Shalih Ja’far dalam
kitabnya Mafatihus Samawati wal Ardh.
(Pengantar kitab Majmu’ah Awrad Sayyidil
Imam Ahmad bin Idris Ra.)
Sebuah mobil dapat berjalan dengan adanya starter
dan pemanasan terlebih dahulu. Starter kendaraan biasanya mengeluarkan gemuruh
suara yang membisingkan. Akan tetapi jika kendaraan sudah berada dalam
perjalanan suara mesinnya tidak lagi berisik seperti awalnya, bahkan pada masa
sekarang ada mobil sedan yang hampir tidak tampak suaranya ketika sedang
berjalan. Demikianlah gambaran orang yang ingin membiasakan ingat (berdzikir)
kepada-Nya, yang harus diawali dengan gemblengan dzikir jahar.
Dzikir jahar adalah sebagai latihan bagi mubtadi (pemula), untuk mengenyahkan
sesuatu yang bisa menghalanginya dari hadapan Allah SWT. Pada umumnya manusia
memiliki hati yang keras1 disebabkan
ada sesuatu selain Allah yang senantiasa bergantung di hatinya. Dzikir jahar
itulah yang akan meruntuhkan segala pikiran yang membawa ingatan kepada selain
Allah, karena ingatan kepada selain Allah itu adalah batil.
Adanya kesungguhan/upaya menghilangkan ingatan
kepada selain Allah ini karena biasanya hati atau pikiran manusia telah
dikondisikan kepada selain Allah, yang merupakan ganjalan/hambatan manusia
untuk mengingat-Nya. Dengan dzikir jahar berarti menetapkan bekas yang kuat dan
menekankan konsentrasi agar kita senantiasa dalam kondisi dzikir.
Seseorang yang ingin mendapatkan sebuah mata air
yang jernih, maka ia harus berjuang keras menggali tanah dengan terus menerus
agar apa yang diinginkannya tercapai. Dzikir jahar itu ibarat sebuah gong yang
dipukul sekali akan menimbulkan gaung atau gema yang cukup lama, inilah yang
disebut sebagai dzikir Sir. Dzikir ini terkadang tidak diupayakan lagi dengan
susah payah, gelombang transversal dzikir akan merambat dengan sendirinya di
dalam aliran pembuluh darah sang dzakir (yang berdzikir).
Dzikir sir merupakan buah dari dzikir jahar dan
khafi. Dzikir khafi merupakan latihan bagi yang terlatih hatinya sehingga tidak
perlu mengingat-ingat dengan susah payah. Dampak kebiasaan mengingat Allah itu
juga akan menyebabkan seseorang mengingat syari’at dan ketentuan hukum-Nya.
Diharapkan setelah melaksanakan dzikir jahar ini
Ketauhidan kepada Allah selalu mendominasi jiwa raganya di manapun ia berada.
Apapun profesi orang itu, bila terkondisikan ‘ingat kepada-Nya’ akan menjadi
insan yang amanah dan jujur, apalagi telah mengetahui syari’at, hukum, fiqih,
yang kesemuanya untuk beribadah kepada Allah, semua aktivitasnya
dikonsentrasikan hanya kepada Allah.
Segala kedudukan yang diembannya hanyalah merupakan
amanah yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan ketetapan Allah dan
Rasul-Nya, segala langkah kebijakannya sesuai dengan ruang lingkup keridhaan
Allah SWT.
************
Dzikir yang benar metodenya akan membentuk pribadi
muttaqin, yang shaleh, yang bersikap amanah atas apa-apa yang telah dititipkan
Allah kepadanya. Maka akan muncul sifat-sifat yang mulia dalam diri orang
terebut berupa sifat jujur, zuhud, baik sangka, keyakinan yang teguh, dsb.
Inilah gambaran hidupnya manusia, seperti yang diungkapkan dalam sebuah hadits
Nabi SAW: “Perumpamaan orang yang
berdzikir (mengingat) Tuhannya dengan orang yang tidak mengingatnya adalah
seperti perbandingan orang yang hidup dengan yang mati”.
Di kalangan para Pembimbing ruhani mengatakan bahwa
yang dimaksud mati adalah matinya hati, bukan mati jasad. Dikarenakan mati
hanyalah perpindahan tempat saja. Maka dengan Laa ilaaha illallaah hati menjadi hidup, imannya diperbaharui2 dan ditambah keyakinannya. Dan dengan
menalqinkan kalimat itu akan terjadi suatu ikatan ruhaniyah pada hati sehingga
menjadi hidup, ibarat curahan air hujan yang menghidupkan tanaman-tanaman yang
layu. Oleh karena itu banyak para pencari pada zaman dahulu mengikat Bai’at
atau Talqin dzikir kepada seorang Syaikh yang telah mencapai Makrifat yang
hakiki yang dapat menghidupkan hati-hati, apalagi yang mencontohkan perilaku
Rasulullah SAW atas kekaffahannya. Wallaahu
A’lam.
1
Sebagaimana telah difirmankan: “Kemudian hati kamu menjadi keras sesudah itu
seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di anatara batu-batu itu sungguh
ada yang mengalir sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah
lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antarnya sungguh ada yang meluncur
jatuh, karena takut kepada Allah. Dan sekali-kali Allah tidak pernah lengah
dari apa yang kamu perbuat”.(Al Baqarah: 74)
2
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Perbaharuilah imanmu dengan Laa ilaaha illallaah!”
Ekses-ekses dzikir bagi
orang yang menekuninya adalah banyak sekali. Di antaranya adalah menangis,
menjerit, mengalami ekstase (Fana), jadzbah (ditarik), sakar (mabuk), dsb. Kesemuanya dapat menimbulkan ekses lainnya
(yang tidak menguntungkan dirinya atau orang lain), apabila ia tidak meneliti
dahulu pengetahuan tentang itu menjelang ‘keberangkatannya’ ke medan dzikir.
Kita tidak tahu bagaimana medan dzikir yang
sebenarnya, atau apa yang akan kita hadapi ketika kita ‘diundang’ memasuki alam
ghaib, atau didudukkan pada suatu maqam di sisi-Nya. Tidak semua orang mengerti
perjalanan ini kecuali orang yang pernah merasakannya, yakni seorang Mursyid
‘Arif Billah yang mempunyai legitimasi Ilahiyah.
Dalam hal ini pernah Rasulullah SAW isyaratkan kepada kita bahwa:
“Hendaklah
engkau bersama Allah, dan jika tiada mampu, maka jadikan dirimu bersama-sama
dengan orang-orang yang bersama Allah (‘Arif Billah). Dan sesungguhnya dia akan
menyampaikan engkau kepada Allah, jika engkau bersamanya”
Seorang pembimbing laksana seorang Imam bagi makmum
atau tongkat penuntun bagi seorang yang buta, wasilah (perantara) kepada Allah SWT dalam segenap aktivitasnya
dalam mencari keridhaan Allah SWT. Allah mengumandangkan salah satu firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Bertaqwalah engkau kepada Allah dan carilah wasilah sebagai jalan mendekatkan
diri kepadaNya dan bermujahadahlah di jalanNya, semoga engkau termasuk
orang-orang yang beruntung”. (Al Maidah: 35)
Seorang Syekh pembimbing dzikir seperti pengganti
Rasulullah SAW di dalam membimbing umatnya. Syekh pembimbing dzikir mestilah
ada hubungan keruhanian dengan Rasulullah SAW, yaitu orang yang benar-benar
mewarisi ilmu dan keadaannya Rasulullah SAW itu. Syekh inilah yang akan menuntunnya
kepada jalan yang shahih atau memperingatinya ketika ia dalam keadaan tersesat
jalan (cara) dzikirnya.
Di dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ada sebagian
ahli dzikir yang dapat menyebabkan orang lain ingat kepada Allah. Yakni dengan
memandang wajahnya saja, membuat mereka teringat untuk dzikrullah. Hadits lain
menyebutkan bahwa ‘Sebaik-baik orang di antara kamu ialah seseorang yang
apabila orang lain memandang wajahnya, maka ia ingat kepada Allah, jika
mendengar ucapannya maka bertambah ilmunya, dan jika melihat amal perbuatannya
maka tertariklah pada akhirat’.1 Atas
dasar hadits ini para pembimbing dzikir (Syekh Shufi) terdahulu sangat
menganjurkan untuk senantiasa mengenang wajah Syekhnya sebagai alat untuk mempermudah
dzikir (ingat) kepada Allah SWT, dan yang demikian itu akan membuat dirinya
tenggelam dalam lautan mahabbah dzikir-Nya.
1
Fadhail A’mal (edisi revisi), hal.
154, Maulana M. Zakariyya al Kandhalawi Ra.
Orang yang banyak dan kontinyu dalam menyebut nama
Allah adalah bagian dari wujud cinta (Mahabbah)
kepada-Nya, sebab dikatakan apabila seseorang yang cinta terhadap sesuatu akan
banyak menyebut-nyebutnya. Banyak berdzikir adalah dianjurkan sekali dan
diisyaratkan sebagai jembatan yang utama untuk menghampiri-Nya. Salah satu
tanda mahabbah adalah tergila-gila,
demikian pula yang harus dicapai dalam dzikir (mengingat)-Nya. Dari Abu Sa’id
al Khudri Ra. Rasulullah SAW bersabda:
“Hendaklah kalian berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya sehingga
orang-orang mengatakan gila”. (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, Hakim)
Dan juga Rasulullah SAW bersabda lewat riwayat dari
Ibnu ’Abbas Ra.: “Hendaklah kalian
berdzikir sebanyak-banyaknya sehingga orang-orang munafik menganggap kami ahli
riya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)1
Orang yang berdzikir dengan melibatkan seluruh jiwa
raganya berarti ia telah mengungkapkan mahabbah
kepada-Nya. Apabila seseorang mencapai mahabbah
yang sempurna maka ia akan menarik pecinta kepada yang dicinta. Sifat mahabbah yang sempurna ini dapat
melenyapkan perilaku-perilaku yang dicegah bagi pecinta.
Ada kalanya seseorang mengalami jadzbah2, yaitu suatu
tarikan Ilahiyah yang terjadi dalam
dirinya. Kejadian tersebut diawali dengan adanya interaksi hati yang
diungkapkan sebagai pernyataan-pernyataan hati. Hatinya menyampaikan
kalimat-kalimat penegasan untuk melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan yang
lazim (meski dasar penegasannya berdasarkan dalil yang Haq), tetapi hal
demikian bagi orang lain yang melihatnya menganggap ia seperti ‘gila’.
Syekh Abu Sa’id al Kharraz mengatakan: “Sesungguhnya Allah SWT men-jadzbah (menarik)
ruhnya para Awliya’ kepada-Nya, merasakan nikmat dengan dzikir dan wushul
(sampai) kepada-Nya, dan mempercepat kesenangan terhadap segala sesuatu pada
badan-badan mereka. Kehidupan fisik jasmani mereka bagaikan kehidupan hewan.
Sedangkan kehidupan ruhaniyahnya bagaikan dalam kehidupan Tuhan”.3
Perbandingan orang yang mengalami jadzbah dengan orang gila bisa
dilustrasikan sebagai berikut: Ada dua orang yang sama-sama tertawa kegirangan,
dengan menggerakkan tubuhnya ke sana kemari tak beraturan. Orang pertama
kegirangan karena ia melihat televisi, dan menyaksikan tim sepakbola
kesayangannya meraih kemenangan. Namun posisi televisi itu terletak di bawah
tangga rumah sehingga tidak tampak terlihat dari luar ruangan. Dalam keadaan
seperti itu, ada orang lain yang melihat orang tadi tertawa sendirian dan
terbahak-bahak, menyangkanya gila, padahal orang itu sedang menonton televisi.
Orang yang pertama adalah perumpamaan orang yang sedang jadzbah (majdzub), gila
dengan sebab. Sedangkan orang kedua yang tertawa dan menggerakkan tubuhnya
tanpa sebab apapun, disebut sebagi orang yang gila sebenarnya.4
Di antara sebab-sebab kondisi majdzub itu terjadi adalah karena ia tidak mampu mengkondisikan
atau melakukan adab-adab dzikir yang sesungguhnya. Maka ketika tarikan Ilahiyah itu datang ia segera melepaskan
dirinya begitu saja, sehingga ia larut dalam keasyikan dzikirnya. Keadaan
inilah yang kemudian tidak mampu ia kendalikan, Kondisi tarikan semacam ini
sebenarnya sebagaimana tarikan-tarikan yang timbul dari suatu dakwah / ajakan
yang mempengaruhi dirinya, serta merta ia mengikuti saja tanpa berusaha
bertahan dan menyikapinya dengan daya kontrol yang optimal.
Tarikan Nur Ilahi itu berusaha mencari tempat dalam
dirinya, mendesak pernik-pernik kebatilan yang sudah ada dalam jiwanya, maka
tampaklah gejolak batin itu melampiaskan benturan-benturan jiwa yang sedang
terjadi. Ibarat cahaya yang berusaha menembus ruangan gelap, yang pada akhirnya
ruangan yang gelap itu seluruhnya tertelan oleh cahaya IIahi yang masuk ke
dalamnya, baik diusahakan maupun di luar kehendak dirinya.
Pertarungan khatir atau bisikan-bisikan yang datang
dan pergi dalam dirinya menyebabkan adanya dua pilihan yang harus ia lakukan,
membiarkan atau melawannya. Kalau ia biarkan maka dorongan Ilahiyah itu akan terus menghantui setiap gerak langkahnya
kemanapun ia pergi, apabila hal ini ia pertahankan akan menyebabkan
ketidakseimbangan ruang gerak kehidupan normalnya. Kalau ia melawannya, berarti
ia akan kembali kepada posisi sediakala. Kondisi jadzbah ini bisa kembali normal jika orang yang mengalaminya
mempunyai fisik yang sehat, tidak seperti orang yang berfisik lemah yang
pengembalian kondisi kepada posisi yang normal membutuhkan waktu yang cukup
lama. Yang lebih parah sebenarnya bila seorang majdzub ini tidak mempunyai Guru Mursyid yang jelas, sehingga apa
yang dilakukannya adalah berdasarkan kehendak atau selera dirinya. Hal ini akan
sulit diubah menjadi keadaan yang lebih baik.
Pergulatan orang yang mengalami jadzbah sesungguhnya medan jihad akbar bagi dirinya, namun orang
lain tidak mengetahuinya. Apabila ia wafat dalam jihadnya tersebut maka ia
meninggal dalam keadaan husnul khatimah
(Ridha Allah), jika dalam bimbingan seorang Mursyid, karena konsistennya ingin
senantiasa dekat dengan Allah Ta’ala.
Jalan yang preventif dalam masalah ini adalah
mendahulukan (mengutamakan) adab-adab syari’at mengetahui kaidah-kaidah dalam
beribadah/dzikir pada dirinya agar terjadi suatu keseimbangan antara jasmani
dan ruhani, terutama bagi orang yang baru menapaki (salik) di atas jalan
dzikir.
Orang yang dikatakan gila sebenarnya dikarenakan dua
faktor, yaitu: (pertama) karakter kejiwaannya lemah, dan (kedua) fisiknya
lemah. Kegilaan yang dimaksud adalah bukan kegilaan mental seperti yang banyak
orang katakan tetapi kegilaan di sini disebabkan adanya suatu tarikan Ilahiyah di saat ia belum mendapatkan
tempaan ajaran syari’at yang cukup. Sebelum menyentuh ‘alam kegilaannya’ ia
sudah terkondisikan di alam kebatilan.
Pada saat terjadinya suatu tarikan Ilahiyah itulah seakan-akan ia melakukan
perlawanan, di antaranya munculnya semacam bisikan (khatir) hati atau
telinganya untuk melakukan perilaku-perilaku yang berada di luar syari’at.
Ketika tahalli5 dan takhalli6-nya belum sempurna proses tajalli menyebabkan ia mabuk, dan
mengalami ketidakseimbangan pada dirinya.
Perumpamaan seperti Al Hallaj, Syekh Siti Jenar, dan
lainnya adalah orang-orang yang tidak mampu mengendalikan syari’atnya ketika
ekstase, karena keadaan mereka lebih dominan mengedepankan adab hakikat. Di
antara mereka banyak mengklaim mengalami suasana Wahdatul Wujud7
(kebersatuan dengan Tuhan). Para Shufi yang mengalami keadaan seperti mereka
berdua amal ibadahnya, yakni dzikir atau saliknya hanya berfungsi atau memberi
manfaat bagi dirinya sendiri, tidak sebagaimana para Nabi dan para Mursyidun,
yang bersifat Tabligh (setelah
menerapkan Quu Anfusakum wa Ahliikum
Naaroo bagi dirinya). Para pemimpin umat di setiap masa biasanya selalu
mengedepankan keseimbangan adab syari’at dan hakikat.
Orang yang mengalami ekstase (Fana) seperti ini
berbeda dengan gila pada umumnya. Yang membedakannya adalah:
GILA (MAJDZUB)
· Dapat
diajak komunikasi dengan teratur
· Bisa
sembuh, dan tidak menampakkan bekas
· Jika ia
memperoleh proses tajalli dengan
waktu yang lama, ia akan mencapai makrifat yang benar, dengan syarat dibimbing
oleh seorang Mursyid
· Dalam
proses tajalli ini, seorang majdzub
dalam naungan Ridha Allah SWT
GILA DUNIA
· Tidak dapat diajak bicara dengan benar (ngawur) ·
Kelihatan bekas-bekas kegilaannya · Hanya ingin memperturutkan hawa nafsunya
saja, kehidupannya seperti hewan karena sudah kehilangan akal yang berarti
hilang ruh Ilahiyah dalam dirinya. ·
Kehidupannya tak ubahnya seperti manusia biasa yang mengikuti
kebiasaan-kebiasaannya sebelum ia gila.
Kedua ahwal jadzbah
tersebut tidak dibebani hukum syari’at (mukallaf)
atasnya, dan juga tidak pantas mengemban suatu bentuk kepemimpinan, karena
dominasi akal telah hilang dalam dirinya.
Selain itu semua ada pula yang memiliki jiwa yang
kuat dalam proses tajalli-nya,
sehingga ia tidak menampakkan gejolak-gejolak yang dapat berbenturan dengan
iklim kehidupan natural (alami). Ia mampu menciptakan keseimbangan karena
peristiwa berupa ekstase itu dapat ia kendalikan, dan hanya terjadi pada
waktu-waktu tertentu saja, seperti: histeris ketika dibacakan ayat-ayat Al
Quran yang menyentuh jiwanya.
Orang-orang utama seperti para Nabi, Mursyidun8 juga mengalami jadzbah berupa kehadiran ruh-ruh Ilahi, namun hal demikian tidak
tampak secara nyata (lahir). Hal ini disadari ketika ia berkata-kata atau
menyampaikan hukum-hukum Ilahi di luar kemampuan dirinya yang sebenarnya.
Bekas-bekas kejadian tersebut begitu nyata dialami oleh para Mursyidun sebagaimana yang dialami oleh
para Nabi sesudah menerima wahyu, misalnya keringat membasahi sekujur tubuhnya,
rasa lelah seakan mendapat beban yang berat, dsb. Ciri-ciri komunikasi Ilahiyah ini tidak seperti orang kebanyakan
di kalangan ahli-ahli kegaiban umum (supra natural), apalagi terjadi di setiap
saat. Karena peristiwa llahiyah
semisal mukjizat saja terjadi pada waktu-waktu tertentu. Hal ini menandakan
komunikasi ini begitu tinggi nilainya dan tidak sembarang orang memunculkan
dengan keinginannya sendiri.
1 Tersebut pula di
dalam kitab Tafsir Durrul Mantsur,
karangan Syekh Jalaluddin as Suyuthi.
2 Orang yang
mengalaminya disebut majdzub.
3 In’amuzzahidin
Mashudi, MA.,Wali Sufi Gila, Ar-Ruzz, Cet I, hal 40.
4 Ibid., hal. 41
5 Tahalli artinya
mengisi jiwa dengan perilaku-perilaku positif (mahmudah).
6 Takhalli artinya
mengosongkan jiwa dari perilaku-perilaku negatif (madzmumah).
7 Ragam istilah ini
banyak sekali, misalnya Manunggaling Kawula Gusti, Hulul, dsb.
8 Para Guru-guru
Shufi.
Metode dzikir adalah bukan berdasarkan apa yang
dianut atau diikuti orang banyak, sebab nilai kebanyakan atau hasil demokrasi
bukan landasan untuk menentukan suatu hukum. Landasan hukum absolut ditentukan
melalui Nash Al Quran dan Al Hadits Nabi SAW. Firman Allah SWT: Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalan Allah”. (Al An’am: 116)
Bukti-bukti apa yang telah difirmankan dan
disampaikan Allah melalui Utusan-Nya begitu jelas. Maka mengapa manusia enggan
menjalankan kondisi fitrah yang telah Allah tentukan kepadanya. “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”. (As Shaf: 2-3)
Dan manusia itu merasa enggan mengikuti kebenaran
jika ia merasa dirinya kaya dan lebih dari lainnya, sesuai dengan firman-Nya: (Innal insaana layathgoo arro-aahus
taghnaa)1. Mereka merasa cukup
dengan apa yang dimiliki, berupa pemahaman ilmu, atau kemapanan dalam
kehidupannya di dunia.
Sajian makalah ini hanya akan bermanfaat bagi Anda
yang beriman (percaya akan firman-Nya dan sabda Rasul-Nya), serta lurus
hatinya. Dan tidak akan menambah nilai guna suatu informasi yang haq bagi orang
yang telah terkontaminasi penyakit-penyakit batin seperti: Iri, hasud, dendam, ghaflah (lalai), meremehkan (egois), dan
berbagai sifat madzmumah lainnya,
meskipun ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mudah-mudahan kita tidak
termasuk ke dalam orang-orang yang melampaui batas, yaitu orang yang merasa
cukup dengan apa yang dimilikinya.
1 Al ’Alaq: 6-7.