Pengambilan
khumus didasarkan pada firman Allah SWT:
"Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, dzil qurba, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hariFurqan, yaitu di hari
bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. " (
QS. al- Anfal [8]: 41)
Tidak
diragukan, ayat itu turun dalam kasus khusus, yaitu pada hari Furqan, yaitu hari
bertemunya dua pasukan dalam Perang Badar. Namun, apakah pengertian kalimat ma
ghanimtum (apa yang ka1ian peroleh) itu bersifat umum untuk setiap sesuatu
yang diperoleh seseorang dalam kehidupannya atau bersifat khusus dalam sesuatu
yang diperoleh dari peperangan berupa rampasan perang?
Kalau
diasumsikan bahwa pengertian kalimat itu bersifat umum, apakah kasus itu ada
yang mengkhususkan atau tidak?
Pembahasan
masalah ini dibagi ke da1am dua bagian berikut.
Menurut para ahli
bahasa, kata itu asalnya lebih umum daripada sesuatu yang diperoleh seseorang di
medan perang. Bahkan dalarn
pengertian bahasa, kata itu berarti setiap sesuatu yang diperoleh seseorang.
Berikut ini pembahasannya.
I.
A1-Azhari berkata: A1-Laits berkata, “Ghunm berarti memperoleh sesuatu,
dan ightinam berarti cepat-cepat mengambil perolehan."
2.
Ar-Raghib berkata: Ghunm sudah sarna-sama kita ketahui. Sedangkan ghunm
berarti mendapat dan memperoleh. Kemudian kata itu digunakan untuk menyebut
sega1a sesuatu yang diperoleh dari pihak musuh dan sebagainya. Allah swt
berfirman, "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu ..."
dan, "Maka makanlah dari apa-apa yang kalian peroleh yang halal dan baik.
" Mughnam adalah peroleh yang didapat dan dikumpulkan. Allah swt
berfirman, “Maka di sisi Allah terdapat peroleh yang banyak. "
3.
Ibn Faris berkata: Kata ghunm asalnya berarti sesuatu yang menunjukkan
pemanfaatan sesuatu yang tidak dimiliki sebelumnya. Kemudian kata itu khusus
digunakan untuk menyebut sesuatu yang diarnbil dari orang-orang musyrik.
4. Ibn
Manzhur berkata: Kata ghunm berarti memperoleh sesuatu tanpa susah-payah.
5. Ibn al-Atsir
berkata: Dalam sebuah hadis disebutkan: “Jaminan gadai itu bagi orang yang
menggadaikannya. Keuntungannya (ghunmuhu) adalah untuknya dan kerugiannya
pun untuknya." Kata ghunmuhu berarti pertambahan, pertumbuhan, dan
kelebihan nilai.
6.
Al-Fairuzabadi berkata: Kata ghunm berarti memperoleh sesuatu tanpa
susah-payah. Sedangkan kalimat aghnamahu kadza taghniman berarti
menambahkan padanya.
Uraian
di atas menunjukkan bahwa kata itu tidak hanya digunakan untuk sesuatu yang
diperoleh seseorang dalarn peperangan, melainkan maknanya lebih luas dari itu
walaupun tidak digunakan pada masa-masa terakhir turunnya A1-Qur'an kecuali pada
sesuatu yang diperoleh di medan perang.
Oleh karena itu,
kami menemukan bahwa kata itu digunakan dalam Al-Qur'an dan sunah secara mutlak
dalam arti sesuatu yang diperoleh seseorang.
Al-Qur'an
telah menggunakan kata mughnim untuk menunjukkan sesuatu yang diperoleh
seseorang walaupun tidak melalui peperangan, melainkan melalui pekerjaan biasa
baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan. Allah swt berfirman, "Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka
telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam
kepadamu, 'Kamu bukan seorang Mukmin, , (lalu kamu membunuhnya), dengan
maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta (maghanim)
yang banyak (maghanim katsirah]." (QS. an-Nisa. (4: 94) .Yang
dimaksud dengan harta yang banyak ( maghanim katsirah) adalah pahala
akhirat. Dalilya, kata ini dipertentangkan dengan kalimat "harta benda
kehidupan dunia". Hal itu menunjukkan bahwa kata mughnim tidak
dikhususkan untuk menyebut hal-hal atau benda-benda yang diperoleh seseorang di
dunia ini dan di medan perang. Melainkan kata itu juga berlaku umum bagi setiap
usaha dan pemanfaatan. Kemudian, kata itu juga digunakan dalam hadis-hadis dan
dimaksudkan secara mutlak bagi setiap keuntungan yang diperoleh seseorang.
Dalam Sunan-nya,
Ibn Majah meriwayatkan bahwa diterima hadis dari Rasulu1lah saw: "Ya
Allah, jadikanlah ia keuntungan ( mughnim) , dan jangan Engkau jadikan ia
kerugian."
Diriwayatkan
dalam Musnad Ahmad dari Rasulullah saw: "Keuntungan (ghanimah) majelis-majelis
zikir adalah surga.”
Ketika
menyebutkan bulan Ramadhan, Nabi saw bersabda, “...Keuntungan (ghunm) bagi
orang Mukmin”.
Dalam an-Nihayah
karya Ibn al-Atsir disebutkan, “Puasa pada musim panas adalah keuntungan (ghanimah)
yang menyejukkan." Nabi saw menamai puasa pada musim panas itu sebagai ghanimah
karena di dalamnya terdapat pahala dan ganjaran.
Dari
penjelasan-penjelasan yang kami nukil dari para ahli bahasa dan makna-makna yang
digunakan dalam A1-Qur'an dan sunah, jelaslah bahwa orang Arab menggunakan kata
itu untuk menyebut segala hal yang diperoleh seseorang baik melalui peperangan
maupun melalui cara lain. Namun, pada masa-masa terakhir, kata itu menjadi suatu
hakikat yang disyariatkan, khusus berkenaan dengan sesuatu yang diperoleh
seseorang di medan perang. Ayat itu turun pada awal perang yang dihadapi kaum
Muslim di bawah komando Rasulullah saw. Penggunaan kata itu hanya untuk
menerapkan makna umum terhadap kasus khusus.
B. Penggunaannya
Tidak Dikhususkan
Jika pengertian
kata itu bersifat umum mencakup segala hal yang diperoleh seseorang maka
penggunaannya tidak dalam kasus khusus adalah untuk mengkhususkan pengertiannya
dan mempersempit keumumannya. Apabila kita pahami bahwa syariat Islam mewajibkan
khumus atas, pertama. barang tambang. harta karun, dan harta benda, dan keda,
atas laba usaha maka pensyariatan tersebut menegaskan kemutlakan ayat
tersebut dan penggunaan kata itu untuk menyebut harta rampasan perang tidak
dapat diabaikan. Berikut ini kami ketengahkan riwayat-riwayat berkenaan dengan
hal tersebut.
Khumus Atas Barang
Tambang, Harta Karun, dan Harta Benda
Banyak sekali riwayat dari Nabi saw yang rnenyatakan wajibnya rnengambil khumus atas barang tambang, harta karun, dan harta benda. Berikut ini kami bentangkan dalil-dalilnya. kemudian karni jelaskan maksudnya.
Sebagian
besar sahabat, seperti lbn ‘Abbas, Abu Hurairah, Jabir, ‘Ubadah bin ash-Sharnit,
dan Anas bin Malik rneriwayatkan hadis-hadis tentang wajibnya pengarnbilan
khurnus atas barang tarnbang. harta karun. dan harta benda. Sebagiannya karni
kutip. sebagai berikut.
1.
Dalarn Musnad Ahmad dan Sunan Ibn Majah, kalirnat pertamanya
berbunyi: .Diriwayatkan dari lbn ‘Abbas: Rasulullah saw rnenetapkan kburnus
atas barang tambang
2. Dalarn Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim, dengan redaksi dari kitab pertarna.
diriwayatkan hadis: Diriwayatkan dari Abu Hurairah: Rasulullah saw bersabda.
“Atas hewan yang dilepas tidak
dikenai pembayaran apa pun, atas barang tambang tidak dikenai pembayaran apa
pun, sedangkan atas tambang emas/ perak ada khumus”. Dalam beberapa hadis yang
diriwayatkan Ahmad disebutkan: “Atas binatang tidak dikenai pembayaran”.
Abu
Yusuf, dalam kitab al-Kharraj, berkata, "Di kalangan kaum jahiliah,
apabila seseorang mati terperosok ke dalam sumur, mereka menjadikan sumur itu
sebagai diat atau dendanya. Apabila hewan menyebabkan kematiannya, mereka
menjadikan hewan itu sebagai diatnya. Apabila barang tambang menyebabkan
kematiannya, mereka menjadikan barang tambang itu sebagai diatnya. Kemudian
seseorang menyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab, “Atas hewan
itu tidak ada pungutan apa pun (jubar), atas barang tambang itu tidak ada
pungutan apa pun, atas sumur itu tidak ada pungutan apa pun, dan dalam rikaz ada
khumus.” Seorang sahabat bertanya, 'Apa rikaz itu, wahai Rasulullah?'
Beliau menjawab, 'Emas dan perak yang dicptakan Allah swt di dalam bumi pada
saat bumi itu diciptakan.”
3. Dalam Musnad
Ahmad diriwayatkan hadis dari asy-Sya'bi dari Jabir bin' Abdullah:
Rasulullah saw. Bersabda, “Atas binatang ternak itu tidak ada pungutan apa
pun, atas sumur itu tidak ada pungutan apa pun, atas barang tambang itu tidak
ada pungutan apa pun, dan dalam rikaz ada khumus." Kemudian
asy-Sya'bi mengatakan bahwa rikaz adalah harta pendaman biasa.
4.
Juga dalam Musnad Ahmad diriwayatkan hadis dari 'Ubadah bin ash-shamit:
Di antara ketentuan dari Rasulullah saw adalah bahwa atas barang tambang itu
tidak ada pungutan apa pun (jubar) ,atas sumur itu tidak ada pungutan apa
pun, dan atas 'ujama ' itu tidak ada pungutan apa pun. Ujama '
adalah binatang ternak. sedangkan jubar berarti tidak dikenai pungutan
apa pun. Di dalam rikaz beliau menetapkan adanya khumus.
5. Juga
dalam Musnad Ahmad diriwayatkan hadis dari Anas bin Malik: Pernah kami
keluar bersama Rasulullah saw menuju Khaibar. Salah seorang sahabat kami masuk
ke dalam puing-
puing untuk
menunaikan hajatnya. Kemudian ia mengambil sebuah batu bata untuk beristinjak.
Tiba-tiba ia melihat pada batu bata itu terdapat biji logam. la mengambilnya dan
membawanya kepada Rasulullah saw sambil memberitahukan kejadian itu. Nabi saw
bersabda, "Timbanglah." Kemudian ia menimbangnya, dan diperoleh berat
seharga 200 dirham. Maka Rasulullah saw bersabda, "Ini adalah rikaz dan
di dalamnya ada khumus."
6.
Juga dalam Musnad Ahmad diriwayatkan hadis: Seorang laki-laki dari
Mazinah bertanya kepada Nabi saw tentang berbagai hal. Di antaranya ia berkata,
" Ada harta terpendam yang kami temukan di puing-puing dan batu petunjuk di
padang pasir ( dram) .Beliau menjawab, "Pada harta terpendam itu dan
pada rikaz terdapat khumus."
7. Dalam Nihayah
al-Lughah, Lisan al- 'Arab, dan Taj al-'Arus dalam kata sayb-redaksinya
berdasarkan kitab pertama: Dalam surat Rasulullah saw kepada wa'il bin Hujur
disebutkan, "Dalam suyiub ada khumus." Suyub adalah
rikaz.
Mereka juga
mengatakan: Suyub adalah cairan emas atau perak yang disepuhkan pada
logam. Suyu.b adalah bentuk jamak dari sayb. Yang dimaksud' dengan
sayb oIeh Nabi saw adalah harta yang dipendam pada zaman jahiliah, atau
berarti barang tambang karena ia merupakan karunia dari Allah SWT dan diberikan
kepada orang yang menemukannya.
Tafsir
Kata-kata Dalam Hadis
'Ujama'
adalah binatang
ternak yang lepas dari pemiliknya. Apa apa saja yang dirusaknya, tidak dikenakan
denda kepada pemiliknya.
Atas
barang tambang itu tidak ada pungutan apa pun ( al-ma'din jubar) artinya
apabila seseorang menggali barang tambang, lalu seseorang jatuh ke dalam lubang
itu, si penggali itu tidak dikenai denda apa pun. Demikian pula sumur apabila
digali untuk diminum airnya, lalu seseorangjatuh ke dalamnya, si penggali itu
tidak dikenai denda apa pun.
Di dalam rikaz
ada khumus. Rikaz adalah sesuatu yang dipendam pada zaman jahiliah
kemudian ditemukan. Orang yang menemukan rikaz ini harus mengeluarkan
khumus darinya kepada sultan, sedangkan sisanya boleh ia ambil.
Aram
adalah tanda.
Yaitu batu yang dikumpulkan dan ditumpuk di tengah padang sahara sebagai ciri.
Bentuk tunggalnya adalah irm. Di antara tradisi kaum jahiliah adalah
apabila mereka menemukan sesuatu di perjalanan yang tidak mungkin dibawa, mereka
meninggalkannya dengan menumpukkan batu di atas benda itu. Sehingga ketika
kembali, mereka mengambilnya.
Dalam Lisan
al-‘Arab dan kamus bahasa lainnya disebutkan: apabila seseorang
menguburkan sesuatu dikatakan rakazahu- yarkuzuhu-rakzan.
Rikaz
adalah potongan
emas dan perak yang dikelurkan dari dalam tanah, atau barang tambang (logam).
Bentuk tunggalnya adalah rikzah, seakan-akan ia terpendam di dalam tanah.
Dalam Nihayah
al-Lughah disebutkan: Rizkah adalah potongan mutiara bumi yang
terpendam di dalamnya. Bentuk jamak dari rizkah adalah rikaz.
Riwayat-riwayat
di atas menunjukkan adanya kewajiban mengeluarkan khumus atas harta terpendam
dan barang tambang sebagai pungutan yang bukan berupa zakat. Abu Yusuf, Profesor
dalam bidang fiqih, bersandar pada riwayat-riwayat tersebut dalam bukunya al-Kharraj.
Berikut ini teksnya.
Pendapat Abu Yusuf
Tentang Barang Tambang (al-Ma'din dan Rikaz)
Atas setiap
barang tambang ( al-ma 'din) yang diperoleh baik sedikit maupun banyak
dikenai khumus. Kalau seseorang menemukan barang tambang kurang dari timbangan
dua ratus dirham perak atau kurang dari timbangan dua puluh mitsqal emas,
maka atas barang tambang itu dikenai khumus. Khumus yang dikeluarkan ini bukan
merupakan zakat, melainkan ia merupakan ghanimah. Selain itu, atas tanah
tempat ditemukannya barang tambang itu tidak dikenai pungutan apa pun. Khumus
yang harus dibayarkan itu semata-mata atas emas murni, perak murni, besi,
tembaga, dan timah setelah dikurangi biaya yang dikeluarkan untuk pe- nambangan
tersebut. Kadang-kadang biaya yang dikeluarkan sama besarnya dengan hasil
tambang yang diperoleh, maka ketika itu tidak dikenakan khumus atas barang
tambang tersebut. Khumus itu dikeluarkan setelah dimurnikan baik sedikit maupun
banyak. Adapun barang tambang lain yang diperoleh selain benda-benda di atas
seperti yakut, firuz, celak, air raksa, belerang, dan lumpur merah tidak dikenai
khumus. Karena benda-benda tersebut dipandang sebagai lumpur dan tanah.
Kalau orang
yang menemukan emas, perak, besi, timah, atau tembaga itu memiliki utang yang
besar, hal itu tidak membatalkan kewajibannya untuk membayar khumus atas
benda-benda tersebut. Ketahuilah, kalau seorang prajurit memperoleh ghanimah dari
pihak musuh, ia harus mengeluarkan khumus tanpa memandang apakah ia memiliki
utang atau tidak. Kalaupun memiliki utang, ia tetap harus mengeluarkan khumus
tersebut.
Adapun
rikaz adalah emas dan perak yang Allah' Azza wa Jalla ciptakan di dalam bumi
pada saat bumi itu diciptakan. Atas kedua benda tersebut juga dikenakan khumus.
Barangsiapa yang menemukan harta pendaman biasa di tempat yang tidak dimiliki
siapa pun di dalamnya terdapat emas, perak, mutiara, atau pakaian maka ia harus
mengeluarkan khumus (seperlima) dari benda-benda tersebut: Sedangkan empat
perlimanya adalah untuk orang yang menemukannya. Benda-benda itu seperti ghanimah
yang diperoleh suata kaum. Mereka mengeluarkan seperlimanya dan sisanya
untuk mereka.
Kalau
seorang kafir harbi menemuka:n rikaz di dalam negeri kaum Muslim, dan ia masuk
ke negeri itu dengan jaminan keamanan, maka seluruh benda tersebut diambil
darinya dan ia tidak mempeolehnya sedikit pun. Tetapi kalau ia seorang kafir
dzimmi, diambil darinya khumus seperti halnya pengambilan khmus dari seorang
Muslim, dan empat perlima bagian lagi diserahkan kepadanya. Demikian pu1a halnya
dengan budak mukatab (yang terikat perjanjian pembebasan dengan tuannya).
Apabila ia menemukan rikaz di negeri kaum Muslim, ia dapat memiliki benda
tersebut setelah membayarkan seperlimanya.
Khumus Atas Laba
Usaha Dari banyak riwayat tampaklah bahwa Nabi saw memerintahkan untuk
mengeluarkan khumus dari segala sesuatu yang diperoleh seseorang, seperti laba
usaha dan sebagainya. Berikut ini beberapa riwayat di antaranya.
I. Ketika '
Abdul Qais mengirim utusan kepada Rasulullah saw, mereka berkata, "Di
antara kami dan Anda ada kaum musyrik. Kami tidak akan menemui Anda kecuali pada
bulan-bulan haram. Maka perintahkanlah kepada kami suatu amal yang jika kami
mengamalkannya, tentu kami akan masuk surga. Dan kami akan mengajak orang-orang
di belakang kami kepada- nya." Nabi saw menjawab, " Aku perintahkan
kepada kalian empat hal dan melarang kalian dari empat hal yang lain. Aku
perintahkan kepada kalian agar beriman kepada Allah. Tahukah kalian, apakah
keimanan itu? Yaitu kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah, menegakkan
salat, menunaikan zakat, dan mengeluarkan khumus dari harta yang diperoleh (mughnim)."
Jelaslah
bahwa Nabi saw tidak menuntut dari Bani 'Abdul Qais agar mereka membayarkan
khumus atas ghanimah perang. Bagaimana mungkin, padahal mereka tidak dapat
keluar dari kampung mereka kecuali pada bulan-bulan haram karena takut kepada
orang-orang musyrik. Maka yarig dimaksud dengan mughnim di situ adalah
dalam pengertiannya yang hakiki dalam bahasa Arab, yaitu sega1a sesuatu yang
mereka peroleh. Karenanya mereka wajib membayarkan seperlima dari laba yang
mereka peroleh.
Terdapat
banyak surat dan perjanjian yang ditulis Nabi saw. Di situ be1iau mewajibkan
khumus bagi orang yang patut untuk itu. Setelah dinukil surat-surat dan
perjanjian itu akan menjadi jelas bahwa semua itu menunjukkan keajiban
pembayaran khumus atas laba yang diperoleh walaupun tidak dalam bentuk ghanimah
atau rampasan perang.
2.
Nabi saw menulis surat kepada ' Amr bin Hazm ketika ia diutus ke Yaman:
Dengan nama Allah
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah perjanjian dari Nabi utusan
Allah kepada ‘Amr bin Hazm ketika diutus ke Yaman. Beliau memerintahkannya
agar bertakwa kepada Allah dalam segala hal, dan agar ia mengambil khumus Allah
dari segala yang diperoleh (mughanim), serta apa yang diwajibkan kepada kaum
Mukmin berupa sedekah dari tanah pertanian sebesar sepersepuluh jika diairi air
hujan (al-ba’l) dan dua persepuluh jika diairi dengan timba (al-gharb)
Al-Ba'l adalah tanah pertanian yang tidak diairi dengan saluran
irigasi, dan al-gharb adalah timba yang besar.
3. Nabi saw
mengirim surat kepada Syarahbil bin 'Abd Kalal, Na'im bin' Abd Kalal, Al-Harits
bin' Abd Kalal - ada yang
mengatakan Dzi Ra'in, Mu'afir, dan Hamdan:
Amma ba'd Rasul kalian telah kembali dan kalian dikenai kewajiban
membayar khumus kepada Allah dari segala yang diperoleh ( maghanim) .
4. Nabi saw
menulis surat kepada Sa'ad Hudzaim dari Qudha'ah dan kepada Jadzam sepucuk surat
yang mengajarkan sedekah fardu kepada mereka. Beliau memerintahkan kepada mereka
agar mengeluarkan sedekah dan khumus kepada kedua oang utusan beliau, Ubay dan'
Anbasah, atau utusan mereka.
5. Nabi saw
menulis surat kepada Fujai' dan para pengikutnya:
Dari
Nabi Muhammad kepada Fujai' dan para pengikutnya yang masuk Islam, menegakkan
salat, menunaikan zakat, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan membayarkan khumus
kepada Allah dari yang diperoleh ( maghanim)
6. Nabi saw
menulis surat kepada Junadah al-Azdi serta kaumnya dan para pengikunya:
Mereka menegakkan
salat, membayar zakat, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, membayarkan khumus
kepada Allah dari segala yang diperoleh ( maghanim) dan bagian Nabi saw, dan berpisah dari kaum musyrik. Bagi mereka jaminan
dari Allah dan jaminan dari Muhammad bin' Abdullah.
7. Nabi saw menulis surat kepada Juhainah bin Zaid:
Bagi kalian apa
yang dikandung dalam perut bumi serta lembah-lembah, bukit-bukit, dan
permukaannya. Kalian harus memelihara tumbuh-tumbuhannya dan meminum airnya.
Atas semua itu kalian harus membayarkan seperlimanya (khumus).
8. Nabi saw
menulis surat kepada raja-raja Himyar:
Kalian
membayar zakat dan mengeluarkan khumus ke- pada Allah dari segala yang diperoleh
( maghanim) serta bagian Nabi dan orang pilihannya, serta sedekah yang
Allah wajibkan kepada kaum Mukmin.
9. Nabi saw
menulis surat kepada bani Tsa'labah bin 'Arnir:
Barangsiapa di
antara mereka yang masuk Islam, menegakkan salat, membayar zakat, dan
mengeluarkan khumus dari segala yang diperoleh ( maghanim) serta saham
Nabi dan orang pilihannya.
10. Nabi saw
menulis surat kepada sebagian suku Juhainah:
Barangsiapa di
antara mereka yang masuk Islam, menegakkan salat, membayar zakat, taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan mengeluarkan khumus dari segala yang di- peroleh ( maghanim)
Penjelasan
Argumentasi dengan Surat-surat itu
Dari surat-surat
di atas, tampaklah dengan jelas bahwa Nabi saw tidak menuntut dari mereka agar
membayarkan khumus dari ghanimah perang yang mereka miliki bersama. Melainkan
beliau menuntut apa yang mereka peroleh dalam harta mereka berupa khumus dan
sedekah.
Kemudian, beliau
menuntut khumus dari mereka tanpa mensyaratkan keterlibatan dalam perang dan
memperoleh ghanimah.
Selain itu,
pemimpin Islam atau wakilnya yang berwenang setelah penaklukan, menguasai
seluruh ghanimah perang dan membagikannya setelah dikeluarkan seperlimanya (khumus)
. Seorang prajurit tidak boleh mengambil sesuatu kecuali barang yang dirampas
dari musuh yang dibunuhnya. Jika mengambil selain itu, berati ia mencuri.
Apabila
pernyataan perang dan pembayaran khumus dari ghanimah pada zaman Nabi saw adalah
Nabi saw, lalu apa artinya khumus yang beliau minta dari orang-orang yang
ditegaskan dengan surat demi surat dan perjanjian demi perjanjian tersebut?
Tampaklah
bahwa yang beliau minta tidak berkaitan dengan ghanimah perang. Di samping itu,
tidak mungkin dikatakan bahwa maksud ghanimah dalam surat-surat itu adalah yang
diperoleh seseorang pada masa jahiliah melalui perampasan (nahb). Padahal,
Nabi saw melarang keras perampasan. Da1am kitab al-Fitan, bab "Nabi
saw melarang perampasan" disebutkan:
Barangsiapa
melakukan perampasan, ia bukan dari kelompok kami.
Perampasan
itu tidak halal.
Dalam Shahih
al-Bukhari dan Musnad Ahmad diriwayatkan hadis dari 'Ubadah bin ash-Shamit:
"Kami membaiat Nabi saw bahwa kami tidak akan melakukan perampasan."
Da1am
Sunan Abi Dawud, bab "Larangan merampas" diriwayatkan hadis
dari seseorang dari kaum Anshar: Kami keluar bersama Rasulullah saw. Saat itu
orang-orang merasakan sangat lapar. Mereka menemukan seekor domba, lalu
merampasnya. Kemudian mereka memasak dagingnya di atas kuali. Tiba-tiba Nabi saw
datang berja1an kaki sambil bertopang pada busumya. Kemudian beliau menumpahkan
kuali kami dengan busumya itu sehingga dagingnya berserakan di atas tanah.
Kemudian beliau bersabda, "Barang hasil rampasan itu tidak lebih halal
daripada bangkai."
Diriwayatkan
dari 'Abdullah bin Zaid: Nabi saw
melarang perampasan dan hukuman sebagai balas dendam."
Masih banyak lagi
hadis-hadis lain berkenaan dengan itu dalarn kitab jihad.
Di kalangan
bangsa Arab, nahibah dan nuhba (perampasan) sepadan dengan ghanimah
dan mughnim (rampasan perang) dalarn istilah yang berlaku sekarang
berarti mengambil harta musuh.
Apabila
perampasan itu ( nahb) tidak diperkenankan dalam agama dan apabila
peperangan yang dikobarkan seseorang tanpa izin dari nabi saw, maka ghanimah
yang disebutkan dalam perjanjian- perjanjian ini tidak selalu berarti sesuatu
yang diambil dari medan perang. Melainkan kata ghanimah yang digunakan di situ
berarti sesuatu yang diperoleh seseorang tanpa melalui peperangan tetapi melalui
usaha dan sebagainya. Karenanya dapat dikatakan bahwa khumus yang diminta Nabi
saw adalah khumus atas laba usaha dan keuntungan yang diperoleh seseorang tanpa
melalui peperangan atau perampasan yang dilarang dalam agama.
Pendek
kata, ghanimah yang diminta dalam surat-surat Nabi saw ini adalah pembayaran
seperlimanya, bisa jadi maksudnya adalah yang dikuasai seseorang melalui
perampasan dan penyerangan, atau bisa juga melalui peperangan sebagai jihad,
atau melalui usaha dan bekerja keras.
Yang
pertama (melalui perarnpasan dan penyerangan) dilarang melalui nas hadis-hadis
di atas. Surat-surat itu tidak menunjukkan pengertian bahwa Nabi saw meminta
khumus atas barang hasil rampasan.
Yang kedua
(melalui peperangan sebagai jihad) , urusan ghanimahnya itu berada langsung di
tangan Nabi saw. Beliaulah yang mengambil seluruh ghanimah dan membagikannya
kepada pasukan berkuda (kavaleri) dan pasukan infantri sesuai bagian mereka
setelah dikeluarkan seperlimanya untuk beliau sendiri. Surat-surat itu tidak
menunjukkan bahwa Nabi saw memintanya dari para prajurit.
Maka yang
ketiga (melalui usaha dan kerja keras) itulah yang dimaksud.
Diriwayatkan
dari para imarn ahlulbait as hadis-hadis yang menunjukkan pengertian itu. Salah
seorang penganut Syi’ah menulis surat kepada lmam al-Jawad as: "Beritahukanlah
kepada saya tentang khumus. Apakah khumus itu dikenakan atas segala sesuatu yang
diperoleh seseorang baik banyak maupun sedikit, atau dibebankan kepada para
pekerja? Bagaimana hal itu?" Kemudian Imam as membalas surat itu dengan
tulisan tangannya sendiri, "Khumus itu setelah dikurangi biaya rutin
setahun (al-ma'unah)."
Dalarn
jawaban ringkas ini terdapat penegasan dari Imam as terhadap apa yang dimaksud
si penanya. Di situ pun terkandung pengertian tata cara yang harus diperhatikan
dalam pembayaran khumus.
Diriwayatkan
dari Suma'ah: Saya bertanya kepada Abu al- Hasan al-Kazhim as tentang khumus.
Imam as menjawab, " Atas sesuatu yang diperoleh seseorang baik sedikit
maupun banyak."
Diriwayatkan
dari Abu' Ali bin Rasyid - seorang wakil Imam al-Jawad as dan Imam al-Hadi as:
“Saya bertanya kepada Imam as, " Anda memerintahkan kepada saya agar
melaksanakan perintah Anda dan mengambil hak Anda, lalu saya memberitahukan hal
itu kepada maula Anda. Kemudian sebagian dari mereka bertanya kepada saya, apa
hak beliau. Saya tidak tahu bagaimana harus memberikan jawaban kepada mereka."
Imam as menjawab, "Wajib bagi mereka membayar khumus." Saya bertanya
lagi, " Atas apa?" Imam as menjawab, " Atas barang-barang dan
hasil karya mereka." Saya bertanya lagi, " Apakah bagi orang yang
menjualnya atau orang yang membuatnya?" Imam as menjawab, "Orang yang
dapat me- lakukannya di antara mereka setelah dikurangi belanja rutin mereka
setahun ( al-ma'unah) ."
Masih
banyak lagi hadis-hadisdan khabar-khabar lain yang diriwayatkan dari Nabi saw
dan ahlulbaitnya as yang suci. yang menunjukkan cakupan khumus atas segala hasil
usaha."
Pembagian
Khumus Menurut Agama
Berdasarkan
ketentuan ayat berikut, khumus dibagi menjadi enam bagian atau saham, dipisahkan
berdasarkan tempat-tempatnya yang disebutkan dalam ayat tersebut. Allah swt
berfirman, "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, dzil
qurba, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil... " (QS.al-Anfal
[8]: 41). Di sini akan saya jelaskan siapa yang dimaksud dengali dzil qurba.
Dzil
qurba artinya anggota
kerabat dan pertalian nasab. Ditentukan individunya oleh orang yang dinasabkan
kepadanya. Maknanya berbeda-beda karena perbedaan penggunaannya.
Untuk dapat
menentukan maknanya harus dilihat konteks ayat itu. Jika tidak dapat, harus
dilihat sunah yang menjelaskannya.
Allah swt
berfirrnan, "Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil
sekalipun ia kerabatmu (dza qurba) (QS. al- An'am [6]: 152). Yang dimaksud dza
qurba di sini adalah para keraba( orang yang yang diajak bicara ( mukhathab)
dalam ayat tersebut dengan firman-Nya qultum (kamu berbicara) dan fa’dilu
(maka hendaklah kamu berlaku adil)
Allah swt
berfirrnan, "Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat (ulul
qurba) ..." (QS. an-Nisa' [4]: 8). Yang dimaksud dengan ulul qurba di
sini adalah para kerabat orang yang hartanya dibagikan, yakni si mayit. Allah
swt berfirrnan:
Apa saja harta
rampasan (fa'i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul (dzil qurba) (QS. al-Hasyr [59]: 7)
Katakanlah,
" Aku
tidak meminta kepada sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang kepada
keluargaku (al-qurba) " (QS. asy-syura [42]: 23)
Yang
dimaksud al-qurba dalam kedua ayat ini adalah kerabat Rasulullah saw
karena nama Rasul disebutkan sebelumnya dan konteks kalimat menunjukkan demikian.
Adapun
tentang dzil qurba pada ayat tentang khumus dalam surah al-Anffi1 di atas,
para mufasir sepakat bahwa yang dimaksud adalah kerabat Rasulullah saw. Mereka
hanya berbeda pendapat dalam menentukan batasan anak yatim, orang-orang miskin,
dan ibnu sabil, apakah mereka anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil
secara mutlak atau mereka itu khusus dari kerabat Nabi saw saja. Walaupun
konteks ayat ini tidak menuntut keharusan berpegang pada salah satu di antara
keduanya, tetapi sunah yang datang dari Rasulullah saw dan ahlulbaitnya menuntut
yang terakhir, sebagaimana akan tampak jelas dalam pembahasan berikut.
Sunah pun
menguatkan pengertian ayat tersebut.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas: Dahulu, Rasulullah saw membagi khumus menjadi enam bagian:
Bagian Allah dan Rasul dua saham, dan satu saham untuk para kerabat, hingga
beliau wafat.
Diriwayatkan dari
Abul Aliyah ar-Rayahi: Kepada Rasulul1ah saw diserahkan ghanimah. Kemudian
beliau membaginya menjadi lima bagian. Empat bagian diberikan kepada orang yang
memperolehnya, satu bagian lagi beliau ambil sendiri. Dari satu bagian itu
beliau mengambil untuk Ka'bah, yakni saham untuk Allah swt. Kemudian sisanya
beliau bagi menjadi lima saham; masing-masing saham untuk Rasulullah,
keluarganya (dzil qurba), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu
sabil. Yang dijadikan untuk Ka'bah adalah saham untuk Allah.
Kadang-kadang
beliau menggabungkan sahamnya dengan saham untuk Ka'bah dan kadang-kadang
memisahkannya seperti disebutkan dalam riwayat dari 'Atha' bin Abi Rabah: Saham
untuk Allah dan saham untuk Rasul-Nya ada1ah satu. Rasulul1ah saw membawa,
mengambil, dan membiarkannya menurut kehendaknya, dan darinya membaiat sesuatu
yang beliau kehendaki."
Yang
dimaksud dengan saham untuk Allah dan saham untuk rasul-nya ada1ah satu karena
urusan saham tersebut berada da1am kekuasaannya, berbeda dengan saham-saham yang
lain yang penerimanya tertentu.
Dengan
demikian jelaslah hadis yang diriwayatkan ath-thabari: "Nabi Allah apabila
memperoleh ghanimah, beliau membaginya menjadi lima bagian. Satu bagian untuk
Allah dan Rasul-Nya, sedangkan sisanya (empat bagian) dibagi di ka1angan kaum
Muslim. Adapun khumus untuk Allah dan Rasul-Nya, satu bagian untuk Rasulullah,
satu bagian untuk keluarga Rasulullah ( dzil qurba,) , satu bagian untuk
anak-anak yatim, satu bagian untuk orang-orang miskin, dan satu bagian lagi
untuk ibnu sabil. Khumus itu dibagi lima, satu bagian di antaranya ada1ah untuk
Allah dan Rasul-Nya."
Tampaklah
bahwa yang dimaksud itu adalah urusan dua saham berada di tangan Rasulullah saw.
Oleh karena itu, beliau menjadikan kedua saham itu sebagai satu saham. Ini
berbeda dengan saham-saham yang lain. Jika tidak dipahami demikian, tentu hadis
itu bertentangan dengan ketentuan Al-Qur'an.
Adapun
pengkhususan sebagian saham khumus yang lain untuk dzil qurba dan
kelompok yang datang sesudah mereka, yaitu anak-anak yatim, orang-orang miskin,
dan ibnu sabil. Sebab, adanya riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa mereka
tidak berhak menerima sedekah. Karenanya seperlima dari khumus itu diberikan
kepada mereka ( dzil qurba) .Ath~Thabari meriwayatkan, “Keluarga
Muhammad saw tidak halal menerima sedekah. Maka seperlima dari khumus itu
diberikan kepada mereka." Selanjutnya ia berkata, “Allah Maha Mengetahui
bahwa pada Bani Hasyim terdapat orang-orang fakir. Maka mereka diberi khumus
sebagai ganti sedekah." Selain itu, banyak riwayat dari para imam ahlul-
bait as yang menjelaskan bahwa empat bagian dari khumus itu adalah untuk
keluarga Muhammad saw.
Inilah
yang dipahami dari Al-Qur'an dan sunah. Tetapi ijtihad telah memainkan peranan
besar dalam mengubah khumus dari orang-orang yang berhak menerimanya. Berikut
ini pendapat empat mazhab Ahlusunah tentang khumus.
Asy-Syafi’i
dan Hanbali berpendapat, “Ghanimah yaitu khumus dibagi menjadi lima saham;
satu saham untuk Rasul, dan digunakan untuk kepentingan kaum Muslim; satu bagian
diberikan
kepada dzil qurba, mereka adalah orang-orang yang bernasab kepada Hasyim
dari pihak ayah tanpa membedakan antara orang kaya dan orang miskin; tiga bagian
sisanya diberikan kepaa anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil baik
mereka itu dari Bani Hasyim maupun bukan."
Hanafi
berpendapat, "Saham untuk Rasul gugur setelah beliau wafat, Adapun dzil
qurba adalah seperu orang-orang fakir yang lain. Mereka diberi bagian khumus
karena kefakirannya, bukan karena kekerabatannya kepada Rasulul1ah saw."
Maliki
berpendapat, "Urusan khumus diserahkan kepada pemimpin (imam) yang akan
mengenakannya untuk hal-hal yang dipandangnya penting."
Imamiyah
berpendapat, "Saham untuk Allah, saham untuk Rasulullah, dan saham untuk dzil
qurba diserahkan urusannya kepada imam atau wakilnya yang akan mengenakannya
untuk
kepentingan kaum
Muslim. Sedangkan tiga saham lainnya diberikan kepada anak-anak yatim,
orang-orang migkin, dan ibnu sabil dari Bani Hasyim. Orang lain tidak boleh
menerimanya."
Ibn
Qudamah, dalam al-Mughni, setelah meriwayatkan hadis yang menyebutkan
bahwa Abu Bakar ra dan 'Umar ra rnernbagi khumus menjadi tiga saham, menyebutkan,
"Itu adalah pendapat orang-orang yang rnenggunakan pertimbangan sendiri -
Abu Hanifah dan kelompoknya. Mereka mengatakan bahwa khumus itu dibagi rnenjadi
tiga saham, yakni untuk anak-anak yatim, orang- orang miskin, dan ibnu sabil.
Mereka rnenggugurkan saham untuk Rasulullah karena beliau telah wafat dan saham
untuk kerabat Rasulullah."
Malik
berkata, 'Fa 'i dan khumus adalah gamma, keduanya diserahkan ke Baitul Mal.
Ats-Tsawri
berkata, 'Khumus diserahkan kepada imam untuk dibagikan kepada orang-orang yang
telah ditentukan oleh Allah Azza wa
Jalla.'
Pendapat
Abu Hanifah di atas bertentangan dengan lahirian ayat. Sebab, Allah telah
rnenetapkan sesuatu untuk Rasul-Nya dan kerabatnya dan memandang rnereka
memiliki hak dari khumus, seperti juga Allah rnenetapkan tiga kelornpok lain
(yang berhak menerirna khumus). Barangsiapa yang rnenyirnpang dari ketentuan itu,
berarti ia rnenyirnpang dari nas Al-Qur'an. Adapun tentang tindakan Abu Bakar ra
yang menetapkan saham untuk dzil qurba untuk kepentingan dijalan Allah,
hal itu telah ditanyakan kepada Ahrnad. Tetapi Ahmad tidak memberikan jawaban
kecuali menggelengkan kepala dan tidak berpendapat demikian. la rnemandang
pendapat Ibn ' Abbas dan orang-orang yang sepakat dengannya sebagai pendapat
yang lebih baik karena sesuai dengan Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya saw."
Ijtihad
Melawan Nas
Para khalifah
sepeninggal nabi saw berijtihad melawan nas dalam banyak kasus, di antaranya
menggugurkan saham khumus untuk dzil qurba. Padahal Allah swt telah
menetapkan saham khumus untuk mereka dan kewajiban membayarkannya berdasarkan
nas dalam Al-Qur’an yang dibaca kaum Muslim siang dan ma1am. Nas itu adalah firman Allah swt, "Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, dzil qurba, anak-anak yatim,
Orang-orang miskin, dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di
hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. "
(QS. a1-Anf"a1 [8]: 41)
Seluruh
kaum Kiblat (kaum Muslim) sepakat bahwa Rasulul1ah saw menetapkan satu saham
dari khumus untuk dirinya dan satu saham lain khusus untuk keluarganya. Selain
itu, beliau tidak mengubah ketentuan itu hingga Allah memanggilnya. Allah telah
memilihkan untuknya kekasih yang agung.
Ketika Abu
Bakar menjadi kha1ifah, ia menakwil ayat tersebut, la1u menggugurkan saham untuk
Nabi dan saham untuk keluarga Nabi sepeningga1 beliau. la melarang Bani Hasyim
menerima khumus (secara khusus) dan memandang mereka seperti anak-anak yatim,
orang-orangmiskin, dan ibnu sabil dari kaum Muslim yang.lain.
Az-Zamakhsyari
berkata,"Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwa khumus itu dibagi menjadi
enam saham, yaitu untuk Allah dan untuk Rasu1-Nya adalah dua Saham, dan satu
saham untuk keluarga Rasulullah saw hingga beliau wafat. Kemudian Abu Bakar
membagi khumus menjadi tiga saham. Demikian pula yang diriwayatkan tentang 'Umar
dan para kha1ifah sesudahnya. Juga diriwayatkan bahwa Abu Bakar melarang Bani
Hasyim menerima khumus (secara khusus).
Fathimah
as telah mengirim surat (kepada Abu Bakar) untuk menanyakan warisannya dari
Rasulullah saw yang telah diberikan Allah kepada beliau di Madinah, serta tanah
Fadak dan harta lainnya berupa khumus yang diperoleh da1am Perang Khaibar.
tetapi Abu Bakar menolak untuk memberikannya kepada Fathimah. Kemudian Fathimah
marah kepada Abu Bakar dan memutuskan hubungan deng.innya. la tidak berbicara
kepada Abu bakar hingga wafat. Enam bulan sejak wafat Nabi saw, Fathimah pun
wafat. Setelah wafat, suaminya, ‘A1i as, menguburkannya pada ma1am hari, dan
ia tidak mengizinkan Abu Bakar untuk melayat dan mensa1atkannya. (Al-Bukhari,
ash-Shahih, 3/36, bab Ghawzah Khaybar dan Shahih Muslim, 5?154: wa shalla alayha
‘Ali)
Dalam Shahih
Muslim diriwayatkan hadis dari Yazi bin Hurmuz: Najdah bin' Amir al-Haruri
al-Khariji menulis kepada kepada Ibn ‘Abbas. Dalam suratnya itu Ibn Hurmuz
berkata, "Saya menyaksikan ketika Ibn 'Abbas membaca surat itu dan ketika
ia menuliskan surat balasannya. Ketika itu Ibn 'Abbas berkata, 'Demi Allah,
kalau saya tidak akan memalingkannya dari kebusukan dan pandangan yang tak
menyenangkan, tentu aku tak akan menuliskan surat jawaban kepadanya."
Kemudian dalam surat balasannya itu Ibn ‘Abbas menerangkan, "Engkau
bertanya kepadaku tentang saham untuk dzil qurba yang tentang mereka
telah disebutkan oleh Allah swt. Keluarga Rasulullah saw adalah kami. Tetapi
kaum kami menolak hal itu.”
Imam Ahmad
meriwayatkan hadis dari Ibn ' Abbas pada bagian akhir halaman 294, juz 1 kitab Musnadrnya.
Banyak
penulis Musnad meriwayatkannya melalui beberapa sanad yang semuanya sahih.
Inilah mazhab ahlulbait yang diriwayatkan secara mutawatir dari para imam mereka
as.
Akan tetapi,
banyak para ulama terkemuka mengarnbil pendapat kedua khalifah itu. Sehingga
mereka tidak memberikan bagian dari khumus kepada dzil qurba yang
dikhususkan kepada mereka.
Malik bin
Anas telah menyerahkan seluruhnya kepada imam yang akan menggunakannya untuk
kepentingan kaum Muslim. Dalam hal itu tidak ada hak untuk dzil qurba, dan
tidak pula untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil secara
mudak.
Abu Hanifah
dan para pengikutnya menggugurkan saham untuk Nabi saw dan saham untuk
keluarganya setelah beliau wafat. Mereka membagikannya kepada anak-anak yatim,
orang- orang miskin, dan ibnu sabil secara mutlak tanpa membedakan antara Bani
hasyim dan kaum Muslim yang lain.
Asy-Syafi
'i membagi khumus itu menjadi lima saham. Satu saham di antaranya untuk
Rasulullah saw dibelanjakan untuk kepentingan kaum Muslim, seperti perlengkapan
pasukan perang berupa kuda, senjata, keledai pengangkut beban, dan sebagainya.
Satu saham lagi untuk dzil qurba dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib,
bukan Bani' Abd Syams dan Bani Naufal, dibagi di antara mereka menurut
kententuan dalam ayat, "Bagi laki-laki memperoleh dua bagian perempuan. "
Sisanya untuk tiga kelompok, yaitu anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu
sabil secara mutlak
Sampai
di sini, kami simpulkan:
1. Wajib dikeluarkan khumus atas segala sesuatu yang diperoleh seseorang, tidak dikhususkan atas ghanimah perang.
2. Khumus itu dibagi menjadi enam saham. Tiga saham pertama urusannya diserahkan kepada imam yang akan menggunakannya untuk hal-hal yang dipandangnya penting. Sedangkan tiga saham lainnya adalah untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil dari keluarga Nabi saw.”