dan
Hadis-hadis Para Imam Ahlulbait
Syi'ah Imamiyahah -
sebagaimana bersumber pada Alkitab dan sunah dalam masAlah-masAlah akidah dan
syariat-juga merujuk pada hadis-hadis ahlulbait. Syi'ah memandang ucapan,
perbuatan, dan persetujuan mereka sebagai dAlil atau hujah. Ini tidak berarti
bahwa hadis-hadis mereka merupakan dAlil sekunder di samping Alkitab dan sunah.
HAl itu juga tidak berarti bahwa mereka itu para nabi yang menerima wahyu,
seperti yang seringkAli diduga oleh orang yang tidak memahami akidah dan ushul
mereka Melainkan karena Keluarga Suci itu adalah orang-orang yang memelihara
ilmu Nabi saw, para penjaga sunahnya, dan para khAlifah sepeninggAlnya. Maka
ucapan, perbuatan, dan persetujuan mereka meniru sunah Nabi yang mulia. Oleh
karena itu, berdAlil dengan hadis-hadis mereka pada dasamya adalah berdAlil
dengan hadis dan ucapan Nabi saw. Agar masAlah ini menjadi jelas, berikut kami
kemukakan perinciannya.
Para Imam Syi'ah Adalah
Para Washi Nabi saw. Para ulama Syi'ah sepakat bahwa para imam dua belas adalah
para washi (orang yang menerima wasiat tentang kepemimpinan) Rasulullah
saw. Mereka adalah para imam umat ini dan sAlah satu dari naqAlayn ( dua
hAl yang berat) yang telah diwasiatkan Rasulullah saw di beberapa tempat.
Beliau bersabda, " Aku tinggAlkan untuk kalian TsaqAlayn, yaitu
Kitab Allah dan keluargaku."
Hadis ini mutawatir,
tetapi tidak perlu kami sebutkan sumber- sumbernya. Dalam hAl ini, cukuplah apa
yang diterbitkan Dar at-Taqrib Bayna Al-Madzahib Al-Islamiyyah di Kairo.
Syi'ah Imamiyah, seperti
kaum Muslim lainnya, meyakini keuniversAlan risAlah Nabi saw, sebagaimana
mereka juga meyakini risAlahnya sebagai risAlah penutup. Kedua hAl itu
ditunjukkan dengan firman Allah SWT:
Muhammad
itu sekAli-kAli bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi
dia adalah Rasulullah dan penutup nabi- nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
segAla sesuatu. (QS. Al- Ahzab [33]:
40)
Dan
sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya
kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan
Yang Maha bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS. Fushshilat [41]: 41-42)
Serta
beberapa ayat dan hadis yang lain. Keberadaan risAlah Nabi saw sebagai risAlah
penutup termasuk prinsip-prinsip ajaran agama. HAl itu dijelaskan oleh
AL-Qur'an dan hadis-hadis yang mencapai tingkat mutawatir. Di antaranya adalah
sabda Rasulullah saw ketika pergi menuju Perang Tabuk. Ketika itu ' Ali as
bertanya, "Bolehkah aku ikut?" Beliau menja- wab, "Tidak."
Maka 'Ali pun menangis. Kemudian Rasulullah saw berkata kepada ' Ali,
"Tidakkah engkau rela dengan posisimu di sampingku seperti kedudukan Harun
as di sisi Musa as. Namun, tidak ada nabi sesudahku."
Amirul Mukminin '
Ali, imam pertama dari dua belas imam, ketika memandikan jenazah Rasulullah saw
berkata, "Ibu bapakku sebagai tebusanmu, dengan kematianmu terputuslah apa
yang tidak terputus oleh kematian orang selainmu. Yaitu, kenabian, berita, dan
kabar dari langit."
Dalam kesempatan
lain, ‘Ali as pemah berkata, "Rasulullah saw adalah penutup para nabi.
Tidak ada nabi dan rasul sesudahnya. Rasulullah menutup para nabi hingga hari
kiamat."
Pembahasan ini kami
cukupkan sampai di sini. Siapa saja yang ingin mengetahui dAlil-dAlil dari para
imam tentang berakhimya kenabian, terputusnya wahyu, dan tertutupnya pintu
pensyariatan setelah wafat Nabi saw, silakan merujuk pada bagian ketiga buku
kami Mafahim Al-Qur'an. Dalam buku itu kami menukil sebanyak 134 nas
dari Nabi saw dan para imam ahlulbaitnya yang suci tentang hAl tersebut.
Para ulama mazhab
Syi’ah menghukumi murtad kepada orang yang mengingkari risAlah itu sebagai
risAlah yang universAl dan penutup. Oleh karena itu, paham-paham Al-Babiyah dan
Al-Baha’iyah, demikian pula Al-Qadiyaniyah, menurut mereka adalah murtad fithri
atau kadang-kadang murtad milli. HAl ini termuat dalam kitab-kitab
fiqih mereka dalam bab Al-Hudud, Ahkam Al-Murtad, dan lain-lain.
Kami kira penjelasan
ringkas ini sudah cukup untuk menjelaskan akidah Syi’ah berkenaan dengan kerasulan
Rasulullah saw. Selain itu, mereka-sejak moyang mereka-meyakini risAlah
Rasulullah saw sebagai risAlah yang universAl dan penutup. Mereka tidak
menyimpang dari garis ini sejengkAl pun. HAl itu tampak pada kitab-kitab akidah
yang ditulis sejak permulaan abad ke-3 Hijriah hingga sekarang. Mereka telah
menulis ratusan kitab dan risAlah, bahkan kamus-kamus besar tentang
akidah-akidah Islam baik berupa manuskrip maupun cetakan yang tersebar di
seluruh dunia. Dalam kitab-kitab, perpustakaan-perpustakaan, universitas-
universitas," khutbah-khutbah, dan edaran-edaran resmi mereka tidak
ditemukan kata yang menunjukkan adanya nabi selain Nabi Muhammad saw atau
turunnya wahyu kepada orang lain. Maka tidak ada Alasan untuk mengatakan bahwa
pandangan keliru ini dideduksi sebagian orang dari hAl-hAl yang tidak
menunjukkan pada apa-apa yang mereka ragukan. Tidak ada sAlahnya kAlau
ditunjukkkan beberapa hAl yang menjadi sebab munculnya dugaan tersebut.
Beberapa sarjana masa kini yang menuruti hawa nafsu hanya melihatnya sekilas.
HAl itu tidak melampaui dua masAlah berikut:
Pertama,
kehujahan hadis-hadis dan
perbuatan mereka.
Kedua,
pendapat tentang kemaksuman
mereka dari dosa dan kesalahan.
Berikut ini kami
bentangkan anAlisis kedua masAlah tersebut.
Syi 'ah memandang
hadis-hadis dari Keluarga Suci seperti memandang hadis-hadis Nabi saw. KAlau
mereka bukan nabi atau pel1erima wahyu,
bagaimana hadis-hadis mereka bisa dijadikan hujah?
Jawab:
Syi’ah Imamiyah mengambil ucapan-ucapan mereka karena hAl-hAl berikut:
Pertama,
Nabi saw memerintahkan kaum
Muslim agar berpegang pada ucapan Keluarga Suci itu. Beliau bersabda, "
Aku tinggAlkan untuk kalian tsaqAlain (dua hAl yang berat). Yaitu Kitab
Allah dan keluargaku, ahlulbaitku."
Berpegang pada
hadis-hadis dan ucapan-ucapan mereka merupakan pengamAlan sabda Nabi saw yang
tidak bersumber kecuAli dari Al-Haqq. BarAl1gsiapa yang mel1gambi. TsaqAlayn,
ia telah berpegang pada sesuatu yang akan menyelamatkannya dari kesesatan.
SebAlikl1ya, siapa yang hanya mengambil sAlah satu saja darinya, ia telah
menentang Nabi saw.
Kedua,
kami memandang bahwa Nabi
saw memerintahkan kepada umat ini agar bersAlawat kcpada keluarga Muhammad
dalam salat-salat fardu dan sunnah. Selain itu, kaum Muslim di segAla pen.juru
bumi menyebut keluarga itu setelah menyebut nama Nabi saw dalam tasyahud
mereka. Kaum Muslim juga bersAlawat kepada mereka seperti bersAlawat kepada
Rasulullah saw. Para fukaha, kendati berselisih pendapat tentang redaksi
tasyahud itu, mereka sepakat tentang wajibnya bersAlawat kepada Nabi dan
keluarganya. Tentang hAl itu, Imam asy-Syifi'i berkata:
Hai
ahlulbait Rasulullah,
mencintaimu
kewajiban dari Allah dalam Al-Quran yang diturunkan. Cukuplah keagungan bagi
kalian
siapa
yang tidak bersAlawat padamu tidaklah sah salatnya.
KAlau keluarga itu tidak
memiliki kedudukan dalam memberikan hidayah kepada umat ini dan keharusan
mengikuti mereka, lAlu apa artinya menjadikan sAlawat kepada mereka sebagai
amAlan wajib dalam tasyahud dan mengulang-ulangnya dalam seluruh salat siang
dan mAlam baik fardu maupun sunnah?
Ini menunjukkan adanya
rahasia yang tersembunyi dalam perintah Nabi saw dalam masAlah ini. Yaitu,
bahwa keluarga Muhammad itu memiliki kedudukan khusus dalam urusan-urusan
duniawi dan terlebih lagi dalam kepemimpinan Islam. Ucapan dan pendapat mereka
adalah hujah bagi kaum Muslim. Mereka juga memiliki kedudukan sebagai rujukan
utama ( Al-Marja'iyyah Al-Kubra) setelah wafat RasuluIIah saw baik dalam
masAlah akidah dan syariat maupun dalam masAlah-masAlah lain.
Ketiga,
Rasulullah saw
mengibaratkan Keluarga Suci itu dengan bahtera Nuh as. Barangsiapa yang
menaikinya, ia selamat. Tetapi siapa yang meninggAlkannya, ia tenggelam. Ini
menunjukkan kehujahan ucapan dan perbuatan mereka.
Masih banyak lagi
wasiat-wasiat yang berkenaan dengan keluarga itu yang dinukil dalam kitab-kitab
Shahih dan Musnadl Siapa yang mau mengkajinya, silakan merujuk
para sumber-sumbernya.
Setiap
Muslim mengimani kesahihan wasiat-wasiat ini tidak meragukan kehujahan
ucapan-ucapan keluarga Nabi, baik ia diberitahu tentang sumber-sumber ilmu
mereka maupun tidak diberitahu. AIlah swt berfirman, "Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang Mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. "
(QS. Al-Ahzab [33]: 36)
Di samping itu
semua; kami tunjukkan beberapa sumber ilmu mereka sehingga menjadi jelas bahwa
kehujahan ucapan mereka tidak menunjukkan bahwa mereka itu nabi atau diserahkan
ke- pada urusan pensyariatan.
1. Mendengar dari
Rasulullah saw
Para imam memandang bahwa
hadis-hadis Rasulullah saw itu didengar dari beliau baik tanpa perantara maupun
dengan perantaraan moyang mereka. Oleh karena itu, dalam banyak pe- riwayatan
tampak bahwa Imam ash-shadiq as berkata, "Menyampaikan kepadaku bapakku
dari Zain Al-'Abidin dari bapaknya Al- Husain bin' Ali dari ' Ali Amirul
Mukminin dari Rasulullah saw. Periwayatan semacam ini banyak terdapat dalam
hadis-hadis mereka.
Diriwayatkan dari Imam
ash-Shidiq bahwa ia berkata, "Hadisku adalah hadis bapakku. Hadis bapakku
adalah hadis kakekku." Melalui cara ini mereka menerima banyak hadis dari
Nabi saw dan menyampaikannya tanpa bersandar kepada para rahib dan pendeta,
orang-orang bodoh, atau pribadi-pribadi yang menyembunyikan kemunafikan.
Hadis-hadis seperti itu tidak sedikit jumlahnya.
Sebagian
hadis lain mereka ambil dari kitab Imam Amirul Mukminin yang didiktekan oleh
Rasulullah saw dan dicatat oleh ‘Ali as. Para penulis kitab-kitab Shahih dan
Musnad telah menunjukkan beberapa kitab ini.
‘Ali as memiliki
buku khusus untuk mencatat apa yang didiktekan oleh Rasulullah saw. Para
anggota Keluarga Suci telah menghapAlnya, merujuk padanya tentang banyak topik,
dan me- nukil teks-teksnya tentang ber.bagai pennasAlahan. Al-Hurr Al-'Amili
dalam kitabnya Al-Mawsu'ah Al-Haditsiyyah telah menyebarluaskan
hadis-hadis dari kitab tersebut menurut urutan kitab-kitab fiqih dari bab
bersuci (thaharah) hingga bab diyat (denda). Barang- siapa yang mau
menelaahnya, silakan merujuk pada kitab Al- Mawsu'ah Al-Haditsiyyah.
Imam
ash-Shidiq as, ketika ditanya tentang buku catatan itu, berkata, "Di
dalamnya terdapat seluruh apa yang dibutuhkan manusia. Tidak ada satu
permasAlahan pun melainkan tertulis di dalamnya hingga diyat cakaran."
Kitab ' Ali as
merupakan sumber bagi hadis-hadis Keluarga Suci itu yang mereka warisi satu
persatu, mereka kutip, dan mereka jadikan dAlil kepada para penanya.
Abu Ja'far Al-Baqir
as berkata kepada sAlah seorang sahabatnya-yakni Hamrin bin A'yan-sambil
menunjuk pada sebuah rumah besar, "Hai Hamran, di rumah itu terdapat
lembaran (shahifah) yang panjangnya tujuh puluh hasta berisi catatan
'Ali as dan segAla hAl yang didiktekan oleh Rasulullah saw. KAlau orang-orang
mengangkat kami sebagai pemimpin, niscaya kami menetapkan hukum berdasarkan apa
yang Allah turunkan. Kami tidak akan berpAling dari apa yang terdapat dalam
lembaran ini."
Imam ash-Shadiq as
memperkenAlkan kitab ' Ali as itu dengan mengatakan, "la adalah kitab yang
panjangnya tujuh puluh hasta berisi hAl-hAl yang didiktekan oleh Rasulullah saw
dan' Ali bin Abi ThAlib mencatat dengan tangannya sendiri. Demi Allah, di
dalamnya terdapat semua hAl yang diperlukan manusia hingga hari kiamat, bahkan
diyat cakaran, cambukan, dan setengah cambukan."
Sulaiman bin KhAlid
berkata: Saya pernah mendengar Ibn ‘Abdillah berkata, “Kami memiliki sebuah
lembaran yang panjangnya tujuh puluh hasta berisi hAl-hAl yang didiktekan oleh
Rasulullah saw dan dicatat oleh ‘Ali as dengan tangannya sendiri. Tidak ada
yang hAlAl dan haram melainkan termuat di dalamnya hingga diyat cakaran."
Abu Ja.far Al-Baqir
as berkata kepada seorang sahabatnya, "Hai Jabir, kAlau kami berbicara
kepada kalian menurut pendapat dan hawa nafsu kami, niscaya kami termasuk
orang-orang yang celaka. Melainkan kami berbicara kepada kalian dengan hadis-
hadis yang kami warisi dari Rasulullah saw.”
3. Istinbath drin
Al-Qur'an dan Sunah
Sumber
ketiga bagi ucapan mereka adalah pemahaman dan pengkajian mereka terhadap
Al-Qur'an dan sunah. Dari kcdua sumber utama ini mereka menyimpulkan segAla hAl
yang khusus berkaitan dengan akidah dan syariat secara mengagumkan yang tidak
dapat dilakukan oleh orang lain. Inilah yang menjadikan mereka istimewa di
tengah kaum muslim dalam hAl kesadaran, serta kedalaman ilmu dan pemahaman.
Para imam fiqih di berbagai tempat tunduk kepada mereka. Sehingga Imam Abu
Hanifah setelah berguru kepada Imam ash-shadiq as (selama dua tahun)
mengatakan, "KAlau tidak ada dua tahun itu, tentu binasAlah an-
Nu’man." Sebab, dalam banyak hukum, mereka berdAlil dengan Al-Qur'an dan
sunah. Mereka mengatakan, "Tidak ada sesuatu apa pun melainkan memiliki
landasan dalam Kitab Allah dan sunah Nabi-Nya."
Al-Kulaini
meriwayatkan hadis Melalui sanadnya dari 'Umar bin Qais dari Abu Ja'far as:
Saya pemah mendengar ia berkata, "Sesungguhnya Allah swt tidak membiarkan
sesuatu yang diperlukan umat melainkan Dia menurunkannya dalam Kitab-Nya dan
menjelaskannya kepada Rasul-Nya, serta memberikan batasan bagi setiap sesuatu.
Dia jadikan atasnya dAlil yang menunjukkannya dan menetapkan hukuman bagi siapa
saja melanggar batasan itu."
Al-Kulaini juga meriwayatkan
hadis Melalui sanadnya dari Abu ‘Abdillah as: Saya pernah mendengar ia berkata.
"Tidak ada bagi setiap sesuatu melainkan di dalamnya ada ketentuan dari
Kitab dan sunah”.
La
juga meriwayatkan hadis dari Suma'ah dari Abu Al-Hasan Musa as: Saya bertanya
kepadanya as, " Apakah bagi setiap sesuatu ada ketentuannya dalam Kitab
Allah dan sunah Nabi-Nya, atau Anda berpendapat sendiri dalam masAlah
itu?" Imam as menjawab. "Sama sekAli tidak. Melainkan bagi setiap
sesuatu ada ketentuannya dalam Kitab Allah dan sunah Nabi-Nya."
Barangsiapa
yang memperhatikan hadis-hadis dari mereka, tentu akan mengetahui bagaimana
mereka berdAlil dalam hukum- hukum Ilahi dari kedua sumber itu dengan pemahaman
khusus dan kesadaran istimewa yang mencengangkan orang-orang yang berakAl dan
mengundang ketakjuban. KAlau tidak merasa khawatir akan bertele-tele dalam
pembahasan ini, tentu saya akan menukil contoh-contoh lainnya. Tetapi kami
cukupkan dengan penjelasan dua hAl berikut:
I. Seorang Nasrani
yang menzinai seorang perempuan Muslim dihadirkan di hadapan Al-Mutawakkil.
Al-Mutawakkil hendak menerapkan hukuman Allah kepadanya. Tetapi kemudian orang
Nasrani itu masuk Islam. Maka Yahya bin Aktsam berkata. "Keimanan
menghapus apa yang ada sebelumnya." Tetapi sebagian fukaha berkata,
"la harus dikenai hudud dengan tiga kAli cambukan."Kemudian
Al-Mutawakkil menulis surat kepada Imam Al-Hadi untuk menanyakan hAl itu.
Ketika membaca surat itu, Imam Al-Hadi membAlasnya, "la harus dirajam
hingga mati." Tetapi para fukaha menolak hAl itu. Karenanya Al-Mutawakkil
menulis lagi surat kepada Imam Al-Hadi untuk menanyakan Alasannya. Imam Al-Hadi
membAlasnya. "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. “Maka
tatkAla mereka melihat azab Kami, mereka berkata, 'Kami beriman hanya kepada
Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan
dengan Allah. ' Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkAla
mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku
terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasAlah orang-orang kafir: "
(QS. Al-Mu.min [40]: 84-85)
Maka Al-Mutawakkil
memerintahkan dilaksanakan hukuman tersebut. Kemudian orang Nasrani itu dirajam
hingga mati.
Imam
Al-Hadi as dengan penjelasannya ini menempuh jAlan khusus dalam istinbath hukum
dari AI-Qur'an, sebuah jAlan yang tidak ditempuh para fukaha sezamannya. Mereka
mengatakan bahwa sumber-sumber hukum syariat adalah ayat- ayat yang jelas dalam
lingkup fiqih yang tidak lebih dari 300 ayat. Dengan demikian ia menjelaskan
bentuk khusus kedAlil- an Al-Qur'an. la tidak berpAling kecuAli kepada
orang-orng di rumahnya turun Al-Qur'an. Kemunculan hadis ini bukanlah sesuatu
yang asing, bahkan hAl serupa sering terungkap dalam ucapan-ucapan Imam as dan
lain-lain dari moyangnya hingga anak-cucunya as.
2. Ketika
Al-Mutawakkil keracunan, ia bernazar kepada Allah, bahwa kAlau Allah
menganugerahi kesembuhan ia akan bersedekah dengan harta atau uang yang banyak.
Ketika ia sembuh, pada fukaha berbeda pendapat dalam mengartikan “harta yang
banyak" itu. Al-mutawakkil tidak mendapatkan penyelesaian dari mereka.
Kemudian ia mengutus seseorang kepada Imam ‘Ali Al-Hadi untuk menanyakan hAl
itu. Imam as menjawcib, “Hendaklah ia bersedekah dengan uang 83 dinar."
ketika Al- Mutawakkil menanyakan, dari mana ia memperoleh kesimpulan seperti
itu, Imam as menjawab, “Dari firman Allah SWT, "Sesungguhnya Allah
telah menolong kamu (hai orang-orang yang beriman) di medan peperangan yang
banyak (mawathin katsirah) " (QS. at-Tawbah [9]: 25)
Mawathin
katsirah inilah yang menjadi
pokok permasAlahan. Sebab, Nabi saw melakukan peperangan sebanyak 27 kAli dan
beliau mengirim 55 detasmen, dan peperangan terakhirnya adalah di Hunain.
Al-Mutawakkil dan para fukaha merasa takjub mendengar jawaban ini.
Dalam hadis lain
diriwayatkan bahwa Imam as mengatakan 80, bukan 83. hAl itu karena jumlah medan
perang tempat Allah memberikan pertolongan kepada kaum Muslim hingga saat
turun- nya ayat ini kurang dari 83.
4. Isyraqat Ilahiyyah (Pancaran
Cahaya Ilahi)
Sumber keempat hadis-hadis
mereka dinyatakan sebagai isyraqat itahiyyah. Tidak ada hAlangan bagi
Allah swt untuk mengistimewakan sebagian hamba-Nya dengan ilmu-ilmu khusus yang
manfaatnya kembAli kepada masyarakat umum tanpa menjadikan mereka sebagai nabi
dan tidak termasuk para rasul. Allah swt mengisahkan beberapa orang sahabat
Nabi Musa as, "LAlu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami “
(QS. Al-Kahf [18]: 65) . PadahAl, sahabat nabi Musa itu bukan seorang nabi,
melainkan seorang wAli di antara wAli-wAli Allah swt yang ilmu dan makrifatnya
telah mencapai tingkatan tertentu. Sehingga Musa as-seorang nabi yang diutus
membawa syariat-berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu supaya
kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu ? " (QS. Al-Kahf [18]: 66)
Allah swt juga
mengisahkan sahabat Nabi Sulaiman as-yang bernama Ashif bin Barkhiya-dengan
firman-Nya, "BerkatAlah seorang yang mempunyai ilmu dari Alkitab,
"Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip. "
Maka tatkAla Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun
berkata, “'Ini termasuk karunia Tuhanku " (QS. an-Naml [27]: 40)
Sahabat Nabi
Sulaiman as itu bukan seorang nabi. Akan tetapi, ia memiliki ilmu pengetahuan
dari Alkitab. la tidak memperolehnya dengan cara biasa yang dilakukan anak-anak
dan remaja di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi-perguruan tinggi. Melainkan
ilmu itu merupakan ilmu nahi yang dilimpahkan kepadanya untuk menjernihkan hati
dan ruhnya. Oleh karena itu, ilmunya dinisbatkan kepada Tuhannya dan ia
berkata, Ini adalah karunia dari Tuhanku “.
Banyak riwayat yang
menunjukkan bahwa di tengah umat Islam-seperti umat-umat sebelumnya-ada
orang-orang ikhlas yang dia.jak bicara (oleh Allah) dan dilimpahi
hakikat-hakikat Alam gaib wAlaupun mereka bukan nabi. Jika Anda ragu dalam hAl
itu, silakan merujuk pada hadis-hadis yang diriwayatkan Ahlusunah tentang
masAlah ini.
AI-Bukhari dalam kitab Shahih-nya
meriwayatkan: Di tengah kaum Bani Israil sebelum kami terdapat orang-orang
yang diajak bicara ( oleh Allah) padahAl mereka bukan nabi. Jika di tengah
umatku ada orang seperti mereka, 'Umar-lah orangnya."
Al-QasthAlani berkata,
"Sabdanya ‘jika ada bukanlah karena keraguan, melainkan sebagai penegasan
seperti ucapan Anda, 'jika aku punya teman, si fulanlah orangnya “Sehingga yang
dimaksud adalah mengistimewakannya dengan persahabatan yang sempurna tanpa
menafikan sahabat yang lain."
Jika telah terbukti
bahwa orang seperti ditemukan pada selain umat yang diberi keutamaan ini, tentu
keberadaannya dalam umat yang utama ini adalah lebih pantas.
Al-Bukhari juga di
dalam Shahih-nya, setelah meriwayatkan hadis tentang gua (Hira) ,
meriwayatkan dari Abu Hurairah sebuah hadis marfu’. Di tengah umat-umat
sebelum kamu terdapat orang- orang yang diberi berita (oleh Allah). Jika di
tengah umatku ada orang seperti mereka, tentu 'Umar bin Al-Khaththab orangnya.
Al-QasthAlani dalam Syarh-nya
berkata, "Penulis itu berkata, 'Pada lidah mereka mengAlir kebenaran
yang bukan kenabian."
AI-Khithabi
berkata, "Sesuatu tersirat dalam hatinya. Kemudian ia mengira dan benarlah
perkiraannya. Sesuatu tersirat dalam pikirannya, sesuatu itu pun terjadi. Itu
merupakan derajat (manzilah) tertinggi di antara derajat-derajat para
wAli."
Muslim dalam Shahih-nya
bab Fadha'il 'Umar, meriwayatkan hadis dari ' Aisyah dari Nabi saw:
"Di tengah umat-umat sebelummu terdapat orang-orang yang diberi berita
(oleh Allah). Jika di tengah umatku ada orang seperti mereka, tentu ia adalah
'Umar bin Al-Khaththab."
Ibn
Al-Jawzi meriwayatkannya dalam Shifah ash-Shafwah, kemudian ia berkata,
"Hadis ini muttafaq 'Alaih ( disepakati oleh semua perawi
hadis)."
Abu Ja'far
ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Musykil Al-Atsar Melalui banyak sanad
dari 'Aisyah dan Abu Hurairah. Ia juga meriwayatkan bacaan Ibn 'Abbas: Dan
tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul, tidak pula seorang nabi dan
pembawa berita. Ia berkata, "Makna firman-nya: muhaddatsun adalah mulhamun
(mereka yang diberi ilham)." Karenanya 'Umar berkata dengan sesuatu
yang telah diilhamkan kepadanya.
An-Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim berkata: Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud
muhaddatsun. Ibn Wahb berkata, “Artinya adalah mulhamun (mereka yang
diberi ilham)." Ada juga yang berpendapat bahwa kata itu artinya mereka
yang benar apabila mengira-ngira. Seakan-akan mereka itu diberi suatu berita
lAlu mengatakannya. Ada pula yang berpendapat bahwa kata itu berarti mereka
yang diajak bicara oleh para mAlaikat. Dalam sebuah riwayat disebutkan mukAllamun
(mereka yang, diajak bicara). AI-Bukhari berkata, “Kebenaran mengAlir pada
lidah mereka. HAl itu menegaskan karamah para wAli."
AI-Hafizh
Muhibbuddin ath-Thabari dalam ar-Riyadh berkata, “Makna muhaddatsun-tentu
Allah Maha Mengetahui-adalah mereka yang diilhami kebenaran. Boleh
mengartikannya secara lahiriah, yaitu mereka yang diajak bicara oleh para
mAlaikat tetapi bukan wahyu, melainkan sesuatu yang biasa disebut perkataan
(hadis). Itu merupakan keutamaan yang amat besar."
AI-Qurthubi berkata,
" Muhaddatsun adalah ism maf’ul bentuk jamak dari muhaddats,
yakni yang diberi ilham atau yang benar perkiraannya. Ke dalam dirinya
diberikan sesuatu berupa pengilhaman dan penyingkapan dari Al~mAla'Al-a’la (Alam
arwah). Atau, orang yang tanpa sengaja mengAlirkan kebenaran pada lisannya.
Atau, orang yang diajak bicara oleh para mAlaikat tetapi bukan nabi. Atau,
orang yang apabila berpendapat atau memperkirakan sesuatu, seakan-akan hAll itu
telah diberitahukan kepadanya dan ditempatkan ke dalam hatinya dari Alam
mAlakut. Kemudian muncul dalam bentuk yang sebenarnya. Ini merupakan karamah
yang dengannya AIlah memuliakan siapa saja di antara hamba- hamba-Nya yang Dia
kehendaki. Ini merupakan derajat ( manzilah) yang tinggi di antara
derajat-derajat para wAli."
Jika di tengah
umatku ada orang seperti mereka, tentu ‘Umar orangnya, seakan-akan beliau
menjadikannya sandingan yang terputus. Sekan-akan ia seorang nabi. Oleh karena
itu, beliau menyebutkannya dengan menggunakan kata in (jika) seakan-akan
menunjukkan keraguan. AI-Qadhi berkata, “PertAlian seperti ini dalam dilAlah
adalah untuk menegaskan dan mengkhususkan, seperti ucapan Anda, Jika aku punya
teman, tentu Zaid orangnya'. PadahAl, orang yang mengatakannya tidak bermaksud
meragukan persahabatannya, melainkan untuk menunjukkan kelebihan bahwa
persahabatan itu dikhusllskan kepadanya. tidak diberikan kepada orang lain.
Jika di tengah
umat-umat terdahulu terdapat orang-orang seperti itu, mengapa di tengah umat
Islam tidak terdapat orang-orang yang diliputi pertolongan Ilahi. Kemudian
mereka menguasai Al-Qur.an dan sunah secara sempurna. Mereka memenuhi segAla
kebutuhan umat dalam bidang akidah dan syariat.
Karenanya, orang
yang mengatakan bahwa limpahan karunia seperti ini menyerupai kenabian dan
risAlah, ia telah mencampuradukkan yang umum dengan yang khusus. Kenabian
adalah kedudukan dari Allah untuk menerima wahyu, ia mendengar firman Allah dan
melihat utusan pemba\va wahyu. la bisa pembawa syariat tersendiri atau bisa
juga penerus syariat sebelumnya.
Imam
adalah penyimpan ilmu-ilmu kenabian dalam segAla hAl yang diperlukan umat tanpa
menerima wahyu, mendengar firmnan Allah swt, atau melihat mAlaikat pembawa
wahyu. Dalam menguasai ilmu-ilmu kenabian, ia memiliki banyak cara seperti yang
telah kami tunjukkan.
Adalah keliru jika
menyebut setiap orang yang diberi ilham oleh Allah swt atau diajak bicara oleh
mAlaikat sebagai nabi dan rasul. PadahAl Al-Qur'an memperkenAlkan orang-orang
yang diberi ilham dan melihat mAlaikat padahAl mereka tidak ada kaitannya
dengan kenabian dalam segAla tindakannya.
Tentang ibunda Nabi
Musa as, Allah swt berfirman, "Dan kami ilhamkan kepada ibunda Musa,
'Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke
sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati,
karena sesungguhnya Kami akan mengembAlikannya kepadamu, dan menjadikannya
(sAlah seorang) daripara rasul. ". (QS. Al-Qashash [28]: 7)
Apakah karena
pengilhaman ini ibunda Nabi Musa as seorang nabi?
Tentang Maryam
Al-batul yang diajak bicara oleh para maJaikat padahAl ia bukan seorang nabi,
Allah swt berfirman, "Dan ingat- lah ketika mAlaikat (Jibril) berkata,
'Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu atas segAla perempuan di dunia
(yang semasa dengan kamu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu " (QS.
Ali .Imran [3]: 42-43)
Maryam mencapai suatu
tempat di mana ia melihat utusan Tuhannya yang menjelma kepadanya dalam rupa
manusia. Allah SWT berfirman, "Maka ia mengadakan tabir (yang
melindunginya) darii mereka, lAlu kami mengutus ruh Kami kepadanya. Maka ia
men-jelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sem,puma. Maryam berkata,
sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Mahra Pemurah jika
kamu seorang yang bertakwa. la (jibril) berkata,’sesungguhnya aku ini hanyAlah
seorang utusan Tuhanmu untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci. ' Maryam
berkata, 'Bagaimana akan ada 'bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pemah
seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorangpezina. 'Jibril
/ber'kata, 'Demikianlah Tuhanmu berfirman, "HAl itu adalah mudah bagi-Ku,
dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat
dari Kami, dan hAl itu adalah suatu perkara yang suddh diputuskan. “ (QS.
Maryam [19]: 17-21)
Kita lihat bahwa
Maryam Al-batul melihat mAlaikat itu dan mendengar ucapannya, tetapi ia tidak
menjadi seorang nabi dan tidak pula menjadi seorang rasul. Barangsiapa yang
mengkaji AL- Qur.an dan sunah akan mengetahui para abdAl yang diliputi
pertolongan Tuhan mengetahui rahasia syariat dan ajaran-ajaran agama yang
tersembunyi dengan karunia dari Allah swt tanpa menjadikan mereka sebagai nabi.
Pendapat tentang
kemaksuman imam dua belas menjadi wahana bagi mereka untuk mengatakan bahwa
mereka adalah para nabi. Mereka mengatakan bahwa kemaksuman itu sama dengan
kenabian. Mereka lupa bahwa kemaksuman itu lebih luas pengertiannya daripada
kenabian, Berikut ini penjelasannya.
'lshmah
adalah kekuatan yang
mencegah pemiliknya jatuh ke dalam kemaksiatan dan kekeliruan. Sehingga ia
tidak meninggAlkan yang wajib dan tidak mengerjakan yang haram dengan memiliki
kemampuan untuk meninggAlkan dan mengerjakannya. Jika tidak memiliki kemampuan
untuk meninggAlkan dan mengerjakannya, ia tidak berhak mendapatkan pujian dan
pahAla. Jika mau, Anda dapat mengatakan bahwa orang yang maksum itu iAlah orang
yang telah mencapati suatu tingkat ketakwaan yang tidak memungkinkan dirinya
dikuasai oleh syahwat dan hawa nafsu. Dan telah mencapai pengetahuan tentang
syariat dan hukum- hukumnya suatu martabat yang menjadikannya tidak mungkin
melakukan kesalahan lagi untuk selama-lamanya. Kemaksuman itu bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh kaum Syi’ah.
Melainkan terhadap kebenaran keluarga yang suci itu mereka berdAlil dengan
Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. DAlil-dAlil AI-Qur’an sebagai berikut.
Allah
swt berfirman, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai ahlulbait, dan membersihkanmu sebersih-bersihnya" (QS.
Al-Ahzab [33]: 33). Kotoran (ar-rijs) di sini adalah kotoran maknawi,
yang utamanya adalah kefasikan.
Adapun
dAlil-diAlilnya dari sunah, kami sebutkan sebagian saja sebagai berikut:
I.
Rasulullah saw bersabda, “ ’Ali bersama kebenardn dan kebenaran bersama 'Ali.
la berputar bersamamya ke mana saja ia berputar." Barangsiapa yang selAlu
bersama kebenaran, mustahil ia berbuat kemaksiatan atau berbuat kesalahan.
2.
Tentang keluarga suci itu, Rasulullah saw bersabda, “Aku tinggAlkan bagi kalian
tsaqAlain (dua beban yang berat), yaitu Kitab Allah dan keluargaklu.
Jika kalian berpegang padanya, kalian tidak akan tersesat untuk
selama-lamanya." Karena keluarga suci itu merupakan sandingan Al-Qur'an
maka mereka itu maksum seperti AL-Qur'an. Masing-masing dari keduanya tidak
bertentangan dengan yang lainnya. Pendapat tentang kemaksuman keluarga suci itu
tidak lebih menakjubkan dari- pada pendapat bahwa seluruh sahabat itu adil.
Saya kira tidak
seorang pun meragukan apa yang saya jelaskan. Bahkan merupakan keharusan
mengenAl Ahlul baitnya Melalui nas-nas dari Rasulullah saw karenanya kami
bertanya, apakah keluarga suci dan ahlulbait itu?
Saya
kira, orang yang membaca hadis dan sejarah tidak akan ragu bahwa yang dimaksud
dengan keluarga suci ( ‘itrah) dan Ahlul bait adalah sekelompok tertentu
dari keluarganya. untuk mengetahui hal itu, cukuplah merujuk pada hadis-hadis
yang telah dihimpun oleh Ibn Al-Atsir dalam kitabnya Jami' ash- Shahah. Dari
sejumlah besar hadis itu, kami cukupkan dengan mengutip beberapa di antaranya.
At-Tarmidzi meriwayatkan
hadis dari Sa'ad bin Abi Waqqash: Ketika turun ayat, "Marilah kita
memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri
kamu, diri kami dan diri kamu “." (QS. Ali 'Imran [3]: 61). Rasulullah
saw memanggil ' Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Kemudian beliau berkata,
"Ya Allah, mereka adalah keluargaku."
La
juga meriwayatkan hadis dari Ummu Salamah ra, "Ayat ini turun di rumahku, "Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul bait, dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya. " (QS. Al-Ahzab [33]: 33)
Selanjutnya,
Ummu Salamah berkata, "Ketika itu aku sedang duduk di depan pintu.
Kemudian aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, bukankah aku juga termasuk ke dalam
ahlulbait?' Beliau menjawab, 'Engkau berada dalam kebaikan. Engkau termasuk
istri-istri Rasulullah."' Kemudian perawi itu berkata, "Di dalam
rumah itu ada Rasulullah, ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Beliau menutup
mereka dengan jubahnya ( Al-kisa ) . Lalu beliau berdoa, "Ya Allah,
mereka adalah ahlulbaitku. Karenanya, hilangkanlah kotoran dari mereka dan
sucikanlah mereka sesuci-sucinya."
la juga meriwayatkan
hadis dari Anas bin Malik: Rasulullah lewat di depan pintu rumah Fathimah
apabila pergi hendak salat ketika turun ayat ini kira-kira selama enam bulan.
Ke- mudian beliau berkata, "Salatlah, hai ahlulbait. 'Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul bait, dan
membersihkankanmu sebersih-bersihnya”.
Muslim
meriwayatkan hadis dari Zaid bin Arqam: yazid bin hayyan berkata, " Aku,
Hushain bin Sabrah, dan 'Umar bin Muslim pergi ke rumah Zaid bin Arqam. Ketika
kamu duduk, Hushain berkata kepadanya, 'Wahai Zaid, Anda telah memperoleh
kebaikan yang banyak.Anda pemah melihat Rasulullah saw, mendengar hadisnya,
berperang bersamanya, dan salat di belakangnya. Wahai Zaid, Anda telah
memperoleh kebaikan yang banyak. Wahai Zaid, ceritakanlah kepada kami apa yang
pemah Anda dengar dari Rasulullah saw."
Zaid menjawab,
"Wahai putra saudaraku, demi Allah, usiaku telah sangat tua dan yang
dijanjikan kepadaku hampir datang. Karenanya, apa yang aku beritahukan kepada
kalian, ambillah. Sedangkan apa yang tidak aku beritahukan kepada kalian,
janganlah kalian membebani aku dengannya." Selanjutnya, ia berkata,
"pada suatu hari Rasulullah saw berdiri di tengah kami untuk menyampaikan
pidatonya di sebuah telaga bernama Khum, terletak di antara Makkah dan Madinah.
Beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian memberi nasihat dan berzikir.
Kemudian beliau bersabda,
‘Amma ba'd. Wahai
manusia, ketahuilah bahwa aku adalah manusia. Sebentar lagi akan datang utusan
Tuhanku, dan aku akan menyambutnya, aku tinggalkan kepada kalian tsaqalain. Yang
pertama adalah Kitab Allah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah
Kitab Allah itu dan berpeganglah padanya-beliau memberikan dorongan untuk
membaca dan mencintai Kitab Allah, dan yang kedua adalah ahlulbaitku. Aku
ingatkan kalian kepada Allah Melalui ahlul baitku. Aku ingatkan kalian kepada
Allah Melalui ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah Melalui ahlul
baitku,”
Kemudian kami bertanya,
"Siapakah ahlulbaitnya? Apakah istri-istrinya?. la menjawab, "Demi
Allah, perempl1an (istri) itu ada bersama laki-laki (suami) hanya beberapa saat
saja. Kemudian mungkin laki-laki itu menceraikannya dan mengembalikannya kepada
bapak dan keluarganya. Sedangkan ahlulbaitnya adalah nasab dan keluarganya yang
diharamkan menerima sedekah sepeninggalnya”.
3. Para ahli hadis
meriwayatkan hadis dari Nabi saw: "Perumpamaan Ahlul baitku di tengah
umatku adalah seperti bahtera nabi nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan
selamat dan siapa yang meninggalkannya akan tenggelam”.
Beliau saw
mengumpamakan ahlulbaitnya dengan bahtera Nuh as, bahwa siapa yang berlindung
kepada rnereka dalam urusan agama lalu mengambil ushul dan furu’nya dari
mer-eka, ia akan selamat dari siksaan api neraka. Sebaliknya, siapa yang
berpaling dari mereka, ia seperti orang yang mencari perlindungan ke atas
gunung pada saat terjadi banjir besar untuk melindunginya dari keputusan Allah.
Hanya saja itu tenggelam di dalam air, sedangkan ini dalam api yang
menyala-nyala.
Jika demikian
kedudukan para ulama ahaulbait, ke mana lagi kalian berpaling?
Ibn Hajar dalam Shawa'iq-nya
berkata, "Alasan mercka diumpamakan.dengan bahtera itu karena siapa
yang mencintai dan memuliakan mereka sebagai rasa syukur akan nikmat ke-
muliaan mereka dan mengambil petunjuk dari ulama mereka, ia akan selamat dari
kegelapan penyimpangan. Barangsiapa yang berpAling dari mereka, ia akan tenggelam
dalam samu- dera kekufuran terhadap nikmat dan binasa di tengah padang
kelAliman."
Di antara yang menunjukkan
kemaksuman imam adalah kemutlakan firman Allah SWT, “ taatilah Allah dan taatilah
Rasulnya, dan Ulil amri di antara kamu. " ( QS. an-Nisa' [4]:59)
Argumentasi itu
didasarkan pada dua tonggak berikut:
1. Allah SWT memerintahkan
ketaatan kepada ulil amri secara mutlak, yaitu dalam semua zaman dan tempat,
serta dalam segala keadaan dan karakteristik. Hal itu tidak disyaratkan dengan
kewajiban melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan mereka akan
sesuatu, seperti yang dituntut dalam ayat tersebut.
2. Adalah merupakan
kepastian bahwa Allah SWT tidak meridhai kekafiran dan kemaksiatan bagi hamba-hamba-Nya:
"... dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-hamba-nya" (
QS. az- Zumar [39] : 7) tanpa membedakan antara hamba itu melakukannya sebelum
ada perintah atau larangan dan melakukannya setelah ada perintah dan larangan
dari ulil amri. Mengkompromikan kedua hal ini adalah wajibnya ketaatan kepada
ulil amri secara mutlak dan haram menaati mereka apabila mereka memerintahkan
kemasiatan. Ulil amri yang wajib ditaati secara mutlak itu harus memiliki
integritas dan pertolongan llahi yang mencegah mereka memerintahkan kemaksiatan
dan melarang ketalatan. Ini merupakan ungkapan lain bahwa mereka harus maksum.
Jika tidak, mereka tidak mendapat pertolongan itu padahal benar ketaatan kepada
mereka secara mutlak dan benar pula perintah ketaatan itu tanpa ikatan dan
syarat apa pun. Dari kemutlakan perintah ketaatan itu akan menyingkapkan bahwa
syarat itu mencakup suatu karakteristik yang mencegahnya dari perintah
ketidaktaatan.
Ayat ini menunjukkan
kemaksuman orang-orang yang diperintahkan Allah untuk ditaati dan tidak
menentukan substansi orang yang maksum yang wajib ditaati itu. Akan tetapi,
umat sepakat tentang tidak adanya kemaksuman pada selain Nabi dan para imam dua
belas. Tidak dapat dipungkiri, kesesuaian substansi orang maksum itu dengan
mereka adalah agar ayat itu tidak luput dari substansinya.
Di antara
orang-orang yang menjelaskan kedalilan ayat itu pada terhadap kemaksuman adalah
Imam ar-Razi dalam tafsimya. Sebaiknya saya mengutip teksnya sehingga mereka
yang merindukan kebenaran dapat meyakininya.
Allah SWT
memerintahkan ketaatan kepada ulil amri secara pasti dalam ayat.itu. Orang yang
Allah perintahkan untuk ditaati secara pasti itu harus seorang yang maksum atau
terpelihara dari kesalahan. Sebab, kalau ia tidak maksum dari kesalahan,
kemungkinan akan melakukan kesalahan, lalu Allah memerintahkan untuk
mengikutinya, hal itu berarti Allah memerintah untuk melakukan kesalahan itu.
Kesalahan dalam kapasitasnya sebagai kesalahan adalah sesuatu yang dilarang.
Hal ini menyebabkan berkumpulnya perintah dan larangan dalam satu perbuatan dan
satu tingkatan. Tetapi hal itu mustahil. Karenanya ditegaskan bahwa Allah SWT
memerintahkan ketaatan kepada ulil amri secara pasti, dan ditegaskan bahwa
setiap orang yang diperintahkan Allah untuk ditaati secara pasti haruslah
seorang yang maksum dari kesalahan karena itu, sudah pasti ditegaskan bahwa
ulil amri yang disebutkan dalam ayat itu haruslah seorang yang maksum."