Masalah
Kesembilan:
Sumpah
Talak
Ketahuilah bahwa talak ghayr
munjiz terbagi ke dalam dua bagian berikut:
I. Talak mu'allaq
2. Sumpah talak (hilf
bi ath-thaaiq)
Keduanya merupakan
jenis ghayr munjiz. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa kalau yang
dimaksud dengan ta'liq (talak mu'allaq) itu adalah dorongan atau
larangan untuk melakukan sesuatu. Jenis ini dinamakan sumpah talak (hilf bi
ath-thalaq), seperti suami yang mengatakan kepada istrinya, "Jika
engkau masuk rumah maka engkau ditalak" atau "Jika engkau tidak masuk
ke dalam rumah, engkau ditalak." Atau, hal itu dimaksudkan untuk
membenarkan orang yang membawa berita, seperti ucapannya, "Engkau ditalak
jika Zaid tidak datang" atau "Istriku ditalak kalau di dalam tasku
terdapat barang haram".
Adapun
jika terjadi ta'liq tetapi tidak ada dorongan atau ada larangan untuk
melakukan perbuatan, dan tidak pula ada peringatan untuk mempercayai orang yang
membawa berita, hal itu dinamakan talak mu'allaq. Contohnya ucapan:
"Engkau ditalak jika matahari terbit"; "Engkau ditalak jika
orang yang berhaji telah datang"; atau "Engkau ditalak jika sultan
tidak datang". Maka itu merupakan syarat murni, bukan sumpah, karena
hakikat al-hilf adalah sumpah.
Ta'liq
talak berdasarkan syarat
dinamakan hilf tajawwuz karena bergabungnya hilf dalam arti yang
sudah dikenal, yaitu dorongan, larangan, atau penegasan berita, seperti ucapan:
"Demi Allah, sungguh aku tidak akan bekerja"; "Tidak, demi
Allah, aku tidak akan bekerja"; "Demi Allah, aku telah bekerja";
atau "Demi Allah, aku tidak bekerja". Jika talak itu tidak mengandung
pengertian ini maka ia tidak dinamakan hilf
As-Sabki berkata: Talak mu'allaq itu ada yang
dikaitkan dengan sumpah dan ada pula yang dikaitkan dengan bukan sumpah. Talak
mu’allaq yang tidak dikaitkan dengan bukan sumpah adalah seperti ucapan:
"Jika tiba awal bulan maka engkau ditalak" atau "Jika engkau
memberikan kepadaku seribu maka engkau ditalak".
Sedangkan talak mu'allaq yang dikaitkan dengan sumpah adalah seperti: "Jika engkau berkata dengan si fulan maka engkau ditalak" atau "Jika engkau masuk ke dalam rumah maka engkau ditalak". Inilah yang dimaksud dengan dorongan, larangan, atau pembenaran. Apabila talak itu dikaitkan dengan aspek ini, lalu apa yang disyaratkan itu terjadi, maka jatuhlah talak.
Inilah mazhab
mayoritas Ahlusunah kecuali mereka yang menyimpang, dan akan kami tunjukkan.
Mazhab-mazhab yang menyimpang itu membolehkan talak tanpa hilf baik yang
ditunjuk kan dengan lafaz, tulisan, terang-terangan maupun sindiran. Misalnya,
"Engkau haram bagiku"; "Engkau telah dibebaskan";
"Pergilah, kemudian nikahlah (dengan orang lain)"; "Talimu di
atas bahumu"; "Pergilah kepada keluargamu"; dan redaksi-redaksi
lainnya.
Yang
penting disebutkan adalah bahwa mereka telah memenuhi berlembar-lembar buku dengan
pembahasan tentang macam- macam talak mu'allaq, terutama jenis yang khusus ini.
Yakni, sumpah talak. Mereka mengemukakan pendapat-penadapat dan fatwa-fatwa
yang tidak ada penjelasannya sedikit pun dari Al- Qur'an dan sunah. Orang yang
merujuknya pasti mengetahui bahwa talak bagi mereka merupakan permainan.
Laki-Iaki mempermainkannya dengan berbagai bentuk.
Jika
Anda merasa ragu terhadap apa yang saya kemukakan ini, silakan membaca dua
kitab yang terkenal:
I.
Al-Mughni yang ditulis oleh Muhammad bin 'Abdullah bin Ahmad bin
Muhammad bin Qudamah (wafat tahun 620 H.). Kitab ini merupakan kitab fiqih yang
paling lengkap dalam mazhab Hanbali dengan tarjih terhadap pendapat-pendapatnya
dengan dalil yang memuaskan
mereka. la telah mengkhususkan 45 halaman dari kitabnya dengan memuat
redaksi-redaksi seperti ini.
2. Al-Fiqh ‘Ala
al-Madzahib al-Arba'ah yang ditulis oleh Syekh ‘Abdulr Rahman al-Jaziri. la
telah menulisnya untuk menjelaskan fiqih dengan metode yang terbaru daripada
yang sudah ada. Di samping itu, ia telah mengkhususkan beberapa halaman dari
kitabnya ini dengan memuat bentuk-bentuk talak. Berikut ini beberapa contoh di
antaranya sehingga Anda dapat mengetahui kebenaran apa yang kami kemukakan.
Kami akan mengutipnya dari kitab pertama.
a. Jika seorang
laki-Iaki berkata kepada dua orang istrinya, "Setiap kali aku bersumpah
untuk menceraikan kamu berdua maka berarti kalian telah ditalak." Kemudian
ia mengulang kalimat itu hingga dua kali. Maka kepada masing- masing istrinya
itu telah jatuh talak tiga.
b. Jika seorang
laki-laki berkata kepada salah seorang di antara kedua istrinya, "Jika aku
bersumpah untuk menceraikanmlu maka kepada madumu itu jatuh talak."
Seperti itu pula ia mengatakan kepada istrinya yang lain.
c.
Jika seorang laki-laki memiliki tiga orang istri, lalu ia berkata, "Jika
aku bersumpah untuk menceraikan Zainab maka kepada 'Umarah jatuh talak.'!
Kemudian ia berkata, "Jika aku bersumpah untuk menceraikan 'Umarah maka
kepada Hafshah jatuh talak." Kemudian ia berkata, "Jika aku bersumpah
untuk menceraikan Hafshah maka kepada Zainab jatuh talak." Jika ia
menempatkan 'Umarah di posisi Zainab, maka yang tertalak adalah Hafsah.
Kemudian apabila ia mengulangnya setelah itu maka kepada salah seorang di
antara mereka jatuh talak.
d.
Jika seorang laki-laki mensyaratkan talak itu pada beberapa sifat, lalu
sifat-sifat itu berkumpul pada satu hal maka setiap sifat jatuh pada apa yang
disyaratkan. Seperti itu pula kalau sifat-sifat itu didapatkan berlainan.
Demikian pula pembebasan perbudakan (al-'itaq). Kalau ia mengatakan
kepada istrinya: "Jika engkau berkata kepada seorang laki-laki maka engkau
ditalak"; "Jika engkau berkata dengan laki-laki yang tinggi maka
engkau ditalak"; dan .Jika engkau berkata dengan laki-laki yang hitam maka
engkau ditalak". Kemudian pe- rempuan itu berkata dengan laki-iaki yang
hitam dan tinggi maka jatuhlah kepadanya talak tiga.
Masih
banyak lagi bentuk-bentuk talak yang jika dikutip semuanya hanya akan
membuang-buang waktu dan kertas.
Kebalikan
dari mereka, para imam ahlulbait tidak menyebutkan untuk talak kecuali satu
redaksi saja. Bakir bin A'yun meriwayatkan hadis dari al-Baqir as atau
ash-Shadiq as: "Dalam talak itu hanya berlaku ucapan seorang laki-laki
kepada istrinya, 'Engkau ditalak.' Hal itu disaksikan oleh dua orang saksi yang
adil. Segala sesuatu di luar itu hanyalah permainan belaka."
Meskipun yang
berlaku di kalangan Ahlusunah adalah jatuhnya talak dengan sumpah, kita
menemukan di antara para sahabat dan tabi'in terdapat orang-orang yang
mengingkari hal tersebut dan memandangnya sebagai kebatilan. Mereka diikuti
para ulama kontemporer dari kalangan Zhahiriyyun, seperti Ibn Hazm dan Ibn
Tamiyah dari mazhab Hanbali.
Ibn
Hazm berkata: Yang sah di kalangan ulama salaf adalah kebalikan dari itu
(yakni,jatuhnya talak dengan sumpah).
I.
Kami meriwayatkan hadis melalui Hammad bin Salamah dari al-Hasan: Seorang
laki-laki menikahi seorang perempuan. Sementara. itu, ia hendak bepergian jauh.
Maka keluarga istrinya mengambil perempuan itu dan memaksa: laki-laki itu
mengatakan bahwa jatuh talak kepadanya jika ia tidak mengirimkan nafkah hingga
jangka waktu satu bulan. Tibalah jangka waktu yang disebutkan itu, tetapi
laki-laki tersebut tidak mengirimkan nafkah sedikit pun. Ketika laki-laki itu
datang, mereka mengadukannya kepada ‘Ali as. Maka ' Ali as berkata,
"Kalian telah mengancamnya hingga ia menjadikan istrinya tertalak. Kini
kembalikanlah perempuan kepada suaminya."
2. Kami meriwayatkan hadis
melalui .Abdur Razzaq dari Ibn Juraij dari 'Atha. tentang seorang laki-laki
yang mengatakan kepada istrinya, "Engkau ditalak jika aku tidak memadumu
lagi." .Jika laki-laki itu tidak kawin lagi hingga ia atau istrinya
meninggal, mereka dapat saling mewarisi. Hukum tentang kewarisan itu merupakan
tanda tetap berlakunya hubungan tersebut.
3. Melalui ' Abdur
Razzaq dari Sufyan ats- Tsawri dari Ghailan bin Jami' dari al-Hakam bin
'Utaibah: Tentang Seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, “Engkau
ditalak jika aku tidak melakukan begini." Kemudian salah seorang di antara
mereka meninggal dunia sebelum perbuatan itu terlaksana. Maka keduanya tetap
saling mewarisi.
Tidak
dipandangnya talak-tanpa paksaan--0leh Imam' Ali as dan tetap berlakunya hukum
waris dalam dua. riwayat terakhir menunjukkan tidak dianggapnya sumpah dalam
talak.
4.
Melalui ' Abdur Razzaq dari Ibn Juraij: Mengabarkan kepadaku Ibn Thawus dari
ayahnya bahwa ia pemah berkata, " Hilf bi ath- thalaq (sumpah
talak) tidak berarti apa-apa." Saya bertanya, "Bukankah ia
memandangnya sebagai sumpah?" la menjawab, “Saya tidak tahu."
Setelah mengutip
riwayat-riwayat tersebut, Ibn Hazm mengatakan, “Mereka itu ‘A1i bin Abi Thalib,
Syuraih, dan Thawus) tidak menetapkan talak bagi orang yang bersumpah dalam
talak, lalu melanggarnya. la tidak mengetahui, apakah dalam hal itu terdapat
sahabat yang memiliki pendapat yang berlainan dengan pendapat ‘Ali. Kemudian ia
berkata, “Dari mana Anda membolehkan talak dengan satu sifat, tetapi Anda tidak
membolehkan pemikahan dengan satu sifat dan rujuk dengan satu sifat, seperti
orang yang mengatakan (kepada istrinya) , “Jika aku memasuki rumah maka istriku
yang telah dicerai itu telah aku rujuk." Atau, ia mengatakan, “Aku telah
menikahimu." Perempuan itu pun mengatakan ka1imat yang sama. Wa1i mereka
juga mengatakan kalimat yang sama. Tidak ada jalan bagi mereka untuk berpisah.
Ibn Taimiyah pemah
ditanya tentang sumpah dalam talak. Kemudian ia mengeluarkan fatwa bahwa tidak
jatuh talak dengan sumpah tersebut. Akan tetapi, ia berkata, "Wajib
dikenakan denda (kafarat) apabila ia belum menceraikannya." Selanjutnya ia
mengatakan bahwa ada tiga pendapat dalam masalah itu di kalangan ulama salaf
dan khalaf:
1. Jatuh ta1ak apabila ia
melanggar sumpahnya. Inilah yang masyhur di kalangan mayoritas ulama fiqih
kontemporer sehingga sebagian di antara mereka meyakini hal itu sebagai ijmak.
Oleh karena itu, kebanyakan mereka tidak lagi menyebutkan hujah terhadap hal
itu. Padahal, hujah mereka terhadap hal itu adalah lemah. Yaitu, jika
diharuskannya satu hal karena sesuatu yang wajib maka wajibnya hal itu karena
diwajibkannya sesuatu.
2. Tidak jatuh talak
dan ia tidak diwajibkan membayar kafarat. Ini adalah mazhab Dawud dan
sahabat-sahabatnya, serta beberapa kelompok Syi'ah. Ibn Taimiyah menyebutkan
dalil- dalilnya dari sekelompok ulama salaf. Bahkan pendapat ini dinukil secara
jelas dari sekelompok ulama, seperti Ja 'far al- Baqir as Dalam sebuah riwayat
disebutkan Ja 'far bin Muhammad. Prinsip mereka, bahwa sumpah talak, 'itaq. dan
zihar adalah seperti sumpah dengan makhluk-makhluk yang lain.
3. Pendapat rang
paling sahih adalah yang ditunjukkan Al-Qur'an dan sunah. Yang jelas, ini
merupakan salah satu bentuk dari sumpah-sumpah kaum Muslim. Maka dalam sumpah
tersebut berlaku hal-hal yang berlaku dalam sumpah-sumpah kaum Muslim. Yaitu,
dikenai kafarat ketika teljadi pe1anggaran kecuali jika orang yang bersumpah
itu memilih untuk menjatuhkan talak. Maka ia bo1eh menjatuhkan talak tersebut,
dan tidak dikenai kafarat. Ini adalah pendapat sekelompok ulama salaf dan
khalaf, seperti Thawus dan lain-lain. Hal itu merupakan tuntutan dalil yang
dinukil dari para sahabat Rasulullah saw dalam masalah ini. Hal itu pula yang
difatwakan sebagian besar ulama mazhab Maliki dan lain-lain. Sehingga ada yang
mengatakan. "Di sebagian besar negara Magribi (Afrika Utara) para ulama
mazhab Maliki dan lain-lain memfatwakan demi- kian”. Itulah yang ditunjukkan
nas-nas dari Ahmad bin Hanbal dan prinsip-prinsip di luar tema ini.
Terdapat
beberapa hal berikut yang perlu dibahas:
Pertama,
jatuhnya talak dengan
ungkapan itu sendiri.
Kedua,
keharusan membayar kafarat
ketika teljadi pelanggaran. yakni tidak menjatuhkan talak.
Ketiga, apa status istri pada masa ketika yang disyaratkan itu
tidak terjadi.
Butir pertama, dalil
yang dinukil Ibn Taimiyah dari orang yang berpendapat bahwa jika satu hal diharuskan
ketika diwajibkannya syarat, melazimkan suatu perkara ketika wajib adanya
syarat maka satu hal itu karena sesuatu yang diwajibkan. Misalnya, diwajibkan
jika istri berkata kepada si fulan maka ia ditalak.
Catatan: Kami tidak
memiliki dalil mutlak yang mencakup pelaksanaan setiap yang diharuskan
seseorang hingga dalam hal-hal yang mungkin Pembuat syariat menjadikan baginya
suatu sebab khusus, seperti talak dan pemikahan. Sehingga ketika ada keraguan,
yang menjadi rujukan adalah tetap berlakunya hubungan suami-istri hingga ada
dalil yang menunjukkan bahwa istri itu keluar dari pemeliharaan suaminya. Ini
diambil dari kaidah yang diwariskal1 dari para imam ahlulbayt bahwa keyakinan
tidak dapat dihapus dengan keraguan, yang diakui dalam istilah ahli ushul
dengan sebutan istishhab.
As-Sabki berkata,
"Umat telah membuat ijmak tentang sahnya talak mu'allaq seperti sahnya
talak munjiz, karena talak termasuk hal-hal yang dapat menerima ta'liq. Tidak
ada yang menentang hal itu kecuali beberapa kelompok Rafidhah. Ketika
muncul mazhab Zhahiriyah yang menentang ijmak umat dan mengingkari qiyas, dalam
hal itu mereka menyalahinya-hingga katanya: Akan tetapi, ijmak telah mendahului
mereka."
Selanjutnya ia berkata, "Ibn Taimiyah telah keliru dengan menganggap adanya perselisihan dalam masalah ini. la berbohong dan membuat dusta, serta berbuat lancang terhadap Islam. Ijmak umat terhadap ha1 itu telah dinukil dari para imam yang tidak ada keraguan terhadap ucapan mereka dan tidak ada kebimbangan terhadap kebenaran penukilan mereka."
Bagaimana dapat
ditetapkan telah berlakunya ijmak, sementara Imam 'Ali serta sekelompok besar
tabi'in dan para imam ahlulbait menentangnya? Ibn Taimiyah bukanlah orang yang
meriwayatkan langsung adanya perselisihan ini. Melainkan ia menukilnya dari Ibn
Hazm al-Andalusi, seperti yang diungkapkan dalam surat-suratnya.
Di antaranya
terdapat satu surat kepada para ulama Syi'ah Imamiyah. Berikut ini kami kutip
teksnya: "Sesungguhnya Syi'ah Imamiyah
telah mempersempit lingkup talak hingga pada batasan yang sesempit-sempitnya.
Mereka menetapkan batasan yang kaku terhadap suami yang menceraikan dan istri
yang diceraikan, serta dalam redaksi talak dan kesaksiannya. Semua itu karena
pernikahan merupakan pemeliharaan, kecintaan, kasih sayang, dan perjanjian dari
Allah. Allah swt berfirman:
Dan
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri.
Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjianyangkuat. (QS. an-Nisa' [4]: 21)
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu kasih dan sayang. (QS. ar-Rum [30]: 21)
Jadi, dalam keadaan apa pun
tidak boleh membatalkan pemeliharaan, kecintaan, kasih sayang, dan perjanjian
ini kecuali setelah mengetahui secara pasti, tanpa ada keraguan, bahwa syariat
telah menguraikan tali pernikahan itu serta membatalkannya setelah
meneguhkannya.
Terdapat
banyak riwayat dari para imam ahlulbait tentang batalnya talak seperti ini.
Bahkan tidak ada perhatian terhadap sumpah ini samasekali. Barangsiapa yang
mengambil ajaran agamanya dari para imam ahlulbait, berarti ia telah
mengambilnya dari mata air yang jernih. Kami cukupkan dengan menukil sebagian
saja hadis dari mereka:
1. AI-Halabi
meriwayatkan hadis dari Abu' Abdullah as. la berkata, "Setiap sumpah yang
tidak dimaksudkan untuk mencari keridhaan AIlah dalam talak atau 'itaq tidak
berarti apa-apa."
2.
Seorang laki-Iaki bersama Thariq datang kepada Abu Ja 'far al- Baqir. la
berkata, "Wahai Abu Ja'far, aku telah celaka. Aku bersumpah dalam talak, 'itaq,
dan nazar." Imam Abu Ja'far menjawab, "Wahai Thariq, ini termasuk
langkah-langkah (godaan) setan.
3. Dari Abu Usamah
asy-Syaham. la berkata: Aku berkata kepada Abu' Abdillah as bahwa aku punya
kerabat atau nasab yang bersumpah jika istrinya keluar dari pintu maka
kepadanya
jatuh talak tiga. Istrinya
keluar dari pintu rumah. Kemudian ia mengalami kesulitan. la menyuruhku untuk
bertanya kepada Anda dan ia akan mendengarnya dariku. Abu ‘Abdillah as berkata,
"Suruhlah ia untuk menahan istrinya, karena sumpah itu tidak berarti
apa-apa." Kemudian beliau menoleh kepada sekumpulan orang dan berkata,
"Mahasuci Allah. Mereka menyuruh perempuan itu untuk menikah padahal ia
masih memiliki suami."
Syi'ah dikenal
dengan pengingkarannya terhadap tiga hal dalam talak, sebagai berikut:
I. Talak terhadap
perempuan yang sedang haid.
2. Talak tanpa dua
orang saksi yang adil.
3. Sumpah talak.
Ini semua tentang
jatuhnya talak. Berikul ini pembahasan butir kedua dan ketiga.
Butir
kedua, dikenakannya kafarat atau tidak, memerlukan pembetulan objek yang
dikenai kafarat. Kalau dalil tersebut menunjukkan bahwa dikenakannya kafarat
itu dari akibat-akibat sumpah dengan lafzhu ljazalah (nama-nama Allah)
atau yang setara dengan itu, seperti Rabb dan lain-lain, maka kafarat itu tidak
dapat dikenakan pada sumpah talak dan 'itaq. Namun, masalah tersebut di
luar pembahasan kita. Oleh karena itu, kami akan membahasnya di tempat
terpisah.
Butir ketiga, Ibn
Hazm mengutip pendapat asy-Syafi'i yang mengatakan, "Talak dan pelanggaran
terjadi pada akhir masa-masa hidupnya. Kalau ia mengatakan kepada istrinya,
'Engkau ditalak jika aku tidak memukul Zaid.' Maka pelanggaran itu terjadi-jika
ia tidak memukul-menjelang kematiannya. Ini artinya perempuan itu masih tetap
sebagai istrinya sampai saat menjelang ajalnya itu."
la juga mengutip
pendapat Malik yang mengatakan, "la terhalang dari istrinya dan ia berada
dalam pelanggaran sampai ia memenuhi sumpahnya."
Kemudian ia menyanggah
kedua imam itu. Ringkasnya-berdasarkan pendapat tentang batalnya talak dengan
sumpah tersebut, yang disyaratkan ( mu 'allaq 'alayh) itu kadang-kadang
berupa sesuatu yang konkret-seperti keluar dari rumah-dan kadang-kadang berupa sesuatu yang tidak
konkret- seperti 'jika aku tidak melakukan ..." Berdasarkan kedua ungkap-
an itu, kadang-kadang ia terbatas dalam waktu tertentu dan kadang-kadang
bersifat mutlak, terus-menerus. Kalau hal itu merupakan sesuatu yang konrket
maka perempuan itu tetap sebagai istrinya selama sumpah itu tidak terlaksana.
Tetapi, jika sumpah itu terlaksana pada waktu tertentu atau mutlak kapan
saja-menurut apa yang disyaratkan-maka kepada perempuan itu jatuh talak. Kalau
yang disyaratkan itu merupakan sesuatu yang tidak konkret, terbatas dalam waktu
tertentu, dan ia tidak melakukannya pada waktu tersebut maka kepada perempuan
itu jatuh talak. Kalau terjadi sebaliknya, kepada perempuan itu tidak jatuh
talak kecuali pada akhir waktu ketika ia tidak mampu melaksanakannya.
Akan tetapi, semua
itu merupakan asumsi-asumsi di atas landasan yang gugur.
Talak Mu'a1laq
Anda telah
mengetahui bahwa talak mu'allaq itu terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, yang
disifati dengan sumpah talak. Kedua, yang disifati dengan mu'allaq saja.
Anda juga telah mengetahui hukum yang pertama, dan berikut ini akan dibahas
bagian kedua.
Syarat-syarat itu
memiliki beberapa bagian sebagai berikut:
I. Yang bergantung
pada keabsahan talak, seperti status perempuan tersebut sebagai istri, dan yang
tidak bergantung pada pada keabsahan talak, seperti kedatangan Zaid.
2.
Yang diketahui keberadaannya oleh laki-laki yang menceraikan ketika melakukan
talak, seperti ta'liqnya bahwa hari ini adalah hari Jumat, dan yang lain adalah
yang diragukan keberadaannya.
3. Yang disebutkan
dalam redaksi (sighat) untuk mendapatkan berkah, tetapi tidak merupakan
syarat atau ta'liq, seperti kata "insya Allah", dan yang
disebutkan sebagai taliq yang sebenarnya.
Yang menjadi
pembahasan kita adalah bagian pertama. Mazhab Imamiyah telah sepakat tentang
batalnya talak mu'allaq itu. Dalilnya yang terpenting adalah nas (Al-Qur'an dan
sunah) dan ijmak. Berikut ini penjelasannya.
Batalnya Talak Mu'allaq
Berdasarkan Nas dan Ijmak Nas dari para imam ahlulbait menunjukkan batalnya
talak mu'allaq. Salah satu dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Bakir bin
A’yun dari mereka (para imam) as, bahwa mereka herkata, "Talak itu
hanyalah ketika suami berkata kepada istrinya yang dalam keadaan suci dan tidak
dicampuri, ‘Engkau ditalak.' Hal itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Segala sesuatu selain itu hanyalah permainan belaka. "
Adakah penjelasan
yang lebih utama daripada ucapan, “Segala sesuatu selain itu hanyalah permainan
belaka" bersamaan dengan kemunculan talak mu’allaq, khususnya sumpah
talak, pada zaman mereka.
Jika
ditambahkan dalil lain, yaitu hadis yang diriwayatkan dari mereka as tentang
batalnya sumpah talak, pastilah hukum itu menjadi jelas dengan
sejelas-jelasnya. Sebab, sumpah talak itu merupakan bagian dari talak mu’allaq.
Batalnya talak tersebut hanya1ah karena batalnya talak mu’allaq yang mengandung
sumpah. Anda telah mengetahui bahwa Imam berkata, "Maha suci Allah, mereka
menyuruh perempuan itu untuk menikah, padahal ia masih memiliki suami."
Adapun dalil ijmak,
al-Murtadha berkata, 'Yang membedakan Syi’ah Imamiyah dari mazhab-mazhab yang
lain adalah pendapatnya bahwa talak itu dita’liq dengan satu bagian dari
bagian-bagian perempuan. Yakni, satu bagian yang tidak terkena talak."
Sebaliknya, syekh itu
berkata, "Jika (suami) berkata kepada istrinya, ‘Engkau ditalak apabila si
fulan datang', lalu si fulan itu datang. Talak tersebut tidak sah."
Ibn Idris berkata,
“Kami mensyaratkan kemutlakan lafaz itu agar terhindar dari penyertaan
syarat."
Orang yang telah
memahami fiqih Imamiyah akan menemukan batalnya talak tersebut sebagai sesuatu
yang disepakati.
la juga menegaskan
hal itu: Islam memberikan perhatian terhadap tatanan keluarga yang fundamennya
adalah pernikahan dan talak. Hal itu menuntut adanya munjiz, bukan mu’allaq.
Sebab, ta’liq itu akan mengakibatkan sesuatu yang tidak terpuji dengan tidak
membedakan antara pernikahan dan perceraian. Maka seseordng itu dapat melakukan
pernikahan dan perceraian atau tidak. Kalau ia memilih yang pertama, ia menikah
atau bercerai. Sedangkan yang kedua, ia diam sehingga setelah itu terjadi
sesuatu yang baru. Ta’liq dalam pernikahan dan perceraian tidak ada kaitannya
dengan perkara penting itu. Allah swt berfirman, "Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai). Sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika
kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nisa' [4]:
129)
Allah
swt mengumpamakan perempuan yang tidak ditelantarkan oleh suaminya dengan
perempuan yang terkatung-katung yang tidak memiliki suami dan tidak juga janda.
Wanita yang dinikahi itu terkatung-katung, atau yang diceraikanjuga seperti
itu, menyerupai sesuatu yang terkatung-katung yang disebutkan dalam ayat tadi.
la tidak memiliki suami, tetapi bukan janda.
Benar, kadang-kadang
alasan-alasan logis dapat menunjukkan batalnya talak tersebut tetapi ia tidak
sempurna. Kami memiliki contoh berikut.
1.
Talak mu’allaq dalam hal terpisalinya mansya' dari in’sya: Sebab,
yang diasumsikan adalah talak tersebut tidak sah sebelum terpemuhi syaratnya.
Maka harus dipisahkan antara mansya’ dan insya '.
Anda tahu tidak
konsistennya dalil tersebut. Karena, terbentuknya mansya' setelah insya'
dapat terwujud tanpa membedakan antara munjiz dan mu'allaq. Padahal,
kadang-kadang mansya'itu berupa munjiz dan kadang-kadang berupa mu'allaq.
Faedah insya'adalah kalau mu'allaq itu sah, tidak lagi diperlukan insya
' yang baru.
2. Lahiriah dalil
itu berpengaruh langsung terhadap sebab. Maka persyaratan tertundanya talak
sampai terjadi apa yang di-ta'lik- kan itu, bertentangan dengan lahiriah
dalil tersebut.
Catatan:
Sesungguhnya tidak ada di dalam dalil-daIil itu yang menetapkan hal tersebut.
Yang disebutkan dalam dalil-dalil adalah wajibnya memenuhi insya '.
Namun, pemenuhan itu berbeda-beda menurut perbedaan kandungannya. Maka yang
utama adalah berdalil dengan nas dan ijmak.