Masalah
Kedelapan:
Di antara masalah-masalah
yang menjadi ganjalan dalam kehidupan, yang berakhir dengan pecahnya keluarga
dan putusnya silaturahmi di banyak negara adalah masa1ah disahkannya talak tiga
sekaligus: Seseorang mengatakan, “Engkau kucerai dengan ta1ak tiga." Atau
ia mengu1ang-ulang tiga kali berturut-turut dalam satu majelis ucapan, “Engkau
kuceraikan." Kemudian hal itu di pandang sebagai talak tiga yang
sebenarnya dan perempuan yang dicerai menjadi haram dinikahi bekas suaminya
sebelum dinikahi laki-1aki lain (lalu menceraikannya) .
Dalam talak, menurut
kebanyakan pengikut Ahlusunah, tidak disyaratkan dengan satu syarat pun yang
dapat menghalangi segera jatuhnya talak, seperti perempuan tidak sedang dalam
masa haid, tidak suci setelah bercampur, atau keharusan hadimya dua orang saksi
yang adil. Kadang-kadang kebencian dan kemarahan telah menguasai diri suami.
Kemudian ia menceraikan istrinya dengan ta1ak tiga sekaligus. Sete1ah itu, ia
menyesali perbuatannya dengan penyesalan yang sedemikian rupa sehingga
seakan-akan bumi ini telah menjadi sempit baginya. Maka ia mencari jalan keluar
dari akibat buruk ini. Namun, dari para .imam mazhab yang empat dan para
pandakwahnya, ia tidak menemukan jalan keluar. Akhimya, ia hanya duduk dalam
penyesalan. Pertanyaan baginya hanya membuat ia lari dari fiqih dan fatwa.
Kita
tahu dengan pasti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan toleran. Di dalamnya
tidak ada kesulitan. Inilah yang mendorong para pendakwah yang ikhlas terus
menerus mengkaji masalah ini dengan
kajian yang terbebas dari pengaruh pikiran orang-orang yang terbelakang yang
menutup pintu ijtihad dalam hukum-hukum syariat; yang jauh dari pengaruh kajian
orang- orang yang menuruti hawa nafsu yang ingin menjauhkan umat dari Islam,
serta mencegah mereka untuk mengkaji masalah ini dan mencari hukumnya dalam
Al-Qur'an dan sunah. Sehingga mereka terasing dari pemikiran yang benar.
Padahal, boleh jadi setelah itu Allah menjadikan sesuatu yang baru. Barangkali
setelah itu ikatan akan terurai dan mufti (pemberi fatwa) menemukan jalan
keluar dari kesempitan yang disebabkan oleh taklid mazhab.
Berikut
ini kami kutipkan kepada Anda beberapa pendapat berkenaan dengan masalah
tersebut.
Ibn Rusyd berkata,
"Mayoritas fukaha berpendapat bahwa talak dengan mengucapkan kata ‘tiga’’
, hukumnya sama dengan talak tiga. Sedangkan ahlu zahir dan jamaah mengatakan
bahwa hukumnya sama dengan hukum talak satu, dan ucapan kata ‘tiga’ , itu tidak
memiliki konsekuensi apapun."l
Asy-Syekh
ath- Thusi berkata, jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak
tiga dengan satu lafaz, hal itu merupakan bid'ah dan jatuh talak satu Apabila
terpenuhi syarat-syaratnya. Demikian menurut sahabat-sahabat kami. Tetapi di
antara mereka ada yang berpendapat bahwa ha1itu sama sekali tidak menimbulkan
konsekuensi apa pun. Pendapat itu dianut oleh 'Ali as dan ahlu zahir.
Ath-Thahawi meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Ishaq bahwa ia memandang
dengan lafaz jatuh talak satu, seperti telah kami katakan. Juga diriwayatkan
bahwa Ibn 'Abbas dan Thawus berpendapat seperti pendapat yang dianut mazhab
Imamiyah."
Asy-Syafi'i berkata,
"Jika seorang 1aki-1aki menceraikan istrinya dengan talak dua atau talak
tiga dalam keadaan suci dan tidak dicampuri, baik dilakukan sekaligus (satu
kalimat dengan menyebutkan bi1angan) maupun secara terpisah (satu kalirnat
diulang-ulang) , hal itu mubah, tidak dilarang, dan talak tersebut sah. Di
kalangan sahabat yang berpendapat demikian adalah 'Abdurrahman bin 'Auf, Mereka
meriwayatkan hadis ini dari al-Hasan bin 'Ali as. Di kalangan tabi'in yang
berpendapat seperti ini adalah Ibn Sirin. Sedangkan di kalangan fukaha yang
mengikuti pendapat ini adalah Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsawr."
Kaum berkata, "
Apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya dalam keadaan suci dengan talak
dua atau talak tiga, baik sekaligus maupun secara terpisah, ia telah melakukan
perbuatan haram, maksiat, dan dosa. Di kalangan sahabat yang berpendapat
demikian adalah ‘Ali as, ‘Umar, Ibn ‘Umar, dan Ibn ‘Abbas. Di kalangan fukaha
yang berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah beserta para sahabatnya dan
Malik. Tetapi mereka mengatakan bahwa talak itu sah."
Abu
al-Qasim al-Khurqi dalam Mukhtasar-nya mengatakan, " Apabila
seorang laki-laki berkata kepada istri yang telah dicampurinya, ‘Engkau
ditalak. Engkau ditalak,’ maka jatuh talak dua. Tetapi jika dengan kalimat
kedua itu ia bermaksud memahamkan kepada istrinya bahwa telah jatuh talak
dengan kalilriat pertama, maka jatuh talak satu. Apabila perempuan itu belum
dicampuri, maka dengan kalimat pertama itu ia menjadi ba'in. Kalimat se-
sudahnya tidak memiliki konsekuensi apa pun karena yang berlaku adalah ucapan
pertama."
Ibn
Qudamah dalam Syarh ‘ala Mukhtasar al-Khurqi mengatakan, “Apabila
seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya yang telah dicampuri, ‘Engkau
ditalak' (dua kali) dan ia bemiat bahwa dengan ucapan kedua itu jatuh talak
dua, maka bagi perempuan itu jatuh talak dua. Tetapi jika dengan ucapan kedua
itu ia bemiat untuk memahamkan bahwa dengan ucapan pertama itu telah jatuh
talak atau hanya untuk menegaskan, maka jatuh talak satu. Apabila ia tidak
bemiat deh1ikian, maka ja.tuh talak dua. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah
dan Malik. Hal itu sahih menurut dua qawl asy-syafi’i. Tetapi dalam qawl
terakhir ia mengatakan bahwa dengan cara itu jatuh talak satu."
Al-Khurqi
juga dalam Mukhtasar-nya mengatakan, “Kepada istri yang telah dicampuri
jatuh talak tiga Apabila suami mengatakan kepadanya kalimat-kalimat seperti,
“Engkau ditalak, lalu ditalak, lalu ditalak.” Atau, ‘Engkau ditalak, kemudian
ditalak, kemudian ditalak.’ Atau, ‘Engkau ditalak, kemudian ditalak dan
ditalak.' Atau, Engkau ditalak, kemudian di talak, lalu ditalak.’
Ibn
Qudamah dalam Syarh-nya mengatakan, “Menjatuhkan talak tiga dengan satu
lafaz menuntut jatuhnya talak tersebut sekaligus, seperti kalau suami
mengatakan (kepada istrinya) 'Engkau kucerai dengan talak tiga.'
‘Abdurrahman
al-Jaziri berkata, "Laki-laki merdeka memiliki tiga talak. Apabila
laki-laki itu menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus dengan
mengucapkan, 'Engkau kuceraikan dengan talak tiga,' maka menurut mazhab yang
empat (Ahlusunah) bilangan yang diucapkannya itu berlaku. Itulah pendapat
mayoritas ulama. Tetapi pendapat itu ditentang oleh sebagian mujtahid, seperti
Thawus, 'Ikrimah, Ishaq, dan yang terkemuka di antara mereka adalah Ibn ' Abbas
ra."
Masih banyak
ucapan-ucapan seperti itu yang menunjukkan kesepakatan mayoritas fukaha setelah
generasi tabi'in tentang berlakunya talak tersebut. Mereka berhujah dengan apa
yang didengar. Orang yang terkemuka di antara mereka yang memberlakukan talak
tersebut adalah 'Umar bin al-Khaththab. Talak tiga itu berdasarkan apa yang
dilihat dan didengar dari para sahabat. Akan tetapi, kalau Al-Qur'an dan sunah
menunjukkan sebaliknya, tentu itulah yang harus diambil.
Kajian terhadap Ayat-ayat
tentang Hal itu
Allah swt berfirman:
Perempuan-perempuan yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka
beriman kepada Allah dan. hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu jika mereka (para suami itu ) menghendaki ishlah. Dan para perempuan mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf Akan tetapi, para
suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah
Mahaperkasa dan Mahabijaksana. (QS. al-Baqarah [2]: 228)
Talak
(yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (
suami-istri itu) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum- hukum Allah, maka janganlah kamu melanggamya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang
lalim. (QS. al-Baqarah [2] : 229)
Kemudian
jika suami menceraikannya (
setelah talak kedua ), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (
mau ) mengetahui. ( QS.
al- Baqarah [2]: 230)
Apabila
kamu menceraikan istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir masa iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara
yang ma'ruf (pula ). Janganlah kamu
merujuki mereka untuk memberikan kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat
lalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah
sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu, dan apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-kitab (Al-Qur'an) danal-Hikmah (sunah).
Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan
bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
(QS. al-Baqarah
[2]:-.230)
Kami kutip empat ayat di atas-walaupun yang menjadi dalil adalah ayat kedua-untuk dibahas. Tetapi sebelum membahasnya, kami tunjukkan beberapa butir dalam ayat-ayat tersebut.
I.
Firman Allah SWT: Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf adalah kalimat yang universal.
Kalimat itu tidak dapat dipahami kecuali dengan penjelasan yang panjang lebar.
Kalimat tersebut menunjukkan bahwa hak-hak di antara suami-istri itu bersifat
imbal-balik. Perbuatan apa pun yang dilakukan istri kepada suami, maka suami
pun harus mengerjakan perbuatan yang sama kepada istri. Mereka-dalam
pergaulan-adalah sama dalam hak-hak dan perbuatan. Kehidupan tidak akan menjadi
bahagia kecuali masing-masing dari kedua pasangan itu menghormati yang lain dan
melaksanakan setiap kewajibannya terhadap yang lain. Istri berkewajiban
mengatur rumah dan menjalankan pekerjaan-pekerjaan berkenaan dengannya.
Sedangkan suami wajib berusaha dan bermata pencaharian di luar rumah. Inilah
prinsip mendasar dalam kehidupan suami-istri yang dikukuhkan dengan fitrah.
Nabi saw telah membagi hal itu di antara putrinya Fathimah as; dan suami
putrinya 'Ali as. Maka urusan di dalam rumah menjadi tanggung jawab putrinya,
sedangkan urusan di luar rumah menjadi tanggungjawab suami putrinya.
2. AI-Marrah berarti
satu kali, untuk menunjukkan perbuatan satu kali. AI-Imsak (menahan)
adalah kebalikan dari al-ithlaq (menceraikan). Adapun at-tasrih berasa1
dari kata as-sarh (melepaskan) berarti al-ithlaq. Karena itu
sering dikatakan, saraha al- masyiyah fi al-mar'a (melepaskan binatang
temak di padang rumput). Yang dimaksud dengan al-imsak adalah merujuknya
untuk memelihara pernikahan. Sedangkan yang dimaksud dengan at-tasrih
adalah tidak kembali kepadanya (istri) setelah berakhir masa iddahnya pada
setiap ta1ak atau pada talak tiga yang juga merupakan satu bentuk tasrih hanya
ada perbedaan da1am makna ka1imat. Tetapi yang paling kuat adalah yang pertama
karena secara lahiriah menunjukkan tidak adanya rujuk kepadanya setelah
dilakukan talak. Sebab, sebelum berakhirnya masa iddah, istri itu masih berada
dalam ikatan dengan suami. Tetapi ketika suami membiarkannya dan tidak
merujuknya maka istri itu keluar dari ikatan tersebut.
3. Disyaratkan bahwa
imsak (menahan) itu dilakukan dengan baik (ma.ruf) dan tasrih (menceraikan)
dilakukan dengan ihsan. Maksudnya, dalam imsak itu cukuplah dengan
bertujuan tidak memberikan kemudharatan dengan melakukan rujuk. Adapun
memberikan kemudharatan adalah seperti menceraikannya. Setelah berakhir masa iddahnya,
suami itu merujuknya lagi. Kemudian iamenceraikannya dan merujuknya lagi.
Demikian seterusnya. Dengan cara itu ia bermaksud untuk memberikan
kemudharatan. Berdasarkan hal itu, maka imsak harus disertai sikap baik
(ma.ruf). Ketika itu, ka1au setelah rujuk ia menuntut kembali apa yang telah
diberikannya, hal itu tidak dihitung sebagai perbuatan mungkar yang tidak
ma’ruf. Sebab, hal itu bukan berarti memberikan kemudharatan.
Ini berbeda. dengan tasrih.
Dalam tasrih tidak cukup dilakukan dengan cara tersebut, melainkan
harus disertai sikap ihsan kepada istri itu. Kemudian suami tidak boleh
menuntut kembali harta yang telah diberikan kepadanya. Oleh karena itu, Allah
swt berfirman, "Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu
yang telah kamu berikan kepada mereka. "Yakni, tidak halal dalam talak
apa pun mengarnbil kembali mahar yang telah kamu berikan kepada mereka kecuali
kalau talak itu dilakukan karena khulu '. Maka ketika itu tidak ada
salahnya istri menebus dirinya dengan mengembalikan mahar itu kepada suaminya.
Allah swt berfirman:
Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dirinya menunjukkan adanya keputusan dari pihak istri yang
khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Maka dengan mahar itu dan
sebagainya ia memberikan tebusan untuk membebaskan dirinya.
4.
Pada zaman jahiliah tidak ada ketentuan talak dan rujuk dalam masa iddah baik
batas maupun hitungan (jumlah)nya. Karenanya suami sering mempermainkan
istri-istrinya dengan talak dan rujuk sekehendak hatinya. Kemudian datang Islam
membawa aturan-aturan yang terperinci dan membatasi talak dua kali. Apabila
talak kedua itu telah terlewati dan sampai pada talak ketiga, diharamkan bagi
suami untuk merujuknya sebelum bekas istrinya itu dinikahi oleh laki-laki lain
(kemudian menceraikannya) .
At-Tirmidzi
meriwayatkan: Di tengah masyarakat, laki-laki menceraikan istrinya sehendak
hati. Perempuan itu menjadi istrinya kalau suami merujuknya pada masa iddahnya
walau- pun ia menceraikannya seratus kali atau lebih. Sehingga seorang
laki-laki berkata kepada istrinya, "Demi Allah, aku tidak menceraikanmu
sehingga kamu menjadi ba 'in bagiku. Aku tidak akan menyayangimu untuk
selama-lamanya." Istrinya bertanya, "Mengapa demikian?"
Laki-laki itu menjawab, " Aku menceraikanmu. Setiap kali masa iddahmu akan
berakhir, aku merujukmu." Kemudian perempuan itu memberitahukan peristiwa
itu kepada Nabi saw. Tetapi Nabi saw tidak memberikan jawaban hingga turun ayat
Al-Qur’an, “Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. "
5. Para ulama
berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah swt, "Talak (yang dapat
dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. " Sehingga terdapat dua
pendapat sebagai berikut:
a. Talak itu dua kali. Pada
setiap satu talak dapat dilakukan imsak (menahan) dengan ma'ruf atau tasrih
(melepaskan) dengan ihsan.Setelah jatuh talak pertama, laki-laki dapat
memilih antara merujuknya setelah memilih untuk menceraikannya, laIu menahannya
dan mempergaulinya dengan ihsan atau membiarkan istrinya tanpa dirujuk hingga
berakhir masa iddahnya.
Inilah
pendapat yang dinukil ath-Thabari dari as-Saddi dan adh-Dhahhak. Kedua orang
itu berpendapat bahwa kalimat ath-thalaq marratayn (talak itu dua kali),
lalu pada setiap talak itu suami dapat menahannya dengan ma'ruf atau melepasnya
dengail ihsan. Kemudian ath-thabari berkata, "Inilah pendapat yang
didasarkan pada lahiriah ayat kalau tidak ada hadis yang diriwayatkan Isma 'il
bin Sami' dari Abu Razin”
Catatan:
Penafsiran ini
dinafikan dengan digunakannya huruf fa' di antara kalimat marratayn dan
fa imsakun bi ma'rufin. Itu artinya ditempuh salah satu dari dua
perbuatan itu setelah dilakukan dua kali talak, bukan di antara kedua talak
tersebut. Karenanya, masing-masing dari imsak dan tasrih itu merupakan
perbuatan yang dilakukan setelah berlalu dua kali talak.
Benar. Dipahami
keharusan melakukan salah satu dari dua perbuatan itu setelah setiap satu talak
dari ayat lain. Yakni, firman Allah swt, " Apabila kamu menceraikan
istri- istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (juga ).
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian
kamu menganiaya mereka. " (QS. al-Baqarah [2]: 231)7
Agar
tidak mengulangi pengertian yang sama dalam masalah itu, maka firman Allah swt:
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik ditafsirkan dengan penafsiran yang lain. Akan dijelaskan
kepada Anda kemudian.
b. Setelah menceraikan
istrinya dengan talak dua, suami harus lebih banyak memikirkan ihwal istrinya
itu daripada yang waktu-waktu sebelumnya. Setelah jatuh talak dua itu, ia akan
mengambil sa1ah satu dari dua tindakan, yaitu merujuknya dengan ma'ruf dan
hidup bersamanya untuk selama-lamanya atau menceraikannya dengan ihsan melalui
ta1ak tiga yang tidak ada rujuk lagi setelah itu untuk selamanya kecua1i da1am
kondisi tertentu.
Maka firman Allah SWT:
atau menceraikan dengan cara yang baik menunjukkan talak tiga yang tidak
ada lagi rujuk sesudahnya dan dengan demikian tasrih itu berlaku. Di
sini ada dua pertanyaan yang dikutip al-Jashshash da1am tafsirnya:
1.
Bagaimana menafsirkan firman Allah SWT: Atau menceraikan dengan cara yang
baik dengan talak tiga. Padahal, maksud firman-Nya dalam ayat keempat (ayat
231) di atas: Atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula)
ada1ah meninggalkan rujuk. Demikian pula maksud firman-Nya, " Apabila
mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik" (QS. ath-Tha1aq [65]: 2) adalah
meninggalkannya hingga berakhir masa iddahnya. Jelaslah bahwa maksud
firman-Nya: aw sarrihuhunna bi ma'uif atau firman-Nya: aw fariquhunna
bi ma'ruf adalah menceraikannya lagi.
Catatan: Pertanyaan
atau sanggahan itu muncul dari kekeliruan pemahaman terhadap substansi. Lafaz
itu dalam kedua ayat tersebut digunakan arti sarh (melepaskan) dan ithlaq
(menceraikan). Padahal, da1am satu kalimat kata itu berarti talak dan da1am
kalimat lain berarti meningga1kan rujuk. Ini tidak dipandang sebagai membedakan
makna satu lafaz itu da1am dua kalimat tersebut. Substansinya dalam ayat 229
adalah talak sedangkan da1am ayat 231 ada1ah.meningga1kan rujuk. Perbedaan
substansi itu tidak menyebabkan perbedaan pengertian.
2.
Ta1ak tiga disebutkan da1am urutan berikutnya dalam firman- Nya, "Kemudian
jika suami menceraikannya (setelah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal
baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain. " Ketika itu, firman-Nya: aw tasrihun bi ihsan yang
disebutkan sebelumnya harus diartikan dengan pengertian baru, yaitu berlakunya ba 'in dengan dua talak setelah
ber-akhimya masa iddah.
Kalau tasrihun bi
ihsan itu diartikan talak tiga, maka firman-Nya: fa in thallaqaha yang
disebutkan sesudahnya berarti talak keempat. Sebab, huruf fa' litta 'qib itu
menuntut pengertian talak tersendiri setelah talak yang disebutkan sebelumnya.
Jawaban
terhadap sanggahan ini jelas sekali. Sebab, pertama tidak ada halangan
untuk mcngungkapkannya secara garis besar, dan kedua kemudian
menjelaskannya secara terperinci. Maka firman-Nya: fa in thallaqaha adalah
penjelasan secara terperinci terhadap kata tasrih setelah menjelaskannya
secara garis besar. Penjelasan terperinci itu mencakup hal-hal yang tidak
disinggung dalam penjelasan secara garis besar tentang haramnya perempuan itu
bagi mantan suamiriya hingga ia dinikahi oleh laki-laki lain. Kalau suami kedua
itu menceraikannya atas kehendaknya sendiri, maka tidak ada halangan bagi
mereka berdua (perempuan itu dan mantan suaminya yang pertama) untuk melakukan
rujuk dengan akad yang baru jika mereka yakin dapat menegakkan hukum-hukum
Allah. Inilah penjelasan terperinci atas firman-Nya: aw tasrihun bi ihsan (atau
lepaskanlah ia dengan cara yang baik).
Dengan demikian
diketahui bahwa firman-Nya fa in thallaqahii tidak merupakan talak
keempat.
Ath-Thabari
telah meriwayatkan dari Abu Razin: Seorang laki- laki datang kepada Nabi saw.
Laki-laki itu berkata, "Wahai Rasulullah, Anda telah membaca firman Allah
swt, "Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. "
Lalu, di manakah talak ketiga?"Rasulullah saw menjawab, "Setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau: ceraikan dengan cara yang
baik " merupakan talak ketiga.
Benar.
Hadis diatas adalah hadis mursal, dan Abu Razin bukan sahabat, melainkan
seorang tabi'in.
Akan tetapi, begitu
banyak riwayat dari para imam ahlulbait as bahwa yang dimaksud dengan firman
Allah swt: aw tasrihun bi ihsan adalah talak ketiga.
Sampai di sini, selesailah
penafsiran ayat tersebut. Tampaklah bahwa makna kedua disisipkannya huruf fa'
sangat jelas, bahkan pasti mengingat banyaknya riwayat dari para imam
ahlulbait as.
Kini akan dibahas
penunjukkan ayat itu terhadap batalnya talak tiga dalam arti talak itu tidak
sah dengan disebutkannya bilangan "tiga". Ada pun jatuhnya menjadi
talak satu, itu perkara lain.
Apabila Anda telah
memahami makna ayat di atas, ketahuilah bahwa Al-Qur'an dan sunah menunjukkan
batalnya talak tiga itu. Sebab, talak itu harus dilakukan satu per satu. Di
antara dua talak harus diselingi dengan rujuk atau pernikahan. Kalau talak tiga
itu dilakukan sekaligus atau kalimat talak itu diulang-ulang tiga kali, maka
tidak jatuh talak tiga. Adapun memandangnya sebagai talak satu, kalaupun benar,
itu berbeda di luar pembahasan kita. Berikut ini dalil-dalilnya dari Al-Qur'an dan
sunah.
1. Firman Allah swt,
"Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. "
Telah
dijelaskan di atas bahwa terdapat dua pendapat dalam menafsirkan kalimat ini.
Di antara mufasir ada yang mengatakan bahwa kalimat itu menjelaskan kalimat
sebelumnya yakni Talak itu dua kali dan ada pula yang memandang bahwa
kalimat itu merupakan talak tiga yang dijelaskan dalam ayat berikutnya. Anda
telah mengetahui mana yang benar. Kalimat itu menunjukkan batalnya talak tiga
sekaligus berdasarkan dua alasan berikut.
Alasan pertama, ini
jelas. Sebab, arti kalirnat itu adalah bahwa setiap satu talak harus diikuti
salah satu dari dua tindakan, yaitu menahannya dengan ma’ruf atau melepasnya
dengan ihsan.
Ibn Katsir berkata,
"Yakni, jika Anda menceraikannya dengan talak satu atau talak dua, dalam
hal itu Anda boleh memilih selama dalam masa iddahnya apakah akan merujuknya
dengan niat melakukan perbaikan ( ishlah) dan kebaikan ( ihsan) atau
membiarkannya hingga berakhir masa iddahnya. Kemudian ia menjadi ba'in bagi
Anda. Anda menceraikannya dengan cara yang baik serta tidak melalimi haknya
sedikit pun dan tidak menimpakan kemudharatan kepadanya."
Lalu, di mana talak tiga
yang tidak dapat diselingi dengan salah satu dari dua tindakan-menahannya atau
meninggalkannya hingga berakhir masa iddahnya-baik menceraikannya dengan
kalimat: "Engkau kuceraikan dengan talak tiga sekaligus" atau dengan
kalimat: "Engkau kuceraikan, engkau kuceraikan, engkau kuceraikan".
Alasan kedua, walaupun
potongan ayat itu menjelaskan talak tiga dan tidak menyinggung dua talak
sebelumnya, tetapi kami katakan bahwa ada beberapa ayat yang menunjukkan bahwa
kandungannya menjelaskan talak secara mutlak tanpa membedakan antara dua talak
pertama dan talak ketiga. Karena kemutlakan itu, talaknya harus diikuti dengan
salah satu dari dua tindakan berikut:
b.
melepaskannya dengan ihsan. Tidak adanya penunjukkan ayat pertama pada dua
talak pertama tidak menafikan dipahaminya dua talak tersebut dari dua ayat
sebelumnya.
Barangkali
kedua ayat itu menjadi satu jalinan karena bertemunya karakteristik dari
potongan ayat: fa imsakum bi ma'ruf aw tasrihun bi ihsan dan
mengembalikan kandungari kalimat tersebut pada talak secara mutlak. Oleh karena
itu kami katakan bahwa, potongan ayat itu menunjukkan keharusan menyertai talak
dengan salah satu dari dua tindakan berdasarkan kedua alasan di atas dan dalam
keadaan apa pun baik yang menunjukkannya itu potongan ayat tersebut maupun ayat
yang lain--seperti yang telah kami jelaskan. Kesimpulan dari semua itu adalah
bahwa talak itu harus diikuti dengan salah satu dari dua tindakan merupakan
sifat dasar talak yang membolehkan dilakukannya rujuk.
Hal itu akan tampak
jelas Apabila kita mengetahui bahwa firman-Nya: fa balaghna ajalahunna (lalu
mereka mendekati masa iddahnya) merupakan syarat utama. Jika tidak, sejak suami
menceraikan istrinya, yang wajib dilakukan adalah menempuh salah satu dari dua
tindakan itu. Akan tetapi, hal itu dibatasi dengan jangka waktu tertentu, yaitu
ketika hampir mendekati masa iddahnya. Hal itu karena suami yang dikuasai
kebencian dan kemarahan, yang kemarahannya tidak dapat padam kecuali dalam
jangka waktu lama, dapat merenungkan ihwal istrinya dan menempuh salah satu
dari dua tindakan itu.
Jika tidak, maka sifat
dasar hukum syariat fa imsakun bi ma'ruf aw tasrihun bi ihsan menuntut
hukum itu berlaku pada segala waktu tanpa mengucapkan redaksi talak tertentu
hingga akhir masa itu yang juga berarti berakhirnya masa iddah.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, potongan ayat itu menunjukkan batalnya talak tiga dan hal
itu bertentangan dengan tata cara yang sah dalam talak. Padahal, potongan ayat
itu me- nunjukkan pendapat pertama dengan sendirinya dan pendapat kedua dengan dukungan
ayat-ayat yang lain.
2. Firman Allah swt:
Talak itu dua kali Firman Allah swt: Talak itu dua kali menyatakan
jatuhnya talak satu per satu, tidak sekaligus. Oleh karena itu, Allah swt
mengungkapkannya dengan lafaz al-marrah untuk menunjukkan tata cara
perbuatan itu dilakukan satu per satu. Selain itu, kata ad-daf’ah,
al-karrah, dan an-nazlah adalah seperti al-marrah baik dalam
pola (wazan) , makna, maupun ungkapan.
Berdasarkan
penjelasan kami ini, kalau suami mengatakan kepada istrinya, "Engkau kuceraikan
dengan talak tiga sekaligus," ia tidak menceraikan istrinya satu talak
demi satu talak. la juga tidak menceraikannya dengan dua talak. Melainkan ia
menceraikannya dengan talak satu. Adapun kata "tiga " yang
diucapkannya tidak berarti pengulangan kalimat itu tiga kali. Hal itu
ditunjukkan furu ' fiqih, bahwa tidak seorang ahli fiqih pun yang mengatakan
bahwa pengulangan itu sama dengan menyebutkan bilangaiilebih dari satu.
Misalnya, di da1am li'an disyaratkan mengulangi sumpah (kesaksian)
sebanyak 4 kali, karenanya, tidaklah memadai dengan hanya mengucapkan 1 sumpah,
lalu digenapkan dengan mengucapkan bilangan "empat". Kalimat-kalimat
dalam azan dibaca dua kali-dua kali. Karenanya tidak boleh seseorang membacanya
satu kali dengan menambahkan kata "dua kali". Kalau orang yang
bersumpah mengatakan, " Aku bersumpah demi Allah, dengan lima puluh kali
sumpah, bahwa orang inilah pembunuhnya," sumpahnya dihitung sebagai satu
sumpah. Kalau orang yang mengaku berzina mengatakan, " Aku mengaku empat
kali bahwa aku telah berzina," pengakuannya dihitung sebagai satu
pengakuan. Dan seterusnya dalam kasus-kasus yang memerlukan pengulangan, tidak
cukup dengan menyebutkan bilangan.
Al-Jashshash
berkata, "Talak itu dua kali. Sudah tentu, hal itu menuntut
pemisahan. Sebab, kalau seseorang menceraikan istrinya dengan talak dua
sekaligus, tidak cukup dengan me- ngatakan, 'Engkau kuceraikan dua kali.'
Seperti itu pula seseorang yang membayarkan uang dua dirham kepada orang lain,
tidak cukup dengan mengatakan, Aku bayarkan kepada- mu dua kali.' Melainkan ia
harus menjelaskan pembayaran itu. Kalau demikian halnya, kalau hukum yang
dimaksud dalam lafaz itu adalah yang berkaitan dengan dua talak dengan ada- nya
kesempatan rujuk, tentu hal itu menyebabkan gugurnya faedah penyebutan kata marratayn
( dua kali) .Sehingga hukum itu berlaku dalam satu kali walaupun ia
mentalak dua kali sekaligus. Dengan demikian ditegaskan bahwa penyebutan marratayn
adalah perintah menjatuhkan talak itu dua kali dan larangan
menggabungkannya sekaligus."
Ini semua jika talak
tiga itu dilakukan dengan satu redaksi sekaligus. Adapun jika redaksi itu
diulang seperti yang Anda ketahui, kadang-kadang orang-orang awam tertipu.
Mereka mengatakan bahwa pengulangan redaksi itu sesuai dengan ayat tersebut
padahal, dari sisi lain hal itu tertolak.
Redaksi kedua dan
ketiga yang diucapkan adalah batal, karena hal itu tidak berkaitan dengan
talak. Sebab, talak itu adalah untuk memutuskan hubungan suami-istri. Tidak ada
lagi hubungan suami-istri setelah diucapkan redaksi pertama dan tidak ada lagi
ikatan yang sah.
Dengan kata lain,
talak itu adalah suami memutuskan hubungan suami-istri, hal itu tidak akan
terwujud tanpa ada hubungan yang diakui masyarakat. Jelaslah bahwa perempuan
yang ditalak-dengan redaksi kedua dan ketiga-tidaklah dipandang telah ditalak.
Kadang-kadang
dikatakan bahwa perempuan yang ditalak itu masih berada dalam ikatan dengan
mantan suaminya, dan hukumnya seperti hukum suami-istri. Ketika itu, redaksi
kedua dan redaksi ketiga berpengaruh terdapat hukum tersebut. Akan tetapi,
jawaban atas sanggahan ini jelas sekali. Hal itu karena redaksi kedua merupakan
permainan saja, dan setelah itu istri tersebut masih dipandang sebagai istri.
la akan keluar dari ikatan itu jika talak itu menjadi talak ba 'in, yang
terwujud melalui talak tiga.
Alhasil, jenis talak
tiga seperti ini tidak dapat dilakukan dengan menyebutkan bilangan tertentu
yang merupakan tema ayat berikutnya, yakni Firman-Nya, "Kemudian jika
suami menceraikannya (setelah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. " Bagaimana tidak?
Rasulullah saw pemah bersabda, "Tidak ada talak kecuali setelah
pernikahan." Di tempat lain beliau bersabda, "Tidak ada talak sebelum
pernikahan."
Berbilangnya talak
merupakan jaminan untuk melaksanakan akad pernikahan di antara dua talak
walaupun dengan rujuk. Kalau hal itu tidak dilakukan di antara dua talak itu,
tentu mengatakan talak itu menyerupai perrnainan.
As-Sammak berkata,
"Pernikahan itu adalah ikatan yang diikatkan. Sedangkan talak adalah yang
menguraikannya. Bagaimana dapat menguraikan ikatan kalau ikatan tersebut belum
diikatkan?
3.
Firman Allah SWT, "Maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi )iddahnya. "
Firman Allah SWT: Talak
itu dua kali berkenaan dengan talak yang membolehkan adanya rujuk. Di sisi
lain, firman-Nya, "jika kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah
kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat ( menghadapi) iddah-
nya" ( ath- Thalaq [65] : I) Padahal,
yang wajib berkenaan dengan mereka adalah menghitung masa iddah tanpa
rnembedakan huruf lam dalam kalimat li'iddatihinna itu bermakna zharfiyyah
(keterangan waktu/tempat) sehingga menjadi fi 'iddatihinna atau
bermakna ghayah. Yang dimaksud dengan li ghayah adalah
"mereka menghitung iddah". Bagaimanapun, hal itu menunjukkan bahwa di
antara karakteristik-karakteristik talak yang membolehkan adanya rujuk adalah
menghitung masa iddah. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan memisahkan
antara talak yang pertama dan talak kedua. Jika tidak, talak pertama itu tanpa
iddah kalau dilakukan dua talak sekaligus. Ka1au dilakukan talak tiga sekaligus
maka talak pertarna dan talak kedua pun seperti itu.
Sebagian imam
ahlulbait as berargumen dengan ayat ini dalam membatalkan talak tiga sekaligus.
Shafwan
al-Jammal meriwayatkan hadis dari Abu. Abdillah as: Seseorang bertanya kepada
Imam Abu. Abdillah as, “Aku telah menceraikan istriku dengan talak tiga
sekaligus. Bagai- mana pendapat Anda?" Imam Abu. Abdillah as menjawab,
"Bukan apa-apa (talak itu tidak sah)." Kemudian Imam as berkata,
“Tidakkah engkau membaca Kitab Allah, "Hai Nabi, Apabila kamu
menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Dan barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim
terhadap dirinya sendiri. Kami tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu suatu hal yang baru. " (QS. ath-Thalaq [65]: I)
Selanjutnya ia
menambahkan, "Setiap hal yang menyimpang dari Kitab Allah dan sunah
dikembalikan kepada Kitab Allah dan sunah."
Selain itu, kalau
talak tiga sekaligus itu dipandang sah maka firman Al1ah: barangkali Allah
mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru tidak lagi punya arti. Sebab,
perempuan itu telah menjadi ba 'in dan masalah itu berakhir pada kesudahan yang
tidak terpuji. Ikatan kembali tidak halal kecuali perempuan itu menikah dengan
laki-laki lain lalu bercerai. Padahal, yang dimaksud di sini ada1ah
menyelesaikan masalah itu melalui rujuk atau menunggu dalam masa iddah.
II. Dalil dari Sunah
Anda telah
mengetahui ketentuan dalam Al-Qur.an tentang masalah ini. Adapun hukumnya dalam
sunah dinyatakan bahwa Rasulullah saw menganggap talak seperti ini sebagai
mempermainkan Al-Qur. an.
I. An-Nasa'i
meriwayatkan hadis dari Mahmud bin Labid: Rasulullah saw diberitahu tentang
seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Maka
beliau berdiri sambil marah, kemudian bersabda. " Apakah dia akan
mempermainkan Kitab Allah padahal aku masih ada di tengah kalian?. Kemudian
seorang laki-laki berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku
membunuhnya?"
Mahmud bin Labid
adalah sahabat yang masih kanak-kanak tetapi ia mendengar hadis itu dari
sahabat yang lain. Ahmad meriwayatkan hadis darinya dengan sanad yang sahih:
Rasulullah saw datang kepada kami. Kemudian beliau mengimami kami salat Magrib
di masjid k~mi. Setelah membaca salam.
Kalau kita terima
bahwa ia tidak mendengar dari sahabat yang lain, seperti yang dikatakan Ibn
Hajar dalam Fath al-Bari, ia adalah sahabat. Sedangkan hadis mursal
shahabi, menurut para fukaha, dapat dijadikan hujah karena berpegang pada
prinsip keadillan mereka semua.
2. Ibn Ishaq
meriwayatkan hadis dari 'Ikrimah dari Ibn ' Abbas: Rukanah menceraikan istrinya
dengan talak tiga sekaligus. Karenanya-setelah itu-ia sangat bersedih. Kemudian
Rasulullah saw bertanya kepadanya, "Bagaimana kamu menceraikan
istrimu?" la menjawab, " Aku menceraikannya dengan talak tiga sekaligus.
" Maka Rasulullah saw bersabda, "Dengan cara itu hanya jatuh talak
satu. Karenanya, rujuklah dengannya."
Orang
yang bertanya itu adalah Rukanah bin' Abd Yazid. Imam Ahmad meriwayatkan hadis
dengan sanad yang sahih dari Ibn ' Abbas: Rukanah bin' Abd Yazid menceraikan istrinya
dengan talak tiga sekaligus. Karenanya ia menjadi sangat bersedih. Kemudian
Rasulullah saw bertanya kepadanya, "Bagaimana kamu mepceraikan
istrimu?" la menjawab, " Aku men- ceraikannya dengan talak
riga." Beliau bertanya lagi, "Dalam satu majelis (sekaligus)?"
la menjawab, "Benar." Kemudian beliau bersabda, "Itu adalah
talak satu, maka rujuklah dengannya kalau kamu mau." Maka ia merujuk
istrinya. Ibn ' Abbas berpandangan bahwa talak itu hanya boleh dilakukan pada
setiap kali suci.
Setelah Nabi saw kembali ke
rahmatullah, di tengah kaum Muslim terjadi berbagai perselisihan dan pergulatan
pemikiran. Maka .Ali dan para imam ahlulbait berusaha memperkenalkan hukum
syariat melalui nas syariat baik berupa ayat Al-Qur'an maupun hadis. Sama
sekalimereka tidak mengamalkan pendapat sendiri ( ra‘y . Di pihak lain,
terdapat sejumlah sahabat yang menggunakan pendapat sendiri da1am
memperkenalkan hukum syariat dengan memperkenalkan kemaslahatan dan menetapkan
hukum berdasarkan tuntutannya.
Penggunaan
pendapat sendiri dalam masalah yang tidak ada nasnya dan menetapkan hukum
sesuai kemaslahatan merupakan sesuatu
yang perlu dikaji dan didiskusikan. Pembahasan ini hanyalah tentang penggunaan
pendapat sendiri dalam masalah yang sudah diatur oleh nas syariat. Kelompok
kedua menggunakan pendapatnya melawan nas, tidak khusus dalam masalah yang
tidak ada nasnya dari Al-Qur'an atau sunah, bahkan dalam masalah yang sudah
diatur dengan nas syariat.
Ahmad
Amin al-Mishri berkata, "Tampaklah kepadaku bahwa ‘Umar bin al-Khaththab
pernah menggunakan pendapatnya sendiri dalam arti yang lebih luas daripada yang
kami sebutkan, yang kami sebutkan adalah penggunaan pendapat sendiri dalam
hal-har yang tidak ada nasnya dari Al-Qur'an dan sunah. Akan tetapi, kami lihat
Khalifah bertindak lebih jauh dari itu. ia ber- ijtihad dalam memperkeIialkan
kemaslahatan yang sudah diatur oleh ayat Al-Qur'an atau hadis. Kemudian dengan
kemaslahatan itu ia mengambil petunjuk dalam hukum-hukumnya. Hal itu lebih
dekat pada apa yang saat ini disebut mengambil petunjuk dengan kandungan
konstitusi (istisyad bi ruh al-qanun) bukan dengan arti harfiahnya.’
Mengambil petunjuk
dengan kandungan konstitusi yang dikatakan Ahmad Amin adalah satu hal.
'Sedangkan mengesampingkan nas dan mengarna1kan pendapat sendiri adalah hal
lain. Akan tetapi, kelompok kedua itu, mengesampingkan has dan mengamalkan
pendapat sendiri” Apa yang diriwayatkan dari Khalifah dalam masalah ini
termasuk dalam pengertian tersebut. kalau Anda merasa ragu tentang hal itu, kami
bacakan kepada Anda apa yang kami ketahui:
I. Muslim meriwayatkan
hadis dari Ibn 'Abbas: Talak pada zaman Rasulullah saw, Abu Bakar, dan dua
tahun pertama kekhalifahan 'Umar adalah talak tiga pada satu majelis dianggap
satu talak. Kemudian 'Umar bin al-Khaththab berkata, "Orang-orang telah
tergesa-gesa dalam dalam satu hal yang di dalamnya terdapat tenggang waktu bagi
mereka. Alangkah baiknya kalau kami menetapkan hal itu." Kemudian ia
menetapkan talak tiga sekaligus itu bagi mereka.
2.
Diriwayatkan dari Ibn Thawus dari bapaknya: Abu ash-Shahba' berkata kepada Ibn
' Abbas, "Tahukah Anda bahwa talak tiga pada satu majelis itu dihitung
sebagai talak satu pada zaman Rasulullah saw dan Abu Bakar, tetapi hal itu
dihitung sebagai talak tiga pada (kekhalifahan) 'Umar?" Ibn ' Abbas
menjawab, "Benar."
3. Darinya juga
diriwayatkan: Abu Ash-Shahba' berkata kepada Ibn ' Abbas, "Semoga
dijauhkan bencana darimu. Bukankah talak tiga sekaligus pada zaman Nabi saw dan
Abu Bakar dipandang sebagai talak satu?" Ibn ' Abbas menjawab,
"Memang begitu. Tetapi pada zaman kekhalifahan 'Umar. banyak orang
melakukan talak. Kemudian ia memperkenankan talak tiga sekaligus itu bagi
mereka."
4.
Al-Baihaqi meriwayatkan: Abu Ash-Shahba' banyak bertanya kepada Ibn ' Abbas. la
pernah berkata, "Tahukah kamu bahwa Apabila seorang laki-laki menceraikan
istrinya dengan talak tiga sebelum mencampurinya, mereka menetapkannya sebagai
talak satu pada zaman Nabi saw, Abu Bakar ra, dan pada tahun-tahun pertama
kekhalifahan 'Umar ra. Ketika ia melihat banyak orang melakukannya, ia berkata,
" Aku perkenankan ha1 itu bagi kalian."
5. Ath- Thahawi
meriwayatkan hadis me1alui Ibn ' Abbas: Pada rnasa kekhalifahannya, 'Umar ra
berkata, "Wahai manusia, dalam talak terdapat tenggang waktu untukmu.
Karena itu, siapa yang tergesa-gesa dalam tenggang waktu yang diberikan Allah
da1am talak, kami wajibkan hal itu kepadanya."
6. Diriwayatkan dari
Thawus: 'Umar bin al-Khaththab berkata, "Di dalam talak terdapat tenggang
waktu bagi kalian. Kemudian kalian tergesa-gesa dalam tenggang waktu itu.
Karenanya telah kami perkenankan kepada kalian apa yang kalian lakukan dengan
tergesa-gesa itu."
7. Diriwayatkan dari
al-Hasan: 'Umar bin al-Khaththab mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy'ari:
"Jika ada laki-laki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus,
aku ingin sekali menetapkannya sebagai talak satu. Akan tetapi, orang-orang
menetapkan untuk diri sendiri ( talak tiga itu) .Maka aku serahkan kepada
setiap orang untuk menetapkan hal itu bagi dirinya. Siapa yang mengatakan
kepada istrinya, 'Engkau haram bagiku,' maka ia haram baginya. Siapa yang
mengatakan kepada istrinya, 'Engkau menjadi ba'in bagiku,' maka ia menjadi ba
'in baginya. Siapa yang mengatakan kepada istrinya, Engkau kuceraikan dengan
talak tiga sekaligus,' makajatuh talak tiga."
Hadis-hadis
di atas menunjukkan bahwa tindakan Khalifah itu tidak merupakan ijtihad dalam
masalah yang tidak ada ketentuan nasnya. la juga tidak mengambil kandungan
konstitusi yang ditunjukkan dengan memperbaiki syarat dan menjalankan hukum
syariat pada tema-tema yang bersekutu di dalamnya masalah yang telah ditetapkan
dengan nas. Tindakannya itu merupakan bentuk ketiga, yaitu ijtihad melawan nas,
mengesampingkan dalil syariat, dan berjalan mengikuti pendapatnya sendiri.
Ketika hukum yang
bersumber dari Khalifah itu bertentangan dengan nas atau lahiriah Al-Qur'an,
sebagian muhaqqiq berusaha membenarkan tindakan Khalifah itu dengan berbagai
alasan. Bahkan mereka membenarkan hukum yang ditetapkannya, membenarkannya, dan
mengeluarkannya dari lingkup ijtihad melawan nas, bahkan menjadi bersumber dari dalil syariat.
1.
Naskh Al-Qur'an dengan ljma
Talak yang
disebutkan dalam Al-Qur'an ifu telah di-mansukh. Kalau Anda bertanya, "Apa
alasan naskh itu, padahal ‘Umar ra tidak melakukan naskh? Bagaimana dapat
terjadi naskh.sepeninggal Nabi saw?
Sayajawab: Ketika 'Umar
mengatakan hal itu, tidak ada yang
mengingkarinya. Maka jadilah ucapannya sebagai ijma. Naskh dengan ijma
dibolehkan oleh sebagian syekh kami. Sebab, ijma itu dihasilkan dari 'ilmul
yaqin, seperti nas. Maka boleh melakukan naskh dengannya. Ijma dalam
kapasitasnya sebagai hujah adalah lebih kuat daripada khabar masyhur.
Jika Anda katakan:
Ini adalah ijma untuk menaskh dari diri mereka sendiri. Hal itu tidak boleh
dilakukan. Saya jawab: kemungkinan tampak pada mereka nas yang mengharuskan
naskh tetapi tidak sampai kepada kita.
Catatan:
Pertama,
dalam masalah ini, ketika
difatwakan Khalifah, terdapat dua pendapat di kalangan sahabat. Bagaimana ijma
itu tunduk pada satu pendapat saja di antara dua pendapat itu? Pada- hal Anda
telah mengetahui pendapat-pendapat berkenaan dengan masalah ini. Oleh karena
itu, kami melihat sebagian lain menolak untuk tunduk pada ijma tersebut. la
mengatakan, “Para sahabat telah sepakat hingga tahun kedua kekhalifahan ‘Umar
bahwa talak tiga dengan satu lafaz jatuh satu. Tidak ada pendapat lain yang
membatalkan ijma ini. Melainkan umat senantiasa memfatwakannya generasi demi
generasi hingga hari ini."
Kedua,
penjelasan ini bertentangan
dengan perbuatan yang dibenarkan oleh Khalifah di dalam perkataannya:
“Sesungguhnya orang-orang terlalu tergesa-gesa dalam satu hal (menjatuhkan
talak tiga dalam satu majelis--pent. ) yang sebenarnya ada tenggang waktu bagi
mereka. Alangkah baiknya kalau kita menetapkannya bagi mereka." Maka ia
pun menetapkannya bagi mereka. Kalau Khalifah bersandar pada nas, tentu
pembenaran itu dapat diterima.
Akhirnya, kami
katakan, bagaimana dengan penjelasan dari pengarang kitab al-Umdah, tentang
Syekh Shalih bin Muhammad al-‘Umari (w. 1298) yang mengatakan, "Yang
dikenal di kalangan sahabat dan tabi'in-kebaikan semoga tercurah kepada mereka
hingga hari kebangkitan-serta para ulama kaum Muslim yang lain, bahwa hukum
dari pemimpin yang mujtahid Apabila menyimpang dari nas Kitab Allah swt dan
sunah Rasulullah saw wajib dibatalkan dan jangan dilaksanakan. Nas Al-Qur'an
dan sunah tidak dapat dibandingkan dengan kecenderungan-kecenderungan aka1, khayalan-khayalan jiwa, dan fanatisrne setan dengan
mengatakan, “Barangkali mujtahid ini telah menelaah dan meninggalkannya karena illat
yang tampak kepadanya. Atau, ia menelaah dalil lain, dan sebagairiya.
Inilah yang biasanya dikemukakan kelompok-kelompok fukaha yang fanatik dan
menutupi kebodohan para muqalid. “
2. Sanksi
terhadap Mereka karena MelanggaT Hukum Allah
Tujuan dilaksanakannya talak tiga seka1igus hanyalah untuk memberikan sanksi kepada mereka atas perbuatan mereka dan peringatan kepada mereka karena telah melanggar hukum Allah. Kemudian ia bermusyawarah dengan para ulama. la berkata, “Orang-orang minta disegerakan da1am satu hal yang di dalamnya terdapat tenggang waktu bagi mereka. Alangkah baiknya kalau kita menetapkannya bagi mereka. Ketika para ulama itu menye- tujuinya, ia menetapkannya bagi mereka. la berkata. Hai manusia, di dalam talak terdapat tenggang waktu bagi ka1ian. Barangsiapa yang tergesa-gesa dalam tenggang waktu yang diberikan Allah, kami wajibkan hal itu kepadanya” Saya tidak menemukan nas dalam referensi yang saya kaji tentang musyawarah ‘Umar dengan para ulama kecuali surat yang ia tulis kepada Abu Musa al-Asy’ari yang bunyinya: “Apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga dalam satu majelis (sekaligus). saya ingin sekali untuk menetapkannya sebagai talak satu “ la memberitahukan keinginannya, bukan mengajaknya untuk bermusyawarah. Kalau memang ia melakukan musyawarah, tentu ia harus bermusyawarah dengan para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang tinggal di Madinah. Orang yang terkemuka di antara mereka adalah ‘Ali bin Abi Thalib. ‘Umar pernah mengajaknya bermusyawarah da1am masalah-maasalah penting dan meminta fatwa darinya.
Ketergesa-gesaan
orang-orang tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran terdapat sesuatu yang
bertentangan dengan Al- Qur’an dan sunah. Bahkan seharusnya ia mencegah
orang-orang melakukan perbuatan buruk itu dengan segala kekuatan. Bagaimana
mungkin dibenarkan menghukum mereka dengan perbuatan yang dinamakan oleh Rasulullah saw sebagai mempermainkan
Kitab Allah?
Ibn Qayim berkata,
"Pendapat ini didasarkan pada Al-Qur.an, sunah, qiyas, dan ijma. Setelah
itu tidak ada ijma yang membatalkannya. Akan tetapi, Arnirul Mukminin ra
memandang bahwa orang-orang telah tergesa-gesa dalam urusan talak dan banyak
melakukannya sekaligus. Maka ia memandang bahwa merupakan suatu kemaslahatan
memberikan sanksi kepada mereka dengan menetapkannya bagi mereka. Hal ini
dimaksudkan agar mereka mengetahui bahwa siapa saja yang menjatuhkan talak tiga
sekaligus maka perempuan itu menjadi ba'in baginya dan haram dinikahi sebelum
dinikahi oleh laki-laki lain atas kehendaknya sendiri dengan maksud melakukan
pernikahan permanen, bukan pernikahan penghalal ( tahlil) . Jika mereka
telah mengetahui hal itu, tentu mereka akan menahan diri dari talak yang
diharamkan itu. 'Umar beIpendapat bahwa ini merupakan kemasalahatan bagi mereka
pada zamannya. la juga berpendapat bahwa apa yang berlaku pada zaman Nabi saw,
Abu Bakar, dan tahun-tahun pertama kekhalifahannya adalah lebih cocok bagi
masyarakat ketika itu. Sebab, ketika itu masyarakat tidak banyak melakukan
talak dan takut kepada Allah dalam masalah tersebut. Allah telah memberikan
jalan keluar bagi setiap orang yang bertakwa kepada-Nya. Ketika mereka
meninggalkan ketakwaan kepada Allah, mempermainkan Kitab Allah, dan melakukan
talak dengan cara yang tidak disyariatkan Allah, maka ia .mewajibkan kepada
mereka apa yang biasa mereka kerjakan itu sebagai hukuman. Sebab, Allah SWT
telah mensyariatkan talak satu demi satu, tidak mensyariatkannya
sekaligus."
Catatan:
Pembenaran terhadap
tindakan Khalifah yang disebutkan di atas tidaklah benar. Sebab, kalau
kemaslahatan sementara itu dapat membenarkan perubahan hukum, lalu apa artinya
hadis: "Apa yang dihalalkan Muhammad adalah halal hingga hari kiamat dan
apa yang diharamkannya adalah haram hingga hari kiamat." Kalau benar apa
yang disebutkan itu untuk memasukkan perubahan ke dalam syariat maka Islam
menjadi ajang permainan di tangan kekuasaan. Kemudian datang seorang penguasa,
lalu mengharamkan puasa bagi para buruh agar mereka tetap bertenaga di tempat
kerja.
Akhimya, kami
sebutkan perhatian sebagian ulama Ahlusunah generasi sekarang terhadap praktik
talak jenis ini. Oleh karena itu, undang-undang kehakiman syariah Mesir diulang
dan bertentang dengan mazhab Hanafi setelah kemerdekaan negara itu dari
Kesultanan Daulah 'Utsmaniyah.
Namun, sayang
sekali, banyak mufti Ahlusunah yang memberikan fatwa bolehnya mempraktikkan
talak jenis ini. Oleh karena itu, penulis tafsir al-Manar, setelah
melakukan penelitian yang saksama, mengatakan, "Yang dimaksud bukanlah
untuk berdebat dengan para muqalid atau memalingkan para qadhi dan mufti dari
mazhab mereka. Sebab, kebanyakan mereka menelaah nas-nas ini dari kitab-kitab
hadis dan lain-lain tetapi mereka tidak mempedulikannya karena yang mereka amalkan
ada1ah yang bersumber dari pendapat mazhab mereka, bukan dari Kitab Allah dan
sunah Rasul-Nya."
lbn
Qayim membahas secara panjang lebar dalam menganalisis ketetapan 'Umat tentang
talak tiga. Berikut ini rangkumannya. ia bersandar pada perubahan hukum dengan
kemaslahatan dan menca:mpurkan antara yang sahih dan yang cacat. Berikut ini
penjelasannya: Hukum-hukum itu dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama,
jenis hukum yang tidak dapat diubah dengan keadaan apa pun; tidak karena
perubahan zaman, tempat, atau ijtihad para imam. Yang termasuk ke dalam
kategori ini seperti wajibnya semua kewajiban, haramnya semua perbuatan haram,
dan hukuman-hukuman yang ditetapkan syariat atas tindakan kriminal.
Kedua,
jenis hukum Yang dapat
berubah karena tuntutan kemaslahatan, baik karena waktu, tempat, maupun
keadaan. Yang termasuk dalam kategori ini di antaranya adalah kadar sanksi ( ta'zir)
serta jenis-jenis dan sifat-sifatnya-kemudiali ia memberikan beberapa
contoh bentuk ta'zir. Selanjutnya ia berkata: Oleh karena itu, ia-maksudnya
'Umar bin al-Khaththab-ketika melihat masyarakat banyak melakukan talak
berpendapat bahwa mereka tidak dapat dicegah keruali dengan memberikan hukuman.
Karenanya ia berpendapat untuk mewajibkannya kepada mereka sebagai hukuman agar
mereka menahan diri dari perbuatan tersebut. Hukuman itu berupa:
I.
Ta 'zir 'aridh yang dilakukan ketika diperlukan, seperti bagi peminum
khamar dihukum cambuk 80 kali dan digunduli kepalanya;
2. Menetapkan bahwa
talak tiga sekaligus itu sebagai talak satu yang sah dengan syarat talak itu
telah dijatuhkan;
3.
Memberlakukan larangan. Pada zamannya berlaku larangan dengan menetapkan talak
tiga sekaligus itu sebagai talak satu. Selanjutnya ia mengatakan: Ketika Amirul
Mukminin (‘Umar) memandang bahwa Allah SWT memberikan hukuman kepada laki-laki
yang melakukan talak tiga sekaligus dengan mengharamkan bekas istrinya itu
dinikahinya sebelum dinikahi oleh laki-laki lain, tahulah ia bahwa hal itu
karena kebencian pada talak yang diharamkan itu. Kemudian Amirul Mukminin
bertekad untuk memberikan hukuman kepada orang yang melakukan talak tiga
sekaligus dengan menetapkan dan mewajibkan ha1 itu kepadanya.
Jika
ada orang mengatakan bahwa bukankah lebih mudah melarang orang-orang menjatuhkan
talak tiga sekaligus, serta mengharamkannya dan menghukumnya dengan cambukan
agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang itu.
Jawab:
Benar. Demi Allah, ia dapat melakukan ha1 itu. Oleh karena itu, pada akhir
hayatnya ia menyesalinya. Al-Hafizh Abu Bakar al-lsma’il dalam Musnad 'Umar berkata:
Mengabarkan kepada kami Abu Ya’la; menyampaikan kepada kami Shalih bin Malik;
menyampaikan kepada kami Khalid bin Yazid bin Abu Malik dari bapaknya: ‘Umar
bin al-Khaththab ra berkata, "Aku tidak pemah menyesali sesuatu seperti
penyesa1anku atas tiga ha1, yaitu mengharamkan talak, menikahkan maula, dan
membunuh orang yang meratap. Yang dimaksud dengan talak yang diharamkannya
ada1ah talak raj’i (talak yang masih dimungkinkan rujuk). Yang dihalalkan Allah
SWT. la pun mengetahui kehalalannya dari agama Rasulullah saw talak yang
diharamkannya itu bukan talak yang disepakati kaum Muslim tentang keharamannya,
seperti talak da1am masa haid dan suci setelah dicampuri, bukan talak sebelum
dicampuri ( dukhul) . Maka jelaslah bahwa ia ingin mengharamkan talak
tiga sekaligus.
'Umar ra berpendapat
bahwa kerusakan itu dapat dicegah dengan mengharuskan mereka melaksanakannya (
talak tiga sekaligus-pent.). Ketika diketahui bahwa kerusakan itu tidak dapat
dicegah dengan cara itu, dan justru bertambah besar, ia memberitahukan bahwa
yang utama adalah kembali mengharamkan talak tiga sekaligus. Kerusakan ini
dapat dicegah dengan memberlakukan kembali apa yang pernah berlaku pada masa
Rasulullah saw, Abu Bakar, dan tahun-tahun pertama kekhalifahan ‘Umar-ra.
Catatan:
Apa yang dijelaskan
Ibn Qayim tentang pengklasifikasian hukum-hukum ke dalam dua kategori adalah
benar. Akan tetapi, dari mana diketahui bahwa hukum talak tiga sekaligus
tennasuk kategori kedua. Apa perbedaan antara hukum segala kewajiban serta
segala yang haram dan firman Allah swt: Talak itu dua kali? Bagaimana
hukum yang dikatakan Rasulullah saw bahwa menentangnya sebagai mempennainkan
agama itu dapat berubah?
Ibn Qayim
menyebutkan tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama dapat diterima dan sesuai
dengan ucapan Khalifah itu sendiri. Sedangkan dua kemungkinan terakhir, yaitu
menetapkan ta1ak tiga sekaligus sebagai talak satu dengan Syarat talak itu
telah dijatuhkan atau menetapkan larangan pemberlakuannya, ia tidak bersandar
padanya, motif dikemukakannya dua kemungkinan itu adalah karena tunduk pada
perasaan dan pembenaran terhadap tindakan Khalifah dengan cara apa pun.
Hukum-hukum yang dapat
berubah karena perubahan zaman dan pergantian situasi adalah hukum-hukum yang
substansinya ditetapkan dengan melihat kemaslahatan. Karakteristik dan
bentuknya diserahkan pada pendapat pemirnpin Islam. Hukum-hukum jenis ini dapat
berubah. Pembuat syariat tidak menetapkan substansi, bentuk, dan tata caranya,
bukan terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh pembuat syariat
substansi, bentuk dan tatacaranya. Tidak diperkenankan campur tangan pemimpin
Islam dalam masalah ini dan dalam hukum-hukum berkenaan dengan ahwal
syakhshiyyah. Pemimpin Islam tidak boleh ikut campur tangan dalam
hukum-hukum nasab, mushaharah (persaudaraan melalui pernikahan),
penyusuan, dan iddah (al-‘adad). la tidak boleh mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah kendatipun sebagai hukuman bagi orang yang berbuat kesalahan.
Sebaliknya, hal itu merupakan
hukum-hukum yang rigid (tetap), tidak tunduk pada pertimbangan pemimpin
dan lain-Iain.
Adapun
hukum-hukum yang membolehkan adanya campur tangan pemimpin di dalamnya adalah
hukum-hukum yang dalam menentukan karakteristik dan bentuknya diserahkan kepada
pemimpin untuk memelihara kepentingan Islam dan kaum Muslim. Hal itu
disesuaikan dengan tuntutan situasi yang berlaku. Berikut ini beberapa contoh
di antaranya agar tidak bercampur satu dengan yang lain.
I. Dalam hubungan
diplomasi antar negara. Negara Islam wajib memelihara kepentingan Islam dan
kaum Muslim. Ini merupakan prinsip yang rigid dan kaidah umum. Adapun
caranya, hal itu berbeda-beda bergantung pada situasi dan tempat. Kadang-
kadang kemaslahatan menuntut dilakukannya hubungan baik dan perdarnaian dengan
musuh, tetapi di waktu lain menuntut hal seba1iknya.
Demikianlah,
ketentuan dan hukum khusus berlainan da1am hal ini karena perbedaan situasi.
Akan tetapi, ha1 itu tidak keluar dari lingkup kaidah umum, yaitu memelihara kepentingan
kaum Muslim, seperti firman Allah SWT:
Dan
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir itu
untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman. (QS. an-Nisa' [4]:
141)
Allah tidak melarang kamu
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Se- sungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu dan membantu ( Orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS.
al-Mumtahanah [60]: 8-9)
2. Hubungan perdagangan
antamegara. Kemaslahatan menuntut dibuatnya kesepakatan-kesepakatan ekonomi dan
pembentukan perusahaan-perusahaan dagang atau lembaga-lembaga perindustrian
yang menuntut kaum Muslim bergabung dengan kaum yang lain. Kemaslahatan juga
menuntut selain itu. Termasuk dalam kategori ini, ketentuan dari Imam-semoga
Allah mengampuninya-seorang pembaharu, Sayyid asy-syirazi yang telah
mengharamkan merokok untuk menghambat pelaksanaan kesepakatan ekonomi yang
dibuat ketika itu antara Iran dan Inggris. Kesepakatan itu akan menghilangkan
hak- hak umat Islam Iran, karena memberikan hak monopoli tembakau Iran kepada
Inggris.
3.
Membela kemurnian Islam, memelihara kemerdekaannya, dan menjaga batas-batasnya
dari serangan musuh merupakan ketentuan yang rigid, tidak dapat diubah. Tujuan
utama disyariatkannya Islam adalah untuk memelihara kedaulatan Islam dari
serangan dan gangguan musuh. Oleh karena itu, diwajibkan kepada kaum Muslim
untuk membentuk kekuatan dan angkatan bersenjata yang kuat untuk menghadapi
musuh. Hal itu diungkapkan dalam firman-Nya, "Dan siapkanlah untuk
menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi" (QS. al-Anfal
[8]: 60). Ini merupakan prinsip yang rigid dalam Islam yang ditegaskan
oleh akal dan fitrah. Adapun, bagaimana cara melakukan pembelaan, strategi, dan
jenis persenjataan, atau harus dan tidaknya dibentuk milisi, semuanya terserah
tuntunan zaman. Hal itu dapat berubah karena perubahan zaman, tetapi dilaku-
kan dalam lingkup kaidah umum. Dalam hal itu, dalam Islam, tidak ada prinsip
yang rigid, bahkan dalam pembentukan wajib militer yang merupakan
masalah mendasar di banyak negara.
Apa
yang kita lihat dalam kitab-kitab fiqih berupa bab-bab atau kitab-kitab khusus
tentang hukum-hukum perlombaan balap kuda, melempar tombak, dan berbagai jenis
kegiatan ketentaraan lainnya yang dikenal pada waktu-waktu yang lalu. Dalam,
bab itu dinukil hadis-hadis dari Rasulullah saw dan para imam Islam.
Hukum-hukumnya tidak rigid dalam Islam yang diserukan Pembuat syariat
dengan bentuk yang kaku. Bahkan hal itu merupakan implementasi hukum tersebut.
Tujuannya adalah untuk membentuk kekuatanyang memadai dalam menghadapi musuh
pada masa itu. Adapun hukum-hukum yang harus diterapkan pada masa kini harus
mengikuti tuntutan masa kini.
Pemimpin Islam berkewajiban
membentuk angkatan bersenjata yang kuat dan persenjataan yang lengkap yang
memungkinkan untuk memelihara Islam dan para penganutnya dari segala bahaya dan
menghalangi setiap persekongkolan musuh. semua itu disesuaikan dengan kemajuan
zaman.
Pembuat konstitusi
yang menghendaki konstitusinya tetap berlaku dan abadi tidak perlu mencantumkan
hal-hal yang terperinci dan parsial. Tetapi yang harus dilakukannya adalah
menetapkan hal-hal universal dan prinsip-prinsipnya agar konstitusinya tetap
berlaku dalam segala zaman yang berbeda- beda. Kalau ia tidak melakukan hal
ini, tentu konstitusinya itu akan berlaku sebentar saja.
4. Penyebaran dan
penyempumaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang menjamin kedaulatan
masyarakat secara material dan spiritual terungkap dari fardu-fardu Islam.
Adapun menentukan jenisnya dan jenis perangkatnya tidak ditentukan dengan
ketentuan khusus, melainkan diserahkan kepada pemimpin Islam. Ketentuannya
dibuat berdasarkan kemampuan yang ada dalam lingkup undang-undang yang berlaku.
Pendek kata, Islam
telah mewajibkan kepada para pemimpin kaum Msu1im untuk menyebarkan ilmu
pengetahuan di tengah rakyat dan memerangi segala bentuk buta huruf. Adapun,
bagaimana jenis ilmu pengetahuan itu dan karakteristiknya diserahkan pada
pandangan pemimpin Islam, karena ia lebih mengetahui kebutuhan pada zamannya.
Betapa banyak ilmu
pengetahuan yang tidak lazim karena tidak dibutuhkan pada masa-masa yang lau.
Akan tetapi, kini ilmu pengetahuan tersebut menjadi ilmu-ilmu yang lazim yang
mengandung kemaslahatan bagi masyarakat, seperti ekonomi dan politik.
5. Memelihara
sistem, mengatur urusan-urusan dalam negeri, meningkatkan perekonomian, dan
kepentingan-kepentingan tempat
memerintahkannya karena di dalamnya terdapat faedah tersebut. Hal itu merupakan
faedah keagamaan terpenting karena hasil yang diperolehnya berupa mengalahkan
musuh dalam berijihad melawan musuh-musuh Allah swt yang merupakan pilar Islam
paling utama. Oleh karena itu. faedah tersebut terlepas dari main-main dan
kelalaian yang dilarang dilakukan”.
Apabila
tujuan pensyariatannya adalah untuk persiapan menghadapi peperangan dan melatih
jihad maka ketika itu tidak ada perbedaan antara yang berlaku pada zaman Nabi
saw dan zaman-zaman lainnya berdasarkan kemampuan yang diyakini lainnya. Itu semua mengikuti tuntutan situasi. Dalam hal
ini Islam tidak memiliki aturan khusus yang harus diikuti. Tetapi yang
dikehendaki Islam adalah tercapainya tujuan-tujuan tersebut dengan
perangkat-perangkat yang memungkinkan. Islam tidak menentukan dan menetapkan
jenis perangkat-pe- rangkat ini. Hal itu diserahkan pada kemajuan zaman yang
dilalui manusia. Namun, semuanya harus berada dalam lingkup kaidah-kaidah umum.
6. Islam nenetapkan
prinsip yang rigid dalam masalah harta, yaitu firman Allah swt, "]anganlah
kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil " Dari
prinsip ini, para fukaha memhuat perincian sehagai syarat dalam sahnya akad
jual beli atau muamalah. Mereka mengatakan, "Agar muamalah itu sah
disyaratkan adanya manfaat yang sah. Jika tidak, muamalat itu tidak sah."
Dari sini, mereka mengharamkan jual beli darah.
Tetapi, mengharamkan
jual-beli darah hukanlah hukum yang rigid dalam Islam. Melainkan
pengharaman itu berlaku pada zaman yang lalu sehagai implementasi makna ayat
yang mengharamkan memakan harta dengan cara yang haul. Jual- beli darah yang
berlaku pada waktu itu merupakan substansinya. Hukum itu berlaku karena adanya
faedah-yang mengeluarkan muamalah itu dari substansinya sehagai memakan harta
dengan cara batil, dan tidak diperolehnya faedah-yang mengeluarkan muamalah
dari substansinya sehagai memakan harta dengan cara batil: Kalau dari jual-beli
darah itu diperoleh faedah yang masuk akal, tentu hukum yang mengharamkannya
beruhah menjadi menghalalkannya. Hukum yang berlaku tetap dalam hal ini adalah
firman Allah swt, "]anganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan
cara yang batil "
Berkenaan
dengan masalah ini, diriwayatkan hadis: 'Ali as pernah ditanya tentang sabda
Rasulullah saw: "Semirlah uhan tetapi jangan menyerupai
orang-orangYahudi." Kemudian 'Ali as herkata, "Rasulullah saw
bersabda demikian karena ketika itu pengikut agama ini masih sedikit. Adapun
kini agama ini telah tersebar ke berbagai pelosok dan dapat menaklukkan
musuh-musuhnya. Karenanya setiap orang dapat memilih (warna semir ramhut itu)
yang disukainya."
Demikianlah, karena hukum
tentang sahnya talak tiga sekaligus itu menyebabkan timbulnya kerusakan
sepanjang sejarah maka Ibn Qayim-sambil membenarkan tindakan Khalifah ‘Umar
memberikan penjelasan tentang dampaknya yang menjadikan musuh-musuh Islam
merasa senang. Berikut ini kami kutipkan penjelasannya.
Ibn Qayim-sebagai
telah Anda ketahui-termasuk orang- orang yang fanatik membela fatwa Khalifah.
la membenarkan hukum yang ditetapkan Khalifah itu dengan mengatakan bahwa
kemaslahatan ketika itu menuntut keharusan ditetapkannya talak tiga sekaligus.
Hal itu dilakukan atas inisiatifnya sendiri. Anda telah mengetahui lemahnya
pembelaan itu. Akan tetapi, pada akhir penjelasannya ia menyebutkan bahwa
kemaslahatan pada zarnan kita sekarang adalah kebalikan dari kemaslahatan yang
ada pada zarnan Khalifah. Sebab, mengesahkan talak tiga sekaligus akan
mendatangkan kerusakan bagi kaum Muslim dalam lingkungan kita dan menyebabkan
celaan dari para musuh terhadap agama ini dan para penganutnya. Karenanya, pada
zarnan sekarang kita wajib kembali pada Al-Qur'an dan sunah, yaitu tidak
menjatuhkan talak kecuali satu demi satu.
Namun,
ia lupa terhadap kebenaran dalam masalah ini. Yaitu, bahwa kemaslahatan pada
sepanjang zaman adalah sama. Hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah swt sesuai
dengan kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Cacian dan ejekan yang disebutkan Ibn
Qayim muncul karena penyimpangan dari jalan yang luas ini dan ijtihad melawan
nas tanpa ada kepentingan yang mendesak melakukan itu. Oleh karena itu, kami
mengutip penjelasannya agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang-pada zaman
sekarang-ingin mempemainkan hukum-hukum syariat dengan kemaslahatan yang
dikira-kira. Berikut ini teks penjelasannya.
Masalah
ini termasuk fatwa yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Adapun
zaman-zarnan ketika farji mengadu kepada Tuhannya tentang kerusakan penghalalan
itu dan kejelekan yang diakibatkan orang-orang yang menghalalkannya sebagai
kebutaan pada mata agama dan duri dalam kerongkongan kaum Mukmin termasuk
kejelekan-kejelekan yang melegakan musuh-musuh agama dan menghalangi
orang-orang yang ingin menganutnya, karena Al-Qur'an tidak memberikan perincian
dan pembatasannya. Seluruh kaum Mukmin memandangnya sebagai kejelekan dan aib
paling besar. Aturan dan namanya telah berubah dari agama ini. Domba kiasan itu
melumuri perempuan yang ditalak dengan najis penghalalan. Tetapi ia mengatakan
bahwa ia telah memberikan wewangian kepadanya untuk suaminya. Sungguh
mengherankan. Wewangian apa yang dikiaskan domba tercela ini? Kemaslahatan apa
yang diperoleh perempuan itu dan orang yang melakukan talak dari perbuatan
rendah ini?
Tidakkah
Anda lihat berdirinya suami yang melakukan talak atau walinya di depan pintu, dan
domba terlaknat itu telah menanggalkan sarung dan kain cadamya. Demikianlah ia
menjadi- kannya padang rumput. Suami atau wali itu memanggilnya, "Makanan
ini tidak dibawakan kepadamu agar kamu kenyang. Engkau, istri, kami, para
saksi, para hadirin, para malaikat pencatat, dan Tuhan alam semesta mengetahui
bahwa engkau tidak dianggap sebagai suami. Perempuan itu dan walinya, juga
farji dan kecantikan, tidak ridha kepadamu. Engkau hanyalah seperti domba yang
kalau tidak ada ujian ini tentu kami tidak merelakan kamu berdiri di depan
pintu. Orang-orang menampakkan pernikahan dan menunjukkan kebahagiaan dan
kegembiraan. Kami saling berwasiat agar menyembunyikan penyakit tak terobati
ini dan nienjadikannya sesuatu yang tertutup tanpa nyanyian dan dan tanpa rebana,
serta tanpa hidangan dan tanpa pengumuman. Melainkan diwasiatkan dengan
berbisik-bisik, sentuhan, dan kerahasiaan. Perempuan itu dinikahi karena agama,
hasab, harta, dan kecantikannya.
Domba
itu tidak ditanya sedikit pun tentang semua itu. Keterpeliharaannya tidak
dipercayai. Melainkan ia masuk ke dalam kebinasaan. Allah SWT telah menjadikan
masing-masing dari suami- istri sebagai tempat ketenangan bagi yang lainnya,
dan menjadikan cinta dan kasih sayang di tengah mereka agar dengan demikian
diperoleh tujuan akad yang agung ini. Dengan dernikian, sempurnalah
kemaslahatan yang disyariatkan oleh Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Bijaksana.
Tanyalah
domba itu, apakah ia memiliki bagian seperti itu? Atau, apakah hikmah, maksud,
dan kemaslahatan akad ini merupakan sesuatu yang asing dan aneh? Tanyalah ia,
apakah ia mengambil istri sebagai pendamping? Apakah ia meridhainya sebagai
suami yang dapat dimintai tolong ketika ia mendapat musibah? Tanyalah
orang-orang berakal, apakah kamu menikahkan si fulanah dengan si fulan? Apakah
ini dipandang sebagai pernikahan menurut syariat, akal, atau fitrah manusia?
Mengapa Rasulullah saw melaknat seorang laki-laki dari umatnya yang menikah
secara syariat dan sah dan dalam akadnya tidak melakukan yang haram dan
tercela? Mengapa beliau mengumpamakannya dengan domba padahal ia termasuk
orang-orang baik dan berbuat kebajikan? Mengapa sepanjang hidupnya perempuan
itu menjelek-jelekkannya di tengah keluarga dan tetangganya, dan ia menundukkan
kepalanya ketika domba itu disebutkan di tengah kaum perempuan? Tanyalah domba
itu, apakah ketika dilakukan akad ini yang merupakan sisi lain dari
kemunafikan, ia bemiat akan memberikan nafkah, pakaian, dan mas kawin? Apakah
istrinya makan dari pemberian itu? Ataukah ia meniatkan sesuatu yang lain?
Apakah ia menuntut dari istrinya seorang anak yang saleh dan istri
menjadikannya sebagai kekasih?
Tanyalah orang-orang
berakal di seluruh dunia. apakah orang terbaik dari umat ini adalah yang paling
banyak melakukan penghalalan, dan apakah penghalal yang dilaknat Allah dan
Rasul-Nya adalah orang yang paling lurus jalannya? Tanyalah domba itu dan
wanita yang diuji dengannya, apakah salah satu dari keduanya mempercantik diri
untuk sahabatnya seperti laki-laki mempercantik diri untuk perempuan dan perempuan
mempercantik diri untuk laki-laki, atau salah satu dari keduanya mencintai
sahabatnya karena hasab, harta, dan kecantikan? Tanyalah perempuan itu, apakah
ia tidak mau dimadu atau dijadikan gundik oleh domba ini, atau apakah ia tidak
mau kalau di sampingnya ada perempuan lain, atau ia bertanya kepadanya tentang
harta dan pekerjaan. atau kemuliaan kerabat-dan besar belanjanya? Tanyalah
domba itu, apakah ia bertanya tentang apa-apa yang ditanyakan oleh orang yang
bermaksud melakukan pernikahan hakiki atau ia memohon kepada mertuanya hadiah.
sekedup, dan uang yang biasa diminta oleh peminang yang ganteng? Tanyalah ia,
apakah ia "pengambil" atau "pemberi"? Apakah ucapannya
ketika Abu Jad membaca akad ini, "ambillah biaya pernikahan pengantin
lelaki ini atau letakkanlah "? Tanyalah ia, apakah menanggung beban akad
ini dengan "ambillah biaya pernikahan ini atau letakkanlah"?
Tanyalah ia tentang
pesta pernikahannya, apakah ia akan melakukan pesta pernikahan walaupun dengan
seeekor kambing? Apakah ia mengundang sahabatnya ke pesta pernikahan itu, lalu
memenuhi hak dan mendatanginya? Tanyalah ia. apakah ia menanggung beban akadnya
ini seperti yang biasa dipikul orang- orang yang menikah, atau-seperti berlaku
di tengah masyarakat pada umumnya - teman-teman dan penggembira mendatanginya? Apakah dikatakan kepadanya, "semoga Allah
memberikan berkah kepada kalian dan mengumpulkan kalian dalam kebaikan dan
perlindungan" atau "semoga Allah melaknat muhallil itu dan muhallal
dengan sebesar-besar laknat"?
Catatan: Aib yang-menurut
dugaannya-masuk ke dalam ajaran Islam sebagai akibat disahkannya talak tiga
sekaligus. Talak satu pada dasarnya dipandang sebagai talak tiga. Adapun yang
disyariatkan Al-Qur.an bergantungnya keabsahan pernikahan setelah talak tiga
pada muhallil merupakan aturannya yang paling utama dan paling teguh. Aib tidak
masuk ke dalam ajaran Islam dari sisi ini. selama-lamanya. Hal itu karena “
Pertama
suami menghindari talak
tiga sekaligus karena mengetahui bahwa pernikahan sesudahnya bergantung pada tahlil
yang tidak dapat ditanggung oleh kebanyakan laki-laki.
Kedua.
ia tidak akan melakukannya
kecuali apabila berputus asa untuk menikah lagi. Sebab. pengalaman membuktikan
bahwa suami-istri itu tidak dalam tingkatan yang sama dalam hal akhlak dan
keruhanian. la tidak akan melakukan talak kecuali Apabila telah berputus asa
menikah lagi. Jarang sekali ada kecenderungan untuk menikah kembali dengan
perempuan yang telah dicerainya dengan talak tiga, kalaupun tidak dikatakan
tidak ada. Ketika itu. sedikit sekali kebutuhan kepada muhallil/ Ini
berbeda dengan mensahkan talak satu sebagai talak tiga. Banyak suami yang
menyesali perceraian itu dan ingin membina kembali rumah tangga yang telah
dihancurkan dengan talak-berdasarkan keharusan bergantung pada muhallil yang
mendatangkan aib dan memunculkan apa yang disebutkan Ibn Qayim dalam
penjelasannya.
Atas
penje1asannya itu masih terdapat catatan-catatan lain yang yang kami abaikan,
khususnya berkenaan dengan anggapannya bahwa muhallil itu dapat diupah
untuk melakukan tahli1 Menikah untuk tujuan itu merupakan anggapan yang sangat
keliru. bahkan dengan tujuan yang sama ia menikahi perempuan lain. Padahal,
kalau ia menceraikan istrinya atas dasar kehendaknya sendiri maka perempuan itu
menjadi halal bagi mantan suaminya yang pertama.