Eunike
 EDISI 1 - 5  
 BUNDEL (Revised) 

Menu Utama


Daftar Isi
 Ibu Kartini Terperangkap di...

 Seperti Katak di Dalam...

 Air Susu Dibalas Air Tuba

 Anak-Anak Tidak Akan...

 Pengalaman kalau Salah..

 Antar Kita: Ibu Full Time...

 Tanya Jawab...

 Perkembangan Anak ...

 Menanamkan Konsep...

 Pujimu Ibunda Yang...


Email
Email:
emailbox@cbn.net.id

Artikel:
Pengalaman Kalau Salah Dalam Mendidik Anak
(
Kejadian 4:1-8)

Ny. Monica Indrawan

alau kita membuat kue bolu, dalam waktu satu jam lebih kita sudah tahu kue bole kita berhasil atau gagal. Kalau rasanya pahit atau kuenya tidak naik, kita tahu bahwa kita sudah mengalami kegagalan. Bagaimana dalam pendidikan anak? Apa kriteria berhasil? Apa kriteria gagal?

Dalam membicarakan masalah remaja, kita mengenal istilah ‘peer-group’ dan ‘peer-presure’. Suatu tekanan yang tidak kelihatan, tetapi nyata. ‘Peer presure’ merupakan tekanan yang memaksa seseorang untuk berbuat sesuai dengan teman-teman sebaya dan lingkungan sekelilingnya. Tekanan ini bisa dalam hal prestasi di sekolah, gelar yang sama tingginya, penghasilan yang sama banyaknya, hidup yang sama majunya, pakaian yang sama mutunya, pengetahuan yang sama dalamnya. Kadang-kadang hal ini bisa positip mendorong untuk bertindak yang baik, tetapi seringkali lebih banyak nilai negatipnya.

Orang tua Kristen juga mengalami ‘peer pressure’ ini, sama seperti remaja. Tekanan tersebut adalah: "mempunyai anak Kristen yang sempurna." Suatu pandangan yang diterima secara luas bahwa kalau anda tidak dapat mendidik anak menjadi anak yang sehat secara emosi, penuh semangat pelayanan, tahu menghargai nilai seni yang tinggi, maka anda telah gagal sebagai orang tua Kristen.

Karena itu orang tua bersedia mengorbankan segalanya, bahkan hubungan dengan pasangan dan pertumbuhan rohani diri sendiri untuk pendidikan anak-anaknya.
Dalam Efesus 5 dan 6 kita melihat orang Kristen harus hidup beribadah kepada Tuhan, harus makin menjadi serupa dengan Kristus, harus dewasa dalam karakter Kristiani, harus setia dalam kehidupan dan kesaksian, dan akhirnya harus melaksanakan kehidupan keluarga dan mendidik anak dalam ajaran serta nasehat Tuhan.

Kita mengasihi anak-anak kita dan mau memberikan yang terbaik bagi mereka baik dalam pembentukan kepribadian maupun kerohanian mereka. Tetapi kalau kita menempatkan mereka sebagai nomor satu, begaimanapun mulianya motivasi kita, kita kurang menghargai Tuhan dan menimbulkan persoalan bagi kita dan bagi anak-anak.

Karena itu, "membuat anak Kristen yang sempurna" atau menciptakan orang suci kecil, bukanlah tujuan kita. Kedewasaan Kristen membutuhkan pergumulan dan pertumbuhan. Akan ada masa-masa di mana anak-anak bersikap seperti orang yang belum pernah diajar. Kadang-kadang mereka begitu sulit, menyebalkan dan menyusahkan. Itu adalah bagian dari pertumbuhan. Mengharapkan kesempurnaan hanya menimbulkan ketakutan dan rasa bersalah pada orang tua. Anak-anakpun akan mengalami ketakutan serta tekanan/stress yang tidak perlu.

Mungkinkah kita berusaha mendidik anak kita menjadi anak Kristen yang sempurna bukan untuk kepentingan anak itu sendiri tetapi untuk kebanggaan orang tua? Mungkinkah kita mendidik mereka baik-baik untuk mendapat balasan kasih dari mereka? Mungkinkah kita curahkan seluruh perhatian kita karena kita lebih haus akan cinta kasih mereka daripada cinta kasih Allah? Dikasihi anak-anak adalah sukacita yang paling dalam di kehidupan ini. Semua orang tua menginginkannya. Tetapi menempatkannya di atas kasih Allah adalah kesalahan prioritas.

Marilah kita mengasihi anak-anak kita dengan sepenuh hati kita. Itu adalah hak mereka. Mereka tak perlu mencapai standard tertentu untuk kita kasihi.

Kita harus terus mengingat untuk tidak menuntut mereka berlebihan. Jangan menenkan mereka untuk menjadi "anak Kristen yang sempurna ". Seperti juga kita, mereka adalah manusia yang berdoa. Biarlah kasih kita kepada anak-anak dicurahkan dengan penuh disiplin, menyeluruh dan bebas. Berilah anak-anak anda dasar yang kuat untuk kehidupan Kristen yang utuh, dampingi dalam jatuh bangun dan pergumulannya sebagai realitas kehidupan. Biarlah mereka ikut mengalami pergumulan jatuh bangun kehidupan rohani orang tuanya sebagai hal yang nyata sehingga mereka bisa bertumbuh dalam kedewasaan iman pribadi yang kokoh. Dan Biarlah mereka mengalami kebahagiaan dan kedamaian yang juga dialami oleh orang tua yang senantiasa berusaha hidup dalam Tuhan.

(Sumber: "Why Christian Kids Have Their Faith", Tim Bissed)

PENGALAMAN PEMBACA

"MERASA BERSALAH DALAM MENDIDIK ANAK"


Saya dikaruniakan anak kembar laki-laki segera setelah kami menikah. Saya merasa tidak siap, oleh sebab itu saya banyak membaca buku. Dengan segala idealisme yang ada di kepala saya menuntut anak-anak saya dengan keras. Kadang-kadang saya merasa terlalu keras terhadap mereka. Sampai anak kembar saya menduduki bangku SMP, saya merasa pendidikan saya sia-sia, mereka tetap tidak mau diatur dan sering membuat saya jengkel. Saya sempat merasa bersalah karena kekerasan saya itu. Saya merasa tidak bisa lagi kembali ke masa di mana saya bisa bersikap lembut dan mesra kepada mereka. Mereka cepat sekali bertumbuh. Rasa bersalah ini saya kompensasikan kepada anak ketiga. Saya perlakukan dia sangat lembut, saya agak memanjakannya. Setelah anak kembar saya menduduki bangku SMA, saya agak terkejut melihat perkembangan sikap mereka. Ternyata mereka menghargai dan menghormati saya. Saya mulai melihat buah-buah pendidikan yang saya berikan. Melalui hal ini saya belajar bahwa kita jangan terlalu cepat merasa bersalah dengan disiplin yang kita tegakkan untuk anak-anak. Kita tidak bisa melihat hasil terlalu cepat. Disiplin itu perlu jika diberikan dengan kasih. Memanjakan anak memang menyenangkan untuk kita sebagai orang tua, akan tetapi tidak baik untuk anak itu sendiri (Ny. Christin T.).