The Cross
Under the Cross

English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Maps
Help Ambon
Statistics
HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2000 -
1364283024 &
1367286044

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 
FORUM KOMUNIKASI PEDULI MALUKU

Jakarta, Oktober 10, 2000

Kepada Yang Terhormat Delegasi IPU
Di Jakarta

Sebuah Appeal Kepada Masyarakat Internasional Berkaitan dengan Tragedi Kemanusiaan di Maluku

Dear Para Delegasi IPU,
Situasi Maluku dan kota Ambon hingga perumusan appeal ini masih terus diwarnai aksi kekerasan. Periodisasi konflik di Maluku sejak 19 Januari 1999 telah memasuki gelombang kelima terhitung sejak bulan September 2000 hingga kini. Gelombang Kelima kerusuhan ini dihitung setelah berakhirnya minggu tenang pada babakan keempat (April-Agustus) yang mencatat hancurnya sejumlah desa adat Kristen di pulau Ambon, 2 kompleks Universitas, 2 kompleks POLRI dan berbagai kawasan pemukiman Kristen oleh serangan massa laskar Jihad dengan dukungan penuh dari sejumlah satuan TNI maupun oknum POLRI.

I. Laskar Jihad

Perlu diperhatikan bahwa gelombang keempat dan gelombang kelima kerusuhan Maluku tercipta setelah didatangkannya massa laskar Jihad dari luar kepulauan Maluku pada akhir April. Jumlah personel laskar Jihad yang dikirim ke Maluku dalam 6 gelombang, hingga 1 Oktober 2000, telah mencapai 14.804 personel (Data ini diterbitkan Dewan Pusat Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wa Jamm'ah yang disadurkan dalam berita MHI, 3-10-2000).

Kedatangan laskar Jihad ke Maluku turut diikuti dengan suplai persenjataan dan amunisi entah itu lewat kontainer maupun selundupan. Kekuatan Artileri Laskar Jihad merupakan salah satu faktor kuat dibalik tingginya jumlah korban dan eskalasi kerusuhan. Isu sentral yang dipakai laskar Jihad sebagai dasar aksi kekerasannya terhadap umat Kristen Maluku adalah sebuah fitnah bahwa umat Kristen Maluku adalah kaum separatis RMS (Republlik Maluku Seranni, Serani = Kristen) sekalipun fitnahan ini sudah berulang kali ditolak dan diklarifikasi oleh Pangdam maupun oleh Pemerintah.

Dalam catatan kerusuhan gelombang keempat dan kelima, hampir 100% semua konflik kekerasan berupa penyerangan, penghancuran kawasan dan pembunuhan, dilakukan oleh kelompok laskar Jihad baik di pulau Ambon maupun di Saparua. Sejumlah desa Kristen yang tadinya masih bertahan dari serangan kelompok muslim lokal, dihancurkan total oleh laskar Jihad dengan dukungan serangan artileri berat seperti mortir, granat, senjata berat dan - yang paling utama - adalah dukungan Aparat keamanan dalam penyerangan mereka seperti yang terlihat di desa Poka, desa Rumah tiga, Desa Waai, Desa Sirisori Amalatu, desa Pia, kawasan kampus Universitas Pattimura. Universitas Kristen di Maluku, kawasan Diponegoro, kawasan Airmata Cina, kawasan Urimeseng, kawasan perigi lima, Kampung kolam, desa Ahuru dll. Jumlah ini belum ditambah dengan desa ataupun kawasan yang mengalami kehancuran berat seperti di desa Ulath, desa Suli, desa Hatiwe Besar, desa Galala-hatiwe kecil, kawasan Mangga dua, kawasan tanah lapang kecil dll.

Laskar Jihad yang sebenarnya adalah satuan milisi sipil bersenjata atau replika milisi pro-integrasi Timor-Timur ini, ternyata memiliki kekuasaan yang melebihi daya jangkau Pemerintah pusat, penguasa darurat sipil dan pimpinan militer di Maluku. Hal ini sangat dibuktikan dalam dua gelombang kerusuhan terakhir dimana kelompok ini dengan leluasa bisa melakukan berbagai aksi penyerangan bumi-hangus ke berbagai kawasan pemukiman sipil dan militer di Maluku tanpa menghiraukan keberadaan aparat keamanan maupun perintah pemerintah.

Keleluasan serangan mereka juga sangat kurang direspons dengan upaya perlawanan atau antisipasi dari pemerintah, militer maupun masyarakat. Sekalipun ditemukan bukti kuat adanya keterlibatan laskar Jihad dalam setiap aksi kekerasan, pemerintah dan militer di Maluku seakan tak berdaya mengusut dan memproses temuan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan tidak tersentuhnya Panglima perang laskar Jihad, Jaffar Umar Thalib yang secara terbuka dan jelas memprovokasi Umat Islam untuk terus melakukan aksi kekerasan terhadap umat Kristen di Maluku sewaktu berorasi dalam tabligh akbar di Mesjid Raya Al-fatah, 3 September 2000. Orasi ini kemudian melatar-belakangi serangan laskar Jihad pada gelombang kelima yang terjadi di pulau Saparua & Ambon.

II. Aparat Keamanan

Adanya Modus Operandi laskar Jihad sebagai milisi sipil bersenjata yang mirip dengan milisi bentukan TNI-AD di Timor-Timur, ternyata berindikasi kuat pada keterlibatan militer Indonesia, khususnya TNI-AD di balik pelanggengan konflik. Motif keterlibatan TNI dalam dua gelombang terakhir ini a.l:

* Sejumlah laporan sejumlah saksi mata yang mengalami penyerangan laskar Jihad seperti di desa Waai, desa Hatiwe Besar dll, memberi indikasi kuat bahwa massa penyerang adalah aparat berseragam militer dan bertopi baja pada garis depan dan massa sipil di belakangnya. Disamping itu, pola lainnya adalah aparat menuntun ataupun memberi peluang bagi aksi penyerangan laskar Jihad.

* Indikasi berikutnya yang tak kalah penting ialah penggunaan amunisi seperti mortir dan granat serta senjata otomatik yang hampir semuanya merupakan perlengkapan militer TNI. Faktor penggunaan artileri militer oleh laskar Jihad dalam jumlah banyak merupakan faktor kuat hancurnya daya tahan warga Kristen maupun aparat jaga di wilayah desa-desa Kristen. Keunggulan kekuatan artileri ini bahkan telah diakui oleh Pangdam XVI Pattimura ketika berucap bahwa kekuatan amunisi dan persenjataan perusuh lebih unggul ketimbang aparatnya. Dalam kenyataannya, sebagian dari amunisi yang beredar di masyarakat diperoleh dari transaksi dengan aparat militer.

* Terjadinya Diskomando ataupun hilangnya kendali atas pasukan sebagai akibat adanya intervensi komando lain yang berbeda. Adanya dua komando yang berbeda terhadap aparat TNI di lapangan, seringkali terjadi dalam berbagai aksi penyerangan dimana satuan-satuan TNI yang di-BKO-kan (baca: diperbantukan) ke Kodam XVI Pattimura, ternyata tidak mematuhi komando pengamanan dari Kodam sebagai pengendalinya melainkan melakukan komando lain yang justru memperburuk situasi konflik. Kasus ini jelas terlihat sewaktu terjadi penyerangan dan penghancuran kawasan pemukiman Kristen di Airmata Cina, Urimeseng, desa Waai. Bahkan lebih lanjut antar satuan sering terjadi kontak senjata di lapangan, seperti yang terjadi di kawasan Perigi Lima, Tantui, pulau Saparua dll. Bukan cerita baru terjadi konflik terselelubung antar kesatuan yakni antara TNI AD dengan Brimob ataupun dengan Marinir. Dalam kondisi seperti ini, korban utamanya selalu berada pada pihak warga Kristen. Tidak heran bila masyarakat Kristen sering menolak kehadiran satuan TNI seperti yang dialami oleh Yon Zipur 8 di Saparua (22/9/2000) ataupun satuan marinir di kawasan Benteng Ambon. Kondisi putusnya rantai komando ini juga diakui oleh Juwono sudarsono sewaktu menjabat sebagai Menteri pertahanan. Baginya, ini adalah "..satu masalah yang paling serius dihadapi oleh Indonesia" (dikutip dari berita Antara Online, 25-8-2000 , "Sejumlah Komando TNI Kehilangan Kendali Atas Pasukan").

* Imbas konflik sara masyarakat dalam tubuh militer mengakibatkan terjadinya polarisasi dan diskriminasi terselebung antara aparat Muslim dan Kristen dalam tubuh militer. Dalam kasus penyerangan kompleks Polri misalnya (gelombang keempat), para aparat polisi Kristen tidak dipersenjatai oleh pimpinannya. Hal yang sama juga terjadi di tubuh TNI AD maupun TNI-AL. Umumnya, kelengkapan senjata & amunisi untuk aparat Kristen diminimalisasikan atau kedudukannya digeser ke posisi yang tak strategis. Kasus ini secara menyolok pernah terjadi pada tubuh TNI-AL (gelombang kedua) yang mengakibatkan komandan Lanal di Ambon terpaksa diganti.

* Faktor berikutnya yang kuat dalam kedua babakan terakhir ialah strategi pengamanan Militer yang selalu terlambat dan tidak responsif mengantisipasi aksi penyerangan laskar Jihad. Bahkan terkesan dalam strategi pengamanan ini aparat sengaja tidak bertindak cepat dan cekatan sehinnga terbuka peluang penghancuran agresi kelompok laskar Jihad. Kasus yang menyolok dari rapuhnya strategi pengamanan militer ini ialah perintah Pangdam XVI Pattimura, I Made Yasa mengenai penarikan pasukan jaga di wilayah-wilayah Kristen yang rentan diserang . Akibat strategi ini, sejumlah desa Kristen dan kampus Universitas Pattimura kehilangan perlindungan aparat dan akhirnya dihabisi laskar Jihad. Di tingkat bawah, komando pengamanan wilayah atau desa Kristen juga selalu berakhir dengan ketiadaan perlindungan aparat terhadap masyarakat Kristen.

Pengamanan yang maksimal dan bersungguh-sungguh yang pernah dilakukan pihak aparat terhadap masyarakat justru terjadi pada saat pihak aparat terancam akibat serangan laskar Jihad. Hal ini sangat terlihat misalnya ketika aparat keamanan melakukan tindakan represif dengan mengerahkan seluruh kemampuannya mengunci aksi perusuh yang menyerang wilayah yang berbatasan dengan pangkalan TNI-AL, beberapa jam menjelang hadirnya delegasi Uni Eropa ke Ambon, 12/10/2000. Pola pengamanan yang cepat, dan tegas ini, rupanya hanya berlaku pada kondisi kritis tertentu yang berkaitan dengan kepentingan militer dan bukan rakyat.

III. Pemerintah

Upaya Pemerintah Indonesia menyelesaikan konflik di Maluku dengan cara memberlakukan keadaan darurat Sipil di Ambon sejak 27 Juni 2000, ternyata gagal total sebab tidak terjadi penghentian kekerasan massa melainkan peningkatan eskalasi aksi kekerasan. Faktor utama kegagalan upaya pemerintah ini lebih disebabkan pemerintah tidak mau (unwilling) menyelesaikan konflik di Maluku. Pernyataan ini didasarkan atas evaluasi kinerja Gubenur Maluku yang dianggap tidak serius menjalankan peran dan fungsinya sebagai penguasa darurat sipil di Maluku. Secara umum, ketidak-mauan pemerintah itu dapat ditunjukkan pada fakta-fakta inkonsistensi kebijakan dan ketidak-tegasan sikap gubenur terhadap kelompok perusuh. Sebaliknya, sikap Gubenur justru memberi peluang kelanggengan konflik seperti membiarkan terjadinya mobilisasi massa dan penyebaran aksi kekerasan laskar Jihad di Maluku serta ketiadaan perlindungan hukum dan keamanan bagi masyarakat Kristen Maluku Tidak heran bila pemerintah daerah Maluku dianggap sebagai bagian dari konflik di Maluku itu sendiri.

Di lain pihak, pemerintah pusat hingga kini masih terus bersandiwara dan memperkuat opini publik bahwa konflik di Maluku adalah persoalan konflik sosial (konflik horisontal) yang bersifat lokal. Padahal, pemerintah tahu bahwa dibalik rekayasa konflik horisontal ini, tergambar jelas adanya konflik ideologi & kekuasaan antara pemerintah dengan sebuah konspirasi elite dari pihak militer, kelompok atau Partai Islam garis keras dan para pengikut Rezim Orde Baru. Kemauan Pemerintah melakukan langkah serius membongkar konspirasi ini sebenarnya menentukan arah penyelesaian konflik Maluku. Sayangnya hingga kini, inisiatif dan proses itu tidak nampak. Tidak heran bila upaya penyelesaian konflik lewat rekonsiliasi antar warga Maluku yang dilakukan pemerintah pusat tidak pernah berhasil dari waktu ke waktu sebab pemerintah tidak mau menyentuh akar konflik di Maluku yang sebenarnya. Dalam kaitan dengan itu, pernyataan menteri Luar negeri Alwi Sihab bahwa kerusuhan di Maluku akan berakhir dalam jaminan tiga bulan adalah sebuah retorika politik yang kosong.

IV.Masyarakat

Pada Prinsipnya masyarakat Maluku tidak berdaya lagi menghadapi eskalasi aksi kekerasan yang terus menerus dirancang dan diatur oleh sebuah konspirasi politik-militer dan yang dimainkan kelompok Laskar Jihad & aparat keamanan dan pemerintah daerah di Maluku. Baik masyarakat Kristen maupun Muslim Maluku, keduanya terus menerus dikondisikan dan terjepit untuk ikut dalam arus konflik kekerasan. Di kalangan Muslim Maluku misalnya, hasutan maupun provokasi untuk terlibat dalam aksi kekerasan atas nama agama terus-menerus dimainkan oleh kelompok laskar Jihad. Sejalan dengan provokasi itu, berbagai peluang komunikasi dan perdamaian antara kedua warga kelompok masyarakat Maluku ini selalu dihancurkan secara sistimatis.

Sikap frustasi dan putus asa semakin jelas tergambar pada masyarakat Maluku yang tidak lagi menaruh harapan dan kepercayaan terhadap pemerintah dan militer Indonesia. Tingginya arus politisasi dan militerisasi konflik di Maluku menyebabkan banyak warga berada dalam dilema antara berjuang atau menahan diri. Masyarakat hanya memiliki satu opsi selamat yakni hadirnya pasukan perdamaian internasional sebagai perisai mereka.

Rasa Frustasi Masyarakat Kristen terhadap pemerintah dan aparatnya bukan tanpa alasan sebab secara sistimatis mereka melihat penggusuran dan hilangnya kekristenan di banyak kawasan maupun desa di kepulauan Maluku seperti di pulau Banda, Ternate, Tidore, Obi, Bacan, pulau Seram bagian timur, Buru-Utara, Di Ambon, P.P.Lease, Haruku, Seram Barat, Piru , Masohi dll. Singkat kata tanda-tanda akan hilangnya keberadaan masyarakat Kristen di Maluku akan terjadi segera apabila tidak ada upaya penghentian aksi agresi laskar Jihad dan konpirasi tinggi di balik konflik Maluku.

V. Opsi Penyelamatan Utama

Sampai hari ini, kelompok laskar Jihad masih terus berupaya mengadakan aksi penyerangan dan penghancuran masyarakat Maluku. Sama halnya dengan milisi pro integrasi di Timor-timur, tidak ada pihak di dalam negeri ini yang mampu merendam maupun mengeluarkan mereka dari Maluku. Pemerintah bersama-sama dengan aparat keamanannya tidak lagi berlaku sebagai pelindung masyarakat dan penegak HAM di Maluku. Jaringan politik-militer di balik konflik Maluku ternyata sulit dibongkar dan diatasi oleh pemerintah. Di lain pihak, fakta pembantaian maupun agresi kekerasan yang mulai berwajah ethnic cleansing ternyata terus meningkat sejalan dengan tingkat kehancuran wilayah, korban jiwa maupun pengungsi.

Tidak ada opsi penyelamatan masyarakat Maluku yang efektif selain perlunya kehadiran bantuan pasukan perdamaian di Maluku sebagai langkah penghentian aksi kekerasan. Opsi ini merupakan opsi mutlak setelah berbagai upaya pengamanan wilayah hingga upaya membangunan suasana perdamaian maupun rekonsiliasi gagal terwujud. Opsi mendatangkan Pasukan perdamaian PBB ini pernah terbukti efektif di Timor-Timur dan opsi ini pula yang kini menjadi tuntutan masyarakat Maluku yang hidup dibawah tekanan ancaman tanpa ada perlindungan negara.

Berangkat dari evaluasi terbatas situasi Maluku di atas, sebagai bagian dari komunitas Maluku yang terus menerus dijadikan korban aksi kekerasan dan tindakan kejahatan atas kemanusiaan, kami ingin menyampaikan appeal kepada masyarakat internasional bahwa saat ini masyarakat Maluku sangat membutuhkan kehadiran pasukan perdamaian internasional bagi penghentian kekerasan di Maluku yang secara de facto tidak lagi dijamin oleh pemerintah dan aparat keamanan Indonesia.

Appeal ini kami ajukan atas nama Kemanusiaan bagi sisa masyarakat Maluku yang kini hidup di tengah ambang kehancurannya di negerinya sendiri. Kami percaya bahwa kehadiran pasukan perdamaian internasional akan mendorong proses penghentian kekerasan dan pemulihan kehidupan yang damai di Maluku.

Atas Perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Biarlah Tuhan memberkati anda.

Atas nama Presidium Forum Komunikasi Peduli Maluku

* Prof. DR. J.L. Nanere, M.Sc
* DR. J.M. Pattiasina
* Piet Sahertian
* Pdt. Alex Pattianakota


 

Surat Pengantar

Dear members of masariku,
Berkaitan dengan upaya membangun kesadaran dunia bahwa ternyata tragedi Maluku lebih dahsyat nilai pelanggaran kemanusiaannya ketimbang insiden di Palestina yang menjadi getol dimainkan oleh delegasi Indonesia, apalagi pidato Megawati dalam forum ini memberikan kesan positif terhadap militer yang harus didukung pengadaan perlengkapan perangnya guna mengatasi kerusuhan di tanah air, kelompok forum komunikasi peduli Maluku melakukan aksi appeal yang naskahnya kami cantumkan di bawah ini. Sejumlah penandatangan belum kami tuliskan karena memang situasi ini bersifat mendesak sehingga yang ada di tangan kami adalah draft mula-mula. Paling tidak content naskahnya tetap sama.

 

Received via e-mail from : Peter by way of PJS 


Copyright © 1999-2000 
- Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/alifuru67
Send your comments to alifuru67@egroups.com