The Cross
Under the Cross

English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Maps
Help Ambon
Statistics
HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2000 -
1364283024 &
1367286044

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 
PENUTURAN KORBAN-KORBAN KERUSUHAN AMBON:
MEREKA MASIH TRAUMA

Ambon sampai saat ini masih bergolak. Entah kapan, Ambon bisa kembali manise. Yang jelas, setelah dua tahun Ambon hanya menyisakan orang-orang yang dengan terpaksa harus pergi meninggalkan rumah, gereja, dan sekolahnya. Semua itu mereka lakukan dengan terpaksa. Walau jasmani mereka telah berada di tempat yang aman, hati mereka tetap di Ambon. Lebih parah lagi, Ambon menyisakan trauma-trauma psikologis, terutama di benak anak-anak. Entah kapan, trauma itu bisa hilang. Bagiamana kisah-kisah mereka? Ikuti petikan wawancara BAHANA kepada beberapa "pengungsi" Ambon berikut ini:

Novarina Nitalessy (14 Tahun): Sering Bangun Tengah Malam

Nova, begitulah biasa ia dipanggil. Gadis hitam manis ini mengaku tidak pernah membayangkan harus melanjutkan sekolahnya di daerah lain. Ia pun tidak pernah mengira bahwa dalam usianya yang remaja ini ia harus mengungsi dari rumahnya di daerah Halong, Ambon. Bahkan, ia dengan terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya. Namun, Nova bisa dibilang beruntung. Ia bukan termasuk penumpang KM Cahaya Bahari yang tenggelam itu - yang menurut media cetak-, mayoritas penumpangnya adalah pelajar yang ingin melanjutkan sekolah di Manado. Nova malah bisa melanjutkan sekolahnya di kota pelajar. Ketika BAHANA menemuinya di sekolah yang terletak di bilangan bundaran UGM, Yogyakarta, Nova dapat menuturkan pengalamannya dengan rinci dan runtut, namun sesekali ia terdiam pandangan menerawang dan matanya berkaca-kaca. Suaranya pun! parau dan bergetar.

Pertengahan bulan Juli 2000, Nova beserta ibu, adik, dan neneknya tiba di Yogya. Nova tak henti-hetinya bersyukur karena sampai di Yogya dengan selamat. Untuk bisa keluar dari Ambon, bukanlah hal yang mudah. Kalau pun bisa mendapatkan tiket pesawat terbang, perjalanan menuju Bandara Pattimura belum tentu bisa lancar karena harus melewati daerah-daerah bertikai. Pada saat itu, segala kemungkinan bisa terjadi. Bisa saja, tiba-tiba tanpa disangka terjadi penyerangan. Jika keluar Ambon lewat Laut pun tak kalah berisiko, bahkan memiliki risiko yang lebih besar. Untuk naik Kapal Penumpang, KM Dobonsolo, menurut Nova, bulan itu, kapal itu tidak berani merapat. "Jadi, kalau mau naik, harus naik speed boat dulu agak ke tengah, baru bisa naik. Wah, saya takut jatuh ke laut. Papa juga khawatir," ujarnya gadis kurus ini! dengan nada takut. Akhirnya, Ayah Nova mencari jalan. Di sinilah menurut Nova pertolongan Tuhan terjadi. Sang ayah berkenalan dengan seorang berpangkat di Angkatan Laut lantaran urusan jual beli mobil. Eh, tahu-tahu, antara ayah Nova dan sang Mayor menjadi akrab seperti saudara padahal sang Mayor itu Muslin. Di sinilah, kerinduan rakyat yang sejati. Kepada mayor itu, Papa mengutarakan kekhawatiran soal anak dan istrinya. Akhirnya, sang mayor bisa mengusahakan agar Nova beserta keluarga naik kapal perang menuju Manado. "Mama selalu bilang itulah pertolongan Tuhan. Tuhan bisa pakai siapa saja untuk tolong kita," ujarnya dengan aksen Ambon yang masih kental. Sampailah Nova ke Manado dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Yogya.

Suara tembakan dan bom sudah akrab di telinga Nova. Dari rumahnya di daerah Halong, ia sering melihat pertempuran. "Ya, mungkin hanya 200 meter dari rumah saya. Aku takut. Akhirnya, Aku, mama, dan adik mengungsi ke Angkatan Laut. Di sana, aku tidur di emperan rumah, "ujarnya datar. Selain pengalaman itu, karena rumahnya di teluk, Nova seringkali melihat pertikaian, api, dan kepulan-kepulan asap. Nova merasa ngeri mendengar tembakan dan bom. Setiap hari saya menangis. Perasaan takut itu, sampai-sampai terbawa ke Yogya. Rumahnya di Yogya dekat dengan gudang pupuk Sriwijaya sehingga seringkali banyak truk besar lalu lalang. "Karena suaranya gemuruh, seringkali malam hari aku terbangun. Kupikir itu suara tembakan. Aku kaget. Aku juga takut dengan laskar-laskar yang jahat itu," ucapnya dengan ekpresi ketakutan. Nova tidak tahu kapan kekagetan dan ketakutan ! itu bisa hilang. Dia juga tidak tahu kapan ia bisa pulang ke Ambon." Aku ingin pulang", ujarnya tanpa ekspresi

Fieghust Christi (15 tahun): Saya Ngeri Melihat Laskar itu

Fieghust (baca: Figus) adalah remaja yang pendiam. Ia lebih banyak diam ketika wawancara berlangsung. Wajahnya selalu murung. Hampir tidak ada senyum di bibirnya. Suaranya pun bergetar. Fieghust memang tidak seberuntung Nova. Fieghust harus melewati perjalanan yang lebih panjang untuk sampai ke kota pelajar ini. Sejak Seram, pulau tempat ia tinggal bergolak, Feighust beserta ibu dan kakaknya mengungsi ke Ambon, kota tempat ayah mereka tinggal. Ya, ayah tinggal di Ambon, sedangkan ibu tinggal di Seram. Memang, kedua orang tuanya telah bercerai sejak Fieghust masih kecil. Perjalanan dari Seram ke Ambon berjalan lancar. "Saya naik kapal terakhir. Saya untung bisa naik kapal. Kalau naik speed bisa dicegat," ujarnya dengan suara parau. Hanya, 2 minggu di daerah Galala, Ambon, Fieghust dengan kakak berserta Kakek dan Neneknya berangkat ke Yogya dengan naik k! apal Dobonsolo. Fieghust harus merasakan susahnya naik kapal. "Naik kapal harus berebut, " ujar Fieghust mengenang. "Saya kasihan sama Kakak. Dia susah sekali. Kaki kakak saya kena tembak," ucap Fieghust dengan suara lirih. Dari suara yang nyaris tidak terdengar itu mengalir kisah pilu. Kakak Fieghust kena tembak ketika menjaga gereja Aster di daerah Galala. Saat itu, daerah Galala sedang panas. Nah, saat itulah terjadi pertikaian dan salah seorang korban yang luka-luka adalah Kakak Fieghust. "Dia terkena luka di kaki. Sekarang, sudah mulai sembuh," Walau sudah jauh dari pusat bahaya, Fieghust merasa belum betah tinggal di Yogya. "Pertama kali saya datang. Saya tertekan. Apalagi, di perempatan-perempatan di Yogya ini, banyak laskar. Lihat saja, saya sudah takut. Saya tidak berani mendekat. Jantung saya berdebar kencang, kalau lihat laskar itu," ujarnya dengan suara gemetar. Seperti halnya Nova, Fieghust tidak tahu kapan perasaan itu hilang. Memang, Fieghust masih bisa bersekolah. Guru dan teman-temannya bisa menerima Fieghust. Walaupun ia mulai betah di Yogya, ia tetap rindu pulang. "Walau di Yogya sudah tidak tertekan lagi, saya tetap rindu pulang", ujarnya datar. Ya, entah kapan Ambon damai sehingga bisa menerima anak-anak negeri yang rindu pulang. Entah, kapan.

Philip: Tidak Bisa Melupakan Anak

Seperti penduduk Ambon lainnya Philip (ia minta namanya disamarkan) harus pergi ke tempat lain. Kepada BAHANA, di sebuah rumah di bilangan Pasar Minggu, Jakarta, ia menuturkan kisahnya. Saat kerusuhan bergolak, keluarga Philip cerai berai. Hingga saat ini Philip tidak mengetahui persis di mana dan bagaimana keadaan istrinya. Ia kini tinggal di Jakarta dengan salah seorang anak yang selamat. Masih ada anak Philip lain yang tidak bisa diselamatkan. Philip dengan tabah berusaha menceritakan kisah tragis yang dialami anaknya. "Saat itu, anak saya sedang bermain dengan anak-anak lain di tepi jalan. Tiba-tiba terdengar sebuah tembakan. Dan, peluru nyasar mengenai perut anak saya. Darah mengucur dengan deras. Kami tidak langsung membawa ke RS atau Puskesmas. Kami takut ada tembakan lain. Akhirnya .... karena banyak! darah yang keluar. Ia pun meninggal, " ujar Philip dengan suara parau. Sampai saat ini Philip tidak bisa melupakan anaknya. Kadang-kadang dalam dirinya timbul penyesalan, mengapa ia sebagai seorang Bapak tidak bisa menyelamatkan anaknya. Untungnya, ia masih ditemani putranya yang selamat. Kisah Philip tidak hanya sampai di situ, hari-hari dilalui Philip dengan berbagai ketegangan. Ketika ia hendak keluar dari Ambon, nyaris jiwa dan anaknya terancam. Menurut kisah Philip, saat ia berada di pelabuhan menunggu naik kapal, tiba-tiba, ia ditahan di sebuah ruangan dan akan dihabisi oleh kelompok tertentu. "Saat itu, kami pasrah. Ya, kalau saat itu kami diberondong tembakan. Tamatlah riwayat kami. Puji Tuhan, muncullah seorang ABRI yang mengatakan jangan," ucapnya mengenang kisah yang menegangkan itu. "Coba, kalau Tuhan tidak menggerakkan orang itu, bagaimana nasib kami, " ujarnya lebih lanjut. Kerusuhan Ambon membawa perubahan yang besar bagi keluarga dan entah kapan ia bisa berkum! pul kembali dengan istrinya. Ya, entah kapan.

Ny. Lintje Tangkilisan (66 tahun): Rasanya Seperti Mimpi

Wanita berdarah Jawa-Manado ini sudah sejak tahun 1960 mendaratkan kakinya di tanah Ambon. Pada tahun itu dia bersama dengan suami yang juga berdarah Manado meninggalkan Bangil (Jawa Timur) menuju Ambon manise. Di sana mereka merintis sebuah gereja. Walau dia tidak lahir di Ambon, bagi Lintje Ambon sudah menjadi "tanah airnya". Keenam anaknya pun lahir di kota ini. Tidak pernah ada sedikit pun keinginan untuk pindah dari Ambon. "Saya betah tinggal di Ambon." ujarnya singkat. Walau telah berpuluh-puluh tahun di Ambon, toh Ny. Lintje harus rela meninggalkan rumahnya. Ia terpaksa tinggal di Yogya, di salah seorang anaknya.

Janda yang tampak sehat dan kuat ini mengisahkan banyak kebaikan yang terjadi setelah Ambon bergolak. Salah satunya, persatuan antarumat di sana."Dulu, sebelum rusuh, pendeta-pendeta tidak mau diajak doa bersama. Sulitnya setelah mati. Setelah kerusuhan terjadi persekutuan yang indah antarpendeta, baik Katolik maupun Kristen bersatu. Itulah indahnya. Hal ini tidak pernah saya banyangkan sebelumnya," katanya dengan nada berseri.

Mungkin karena Lintje cukup bijak untuk meneropong setiap realitas yang ada, termasuk kerusuhan Ambon, ia tampak tegar. Kesulitan-kesulitan yang ia alami akibat kerusuhan, ia pandang secara positif. Termasuk, ketika beberapa bulan yang lalu, ia sempat tidak sadarkan diri karena gula darahnya drop. "Mungkin karena saya terlalu diet. Malah jadi, turun gula darahnya. Dan, keadaan yang serba tidak menentu membebani pikiran saya," ucapnya ringan. Tidak hanya itu, Lintje bersama anak bungsunya terpaksa meninggalkan rumah dan mengontrak di daerah perkotaan dengan pertimbangan keselamatan. "Sudah setahun lebih rumah kami tinggalkan. Masih utuh atau sudah hancur. Kami tidak tahu," ungkapnya dengan sedikit gelisah.

Namun, Lintje dengan tabah menghadapi hidup yang berubah dratis setelah terjadi kerusuhan. Semua itu ia pandang dengan ringan. "Ya, kalau Tuhan izinkan, pasti Tuhan memberikan kekuatan untuk melewati masa-masa sulit," ujarnya dengan mantap.

Kerusuhan Ambon sama sekali tidak pernah ia duga. Selama ini, menurutnya, kehidupan orang Ambon rukun-rukun saja. "Saya juga aneh mengapa Ambon bisa seperti itu. Saya sudah tinggalkan rumah 1 tahun yang lalu, Entah, rumah itu bagaimana keadaannya," katanya dengan nada sedih. Yang jelas, bagaimana pun keadaan Ambon, Lintje masih memendam rindu. Ia rindu Ambon. Ia ingin melihat, apa yang sedang Tuhan kerjakan untuk kota yang ia cintai ini.

Masih banyak kisah-kisah lain yang lebih tragis dari Ambon. Seperti yang diungkapkan Hendrika, pekerja di sebuah badan pelayanan menuturkan kisah tragis seorang suster yang ingin menyelamatkan anak-anak asuhnya. Saat itu, sang suster menyetir sendiri mobilnya menuju sebuah panti asuhan untuk menyelamatkan anak asuhannya dari amuk kelompok tertentu. Di sebuah lokasi, tiba-tiba terdengar serentetan tembakan. Rupanya, tembakan itu membabi buta. Mobilnya terpaksa berhenti. Ketika suster mencoba menyelamatkan diri, ia malah kena peluru nyasar di pahanya. Anak-anak panti asuhan yang ingin ia selamatkan umumnya anak-anak dari keluarga yang sangat miskin atau orang tuanya sudah meninggal. Lokasi panti sejak kerusuhan pecah, bising dengan suara-suara tembakan. Anak-anak panti menjadi takut bila mendengar suara tembakan. Trauma mereka sangat dalam. Ketika terdengar bunyi yang mengagetkan, mereka spontan bersembunyi di kolong-kolong tempat tidur.

Entah kapan trauma itu hilang dan bagaimana masa depan mereka, inilah PR penting yang kita semua harus pikirkan.

Eman/Lily/Mateas


Received via e-mail from :
Chaka Dhidi by way of PJS 


Copyright © 1999-2000 
- Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/alifuru67
Send your comments to alifuru67@egroups.com