Ambon, Siwalima - Proses penyelesaian konflik Maluku diharapkan agar diarahkan pada
pengembangan nilai kemanusiaan yang universal. Artinya harus dikembalikan nilai-nilai
kemanusiaan pada kodratnya, diikuti juga pengembangan nilai-nilai budaya spesifik.
"Ini harus dilakukan tidak sekear secara seremonial, tetapi ada kemauan dari
pemerintah, dan harus ada inisiatif melakukan itu, sebab yang dilakukan selama ini
ternyata selalu gagal," tegas Ketua DPRD Kota, Drs MJ Papilaja, MS kepada Siwalima
Selasa ( 14/11) di Ambon.
Menurutnya, proses penyelesaian akhir konflik Maluku, jangan dipaksakan, tetapi biarlah
masyarakat berproses secara alamiah. Proses itu kata Papilaya, bisa berjalan jika
Penguasa Darurat Sipil, dan para pembantunya benar-benar mengembangkan
manajemen pengamanan yang strategis dengan memberikan jaminan bagi semua
komponen yang ada di Maluku. "Ini sangat penting sehingga tidak terjadi lagi adanya
gangguan keamanan," tandas Papilaya, sembari menambahkan, situasi dan kondisi
tenang seperti sekarang harus dipertahankan guna ini mendorong proses kontak sosial
agar perlahan-lahan secara alamiah bisa berjalan. "Jangan ada lagi statemen-statemen,
yang dikeluarkan pemerintah di media massa yang sifatnya seremonial belaka," katanya
lagi.
Masih menurut Pailaya, proses rekonsiliasi dimaksud biarlah berlangsung secara
alamiah, tidak boleh dilakukan secara formal, sebab jika dilakukan secara formal.
Apalagi pelibatan para "tokoh" diakui masih memiliki kepentingan yang belum tentu
sejalan dengan aspirasi masyarakat.
Menjawab Siwalima mengenai apakah proses penyelesaian konflik Maluku diarahkan
kepada pranata adat, Papilaya mengatakan, pranata adat Maluku sedang mengalami
degradasi dengan kata lain nilai budaya yang sangat kuat selama Orde Baru sudah
rusak. "Tatanan budaya orang Maluku rusak total selama pemerintahan Soeharto,"
tandasnya.
Lantaran itu, membangun rekonsiliasi yang sejati, harus dimulai dari sifat-sifat yang
universal, seperti orang harus hidup, bisa berintereaksi dan berkumunikasi dengan baik
antara kelompok dalam satu komunitas. "Ini sangat prinsipil yang harus dibangung dan
dikembangkan, seiring dengan itu kita harus mencari dan mengidentifikasi nilai budaya
yang bisa mempersatukan, tetapi jangan terlalu digembar-gemborkan yang sifatnya
seremonial, saya kira itu tidak perlu, " tandas Papilaya.
Lebih lanjut Papilaya mengakui Konferda I PDI P di Tual, memang dibicarakan konsep
jangka pendek, bagaimana Penguasa Darurat Sipil dan aparat keamanan benarbenar
merumuskan manajemen strategis untuk menjaga agar tidak terjadi konflik lagi.
"Itu harus diprioritas. Kalau itu dilakukan termasuk peran intelejen dan manajemen
pengaturan pasukan dan lain-lain, maka relasi sosial akan berlangsung secara alamiah,
karena manusia saling membutuhkan. Tidak ada manusia yang hidup tanpa ada manusia
lain, itu nonsens," tandasnya.
Menurutnya, Penguasa Darurat Sipil, Pangdam, dan Kapolda, harus secara kolektif turun
ke lapangan (masyarakat) jangan hanya mendengar dan duduk di belakang meja,
menerima laporan-laporan, tetapi harus diikuti juga dengan konfirmasi di lapangan seturut
apa yang dialami masyarakat.
"Kan bisa saja laporan-laporan yang mereka terima itu sudah disetting sedemikian rupa,
sehingga kejadian yang sebenarnya di masyarakat tidak terbaca dengan baik, dan juga
bisa menangkap keinginan masyarakat secara langsung," tandasnya mengingatkan.
(fik) |