Ambon, Siwalima - Tampaknya, derasnya desakan bagi kedua kelompok untuk kembali
ke akar budaya sebagai jalan tol merakit dialog, rekonsiliasi, menuju perdamaian
merupakan alternatif yang masih diyakini bisa melonggarkan prinsip politik
masing-masing, dan sekaligus memungkinkan untuk terjadinya sharing power antara
berbagai pihak yang memiliki kepentingan dengan konflik Maluku.
"Meski tradisi gandong hanya dikenal dalam kehidupan orang-orang Maluku, akan tetapi
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal, nilai-nilainya terdapat dalam
setiap kitab suci agama apapun di muka bumi. Esensi menghormati dan menghargai
harkat dan martabat manusia yang menjadi tema utama dalam polarisasi politik dunia
sekarang, semua tercakup dalam ajaran gandong".
Demikian dikemukakan Ketua Crisis Centre Keuskupan Amboina, Pastor Agus
Ulahayanan, Pr, mengomentari kuatnya desakan back to basic culture sebagai pijakan
bagi kelompok Muslim dan Kristen untuk mengakhiri permusuhan diantara keduanya.
"Jikalau semua pihak mencapai pikiran yang sama bahwa konflik ini ingin diakhiri kedua
pihak dengan kembali ke akar budaya orang Maluku, saya pikir sudah seharusnya
demikian. Tidak ada rumusan lain selain kembali kepada akar budaya kita yang telah
ratusan tahun menjadi perekat antar etnis Maluku, untuk hidup dalam semangat
persaudaraan dan kekeluargaan tanpa menonjolkan perbedaan keberagamaan kita di
wilayah ini," kata Pastor Agus kepada Siwalima di ruang kerjanya, Rabu.
Jika bicara kultur Maluku, kita tidak bicara Islam dan Kristen tapi bicara nilai-nilai
humanitis yang "dituhankan" manusia etnis Maluku, yang sudah beratus-ratus tahun
hidup dalam semangat persaudaraan dan memiliki hubungan kekerabatan yang sangat
kental sebelum republik ini didirikan.
Dikatakan, segala pranata budaya dan sosial kemasyarakatan yang dihancurkan selama
konflik, menurutnya, tidak bisa diperbaiki dengan memakai teori atau rumusan apapun,
entah tunggal ataupun jamak, kecuali kembali kepada tradisi nenek moyang orang
Maluku.
Menurut dia, berkaitan dengan upaya penanganan konflik Maluku sekarang ini muncul
dua konsep yaitu konsep orang Maluku dan konsep etnis Maluku. Kalau bicara etnis
Maluku yang jelas berarti orang-orang keturunan asli Maluku yang tidak pernah berpikir
apakah dia itu Islam atau Kristen, sedangkan kalau bicara konsep orang Maluku, inilah
yang sekarang sedang dipersoalkan.
Kalau dilihat dari sisi sosial kemasyarakatan, maka konsep orang Maluku adalah orang
Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, ras, dan golongan yang ada sekarang
bermukim di Maluku. Disinilah, demikian kata dia, terjadi asimilasi yang kuat dan saling
mengikat sebagai satu keluarga bangsa yang besar. Ini berarti ada titik temu antara
kedua konsep itu sehingga bisa dibuat semacam pendekatan yakni pendekatan budaya.
Kemudian orang dari luar dapat diterima sebagai warga etnis Maluku secara adat
sehingga tercipta satu ikatan yang dikenal dengan istilah "Pela".
Kalau konsep Pela dan Gandong dipadukan akan menjadi satu pendekatan yang
memiliki kekuatan pemersatu untuk mendamai kedua kelompok. Dan ini dikembangkan
dengan baik oleh masyarakat Maluku Tenggara dalam semangat persaudaraan dan
kekeluargaan yang tinggi. Sayangnya, kekuatan ini tidak dilihat oleh masyarakat di
Ambon dan kawasan Pulau-pulau Lease.
Jika semua pihak menginginkan konflik diakhiri, menurut Pastor Agus, sudah waktunya
nilai Pela dan Gandong harus dijadikan suatu rumusan dasar untuk mengadakan dialog
antara kedua pihak. "Seharusnya pemerintah (daerah) harus mulai mengambil prakarsa
untuk mengangkat pendekatan budaya itu sebagai pijakan dasar untuk dialog. Tapi
sampai sekarang saya lihat tidak ada keinginan dari Gubernur Latuconsina selaku
Penguasa Darurat Sipil daerah, demikian juga para anggota legislator untuk menjadikan
itu sebagai satu pola pendekatan, yang ada cuma pernyataan dari mulut ke mulut,"
katanya.(mg1/mg2) |