|
|
Edisi 29 September 2000 Pokok-Pokok Berita:
1. Perusuh Gempur Perbatasan Suli Ambon, Siwalima Koordinator Bidang Penerangan Darurat Sipil (Darsi), Mayor Marthen L Djari yang dikonfirmasi di Posko Darsi, Kamis siang kemarin membenarkan adanya penyerangan ke Desa Suli. Menurutnya, penyerangan yang datang dari arah Desa Tial itu mulai dilakukan sekitar pukul 09.15 WIT. Kontak senjata antara kelompok penyerang dengan aparat TNI yang terdiri atas 2 kompi Yonif 407 dan Yonif 521, ditambah 2 kompi Yon 403 yang dikirim dari Sektor A serta 2 pelaton Brimob yang selama ini telah bertugas di sekitar daerah perbatasan Suli-Tial. "Kontak senjata itu terjadi lagi di tempat yang sama, yakni di perbatasan Suli-Tial yang berlangsung selama 1 jam lebih. Dan setelah itu, kelompok penyerang berhasil dipukul mundur oleh aparat," jelas Djari. Menjawab jumlah korban yang jatuh selama kontak senjata itu, putra kelahiran Pulau Sabu-NTT ini, mengaku belum mengetahuinya, karena belum ada laporan yang masuk. Sementara itu, sumber di Gereja Suli yang mengaku bernama Hendry Siwabessy ketika dihubungi per telepon kemarin siang pun membenarkan kontak senjata tersebut. Menurutnya, sebelum berlangsung kontak senjata, pada malam harinya telah muncul tanda-tandanya, diantaranya sesekali terdengar bunyi tembakan dan ledakan bom di sekitar perbatasan. Akibat kontak senjata aparat dengan perusuh tersebut, para pemuda di Desa Suli pun terus bersiap siaga, sedangkan sebagaian kecil warga Suli terutama perempuan dan anak-anak yang Senin lalu belum mengungsi kini terpaksa mengungsi ke Passo. Menyinggung jumlah korban, Siwabessy mengatakan tidak ada korban yang jatuh begitupun dengan korban harta-benda. Pasalnya, serangan tersebut baru sampai di daerah perbatasan. Karena dihalau aparat, maka para penyerang pun mundur. "Tentang korban kami belum mengetahuinya, tetapi di sini kami terus berjaga-jaga," ujarnya dari balik gagang telepon. Dan pada Kamis sore kemarin, sumber yang lain di Gereja Suli menyebutkan situasi di Suli sudah mulai tenang. Kendatipun begitu sejumlah masyarakat yang masih bertahan di Suli selalu waswas jangan sampai terjai serangan ulang. Sementara aparat keamanan tetap berhagajaga di daerah perbatasan Suli-Tial. Gubernur Maluku, Dr Ir MS Latuconsina selaku penguasa Darsi yang hendak dikonfirmasi wartawan mengaku belum mendapat laporan. "Tunggu saya cek ke Pangdam dulu," ujarnya sambil masuk ke posko Darsi, sementara para wartawan tetap setia menunggu di ruang tamu kantor gubernur. Mengingat terlampau lama menunggu, para kuli disket pun bergegas menemui sejumlah staf di posko meminta ijin menemui Gubernur meminta komentar seputar kebijakan yang ditempuhnya terkait dengan terulangnya penyerangan ke Desa Suli. "Oh Pak Gubernur masih rapat, tunggu sebentar lagi," ujar seorang staf. Sekitar pukul 13.00 WIT, datang staf posko Darsi, Drs A Soukotta menemui wartawan dan menyampaikan pesan Gubernur Latuconsina bahwa gubernur belum mau berkomentar apa-apa kalau belum menerima laporan yang lengkap. Apalagi belum ada laporan lengkap. Kiranya ini dapat dimengerti para wartawan," ujarnya. Ganti Aparat Dari Posko Darsi, Mayor Marthen L Djari menginformasikan bahwa pada Kamis kemarin terjadi pergantian aparat yang selama ini ditugaskan di Desa Sirisori Islam dan Desa Iha Kecamatan Saparua. Menurutnya, sejumlah pasukan gabungan yang beberapa waktu lalu diterjunkan ke kedua desa tersebut diganti dengan 2 peleton TNIAD yang berasal dari Kodam XVI Pattimura. "Satu peleton ditempatkan di Desa Sirisori Islam dan yang satunya di Desa Iha," ujar Djari. (eda) 2. Pangdam: Ada Kelompok yang Ingin Saya Gagal Ambon, Siwalima Kepada pers, Rabu lalu di Makodam, Pangdam mengatakan, dengan dukungan 2 peleton Brimob yang bertugas di Suli Bawah, aparat telah berupaya sekuat tenaga menghalau perusuh dalam mobilisasi massa yang besar. "Memang cukup dahsyat juga kegiatankegiatan mereka. Setelah terjadi tembakmenembak dengan perusuh, akhirnya perusuh dapat dihalau. Semula bergerak dari Kampung Buton, wilayah pegunungan dan pantai," ujar Pangdam seraya menyebutkan dengan melihat aksi penyerangan itu, sesungguhnya telah dipersiapkan sebelumnya. Menurut Pangdam, penyerangan Suli Bawah diarahkan dari Tulehu dengan jumlah penyerang di atas 500 orang. Menyinggung tentang senjata dan mortir organik yang diduga milik TNI dalam membumihanguskan kantong-kantong Kristen, Pangdam secara tegas membantah. Dan mengatakan dirinya belum mengetahuinya. Justru yang diketahuinya ada mortir rakitan. "Kalau Senjata dan mortir organik saya belum tahu, tapi yang saya dapat di Hatiwe Besar ada 1 mortir rakitan dan 1 pucuk SS1, 8 pucuk senjata rakitan dan munisi yang tercecer sekitar 135 butir jenis 5,56," sebutnya. Lebih lanjut Pangdam mengatakan, tidak optimalnya peran TNI di Hatiwe Besar maupun di Saparua dikarenakan oleh adanya penolakan masyarakat terhadap kehadiran TNI. Oleh karenanya, "Saya menghimbau kepada masyaraakat agar miliki TNI itu apa adanya, yakinlah TNI itu tidak berpihak kepada salah satu kelompok. Contohnya, di Suli aparat menghadang massa dan di Iha pasukan saya datang dan membantu warga agar tidak terjadi korban yang lebih besar lagi. Ini yang perlu dipahami masyarakat, jangan diartikan negatif. Sekarang masyarakat menilainya, apakah saya berpihak." Diakui pula, ketika memobilisasi pasukan dari Ambon ke Hatiwe Besar, tampak jalan ditutup oleh masyarakat untuk menghambat perjalanan prajurit TNI. "Berarti ada keinginan kelompok tertentu untuk saya tidak bisa menyelesaikan masalah dengan baik. Kalau keinginan itu terus menerus terjadi di Ambon, maka sah-sah saja ada orang tertentu yang ingin masalah Ambon ini tidak terselesaikan. Oleh karenanya berikan kesempatan kepada aparat dan pemerintah untuk leluasa berbuat. Jangan kemudian ditutup dibuka, ini diterima, ini tidak boleh dan sebagainya," kata Pangdam. Menurutnya, penyerangan ke Hatiwe Besar diperkirakan datang dari kelompok masyarakat yang berada di atas wilayah Hatiwe berjumlah sekitar 500an orang. (eda) 3. Dr Tanamal: Alasan Kemanusiaan, Segera Dialog Ambon, Siwalima "Dialog bukan berarti rekonsiliasi namun dialog yang semata-mata bertujuan mencari titik temu kepada jalan keluar bersama memecahkan persoalan tragedi kemanusiaan yang terjadi dalan kurun waktu hampir dua tahun ini," tegas Dr Piet Tanamal menjawab Siwalima di Baileo Rakyat Karang Panjang, kemarin. Dikatakan, perlu dicari suatu titik temu dimana tidak ada persoalan menang atau kalah tapi lebih pada dasar pijakan kemanusiaan jika ingin melakukan dialog. Dia menanyakan apakah memang dalam keagamaan-keagamaan itu ada kekuatan untuk memenangkan dan mengalahkan. "Saya kira hal itu bisa terwujud kalau ada kesadaran dari tiap-tiap agama," tutur Tanamal sembari menambahkan kalau pemimpinpemimpin agama senantiasa bergumul dengan kemenangan di pihak yang satu dan kekalahan di pihak yang lain maka kita akan tertinggal jauh, sebaliknya kalau membangun kesadaran bagi kemanusiaan guna mewujudkan perdamaian adalah yang lebih baik. Sementara itu menyoal kepemimpinan gereja yang dinilai banyak pihak cenderung menampilkan sosok yang status quo, Tanamal memberi komentar bahwa pihaknya tidak melihat adanya dampak demikian. Namun protes bahkan kritik yang selama ini ditujukan kepada pemimpin gereja mestinya diterima dengan terbuka untuk mencari jalan keluar yakni jalan yang dapat menjawab persoalan-persoalan yang menimbulkan status quo itu sendiri. "Saya pikir kritik yang punya perspektif untuk sebuah perubahan dalam alam reformasi harus diterima dengan keterbukaan, jangan karena ada posisiposisi tertentu, lalu menganggap tidak perlu kritik itu," ujar anggota Fraksi PDI Perjuangan ini. Lebih lanjut, ditambahkan, kritik-kritik dari anggota jemaat yang bertanggungjawab kepada gereja harus dilihat sebagai sebuah tali ikat persekutuan yang hendak dibangun dan memperbaharui persekutuan itu. Menyinggung maraknya isu soal gerakan dari luar Indonesia dengan memanfaatkan konflik Maluku untuk memurnikan salah satu agama yang menuju pada marginalisasi budaya Maluku, Tanamal menandaskan apakah karena agama kita harus meninggalkan budaya. Diingatkan, agama jangan menganut nilai ganda di dalam kebudayaan, sebab nilai ganda dalam kebudayaan yang disodorkan karena kekuatan agama akan kehilangan titik temu. "Saya tidak setuju jika pada satu ketika budaya dianggap sebagai sesuatu yang usang, sebab budaya itulah yang memelihara kita sampai sekarang ini," kata Tanamal. Lantaran itu, Tanamal minta hal ini perlu dibicarakan diantara penguasa darurat sipil supaya posisi keagamaan dapat diketahui secara jelas kendati menurutnya agama bukan segala-galanya melainkan hanya alur untuk mempertemukan dengan sesama. "Agama cuma mempersiapkan alur dan nilai tapi tidak menyelamatkan, saya diselamatkan oleh karena solider dengan firman Tuhan yang diberitakan oleh agama-agama" tegas Tanamal. (cep) 4. Evaluasi Konsolidasi DPD Golkar, Akbar Tanjung Rencana Kunjungi Malut Ambon, Siwalima Hal ini diungkapkan Ketua Panitia Kunjungan Kerja Ketua Umum DPP Partai Golkar di Maluku Utara, Ir Uddin Umasangadji di kantor gubernur Kamis kemarin. "Sebagai Ketua Umum DPP Golkar, Akbar Tanjung berkepentingan mengevaluasi perkembangan konsolidasi partai di Maluku Utara dan terkait pula dengan telah terbentuknya DPD Partai Golkar dan berbagai langkah konsolidasi organisasi lainnya," ujar Umasangadji. Dijelaskan, sebagai Ketua DPR RI Akbar Tandjung akan memantau perkembangan pelaksanaan darurat sipil di Maluku Utara. Pula, mengunjungi sejumlah pengungsi di beberapa penampungan sebagai korban dari tragedi kemanusiaan di Maluku Utara. Dan melalui udara akan meninjau pemukiman yang hancur, seperti di Malifut, Kao, Tobelo dan Galela. Menjawab konsep DPD parta Golkar Maluku Utara ke epan, Wakil Ketua DPD Partai Golkar Maluku Utara ini menjelaskan bahwa sejak Musda DPD beberapa waktu lalu, Partai Golkar telah menempatkan rekonsiliasi sebagai salah satu tema sentral. "Sebagai organisasi yang menghimpun seluruh potensi bangsa, Golkar juga mengakomodir fungsionaris-fungsionaris Golkar yang kebetulan bukan beragama Islam. Ini menunjukkan adanya itika baik Golkar untuk tetap menjadikan organisasinya sebagai bagian dari instrumen rekonsiliasi," tambahnya. Konkritnya, rekrutmen calon legislatif akan mempertimbangkan pula fungsionaris yang bukan beragama Islam, sebagai bagian dari upaya membantu Pemerintah Daerah mewujudkan rekonsiliasi di Maluku Utara. Lebih lanjut dia mengatakan, kesediaan Polly Matulameten dan Ir Hengky Tore, MSc kembali duduk di DPRD Maluku Utara, membuktikan ada langkah maju mendukung upaya rekonsiliasi di Maluku Utara., sekaligus menunjukkan kepatuhan Partai Golkar terhadap ketentuan UU No 06/2000 dan Keppres No. 110/2000. Ketika menyinggung namanya yang akhir-akhir ini dijagokan sekelompok masyarakat untuk dudduk di kursi nomor satu di DPRD Maluku Utara, Umasangajdi mengatakan, "Saya kira itu opini masyarakat. Tapi sampai saat ini organisasi belum menentukan mana kader Golkar yang terbaik." Diakuinya, Kendati belum dipastikan kader Golkar siapa yang bakal menempati posisi Ketua DPRD Maluku Utara, Umasangadji yang akrab disapa Uddin ini menjelaskan, ketentuan perundang-undangan Golkar memperoleh posisi terbesar di sana sekitar 1617 kursi. Tentu saja dari posisi demikian, Golkar berkesempatan menempatkan kader terbaiknya bagi posisi Ketua DPRD. "Tapi sepenuhnya kembali kepada organisasi dan mekanisme pemilihan itu sendiri, " ujarnya. (eda) 5. Ruhulessin: Harus Ada Lembaga Mediasi Independen Ambon, Siwalima "Secara nasional lembaga seperti itu adalah Indonesian Conference for Religion and Peace (ICRP) dan secara internasional lembaga itu adalah World Conference for Religion and Peace (WCRP)," ujarnya. Dikatakan, lembaga-lembaga independen seperti ini, diharapkan bisa berfungsi memfasilitasi proses-proses pencerahan dan dialog yang lebih produktif bagi kedua kelompok masyarakat di Maluku. Menurutnya, lembaga-lembaga ini menampung para tokohtokoh agama dan ilmuan agama yang berasal dari semua agama, Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha berkaliber nasional dan internasional, yang memiliki komitmen kepada pentingnya agama, kemanusiaan dan perdamaian. "Di Indonesia, tokohtokoh seperti Prof Djohan Efendi, Dr Eka Darmaputera, secara internasional kehadiran dan peranan penting yang dimainkan oleh lembaga WCRP misalnya sangat besar dalam perundingan Palestina dan Israel," jelasnya. Menurut Ruhulessin, kita tidak bisa terus berada dalam kebuntuan dan kemacetan seperti sekarang ini. Karena itu dia menganjurkan harus ada keberanian mencari insiatif baru yang lebih produktif. Kebuntuan dan kemacetan ini tambah Ruhulesin, terjadi ketika masing-masing kelompok berada pada titik tolak dan perspektif pemikiran yang memiliki rasionalisasi sendiri-sendiri. "Masalahnya adalah, bagaimana gagasan itu dipercakapkan secara lebih jujur, terbuka, dialogis dan lebih manusiawi. Saya masih tetap optimis bahwa kehadiran lembaga-lembaga agamawi yang independen baik yang bertarap nasional maupun internasional seperti itu akan menolong masyarakat Maluku keluar dari kemacetan dan kebuntuan ini," katanya sembari menambahkan, mungkin saja proses-proses mediasi oleh lembaga-lembaga keagamaan indenpenden ini semakin memuluskan jalan kearah proses-proses baru yang lebih produktif misalnya saja gagasan untuk konggres rakyat Maluku. (fik) From : Izaac Tulalessy Wartawan Harian Umum Siwalima Ambon
Received via e-mail from : Peter by way of PJS
|