|
|
Tim Independen untuk Rekonsiliasi Ambon (TIRA) di bawah pimpinan Pdt. Dr. Judo Poerwowidagdo yang beranggotaan para relawan "merah" (Kristen) dan "putih" (Islam), kini tak bisa lagi masuk ke Ambon. "Saya takut mengirim tim saya ke sana," ujar Judo. Mengapa Judo yang sekarang menjadi rektor Ukrida ini takut? Mengapa orang "putih" berniat rekonsiliasi juga dihabisi? Untuk menguak tragedi kemanusiaan di negeri Seribu Pulau ini, ikuti bincang-bincang Basuki dan Eman dari BAHANA dengan Judo berikut ini. Bisa dijelaskan awal terbentuknya TIRA? Tim ini beranggotakan para relawan yang mengikuti lokakarya pemberdayaan untuk rekonsiliasi yang diselenggarakan Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Kegiatan ini diselenggarakan sejak tahun 1986. Lalu, Agustus 1999, saya menawarkan kepada para anggota: bersedia tidak untuk membantu rekonsiliasi di Ambon dan mereka menjawab "bersedia". Kemudian terhimpunlah tim inti sebanyak 12 orang, tapi sekarang sudah lebih dari 20 orang, dan tim terdiri dari campuran orang"merah" dan "putih" ini, kemudian menyebut diri Tim Independen untuk Rekonsiliasi Ambon disingkat TIRA. Anda pernah ke Ambon? Oktober 1999, saya sendiri ke Ambon. Saya ke sana untuk menawarkan kepada para pejabat di sana, mau tidak mereka menerima TIRA. Karena bersedia, lalu kami Januari 2000 merencanakan berangkat namun karena situasi belum memungkinkan, kami menunda hingga Februari 2000. Bulan Februari ini saya mengirim tim sebanyak 6 orang. Mereka di sana selama 6 minggu dengan tujuan mengembangkan kepercayaan antarkelompok yang bertikai dan juga dengan para pejabat. Setelah itu, mereka kembali ke Yogya, membuat laporan ke teman-teman yang lain. Mereka lalu diskusi untuk membuat peta konflik. Artinya, kita ingin tahu siapa-siapa kelompok yang berkonflik dan sekaligus peran mereka apa. Setelah diskusi kita mengirim tim kembali ke sana. Kami sudah 3 kali mengirim tim ke Ambon. Tim yang ketiga ini bukan saja sudah dikenal tapi sudah semakin berhasil mengajak rekonsiliasi. Hasilnya betul-betul positif. T! api, upaya tim ini kemudian jadi macet karena ada aneka hambatan. Hambatan itu apa? Sekarang ini yang menghambat adalah datangnya pasukan Jihad. Karena perang kemudian pecah, tidak ada pesawat ke sana, darurat sipil diberlakukan dan Maluku tertutup sehingga sampai sekarang TIRA tidak bisa lagi ke sana. TIRA sekarang macet. Saya tidak berani mengirim tim ke sana. Anda 'kan mengamati perkembangan Maluku secara intens. Bagaimana perkembangan Maluku sekarang ini? Penduduk lokal, baik "merah" maupun "putih" sekarang ini semakin terancam. Pihak putih pun yang mau rekonsiliasi sekarang ini dibabat. Mereka lari juga ke luar daerah. Sementara yang merah masih tinggal di sana tapi lari ke gunung-gunung. Kampus-kampus dibakar habis, termasuk Kampus Universitas Maluku. Kalau sudah macet begini, lalu apa yang bisa dilakukan TIRA? Kami menengok ke Jakarta. Ternyata kami menemukan bahwa masalah Maluku ini memang tidak bisa selesai jika hanya diatasi oleh penduduk sendiri karena ada orang-orang Jakarta yang terlibat. Siapa mereka itu? Mereka adalah para elit politik yang bertengkar. Pesan Anda pada mereka yang terdesak dan lari ke gunung-gunung? Saya percaya pasti akan segera ada penyelesaian. Jangan putus harapan. Memang tidak segera sekali tapi pasti ada penyelesaian. Saya minta mereka tetap bertahan. Apa dasar optimisme Anda? Ya, sebab segala sesuatu berubah. Dan, saya masih percaya Tuhan. Tuhan Allah tidak akan membiarkan anak-anak-Nya terus bertengkar. Mereka sendiri yang perang itu pasti capek. Mungkin saja para pemimpin mereka yang tidak perang masih semangat, tapi yang perang pasti capek. Seruan Anda pada orang Kristen di luar Ambon? Kalau saya menyerukan solidaritas, solidaritasnya bukan solidaritas untuk Kristen, tapi solidaritas untuk perdamaian dan rekonsiliasi. Kalau orang Kristen turut mengkonsolidasikan yang Kristen, terus yang Islam juga begitu, itu namanya bukan solidaritas tapi malah mengajak berperang. Kita harus belajar dari peristiwa ini. Kita harus sadar, bahwa masyarakat Indonesia itu masyarakat plural. Kita hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk dengan demikian harus ada toleransi aktif. Berlawanan dengan toleransi pasif, toleransi aktif adalah toleransi yang mencoba untuk saling hidup bersama, ada kerja sama, saling menyapa, melihat perbedaan sebagai karunia Allah dan saling mengasihi. Mengapa Anda begitu optimis bahwa akan ada perdamaian di Maluku? Tuhan itu di Alkitab-kan dinyatakan sebagai Sang Raja Damai. Damai itu kan tidak dinyatakan hanya memihak pada kepentingan sendiri. Kristus itu Raja Damai karena itu jangan ikut mengobarkan untuk membela saudara-saudara kita yang Kristen. Yang harus kita bela sekali lagi adalah keadilan. Kalau kita hanya membantu yang merah, itu namanya ikut mengobarkan perang. Firman Tuhan' kan katakan, meski saya tidak menganggap teologia sesederhana itu, kalau kamu dipukul pipimu sebelah kanan berikanlah yang sebelah kiri. Hal ini bukan berarti kalau kita dipotong kepala kita yang satu lalu berikan kepala yang lain, tidak. Tapi, jangan keras dilawan dengan keras. Basuki
|