Masariku Report - Provided by Masariku Network
Senin, 4 Juli 2000, kompleks Kampus Universitas Pattimura (UNPATTI)
Ambon yang berlokasi di wilayah desa Poka dan Rumahtiga, telah tinggal
kenangan dengan dibakarnya seluruh gedung perkuliahan sejumlah fakultas,
kantor Rektorat, Perpustakaan hingga bangunan Politeknik.
Proses pembakaran kampus oleh para perusuh muslim ini terjadi dalam dua
hari yakni sejak tanggal 3 - 4 Juli 2000 tanpa ada satupun aparat keamanan yang diutus
untuk mengamankan wilayah tersebut. Kampus Unpatti bukan satu-satunya, areal yang
dibakar oleh perusuh selama dua hari tersebut, sejumlah perumahan dosen Unpatti,
perumahan warga Kristen di dua desa tersebut lengkap dengan sejumlah gedung gereja
mereka tak luput dari terjangan api perusuh.
Proses penyerangan dan pembumi-hangusan desa Poka dan Rumahtiga (kurang lebih
1Km dari kota Ambon) ternyata sengaja dibiarkan terjadi tanpa kehadiran aparat
keamanan yang bertugas di situ ataupun insiatif bantuan pengamanan militer. Akibatnya
massa perusuh dengan kemampuan senjata organik yang memadai dengan leluasa
menerjang dan membakar wilayah kedua desa tersebut tanpa ada perlawanan warga
Kristen. Rupa-rupanya di tangan Pangdam XVI/Pattimura yang baru, Kolonel (Inf) I Made
Yasa, terjadi perubahan strategi pengamanan Ambon yang sangat patut dipertanyakan,
yakni penarikan semua aparat keamanan dari pos-pos jaga yang tersebar di wilayah
Ambon, termasuk pos jaga di desa Poka.
Diawali dengan terbakarnya Fakultas Hukum pada tanggal 4 Juli 2000, lalu diikuti oleh
pembakaran gedung-gedung lainnya oleh para perusuh dengan dukungan aparat
keamanan. Pada hari itu juga terjadi pembumi-hangusan negeri Poka dan Rumahtiga.
Sebagian Dosen-dosen yang tinggal di Perumahan Dinas UNPATTI di evakuasi ke
Markas DENZIPUR V selama 3 hari. Penjarahan barang-barang terus terjadi baik di
rumah-rumah penduduk maupun di Kampus.
Pada tanggal 5 Juli, Kampus telah dijaga oleh aparat kemanan yang datang terlambat
(sengaja), tetapi mereka membiarkan penjarahan fasilitas-fasilitas Kampus. Hingga
sekarang areal Kampus masih tetap dijaga, tetapi kelompok perusuh yang menguasai
wilayah tersebut dengan bebas dapat memasuki Kampus. Mereka mengambil apa saja
semaunya tanpa mampu untuk dihalangi. Semua kerja keras selama berpuluh tahun
hilang musnah.
Pada hari Minggu, 3 Juli 2000, sejumlah aparat keamanan yang bertugas menjaga
wilayah desa Poka diperintahkan untuk meninggalkan pos jaganya di desa Poka yakni di
sebuah rumah besar milik Memet Latuconsina. Menyusul kepergian aparat, rumah pos
jaga pun terbakar. Besar kecurigaan bahwa rumah tersebut dibakar oleh pihak aparat
sendiri. Pada saat para aparat ini hendak meninggalkan wilayah pos jaganya di Poka,
proses penyerangan desa Poka pun dimulai.
Ironisnya, ketika informasi ini disampaikan ke mereka, yang saat itu tengah berkumpul di
demarga Poka menanti jemputan lautnya, mereka menolak permintaan masyarakat akan
pengamanan dengan alasan tidak ada perintah komando untuk menjaga kembali wilayah
tersebut. Alhasil, para aparat itupun pergi meninggalkan bekas daerah pengamanannya
tanpa memperdulikan permintaan masyarakat dan serangan perusuh yang sedang
berlangsung.
Hingga malam hari, para perusuh terus mengadakan penyusupan dan penyerangan ke
wilayah Poka. Keesokan harinya, 4 Juli 2000, serangan mereka dilanjutkan. Ketika
diketahui adanya upaya masa membakar kampus Unpatti, warga masyarakat untuk
kesekian kalinya meminta bantuan aparat pada Pangdam namun permintaan itu ditolak
pangdam dengan dalih bahwa di sekitar kampus di situ ada masyarakat, Satpam
maupun Resimen Mahasiswa yang bisa menjaga Kampus.
Hingga musnahnya kampus Unipatti dan kedua desa ini, tak satupun aparat keamanan
yang diterjunkan. Ironisnya lagi, ketika terjadi serangan perusuh, sejumlah speedboat
penyusup diketahui menerjunkan sejumlah aparat keamanan di kawasan pantai
Poka-Rumahtiga yang diyakini masyarakat setempat sebagai oknum aparat pendukung
operasi perusuh. Bahkan pergerakan speedboat itu menuju pantai, diikuti tembakan dari
aparat di dalam speedboat itu ke arah warga Kristen di pantai.
Diawali dengan terbakarnya Fakultas Hukum pada tanggal 4 Juli 2000, lalu diikuti oleh
pembakaran gedung-gedung lainnya oleh para perusuh dengan dukungan aparat
keamanan. Pada hari itu juga terjadi pembumi-hangusan negri Poka dan Rumahtiga.
Sebagian Dosen-dosen yang tinggal di Perumahan Dinas UNPATTI di evakuasi ke
Markas DENZIPUR V selama 3 hari. Penjarahan barang-barang terus terjadi baik di
rumah-rumah penduduk maupun di Kampus.
Pada tanggal 5 Juli, Kampus telah dijaga oleh aparat kemanan yang datang terlambat
(sengaja), tetapi mereka membiarkan penjarahan fasilitas-fasilitas Kampus. Hingga
sekarang areal Kampus masih tetap dijaga, tetapi kelompok perusuh yang menguasai
wilayah tersebut dengan bebas dapat memasuki Kampus. Mereka mengambil apa saja
semaunya tanpa mampu untuk dihalangi. Semua kerja keras selama berpuluh tahun
hilang musnah.
Penarikan pasukan pos jaga di kawasan Poka sepenuhnya merupakan perintah
Pangdam. Setting baru Pangdam ialah menarik semua aparat keamanan yang bertugas
di berbagai pos jaga di Ambon untuk kemudian dikumpulkan pada sebuah pos besar.
Perubahan setting pengamanan ini sangatlah tidak dimengerti karena justru perubahan
inilah yang melatar- belakangi jatuhnya kampus Unipatti dan 2 desa.
Lalu bagaimana dengan penguasa situasi Darurat Sipil ? Ternyata antara Pangdam dan
Gubernur sebagai penguasa darurat sipil telah terjadi keretakan dan diskoordinasi
komando pengamanan. Permintaan pasukan pengamanan dari gubenur kepada
Pangdam ternyata tidak dipatuhi Pangdam. Penolakan ini menandai ketiadaan otoritas
penguasa darurat sipil atas militer. Latar belakang penolakan Pangdam ini didasarkan
pada struktur komando baru yang di atur oleh panglima TNI Laksamana Widodo.
Rupanya dalam struktur baru komando pengamanan situasi darurat yang diberikan
Panglima TNI kepada pangdam Maluku yang baru, kedudukan Gubenur tidaklah di atas
Pangdam. Pangdam tetap sebagai pemegang komando pengamanan dan Gubenurlah
yang meminta bantuan pengamanan dari Pangdam. Inilah sumber masalah yang
menyebabkan gubenur kehilangan otoritasnya sebagai penguasa darurat sipil atas
militer. Tak heran, akibat ulah Pangdam ini, Gubenur telah mengeluarkan surat teguran
kepada Pangdam Pattimura.
Tindakan Pangdam yang menarik pasukannya dari pos-pos jaga merupakan sebuah
celah besar bagi para perusuh yang masih memiliki senjata organik hasil jarahan gudang
senjata Brimob untuk beraksi kembali. Paling tidak Desa Poka, Rumahtiga dan kampus
Unpatti merupakan korban pertamanya. Akibatnya, daerah itu kini sepenuhnya dibawah
penguasaan perusuh muslim.
Sebuah analisa terbatas menyimpulkan bahwa tindakan Pangdam menarik pasukan di
pos-pos jaga merupakan sebuah desain elite pusat yang membiarkan masyarakat sipil
bertarung tanpa adanya pengamanan aparat. Dengan begitu banyak senjata jarahan di
tangan perusuh bisa dipastikan bahwa kawasan pemukiman warga Kristen akan mudah
dibakar dan dikuasai perusuh. Itu berarti dalam hitungan jam ke depan, apabila tidak
ada koreksi komando militer atas setting pengamaman Pangdam, dan tidak ada upaya
antisipasi dari Gubernur sebagai penguasa darurat sipil, maka proses genocide dan
pengusiran warga Kristen Ambon dari negerinya sendiri akan semakin nyata.........
|