Calon Wakil Rakyat
Oleh: Abdul Hamid
T
iba-tiba saja banyak terjadi perubahan perilaku sebagian warga masyarakat di wilayah tanah air.Dia yang dulunya jarang ke rumah ibadah, kini lebih banyak menghabiskan waktunya di situ. Kalau dulu dia begitu selesai sembahyang langsung pergi atau cukup berdoa singkat saja, doa sapu jagat, kini doanya menjadi panjang-panjang. Ditangannya terlihat buku doa yang tebal, baru beberapa hari dibeli.
Dia yang dulunya jarang ke rumah ibadah, kini ada pula yang bahkan terkesan "tidak punya cukup waktu" berhubungan dengan Sang Maha Pencipta. Namun ketika berbicara, terlontar ucapan-ucapan yang merupakan "kutipan" dari kitab suci atau dari bahan ceramah/khutbah pemuka agama.
Dia yang dulunya hanya bicara ala kadarnya, kini bicara kapan saja ada kesempatan; bahkan, menurut sumber yang layak dipercaya, dalam tidur pun dia mampu berbicara "tajam", sehingga sang suami atau sang isteri di sebelahnya tak dapat memejamkan mata, mendengarkan atau menyimak kalimat demi kalimat dalam pidato tajam itu. Gaya bicara dan aksen suaranya pun diupayakan mirip-mirip, kalau mungkin menyaingi, gaya dan aksen da'i sejuta ummat, pak Kiai H.Zainuddin MZ atau gayanya orator ulung seperti Bung Karno.
Tak pula lupa dia obral janji dihadapan khalayak pengikutnya baik di rumah, di rukun tetangga, di rukun kampung, di kelurahan, di kecamatan; di ruang tertutup maupun di ruang terbuka.
Dia yang dulunya dikenal sangat sukar "mengulurkan tangan", kini tiba-tiba berubah menjadi dermawan; membagi-bagikan sembako dan lembaran uang yang nolnya ada 4, sambil tersenyum lebar melebihi senyumnya Eyang Soeharto.
Entah dari mana uang itu diperolehnya, mungkin saja dari kocek pribadi, sponsor lokal, regional, nasional bahkan mungkin sponsor internasional. Khusus untuk jenis sponsor yang terakhir ini, sebenarnya tidak diperkenankan menurut peraturan, tetapi siapa yang berani dan mampu melacak sumber "rezeki" seseorang atau partai dalam kondisi yang lagi serba kurang menentu ini?
Harap maklum sajalah, para sponsor internasional itu memang sangat berkepentingan dengan kestabilan dan keamanan di dalam negeri yang jumlah penduduknya nomor 4 terbesar di dunia ini, negeri dengan konsumen besar dan dengan tingkat korupsi yang besar pula, yang juga katanya masuk ranking nomor 4 seantero dunia.
Berbagai ragam cara yang dilakukan seorang calon wakil rakyat - calon legislatif(caleg) bahasa politiknya-dalam upaya menarik perhatian warga masyarakat agar memilih partainya, sehingga dia dapat menjadi wakil rakyat, menjadi anggota legislatif di tingkat II atau di tingkat I atau di pusat.
Kita tidak tahu dengan pasti apa yang sebenarnya ada di benak para caleg itu.
Sekian banyak dugaan dapat saja dialamatkan kepada mereka dan mereka, sebagai demokrat baru, tentunya tak harus marah, tak harus menghujat, tak harus menghasut, apalagi sampai membawa golok, clurit bahkan pistol di pinggang.
Salah satu tujuan perjuangan reformis adalah menolak nepo p73 tisme dan ketertutupan yang sangat mewabah selama era kepemimpin- an Eyang Soeharto dalam berbagai bidang/sektor, termasuk dalam lembaga perwakilan rakyat. Namun sangat disayangkan partai-partai peserta Pemilu 1999 yang mengaku reformis masih saja ada yang bernepotisme dalam menetapkan dan menyembunyikan identitas utama para caleg mereka. Memilih caleg menjadi bagaikan membeli kucing dalam karung.
Ada bapak beserta anak dan ada pula isteri beserta suami, adik dan keponakan, ditetapkan sebagai caleg "nomor jadi".
Hal-hal seperti ini tentu dapat membuat kabur tujuan perjuangan era reformasi. Yang menjadi lebih terlihat semakin menonjol malahan unsur kebencian pribadi, bukan keinginan berdemokrasi.
Kebencian, kata orang bijak, hanya akan menghasilkan kebencian.
Saya hanya khawatir, kalaulah hal-hal seperti ini yang ditonjolkan, maka demokrasi akan semakin menjauh dari bumi ibu pertiwi.
Dapat saja nantinya akan muncul partai sejenis Golkar era orde baru jilid II dan KKN Jilid II.
Mampukah pengurus partai menghilangkan nepotisme dari tubuh partai mereka setelah Pemilu 1999 guna menunjukkan konsisten perjuangan mereka? Amati sajalah.
Dua orang peserta kampanye sedang mendengarkan pidato kampanye putaran terakhir seorang caleg nomor jadi salah satu partai peserta pemilu.
"Dia banyak sekali melontarkan janji-janji muluk yang sudah tak sesuai lagi dalam era reformasi ini. Saya tidak mengerti apa yang tengah dipidatokannya." celetuk seorang peserta.
"Oh, dia berjanji seperti itu karena dia tahu bahwa kalau saja semua orang mengerti apa yang sedang dipidatokannya, mereka akan mengetahui bahwa dia sebenarnya tidak tahu apa yang tengah dipidatokannya." sahut peserta yang lain.(*)