Berdana untuk Sesama
Oleh: Saiman, SS
SEMENJAK krisis melanda bangsa Indonesia banyak masyarakat menjadi miskin, kekurangan gizi maupun makanan. Mereka tidak lagi memikirkan kualitas makanan yang mampu menumbuhkan intelektual yang tinggi di kalangan anak-anak. Jangankan memikirkan biaya sekolah, untuk makanpun mereka banyak yang mengeluh, tidak mampu membeli bahan kebutuhan pokok, tidak ada uang dan seterusnya. Lebih-lebih ditunjang dengan banyaknya golongan PHK (putus hubungan kerja) yang jumlahnya semakin bertambah. Bilamana kita berada di kota besar, berulangkali kita berjumpa dengan para pengemis yang datang meminya. Berulangkali juga datang kesempatan para dermawan untuk menyatuninya. Bagi kita, memberikan santunan kepada orang miskin tentu perbuatan yang baik. Bagaimana kalau tidak ada orang miskin? Banyak yang memerlukan dan mencari sasaran orangmiskin untuk mempraktikkan kemurahan hatinya. Kemurahan hati berarti tidak kikir, diartikan gemar beramal. Orang beramal dengan tangan terbuka, memberikan derma untuk menolong kaum miskin, termasuk memberikan sedekah makanan merupakan salah satu bentuk paramita.
Buddha mengajarkan kepada Drghajanu bahwa prestasi dalam kemurahan hati merupakan salah satu kondisi yang menghasilkan kebahagiaan hingga kelak di kemudian hari. Kondisi lain adalah keyakinan, kebajikan dan kebijaksanaan. Kebahagiaan yang segera dinikmati memerlukan ketekunan, kewaspadaan, persahabatan yang baik dan cara hidup yang seimbang. (Angutara Nikaya VII, 6:54) Orang boleh menjadi kaya, kekayaan yang diperoleh dengan bekerja keras, dengan cucuran keringat sendiri, dengan cara yang dibenarkan oleh hukum, dan etika moral yang berlaku akan memberikan manfaat dan kebahagiaan baginya. Ia membuat dirinya dan orang lain senang, apakah itu sanak keluarga, teman atau masyarakat sekitarnya. Ia dapat menyokong pemerintah dengan membayar pajak. Ia dapat menyokong kehidupan beragama dan menjalankan agama dengan sebaik-baiknya.
Memiliki kekayaan saja tidak dinyatakan sebagai berkah. Kaya tetapi tidak dapat memanfaatkan atau tidak dapat menggunakannya, justru membawa penderitaan. Bilamana ia dapat memanfaatkannya untuk berdana, menolong orang yang kekurangan, berbuat tanpa cela, hidup sesuai dengan dharma, itulah yang dinamakan berkah utama (Maha Manggala). Sedangkan menikmati sendiri kekayaan itu secara berlebihan dantidak menyokong orang lain, di cela oleh Buddha dan dinyatakan sebagai salah satu sebab kemerosotan. Mengapa Buddha meninggalkan ketiga istana dan kerajaan-Nya. Begitu pula para rahib (Bikkhu), melepaskan semua harta yang pernah dimiliki. Mereka dengan kehendak sendiri hanya mempertahankan jubah dan mangkok makan, makanan diperoleh dari sedekah umat. Tak mengherankan bila Buddha dianggap oleh masyarakat awan sebagai pengemis, sekalipun pengemis Agung. Walaupun demikian Buddha tidak mengajarkan umat-Nya untuk menjadi miskin, tetapi yang lebih penting bagaimana ia dapat mematahkan belenggu-belenggu kehidupan duniawi. Seseorang yang masih dikuasai oleh belenggu-belenggu keduniawian maka merupakan sebab dari penderitaan. Memang betul bahwa perjuangan Buddha adalah untuk melenyapkan penderitaan, termasuk kemiskinan, karena dari kemiskinan akan timbul penderitaan. Disebutkan dalam sabda Buddha," Dari kemiskinan, pencurian akan meningkat. Dengan meningkatnya kekerasan, penghancuran kehidupan atau pembunuhan merajalela. Untuk mencapai kehidupan yang damai dan bahagia tentu saja perlu menyingkirkan kemiskinan." (Digha Nikaya : 26).
Memberikan sumbangan bukan diartikan membagi kelebihan, tetapi belajar untuk melepaskan pemilikan pribadi yang membelenggu sang aku. Buddha dan para bikkhu membuka ladang untuk menanam jasa itu. Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari kebencian akan menghasilkan pahala yang besar. Dicontohkan oleh Buddha dalam peringatan hari Khatina (hari berdana). Pada hari itu umat berduyun-duyun memberikan dana kepada para sangha. Disabdakan oleh Buddha dalam syair Dhammapada," Rumput-rumput merupakan benana yang sawah ladang, ketidaktahuan merupakan bencana bagi manusia. Karena itu dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas dari ketidaktahuan akan menghasilkan pahala yang besar". (Dhammapada : 358).
Kita sebagai umat awanpun dapat mengakuinya bahwa berdana itu menolong orang lain yangmengalami kekurangan, tetapi berdana itu harus dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kemampuan yang dimiliki. Berdana itu dapat berupa materi (amise dana), dapat berupa moral dan keilmuan (Dhamma dana), dan dapat berupa ampunan atua mohon maaf (Abhaya dana). Dengan demikian berdana pada kaum miskin, apa pun bentuknya asalkan dapat meningkatkan kemampuan atau kecakapannya, menurut ajaran Buddha tergolong karma baik dan akan membawa kebahagiaan). (Penulis, Staf Pembimas Buddha Kanwil Dep Agama Prov Kalbar).