Menata "Pagar Hidup" Perbatasan

Oleh: Agustinus Yan, S.Sos, M.Si

MASALAH perbatasan belakangan ini menjadi mencuat ke permukaan sehubungan dengan pengamanan perbatasan dari tindakan kriminal seperti penyeludupan kayu maupun senjata api, sehingga diawasi dengan helikopter (AP Post, Rabu 23 Juni 199:1). Demikian juga konsep sumber daya manusia (SDM) telah lama juga menjadi perbincangan publik di seantero Republik Indonesia. Terlebih lagi dalam era dunia tanpa batas, kualitas SDM menjadi standarisasi indentitas suatu bangsa yang beradab serta modern.

Bagi kawasan perbatasan antar-negara, kualitas SDM merupakan suatu agenda yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena kawasan perbatasan pada hakikatnya merupakan pintu masuknya (entry) sekaligus berfungsi sebagai penyaring pengaruh-pengaruh positif dan negatif yang masuk dari luar. Untuk itu, SDM yang berkualitas perlu dibentuk di kawasan perbatasan antarnegara, agar dapat dijadikan "pagar hidup" suatu negara secara permanen.

Tulisan ini ingin membahas eksistensi kualitas SDM, berdasarkan fakta-fakta impiris di kawasan perbatasan Indonesia (Kecamatan Ketungau Hulu) dengan negara Malaysia.

Sejarah & Fakta Impiris

Sejarah telah menunjukkan bahwa konflik yang berkepanjangan antarnegara, misalnya India dan Pakistan, antara Iran dan Iraq semuanya berawal dari batas antarnegara. Oleh sebab itu, bertolak dari pengalaman sejarah bangsa-bangsa lain pembenahan SDM di areal perbatasan perlu menjadi prioritas utama. Membenah "pagar hidup" di kawasan perbatasan, bukan zamannya lagi menggunakan pendekatan yang represif serta dominasi naunsa keamanan semata, tetapi bergeser pada pendekatan sosial, dan aspek pendidikan.

Pembenahan SDM melalui program wajib belajar sembilan tahun sangat ironis, jika strategi peningkatannya masih asal-asalan. Data dan informasi tentang kondisi pendidikan yang diperoleh selama di lapangan (Nanga Senaning) sebagai berikut : Pertama, kondisi SDN 10 Desa Suak Medang, guru berjumlah 3 orang; murid berjumlah 70-an, bangunan sekolah rusak berat; Ke dua, SDN Kedang Ran, guru hanya 1 orang, murid sebanyak 114 orang; bangunan sekolah rusak berat. Ke tiga, SDN Desa Jasa, guru hanya 1 orang; murid 192 orang, lokal kelas 1 s/d 6; Ke empat, SDN Lubuk Tapang, guru hanya 2 orang, murid 109 orang, dari kelas 1 s/d 6, bangunan sekolah rusak berat. Bahkan, banyak penilik sekolah yang harus membantu mengajar demi kelancaran Proses Belajar Mengajar (PBM). Demikian beberapa kasus PBM di daerah perbatasan yang sangat memprihatinkan, jelas kasus ini memiliki relevansi langsung dengan proses pembentukan SDM yang berkualitas.

Investasi pada Manusia

Strategi peningkatan kualitas SDM merupakan proses investasi pada manusia. Dalam teori tenaga kerja (human skill) dikemukakan bahwa ada perbedaan efisiensi tenaga kerja, ada perbedaan produk-produktivitas tenaga kerja. Kalau suatu negeri unggul dalam keterampilan, maka menyebabkan negeri tersebut lebih unggul dalam produktivitas dan efisiensi. Teori human capital juga menyatakan bahwa untuk menciptakan keterampilan yang tinggi, diperlukan juga investasi manusia (human investment) yangtinggi pula.

Agar pagar hidup kawasan perbatasan mengalami pemberdayaan, maka pembenahan terhadap SDM perlu serius. Pembenahan tersebut, dapat dilakukan melalui pembukaan daerah-daerah yang masih banyak terisolir, penambahan jumlah guru SD, pemberian beasiswa, masuk PTN tanpa tes, renovasi bangunan sekolah yang telah rusak parah, dan penambahan buku-buku pelajaran secara proporsional.

Pembukaan daerah-daerah yang terisolir bukan saja berorientasi pada aspek ekonmis dengan mengelola SDA yang ada dengan leluasa, misalnya menebang hutan secara bebas beberapa radius dari jalan poros. Pembukaan daerah terisolir dengan terminologi jalan poros perlu dikaji ulang. Jalan ke desa-desa harus dibangun guna memutar roda perekonomian masyarakat. Jalan poros juga harus memiliki tujuan meningkatkan akses informasi masyarakat, sehingga masyarakat sungguh-sungguh menikmati kehidupan yang lebih bebas.

Program aksi untuk menata ulang SDM di kawasan perbatasan memang mahal, tetapi itulah harga pembangunan yang harus dibayar sebagai konsekuensi investasi pada manusia demi jangka panjang. (Penulis, alumni Untan, telah menyelesaikan Magister Studi Pembangunan UKSW, Salatiga).