LINTAS PERISTIWA KERUSUHAN DI MALUKU

Periode 15 Januari 1999 – 13 April 2001


PENDAHULUAN

Telah berulang kami diminta untuk mengedarkan laporan-laporan berkala tentang situasi di Maluku bukan hanya dalam bahasa Inggeris, tetapi juga dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi kami berpendapat bahwa informasi dalam bahasa Indonesia sudah agak melimpah melalui beberapa websites. Namun mungkin ada manfaatnya untuk menyajikan suatu ikhtisar yang relatif singkat (32 halaman A-4) tentang semua peristiwa penting, baik menyangkut konflik itu sendiri maupun tentang usaha-usaha untuk menyelesaikannya. Demi-kianlah maksud tulisan ini, yang hampir seluruhnya kami ambil saja dari majalah bulanan Keuskupan Amboina "Warkat Pastoral". Semoga bermanfaat bagi pembaca.

Crisis Centre Keuskupan Amboina

 

PROLOG: KERUSUHAN Dl DOBO

erusuhan di Maluku mendapat awalnya di Dobo, PP.Aru. Sebuah konflik kecil pada hari Jumat tgl. 15 Januari 1999, meluas menjadi pertikaian antara kelompok-kelompok islam versus kelompok-kelompok kristen. Akibatnya berjatuhan korban dan terjadilah pembakaran rumah-rumah penduduk serta rumah ibadat.

Dua hari kemudian tibalah Bupati beserta rombong-an dalam rangka usaha untuk menenangkan massa. Tetapi begitu Tim Muspida Tingkat II itu berangkat kembali ke Tual, pecah lagi konfrontasi penuh ke-kerasan. Baru setelah api sudah melalap banyak ru-mah penduduk dan bukan sedikit korban berjatuh-an, tibalah pasukan Brimob dari Ambon. Mereka berhasil menghentikan segala tindak kekerasan itu.

Pada hari Senin tgl. 18 Januari kerusuhan itu ber-akhir dengan diadakannya pertemuan para pimpin-an ABRI dari Tual, Ambon dan Muspika Dobo bersama dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat.

 

KERUSUHAN PERIODE PERTAMA

Kerusuhan di Ambon, PP.Lease & Seram Barat

Suasana halal-bihalal di Ambon pada hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1419 H – yaitu hari Selasa tgl. 19 Januari 1999 – di sore hari sekitar jam 16.00 berganti senja kelabu, berawal dengan peristiwa yang sebetulnya merupakan insiden harian: yaitu pe-merasan kecil seorang anak pasar suku Bugis, beragama islam, terhadap sopir mobil penumpang yang beragama kristen. Pada pertikaian antar pri-badi ini ternyata masing-masing ada pendukung-nya, dan keadaan makin memanas. Setengah jam kemudian tersebarlah isyu, bahwa gereja protestan Silo mau dibakar. Berita bercorak provokasi ini mengerahkan kedua kubu (kristen-protestan dan is-lam) untuk berkumpul dan menyiapkan diri untuk saling menghadapi: yang beragama islam dengan ikat kepala warna putih, sedangkan yang beragama kristen dengan ikat kepala warna merah. Sejak waktu itu istilah untuk kedua pihak itu menjadi "kaum putih" dan "kaum merah". Kemudian hari dipakai juga istilah Acang dan Obed.

Seperti tadinya isyu bahwa gereja Silo mau dise-rang mengerahkan massa kristen untuk beraksi, demikian pula pada tgl. 20 Januari tersebarlah di desa-desa islam Hitu dan Mamala berita palsu bah-wa mesjid Al-Fatah telah dikepung dan sementara dibakar, dan bahwa banyak kaum muslim sudah jadi korban. Maka massa islam bergerak dari kampung-kampung halamannya itu menuju Ambon-kota. Pada melewati desa Benteng Karang dan Telaga Kodok, mereka membom gereja katolik Telaga Kodok dan membakar tiga gereja lain. Ba-nyaknya korban di pihak kristen 16 orang, termasuk beberapa wanita dan anak-anak. Kerusuhan berlan-jut terus pada hari itu dan pada hari-hari berikutnya, melibatkan juga Hative Besar dan berbagai desa dan lokasi lain.

Sesudah interupsi singkat, kerusuhan menjalar ke Kairatu di Pulau Seram pada tgl. 3 hingga 5 Februari. Tanggal 13 dan 14 Februari Pulau Haruku dilanda kerusuhan, dilanjutkan pada tgl. 20 Febru-ari. Sementara itu menjadi nyata bahwa Pulau Saparua pun mulai siap untuk mengadakan konfrontasi bersenjata. Pecahlah kerusuhan berdarah di situ pada tgl. 23 Februari.

Pada hari itu juga terjadilah pertikaian antara dari satu pihak kedua desa islam Tulehu dan Liang versus desa protestan Waai, menuntut banyak korban jiwa di kedua belah pihak.

Di kota Ambon masih terjadi pelbagai insiden berdarah sampai dengan tgl. 10 Maret. Kemudian keadaan mereda, dan mulai suatu periode ketenang-an namun penuh ketegangan juga. Suatu pengalam-an pahit ialah bahwa banyak oknum aparat keamanan ternyata tidak berusaha untuk menghentikan pertikaian melainkan secara terang-terangan membantu massa perusuh islam untuk mencapai tujuannya ialah pembasmian orang kristen dan menghalaukan agama kristen dari bumi Maluku.

Selama periode pertama kerusuhan itu diadakan berbagai usaha untuk menghentikan pertikaian. Sering masyarakat membuktikan itikatnya yang baik karena banyak orang dengan sukarela menye-rahkan senjata-senjatanya kepada aparat keamanan. Para pemimpin Agama pun acapkali mengadakan pertemuan dalam rangka usahanya untuk meyakin-kan umatnya bahwa apa yang terjadi di Maluku ini, tentu saja tidak berkenan kepada Allah, yang adalah Bapa kita sekalian dan bukan hanya dari sepihak saja.

Perhatian yang sebaik mungkin diberikan kepada para pengungsi. Lokasi pengungsi yang di bawah asuhan Gereja Katolik (untuk orang katolik maupun protestan) antara lain di kompleks persekolahan Suster TMM di Benteng, di gedung paroki dan gereja Hati Kudus Yesus Batugantung, di gereja Tantui, di gereja Katedral dan gedung Puspaskup, di gereja Poka, di Passo, dalam kompleks panti anak-anak tuna rungu dan di Wisma Gonzalo Veloso. Yang terakhir itu mula-mula memberi tumpangan kepada 1100 orang pengungsi! Ribuan orang lain berlindung di MAPOLDA, di kompleks Angkatan Laut Halong, di KOREM, di Kopertis, di Wisma Atlit Karpan dll.

Dalam kerusuhan periode pertama itu, umat Katolik berusaha membatasi diri pada mengambil sikap defensif, sambil mencari jalan – antara lain atas usaha Bapak Uskup sendiri – untuk mendamaikan kedua pihak yang bertikai itu.

Crisis Centre Keuskupan Amboina

Demi menangani masalah-masalah akibat kerusuh-an bulan Januari sampai April 1999 yang belum diselesaikan, dan sekaligus mengantisipasi kejadi-an-kejadian yang mungkin masih akan terjadi, MAKAN DALAM BULAN Juli 1999 dibentuk di tingkat Keuskupan sebuah Crisis Centre. Ketuanya Pastor Fred Sarkol MSC, Wakil Uskup dan Pastor Paroki Tantui. Namun demi alasan praktis – yaitu blokade jalan di Galunggung/Batumerah – pimpin-an Crisis Centre dialihkan kepada wakil-ketua, ia-lah Pastor Agus Ulahaiyanan Pr., Rektor Seminari-um Xaverianum di Batumeja.

Crisis Centre yang bermarkas mula-mula di rumah Keuskupan, kemudian berpindah ke gedung Pus-paskup itu, melaksanakan dan mengkoordinir berbagai kegiatan berkaitan dengan kerusuhan, antara lain di bidang Sosial-Ekonomi {Yayasan Rinamakana dan Komisi PSE), Kesekretariatan, evakuasi pengungsi, pendidikan, pembinaan, kateketik, rekonsiliasi / HAM (dibantu oleh Komisi-Komisi Puspaskup yang bersangkutan), Kesehatan (Yayasan St.Lukas), Hubmas (Komisi Komsos dan PT Radio Gelora Merpati). Termasuk juga Tim Advokasi yang bekerja sama dengan Tim Pengacara Gereja (TPG) Sinode GPM.

Crisis Centre itu tentu mengarahkan perhatiannya yang utama kepada umat katolik, namun dalam banyak hal mendampingi pula orang kristen-protestan, bahkan secara informal – sejauh mungkin dan dibutuhkan –orang islam.

Kerusuhan di PP.Kei

Pada tgl. 30 Maret 1999 pecahlah kerusuhan di Kepulauan Kei. Kampung-kampung islam di pesisir Barat Kei Kecil, seperti Selayar, Debut-Islam, Letvuan-Islam, Dian Pulau, Tetoat, Ngursit, Madwat, Ohoibadar, Ohoiren-Islam dan Ohoira-Islam jadi hancur. Berjatuhan sejumlah korban jiwa. Para pen-duduknya mengungsi ke Tual, Letman, Ohoiderta-wun dan Dullah. Di bagian selatan desa kristen Ohoiseb ditanah-ratakan. Di sebelah Timur, desa protestan Elaar pun dihancurkan oleh massa islam. Basudara katolik Ohoidertutu terpancing karenanya untuk menghancurkan desa Danar-Islam. Di Tual, ibu-kota Kabupaten Maluku Tenggara pun banyak rumah terbakar dan jatuh korban di kedua belah pihak. Toko-toko warga kristen Tionghoa dijarah dan dihancurkan. Desa Ohoitel mempunyai keunik-an bercampuran agama sehingga ada keluarga-keluarga dengan sebanyak tiga agama dalam satu rumah. Namun desa tersebut tidak luput juga dari penghancuran, termasuk 50 rumah umat protestan dan 7 rumah umat katolik.

Tgl. 3 April kerusuhan merambat ke P.Kei Besar, berawal di desa Larat, ialah kampung kelahiran Bupati H.Husein Rahayaan. Korban berjatuhan dan hampir seluruh desa itu dihancurkan. Para pendu-duk mengungsi ke Elat dan ke Tual. Selanjutnya beberapa desa islam di pesisir Barat Utara P.Kei Besar menjadi sasaran serangan orang protestan, yakni Ohoiwait, Elralang, Wer Ohoinam, Wer Ohoiker, Wer Frawav, Uwat Air, Ohoivaa, Uwat Reyaan dan Mun Kahar. Ketiga kampung "Wer" diserang karena mereka lebih dahulu menyerang kampung kristen Ngat. Pada tgl. 1 Mei datanglah massa islam dari P.Dullah menyerang dan meng-hancurkan desa protestan Dangarat. Sebuah desa protestan lain yang dihancurkan ialah Weduar Fer di ujung selatan pulau, di mana 37 orang kristen dibantai.

Pada awal bulan Mei 1999 kerusuhan baik di Kei Kecil maupun di Kei besar dapat diatasi melalui pelbagai acara rekonsiliasi, terutama berdasarkan adat persaudaraan suku Kei. Hingga saat ini tiada lagi konflik antar golongan.

Pada umumnya rugi bagi umat katolik di PP.Kei terbatas karena atas penegasan Uskup Diosis Amboina, Mgr. P.C.Mandagi MSC (yang mengunjungi PP.Kei dua kali selama itu), dan atas usaha Wakil Uskup serta para Pastor dan tokoh-tokoh Umat setempat, umat katolik pada umumnya menahan diri dari menyerang kaum putih, walaupun di sana-sini pun melakukan aksi "pembalasan" (misalnya Ohoidertutu dan Letfuan). Gereja Katolik malah main perananan penting dalam usaha rekonsiliasi kedua kubu yang bertikai: islam dan kristen-protestan. Walaupun bagi umat katolik rugi material dan korban jiwa terbatas, namun banyak umat mengungsi dan tinggal berbulan-bulan lamanya dalam keadaan serba darurat di beberapa lokasi, antara lain di kompleks persekolahan katolik Langgur. Pada tanggal 14 April 1999 tercatatlah jumlah total pengungsi 48.345 orang. Mereka ditampung di 11 kampung di Kei-Kecil dan 5 kampung di Kei-Besar.

Di Kei, permusuhan kini diganti dengan persaudaraan yang akrab antara mereka yang tadinya saling bertentangan dengan ganas dan tak kenal ampun. Berikut ini ringkasan beberapa berita tentang situasi di Kei, yang selama beberapa bulan di awal tahun 2000 dikirim ke harian AMBON EXPRESS oleh korespondennya di Kei ialah Nery Rahabav.

Karangannya itu berjudul "Pulau-Pulau Kei Pasca Kerusushan".

Perdamaian di Kei Kecil

Di desa Abean kini sementara berlangsung pembangunan kembali gereja dan mesjid, yang melibatkan semua warga yaitu muslim dan katolik.

Di desa Kamear pada tanggal 2 Februari diadakan acara silaturahmi antar umat desa Abean, Kamear dan Vatngon, melibatkan 500 anggota masyarakat. Isak dan tangis mewarnai acara tersebut. Turut hadir tokoh-tokoh umat dan masyarat, antara lain para kepala desa/dusun, Raja Songli (Rumat), Pastor Paroki Rumat dan alim ulama lainnya. Pastor Angky Pontoh menggemakan ucapan Gus Dur de-ngan menyatakan: "Tiada agama di dunia yang mengajarkan umatnya untuk saling bermusuhan, membunuh, memfitnah antara satu dengan yang lain."

Pada kesempatan itu pun tokoh pemuda dari Abean bernama Umar Kobarubun, menyatakan bahwa da-lam bulan Maret/April tahun lalu, selama kerusuh-an, sudah terjalin kerja sama kedua pihak melalui penjagaan-bersama, kemudian dilanjutkan dengan membangun kembali sarana ibadat. Dijelaskannya bahwa sikap ini terutama berakar pada hukum adat larvul ngabal : walaupun berbeda golongan, namun tetap berasal dari satu mata rantai, yaitu "Hera Mehe Yanan Ubun" = "Satu orang punya Anak Cucu". Dasar itu pun dikemukan oleh tokoh pemuda katolik Norbertus Savsavubun, yang meng-ungkapkan kesadaran masyarakat Kei tentang hu-bungan yang baik berdasarkan tanda ikatan "Ain Ni Ain" = "Engkau adalah saya dan saya adalah engkau".

Kegiatan silaturahmi ini sebelumnya sudah dilaksanakan di desa Wain dan Ibra, dan kemudian dilangsungkan pula di desa Danar. Acara ini selalu dimeriahkan dengan tarian adat, dengan menyanyi lagu-lagu yang berirama qasida dan rohani, dan tak lupa diiringi dengan saling berpelukan dan mene-teskan air mata.

Laporan pada tanggal 7 Februari menyatakan bah-wa warga desa Elaar Lamagorang, di pesisir timur Kei Kecil, memutuskan untuk kembali ke desanya, ialah salah satu desa yang tadinya paling menderita akibat kerusuhan. Menurut keterangan pejabat ke-pala desa, Bapak Cosmas Labetubun, 500 warga desa Elaar telah mengungsi: sebagian ke Langgur, sebagian ke Varvut, sebagian lagi ke Ohoidertutu. Banyak warga, yang mayoritasnya beragama kristen-protestan itu, masih mengalami trauma akibat pengalamannya yang amat pahit. Dalam kerusuhan yang melanda desa itu setahun lalu, 80 rumah penduduk terbakar habis; demikian pula gereja, gedung sekolah dan gedung Puskesmas. Jumlah korban waktu itu sebanyak 24 orang, yang rata-rata usia lanjut.

Sambil mencucurkan air mata, mereka pamit de-ngan warga desa-desa yang selama ini telah memberi tampungan kepada mereka. Kemudian mereka dihantar secara bersama-sama dengan DanDim 1503, Danlanud, Kapolres dan Ketua DPRD Malra ke desa Elaar. Di situ mereka mengadakan ibadat di gereja, walaupun dari gedung itu tinggal fondasi saja. Kemudian ibu-ibu dan anak-anak kembali ke tempat pengungsian tadi, sedangkan kaum pria menetap di Elaar untuk membangun kamp dan membersihkan kampung, sehingga segera dapat diba-ngun kembali perumahan, sekalipun bercorak Rumah-Rumah Sangat Sederhana (RSS).

Danar pun, khususnya dusun Ohoiseb, secara fisik mengalami dampak kerusuhan dengan amat menda- lam. Menurut laporan tertanggal 14 Maret, di situ pun diadakan acara silaturahmi sebanding dengan acara di Kamear. Raja Danar, Bpk. Mohamad Hanubun, menegaskan bahwa awalnya kerusuhan itu terletak pada generasi muda. Ia menghimbau seluruh masyarakat agar sejak terbenamnya matahari di ufuk barat, maka makna silaturahmi ini harus betul-betul tertanam dalam hati yang mempunyai niat yang baik untuk saling memaafkan dan selanjutnya menjaga persaudaraan dan kerukunan antar umat beragama. Raja Rumat, Bpk. G.Setitit, menyampaikan pesan yang senada, disertai pesan kepada para orang tua untuk membina generasi muda dan memupuk pada mereka hukum adat demi menjaga mutu persatuan dan kesatuan umat beragama.

Pastor Paroki, Pater Angky Pontoh MSC, mengajak para hadirin untuk menarik pelajaran dari peng-alaman ini dan tetap berani berpikir positif agar menjaga persatuan dan persaudaraan demi masa depan yang lebih baik.

Perdamaian di Kei-Besar

Pada 31 Maret sedikitnya 5000 warga Elat, Kei Be-sar, secara spontan memperingati satu tahun terpecahnya kerusuhan di Kei. Acara tersebut berlangsung di lapangan Ngur Mas Yamlin, dan turut dihadiri oleh warga dari beberapa desa sekitar. Bupati Malra bersama Muspida pun berkenan hadir pada pertemuan massal itu. Ketua panitia, Bapak R.Lasol, seorang tokoh katolik, dalam sambutannya menjelaskan bahwa makna kegiatan rekonsiliasi ini adalah pembaharuan diri dengan melepaskan sikap iri hati dan rasa dendam antar sesama umat beragama. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan pernataan sikap cinta damai, ditanda-tangani oleh tokoh-tokoh masyarakat dan para tokoh agama ketiga golongan. Pernyataan sikap cinta damai itu terdiri atas lima butir berikut ini:

Acara dilanjutkan dengan penyerahan senjata tajam dan menyalakan api, yang kemudian disirami air sebagai lambang tekad untuk memadamkan segala perpecahan. Menyusullah kata-kata sambutan, anta-ra lain dari Bapak Bupati dan dari Wakil Uskup PP.Kei-Aru, Pastor Gino Farneubun MSC.

 

KERUSUHAN PERIODE KEDUA

Ambon Rusuh Kembali

Kerusuhan periode kedua di Ambon mendapat awalnya di desa Poka-Rumahtiga pada H.Jumat tgl. 23 Juli 1999, mencapai puncaknya pada hari Ming-gu berikutnya, ketika kompleks Perumnas dibakar oleh massa putih. Banyak umat kristen waktu itu sudah mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman.

Segera juga terjadilah kerusuhan di pelabuhan Yos Sudarso, yaitu pada saat KM Bukit Siguntang me-rapat. Rupanya ada beberapa korban dari pihak kristen, tetapi para penumpang dan penjemput yang lain sempat dievakuasi oleh pihak aparat keamanan ke beberapa lokasi, antara lain ke rumah Keuskup-an. Berdasarkan pengalaman itu, kapal-kapal penumpang selanjutnya menurunkan dan menaikkan penumpang-penumpang di pelabuhan Angkatan Laut di Halong. Ribuan pengungsi memanfaatkan sarana transportasi ini untuk mengungsi ke daerah yang lebih aman.

Pada hari Selasa tgl. 27 Juli, jam 10.00, pertokoan milik orang kristen di Jalan A.J.Patty dan Samrat menjadi sasaran si jago merah setelah dijarah secara sistematis oleh kelompok-kelompok putih. Api menjalar sampai di pertokoan di Jalan Sam Ratulangi. Baru jam 19.00 situasi dapat dikendalikan oleh aparat kemanan. Pada hari berikutnya, mulai jam 18.10, karya destruktif ini dilanjutkan dan toko-toko mulai dari Optik Maluku sampai Toko Mas Murni dan juga sejumlah toko di Jalan Sam Ratulangi dilalap api.

Sementara itu di daerah Tanah Lapang Kecil massa kristen mulai mengamok, tetapi dihalau oleh aparat keamanan, yang dengan demikian membuka jalan bagi pihak lawan untuk menjarah dan membakar di situ pertokoan milik pengusaha kristen.

Pada hari Senin; tgl. 9 Agustus, berawal dari jalan raya Batumerah-Galunggung, terjadi lagi konflik. Akibatnya 14 orang meninggal dan 130 menderita luka. Di sini pun dengan nyata sebagian aparat ke-amanan, dalam hal ini Kostrad, memihak pada pihak lawan. Serangan pihak putih terhadap Ahuru dapat digagalkan oleh pasukan AURI yang dengan gigih melindungi wilayah itu.

Hari Rabu berikutnya, Tantui dan Galala menjadi sasaran massa islam, yang berhasil membakar suatu perkampungan Kristen yakni Aster (Asrama Tentara). Di gereja Emanuel, sektor Yabok, 22 orang kristen dibunuh dengan tembakan senapan, kemu-dian jenazahnya dibakar. Kurang-lebih bersamaan dengan itu sejumlah rumah milik orang kristen di Poka dibakar, dan terjadi pula pertikaian di Kampung Timur Pantai, merambat hingga asrama tentara OSM. Tiga orang meninggal akibat tembakan.

Hari berikutnya, Kamis 12 Agustus, menjadi hari kelabu bagi umat Kristen yang mendiami lokasi Air Besar dan Kalvari (di atas Goa Bunda Maria, Ahuru). Semua rumah di situ dibakar dan sejumlah orang kristen dibantai. Adapun kompleks Goa sela-mat. Banyak di antara umat mengungsi ke Wisma Gonzalo Veloso, ke rumah Keuskupan, Puspaskup dan kompleks persekolahan Xaverius di Batumeja. Pertempuran itu mengakibatkan banyak korban di kedua belah pihak.

Sementara itu para dokter dan para medis, para Suster SMSJ dan sejumlah pasien R.S. Hative di Tantui, terpaksa mengungsi ke Passo dengan membawa peralatan medis yang terpenting.

Pada H.Kamis tgl. 19 Agustus, mulai jam 08.30, massa islam menyerang daerah Wailela, BPG, PEMDA II dan Poka Atas. Mereka membakar rumah-rumah penduduk kristen yang masih sisa. Seperti biasanya, mereka mengikutsertakan wanita dan anak-anak sebagai perisai. Sore hari terjadilah konfrontasi kedua pihak. Untuk membubarkan mas-sa, aparat menggunakan gas air mata. Hari berikutnya, di daerah Poka, sepanjang hari terjadi lagi se-rangan dan pembakaran oleh massa islam.

Sementara itu jumlah pengungsi makin bertambah. Mereka ditampung antara lain di kompleks gereja Tantui, Passo dan Poka.

Sikap Keuskupan

Pihak kristen – dengan usaha besar juga oleh Uskup Amboina – makin mulai mendesak pada PBB dan Kedutaan-Kedutaan negara-negara asing untuk ja-ngan tinggal pasif, karena kerusuhan ini makin bercorak "pembersihan etnis/keagamaan" bertujuan memusnahkan atau menghalaukan semua orang kristen, sehingga agaknya bumi Maluku menjadi prototype Indonesia di masa mendatang: sebagai negara Islam. Dan karena tidak dapat disangkal lagi bahwa ada unsur-unsur pemerintahan di balik usaha itu, maka tiada jalan lain dari pada menaruh harap-an pada dunia internasional yang peduli akan Hak-Hak Asasi Manusia, khususnya kaum minoritas. Sebab jika jihad itu berhasil di Maluku, di mana kurang-lebih 45% penduduk beragama kristen, ma-ka betapa lebih lagi usaha ini akan berhasil di seluruh kawasan Indonesia, di mana rata-rata hanya k.l. 8% menganut agama kristen. Kebencian banyak orang islam fundamentalis terhadap umat kristen di hampir seluruh Indonesia sudah cukup nyata sejak beberapa tahun mendahuluinya dengan pembakaran atau pengrusakan hampir 600 gedung ibadat kristen, di mana hanya di Kupang umat kristen sempat membalas dengan menghancurkan sejumlah ge-dung ibadat islam.

Merosotnya moral pada kedua belah pihak sungguh menyedihkan. Pembunuhan sesama manusia makin dipandang sebagai barang sepele dan acapkali terjadi dengan cara sadis. Nasib orang malang yang sempat diculik, dari masing-masing pihak, ngeri. Terhadap mayat-mayat pun sering tidak ada hormat sedikit pun, karena acapkali dipenggal kepalanya, atau dicincang dan dibakar. Terbanyak pelaku kejahatan itu tidak sempat dibawa ke pengadilan, kare-na tidak diketahui setepatnya siapa yang harus didakwa dan juga karena sukar dicari orang yang berani memberi kesaksian, bukan hanya karena ta-kut akan tindakan pihak lawan tetapi juga mengkuatirkan pembalasan dari pihak sendiri. Hal ini pun ternyata beberapa kali menyebabkan adanya kontroversi antara beberapa golongan kristen.

Pernyataan Uskup

Tgl. 12 Agustus Uskup Diosis Amboina mengeluar-kan pernyataan yang diawali dengan menyebut se-rentetan peristiwa yang terjadi antara 23 Juli hingga 12 Agustus dan selanjutnya menyebutkan kenyata-an- kenyataan itu sebagai indikasi bahwa:

Bahwa kondisi ini mengakibatkan:

Pernyataan ini berakhir dengan memohon:

Bapak Uskup sendiri pada awal bulan Agustus sempat bertemu dengan berbagai instansi di Jakarta dengan misinya yang jelas yaitu sebagai penegak humum moral yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang dilanda kerusuhan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan yang amat menderita karena-nya. Dengan bantuan Duta Vatikan di Jakarta, Ba-pak Uskup sempat juga bertatap muka dan berdialog dengan para Duta Besar Masyarakat Eropa, PBB, Negeri Inggeris, Amerika Serikat, Jepang, Australia, Kanada dan Finlandia. Beliau pun sempat bertemu dengan para "Duta Rakyat Indonesia", yakni Bapak Abdurrachman Wahid dan Ibu Megawati Sukarnoputri (waktu itu belum menjadi presiden / wakil-presiden).

Pada bulan-bulan berikut Bapak Uskup pada beberapa kesempatan masih lagi pergi ke Jakarta untuk misi senada.

Sayanglah, di awal periode kedua kerusuhan ini pu-tuslah hubungan serasi antar para pimpinan golong-an agama dan tidak lagi berlangsung mulus seperti selama periode pertama.

Sementara itu pertikaian di Ambon berlanjut terus. Suatu serangan massal dari pihak putih terhadap Ahuru pada hari Sabtu tgl. 14 Agustus dapat digagalkan berkat kesiagaan aparat keamanan.

Pada hari itu juga terjadilah adu kekuatan kedua kubu di dusun Air Manis dan Wailaho (Laha), mengakibatkan terbakarnya sejumlah rumah. Sebagian orang berlindung di gedung gereja katolik Laha.

Dengan bantuan antara lain dari Crisis Centre, sejak tgl. 16 Agustus secara berangsur-angsur banyak keluarga Ortega (singkatan untuk orang yang berasal dari Maluku Tenggara) berangkat ke Kei dan Tanimbar dan juga ke NTT dan beberapa tempat lain dengan tujuan untuk menetap di situ.

Perhatian dari pihak Pemda

Pada tgl. 29 Agustus rombongan Muspida Maluku, terdiri atas Bapak Gubernur, Kapolda dan Pang-lima, meninjau lokasi umat katolik di Air Besar, Ahuru, Goa Maria dan Wisma Gonzalo Veloso. Tujuan kunjungan itu antara lain untuk mengantisipasi pembangunan barak-barak bagi para peng-ungsi. Ternyata rencana pembangunan barak-barak itu tidak pernah jadi terealisir, antara lain karena di mata masyarakat daerah itu akan tetap dipandang sebagai "rawan".

Pada hari itu para pengungsi yang ditampung di kompleks Persekolahan Xaverius, di Seminari Xa-verianum, gedung Puspaskup dan rumah Keuskup-an, berpindah ke beberapa lokasi lain, membuka antara lain kesempatan bagi SMU Xaverius dan SLTP Katolik untuk segera mulai kembali kegiatan belajar-mengajar.

Pada beberapa hari berikutnya masih terjadi tindak kekerasan di beberapa lokasi, antara lain di Mardika dan Pohon Mangga / Air Salobar.

Hari-hari pertama bulan September 1999 ditandai lagi dengan kerusuhan di berbagai lokasi, antara lain di Dusun Wailawa I (Tawiri). Di Tantui pun terjadilah konflik berdarah.

Pada tgl. 10 September ada tekanan besar dari pihak kaum putih terhadap beberapa lokasi di kota, sehingga aparat keamanan sendiri pun terancam. Terpaksa Marinir melepaskan tembakan menuntut korban-korban di pihak kaum putih.

Selebihnya situasi di Ambon selama bulan September relatif tenang dan terkendali.

Suara Hati Kaum Perempuan

Akhir bulan Agustus 1999, sekelompok wanita ka-tolik dan protestan mengambil inisiatif untuk bergabung dalam "Gerakan Perempuan Peduli" (GPP), tak lama kemudian disusul dengan gabungan seje-nis di pihak wanita islam. GPP menunjukkan dan memperkenalkan diri di bawah sorotan kamera TV dalam demonstrasi damai di depan Gedung Gubernur pada tanggal 4 September 1999 dengan membacakan SUARA HATI KAUM PEREMPUAN kepada Pemerintah Daerah Maluku di hadapan Bapak Gubernur KDH Tk I Maluku dan disaksikan MUSPIDA Maluku. Pernyataan sejenis tak lama kemudian disampaikan pula oleh GPP Islam.

Selanjutnya para pendukung Gerakan ini ke mana pun perginya, membawa "Pita Pesan" tertulis pada sehelai kecil kain hijau-muda bertuliskan "Hentikan Pertikaian" – menuliskannya pula pada kertas yang dipasang di pelbagai tempat dan kendaraan.

Sejak tanggal bersejarah ini, kegiatan Perempuan-yang-Peduli ini berjalan terus: berjuang untuk menghentikan pertikaian dan mencapai rekonsiliasi antara kedua kubu, tetap mempedulikan derita rakyat Maluku, mendampingi para pengungsi dan coba mengobati hati dan jiwa orang. Semuanya itu dalam kerjasama erat dengan Badan Pekerja Harian (BPH) sinode GPM dan Keuskupan Amboina.

KERUSUHAN PERIODE KETIGA

Ahuru diserang

Pada hari Sabtu tgl. 2 October dan pada hari ber-ikutnya, terjadilah insiden-insiden berupa pelemparan dll. di beberapa lokasi di kota Ambon, antara lain di Benteng-Atas, di Batumerah Dalam, Ahuru dan Diponegoro. Ini menjadi batu loncatan untuk periode ketiga kerusuhan di Ambon.

Kerusuhan yang terjadi antara tanggal 4 hingga 8 Oktober berfokus terutama pada Ahuru dan sekitarnya. Serangan massal oleh kaum putih – dengan dukungan amat nyata sebagian aparat keamanan – mengakibatkan kematian 18 orang kristen, sedangkan yang berluka 75 orang. Lebih dari 70 rumah dibakar dan 40 rumah rusak berat. Yang waktu itu tidak/belum mengalami kerusakan ialah Goa Maria, gedung Gereja St.Jacobcus, sekolah SD dan SLTP Katolik serta panti asuhan dan rumah-rumah para Suster PBHK di Ahuru.

Situasi di kota Ambon – dan barangkali di tempat-tempat lain juga – menjadi tegang menjelang tanggal 9 bulan 9 tahun ’99, dan hal ini bukan hanya da-lam kaitannya dengan kerusuhan, melainkan de-ngan dugaan masyarakat tentang suatu "katastrof" yang lebih besar lagi yakni keyakinan sebagian orang bahwa pada hari itu dunia akan khiamat! Lilin-lilin laku luarbiasa. Hari itu kota Ambon sungguh sepi! Tetapi ternyata "saatnya" belum tiba!

Tanggal 11 sampai 18 Oktober dicanangkan Doa dan Puasa Umum bagi Umat Kristen se-Maluku. Akan tetapi ada kesan bahwa keterlibatan dalam kegiatan itu dari pihak katolik amat terbatas.

Seram Barat dan Maluku Utara

Kerusuhan di Seram Barat mulai pada tgl. 18 Agus-tus 1999 dan berawal dengan penyerangan oleh be-berapa ribuan orang kaum putih terhadap desa-desa kristen Loki, Olas, Kawa, Kumul dll; 9 orang meninggal dan 34 orang mengalami luka. Ratusan ru-mah penduduk dilalap api, 9 gedung gereja dibakar.

Sejak tanggal 5 dan 6 September k.l. 3000 orang pihak putih berkumpul, kemudian menyerang desa Areate. Dari pihak kristen gugurlah satu orang, sedangkan 35 orang menderita luka. Di pihak penye-rang gugurlah k.l. 50 orang, sedangkan yang terluka sekitar 150 orang.

Tanggal 10 September menjadi giliran kecamatan Kairatu untuk digoncangkan kerusuhan. Rugi yang diderita pihak kristen di Latuhaloi, Tunalihu, Wailei dan dusun Tanjung ialah 3 korban jiwa dan 300 rumah penduduk serta sebuah gedung gereja GPM habis terbakar.

Bulan Oktober menjadi suatu masa yang relatif tenang, sekalipun hampir setiap hari ada insiden-insiden kecil-kecilan.

Tidore dan Ternate

Di P.Halmahera pada pertengahan bulan Agustus tahun 1999 terjadi bentrokan fisik antara warga kecamatan Kao dan kecamatan Makian Malifut, menyebabkan 6 orang meninggal, 9 menderita luka-luka dan 301 rumah dibakar.

Tanggal 5 November 1999 akan tercatat sebagai halaman hitam penuh duka bagi masyarakat Tidore. Awalnya ialah sebuah surat edaran dari Ketua Badan Pekerja Harian Sinode GPM di Ambon, Pdt. Sammy Titaley, yang disalah-artikan oleh pihak islam. Menurut mereka, surat itu berupa keterangan tentang strategi penyerangan umat kristen terhadap umat islam. Pendeta Tidore berusaha mengklarifikasikan isi surat tersebut, yakni bahwa surat ini berisi pengaturan pelayanan jemaat GPM di daerah Maluku Utara, dan bukan suatu strategi perang. Namun pada saat membaca kembali surat itu, beliau diserang dan dibunuh di tempat oleh orang islam. Segera juga keganasan ini meluas dan menelan korban jiwa 10 orang. Gedung gereja Katolik, dua gereja Protestan dan 350 rumah penduduk kristen dibakar habis.

Tak terhindarkan kerusuhan di Tidore ini segera juga merebak ke Ternate, di mana antara lain empat buah gereja protestan hangus terbakar. Banyak umat kristen mengungsi ke Ambon, ke Bitung (Sulawesi Utara) dan ke beberapa tempat lain.

Dalam majalah HIDUP tgl. 6-2-2000 terbacalah pengalaman mereka yang telah mengungsi dari Ternate ke Bitung (Sulawesi Utara). Antara lain: "Pada hari Sabtu tgl. 6 November 1999, saat mentari belum bangun, api berkobar di Tanah Tinggi, Ternate. Serempak diikuti kampung-kampung lain lebih ke arah selatan".

Lebih lanjut kita dapat membaca betapa berutang budi banyak umat kristen kepada sejumlah warga muslim, yang merelakan rumahnya agar orang-orang kristen dapat berlindung. Warga muslim de-ngan sikapnya itu, sungguh mempertaruhkan nyawanya sendiri.

"Sekitar pukul 10.00 pagi, banyak warga katolik menyelamatkan diri ke gereja katolik Ternate. Waktu itu, tempat kudus yang kemudian dihancur-kan pada tgl. 27 Desember itu, belum tersentuh".

Suster Cypriana SMSJ berceritera bagaimana me-reka lari dari susteran untuk berlindung di KODIM, yang terletak di samping rumah suster. Sebelumnya Frater Etus Maskikit telah melubangi tembok de-ngan diameter 75 cm. Melalui lobang itu para suster dan orang lain di situ, termasuk anak-anak asrama menyelamatkan diri.

TIDORE – KISAH RONNY SABUBUN

"Tgl. 5 November 1999, sekitar tengah malam, terdengar bunyi teriakan orang banyak yang datang dari arah gereja protestan Maranatha. Maka saya bersama janda Tanta Mia dan kedua anaknya dan keluarga Paulinus – ibu-bapa dan dua anak – dan lagi seorang oma dan seorang bapak, melarikan diri dan bersembunyi dalam pastoran, yang letak-nya mepet dengan gedung gereja. Kami dengar teriakan: "Bunuh Obed – bunuh Obed!" Kami de-ngar gedung gereja mulai dihantam dengan benda keras, seperti linggis dll. Saya tidak berani mene-ngok keluar, tetapi di luar ada keributan ratusan orang. Sementara mereka membunyikan lonceng gereja, mereka pun mulai membakar gedung itu. Maka kami semua melompat keluar dari jendela belakang, pergi bersembunyi di rumah seorang islam yang letaknya k.l. 30 meter dari situ. Tetapi oma sudah sekitar 70 tahun dan tidak bisa melompat keluar; tadinya saya memikul dia ke pastoran.

Esok harinya ternyata pastoran tidak telah disentuh api itu karena sebelumnya curahan hujan sudah memadamkan api. Kami berharap oma masih aman di pastoran. Tetapi kami melihat bahwa gereja dan beberapa rumah yang berdekatan, sudah musnah termakan api. Kepala keluarga di mana kami berlindung itu, adalah seorang Ustad atau guru-mengaji. Betapa kami berutang budi kepadanya! Memang ia pun cemas: jangan-jangan rumahnya pun menjadi sasaran amuk massa islam itu. Sebab selain kami sendiri, masih ada banyak orang lagi yang datang bersembunyi dalam rumahnya. Selama tinggal di situ kami hanya tahu berdoa, dalam kecemasan luar biasa.

Syukurlah, atas perantaraan Polres, pagi harinya datanglah sebuah truk yang dikawal oleh aparat TNI, membawa kami ke kantor Polres Soa-Siuw. Tetapi di kantor itu kami masih lagi diancam oleh massa yang bersenjatakan parang, panah dll. dan menghujat kami hendak menghabisi nyawa kami.

Akhirnya, tgl. 9 November, dengan menumpangi KM Mentari, kami semua yang telah mengungsi ke kantor Polres, berangkat menuju Bitung [Sulawesi Utara]. Ketika naik kapal, para pengungsi masih sempat disalami oleh Sultan Tidore serta sejumlah Tua-Tua Adat kota Tidore. Selain kami sendiri, se-mua aparat TNI dan POLRI yang beragama kristen – termasuk Kapolres sendiri – atas tuntutan massa perusuh muslim, meninggalkan Tidore".

Ambon

Di Ambon, dalam bulan November 1999, terjadilah berbagai peristiwa lokal, antara lain di Passo dan di perbatasan Mardika/Batumerah, di Karang Panjang, Diponegoro, Tanah Lapang Kecil dan Soa Bali. Karena jalan darat dari Ambon ke arah Timur terhalang, makin banyak orang mempergunakan fasilitas speedboat. Namun sarana pengangkutan yang mahal itu pun tidak juga selalu dapat menjamin keselamatan penumpang, karena acapkali ditembaki atau dilempari bom rakitan.

Pada dinihari tanggal 8 November gereja Bethabara di Batumerah diserang oleh kelompok Acang dan dibakar habis. Obed membalas dengan balik me-nyerang mesjid di kawasan OSM.

Pada hari Jumat 19 November terjadilah bentrokan di Waiheru, melibatkan sekelompok besar kaum merah dari Passo. Mereka rupanya ingin merayakan kemenangannya, karena pada akhirnya massa kristen berarak-arak sambil membawa kepala seorang musuhnya. Alhasil arak-arakan tersebut menimbulkan amarah besar di pihak putih. Maka pada hari berikutnya, bertolak dari desa Nania, dilontarkan serangan terhadap desa Passo dan Negeri Lama. Bentrok senjata yang menyusul mengakibatkan ke-matian 7 orang, sedangkan yang berluka 14 orang. Pada hari Minggu 20 November rumah-rumah mi-lik orang kristen di Waiheru, tanpa kecuali, menjadi mangsa jago merah. Sementara itu massa putih dari desa Tial dan Tenga-Tenga menyerang desa Suli, mengakibatkan kematian beberapa warga desa tsb.

Pada hari Jumat tgl. 26 November, kompleks Mardika Bawah di kota Ambon menjadi lautan api. Massa merah yang ingin mempertahankan rumah dan harta miliknya dihalaukan oleh sejumlah ok-num aparat keamanan; dengan cara itu diratakan jalan bagi kaum putih untuk menjarah dan membakar dengan seluasnya. Pada kesempatan itu 35 orang mati dan 90 orang mendapat luka-luka. Termasuk korban juga dua anggota pasukan Armed. Pada sore hari satuan Armed membalas dendam terhadap kaum merah dengan cara yang sungguh mempermalukan: masyarakat mulai dari Belakang Soya sampai di Manise Hotel di Tanah Tinggi dika-getkan dengan tembakan liar oleh sekelompok pa-sukan Armed ke arah masyarakat pejalan kaki di pinggir jalan sepanjang trayek yang dilalui dua mobil mereka itu. Malah tembakan itu hampir menge-nai seorang utusan dari Kedutaan Belanda yang pada saat itu berada di ruang restoran Manise Hotel. Satu orang meninggal akibat aksi yang biadab itu. Selama beberapa hari berikutnya didirikan barikade di hampir seluruh kawasan putih, mengantisipasi pengulangan insiden satuan Armed itu.

Berbagai insiden terjadi lagi pada hari-hari berikutnya, mengakibatkan antara lain, pada tgl. 28 November, kematian seorang dari satuan Marinir dan juga sopir pribadi isteri Bpk.Max Tamaela, Panglima Kodam XVI Pattimura.

Hari Rabu 2 Desember panti asuhan Solandres di Ahuru musnah dibakar, dan pada kesempatan yang sama k.l. 15 rumah penduduk di RT 004 yang berdekatan disikat habis. Kontak senjata mengakibatkan 4 orang meninggal, termasuk seorang anggota tentara Zikon.

Deklarasi "Menahan Diri"

Pada tanggal 7 Desember, di hadapan Muspida dan para tokoh masyarakat serta TNI / POLRI, Gubernur Maluku, Dr.Ir.M.S.Latuconsina membacakan "Deklarasi Menahan Diri – Menghentikan Pertikai-an". Segenap masyarakat menyambut baik terobos-an ini. Deklarasi ini pun ditunjang oleh seruan Ketua MUI cabang Ambon, Ketua Badan Pekerja Harian GPM dan Uskup Diosis Amboina. Pada kesempatan itu kota Ambon seakan-akan mendapat embun sejuk di masa Adven dan Ramadhan itu. Selain itu dibacakan juga Seruan Bersama Pemuda dari pihak Katolik, Protestan dan Islam. Seruan Bersama itu pada hari berikutnya dalam oplag 30.000 lembar turun dari langit bagaikan curahan hujan segar (dengan bantuan sebuah helikopter).

SERUAN BERSAMA

Dalam memasuki bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri 1 syawal 1420 H, Natal 25 Desember 1999 dan Tahun Baru 2000, masyarakat diminta menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat memicu kerusuhan. Untuk itu masyarakat diharapkan :

  1. Menghindari pengumpulan dan mobilisasi massa.
  2. Tidak menyebarkan isyu yang tidak tertanggung jawab.
  3. Tidak memprovokasi massa untuk melakukan penyerangan.
  4. Tidak membawa senjata tajam, senjata rakitan dan bom di jalan-jalan umum.
  5. Tidak melepaskan tembakan, membuang bom atau tindakan lainnya yang dapat memancing emosi kelompok masyarakat lainnya.
  6. Saling berkoordinasi, berkomunikasi dan mengklarifikasi isyu-isyu yang beredar.
  7. Menjaga ketertiban, menghindari kerusuhan dan memberi rasa aman bagi pemakai jalan pada ruas-ruas yang akan dibuka sebagai jalur netral secara bertahap.
  8. Segera membentuk pos-pos keamanan masya-rakat di lingkungan masing-masing.

BADAN KOORDINASI UMAT ISLAM MALUKU ttd Ir. Abdullah Tuasikal

GERAKAN PEDULI KEMANUSIAAN MALUKU ttd J.J. Polanaya SE

CRISIS CENTRE KEUSKUPAN AMB0INA ttd Pst. Drs. Agus Ulahaiyanan

Kunjungan Presiden dan Wakil Presiden

Bapak Presiden Abdurrahman Wahid dan Ibu Wa-kil Presiden Megawati Sukarnoputri datang berkunjung ke Maluku pada hari Minggu tgl. 12 Desember. Dalam pertemuan dengan unsur pemerintahan daerah, tokoh TNI-POLRI, tokoh adat dan agama serta wakil-wakil rakyat lainnya, diadakan dialog terbuka dengan Presiden Gus Dur. Presiden menegaskan bahwa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Maluku, hanya dapat diselesaikan oleh masyarakat sendiri; pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan animator. Langkah yang diambil pemerintah ini diakui mempunyai dampak positif. Presiden dan Wakil Presiden, yang disertai rombongan sepuluh menteri kabinet persatuan nasional dan beberapa pejabat khusus, menyingkapkan itikad yang baik pemerintah untuk memulihkan situa-si di Maluku yang keruh itu dan merehabilitasi Maluku baik secara eksternal maupun internal.

Dalam acara silaturahmi, Ibu Wakil Presiden mene-gaskan kembali beberapa hal penting yang telah digarisbawahi oleh Bapak Presiden. Beliau meng-himbau agar masyarakat yang bertikai itu hendaklah stop-stop-stop dengan kegiatan yang destruktif itu.

Desember yang Paling Kelabu

Kesepakatan untuk "Menahan Diri – Menghentikan Pertikaian" yang dicanangkan pada tanggal 7 Desember itu, tidak bertahan lama. Juga kunjungan Kepala Negara tidak membawa hasil seperti yang diharapkan.

Hari Minggu tgl. 19 Desember keadaan kembali rusuh di kampung Jawa, Ambon, menelan korban 4 orang mati – di antaranya seorang pendeta – dan yang berluka serius 8 orang.

Kerusuban di Ambon sepanjang tahun, mencapai puncaknya pada Hari Natal Kedua, 26 Desember 1999, dan selama beberapa hari berikutnya. Kota Ambon dan sekitarnya dengan hampir tak terhenti-henti berguncang dengan gemuruh tembakan dan ledakan bom dan granat bertubi-tubi.

Awalnya pada sore hari itu dengan terjadinya kecelakaan lalulintas, di mana korban, seorang anak muda islam, diperlakukan secara sadis, kemudian dibunuh oleh kaum merah. Kaum putih menjadi mata gelap, ingin akhirnya melaksanakan apa yang sudah lama diikhtiarkannya ialah: penghancuran gereja GPM "Silo" di pusat kota, yang karena umurnya dan letaknya yang strategis dapat dipandang sebagai lambang kehadiran agama Kristen Protestan di Maluku.

Pada saat serangan ke sasarannya itu mulai dilaksanakan, jam 18.10, jemaat sementara mengadakan ibadat Natal II dalam gereja tersebut. Segera semuanya meninggalkan gereja untuk menyelamatkan diri. Sekalipun ada usaha khususnya dari pihak satuan Marinir untuk meredakan emosi, namun massa putih tetap bergerak maju diiringi tembakan aparat keamanan ke arah massa merah, dengan de-mikian membuka peluang bagi massa islam untuk maju, sepintas membakar sebuah rumah dan sebuah kantor di samping gereja Silo. Selanjutnya di te-ngah desingan peluru aparat dan senjata baik rakit-an maupun asli dari pasukan jihad, gedung gereja Silo dibakar. Para pemuda kristen yang coba memadamkan api yang mengganas itu, menjadi sasar-an tembakan aparat dan kaum Acang. Akhirnya dari gereja Silo tinggal berdiri hanya satu dari kedua menaranya, lain-lain berubah menjadi puing-puing. Tidak heran kaum Obed segera membuat rencana untuk membalas sepadan dengan penghinaan terhadap mereka.

Pada waktu yang sama sebuah kapal motor menurunkan di pelabuhan Gudang Arang gelombang pertama pengungsi dari P.Buru sebanyak 260 orang. Mereka langsung dihantar ke kompleks persekolahan TMM di Benteng. Banyak ratusan akan segera menyusul pada hari-hari berikutnya.

Pada hari Senin tanggal 27 Desember, suasana terus memanas dan akhirnya meminta korban jiwa sebanyak 7 orang meninggal dunia dan sejumlah orang lain mengalami luka tembak.

Hari berikutnya suasana tetap tegang. Terjadilah pertikaian sporadis di beberapa tempat, antara lain di Diponegoro, Urimessing, Durian Patah, Hunuth, Waiheru, Galala dan Benteng Atas. Tercatat di pihak merah 12 orang jadi korban, dan juga seorang anggota Yonif 733 dan seorang Brimob. Yang ter-utama berbahaya ialah para "penembak gelap" yang bersembunyi di bangunan-bangunan tinggi di sepu-tar daerah yang rusuh. Untuk menyapu bersih mere-ka itu, dikerahkan tim "gegana" dari satuan POLRI. Pada kesempatan itu puluhan rumah dan gedung porak-poranda, teristimewa di daerah Diponegoro dan juga di Jalan Antoni Rheebok dan Jalan Philip Latumahina.

Pulau Buru

Nyatalah para perusuh merebak ke mana-mana de-ngan hampir tak terkendali. Tibalah juga giliran Pulau Buru.

Kerusuhan di Buru berawal dengan pelemparan ba-tu pada rumah Pendeta J.Teslatu di Namlea pada malam hari tanggal 18 Desember 1999, diulang lagi beberapa jam kemudian. Sejak tgl. 20 Desember banyak jemaat protestan mulai menyingkir ke wilayah Buru Utara Barat: Wainibe, Waipoti dan Waikose.

Pada tgl. 22 Desember, di Perusahaan Wainibe Wood Industry (WWI) terjadilah perselisihan antara dua karyawan, seorang beragama islam, yang lain beragama kristen protestan. Sekalipun masalah me-reka diselesaikan dengan damai, pihak keluarga orang yang beragama protestan itu tetap tidak puas dan menghancurkan kios dan penginapan milik pengusaha muslim. Akibatnya desa Waikose dibakar oleh massa putih. Gereja St.Petrus di kampung tersebut ikut terbakar.

Pada hari yang sama kota Namlea pun mulai dilanda kerusuhan. Beberapa rumah kristen dibakar, termasuk juga Wisma Kartini milik Keuskupan Amboina yang baru saja, 6 bulan sebelumnya, telah diperbaharui.

Sementara itu orang-orang kristen Waikose mencari perlindungan di hutan. Sedangkan kepada para pe-gawai kristen dari perusahaan WWI ditawarkan untuk datang berlindung saja di dalam ruangan tertutup, di mana keamanan mereka akan dijamin. Agaknya perlindungan itu lebih bersifat: menyiapkan mereka untuk dengan lebih mudah dapat dibantai. Dan demikianlah nasib mereka, perempuan dan anak-anak tidak terkecuali. Warga kristen yang tertebas pedang pada hari naas itu sebanyak 116 orang, temasuk 38 warga katolik. Mereka kemudian dikuburkan di kompleks WWI secara massal de- ngan bantuan peralatan besar milik WWI.

Aksi yang tak berperi kemanusiaan itu makin meluas dengan terbakarnya desa Waiula dan Batlale. Kelima Suster MM dari Batlale ikut mengungsi ke hutan.

Kemudian gilirannya bagi dataran Waiapo. Gereja St.Paulus turut terbakar. Daerah Tapol Savana Jaya Unit XIV dan Unit V menjadi sasaran utama. Di Unit VII, orang yang beragama katolik dihadapkan dua pilihan yaitu: mau tetap hidup maka harus jadi muslim; mau tetap kristen, harus mati. Menghadapi pilihan .yang sukar itu, mengingat juga hidup-mati keluarganya yang bersama mereka, maka banyak memilih untuk hidup, biar masuk islam. Mereka yang tadinya bertugas sebagai Dewan Gereja, langsung dibebani dengan tugas berat: mereka harus membuktikan ketulusan pilihan mereka itu dengan membakar gedung gereja di dalamnya tadinya me-reka berjumpa dengan Tuhan melalui Sabda dan Sakramen. Tetapi Tuhan melihat hati mereka. Tu-han itu pernah dengan tangan terbuka menyambut kembali rasul Petrus setelah dia bersumpah sampai tiga kali: "Aku tidak mengenal Dia!" Semoga saudara-saudara kita yang malang itu pun diberi kurnia yang sama!

Sementara itu pembakaran desa-desa kristen secara sistematis dilanjutkan. Tercatat jumlah gedung ge-reja katolik yang terbakar 17 buah, jumlah rumah penduduk yang hancur musnah tak terbilang ba-nyaknya. Gereja-gereja yang akhirnya lolos dari keganasan jihad itu ialah gereja di kota Namlea dan gereja di Leksula di pesisir selatan. Beberapa ge-dung gereja lain yang selamat, satunya dijadikan Balai Dusun, yang lain menjadi Balai Pemuda.

Melalui beberapa transpor, 965 umat katolik sempat diamankan ke P.Ambon, ditambah dengan transpor terakhir berupa rombongan 65 orang – termasuk dua suster MM – yang tiba di Halong pada tgl. 20 Februari setelah mereka selama hampir dua bulan terperangkap di Km 53 tanpa ada tangan terulur ke-pada mereka. Di antara semua pengungsi itu ada 195 orang yang segera kembali ke daerah asalnya ialah P.Jawa.

Pulau Seram

Paroki Masohi membawahi 28 stasi, di antaranya dua di pesisir utara, yang lain semuanya letaknya di pantai selatan. Ada beberapa stasi di sebelah barat dari pusat Masohi, yang lain semuanya di sebelah timur meluas sampai dengan pulau Teor.

Menurut laporan dari sumber-sumber terpercaya dari pihak kristen, baik katolik maupun protestan, di antara semua desa itu ada beberapa yang terbakar habis, termasuk 5 gedung gereja katolik (Hokor, Salamahu, Geser, Tala dan Yali) dan 18 gereja protestan. Menurut laporan yang sama, orang kristen dari semua desa dan dusun itu sudah meng-ungsi, kecuali dari Amahai, Koryano, Makariki, Waipia, Awaiya dan Waur-Melati.

Dilaporkan pula bahwa massa kristen dari Waipia dan Waitetea, yang letaknya di sebelah barat kota Masohi, menyerang kampung islam yang letaknya di Km 7. Di situ mereka membakar mesjid dan rumah-rumah penduduk. Waktu pulang, mereka membawa 6 buah kepala yang telah dipenggalnya dari korban yang tewas.

Hari Selasa tgl. 28 Desember menjadi hari jihad bagi massa islam di Masohi. Mereka membakar se-buah gedung gereja protestan dan juga banyak rumah penduduk. Dalam kerusuhan berikutnya dibakar lagi empat gedung gereja. protestan. Hal ini dibalas oleh kaum merah dengan dibakarnya dua buah mesjid kecil (Mussola / Langgar). Gedung gereja katolik hingga kini masih utuh. Panti asuhan para Suster TMM dihancurkan. Nasib yang sama dialami SMI. Penjarahan dilakukan terhadap SPK, Kantor PU (komputer-komputer), RSU (Obat), hotel-hotel dan toko-toko. Korban jiwa di kota dihitung 19 orang, di Liang 22 orang, di Amahai 14 orang. Yang mengalami luka berjumlah 47 orang.

Pada tgl. 31 Desember 1999 terjadilah kerusuhan di Hatuheno, desa yang tidak jauh letaknya dari Masohi. Dari umat Katolik ada 17 orang (4 KK) yang menurut laporan pada tgl. 1 Februari 2000, hingga saat itu belum ditemukan. Dikuatirkan bahwa me-reka sudah dibantai dalam hutan.

Dilaporkan juga kerusuhan di Geser, kota kecamatan Seram Timur.

Di wilayah paroki Bula, Seram Utara, pada tanggal 3 Januari 2000, penduduk Dusun Gaur yang beragama protestan (GPM) diancam oleh kaum putih dari dusun-dusun sekitar – petuanan desa Kian Laut – dan disuruh masuk islam. Dan jika tidak mau, supaya segera meninggalkan kampungnya. Maka umat kristen Gaur memilih untuk mengungsi ke desa Salas, kecamatan Bula. Dalam perjalanannya itu mereka mampir di desa Dawang, yang penduduknya sebagian beragama kristen, sebagian beragama islam. Maka datanglah massa islam dari Warru, kecamatan Bula, dengan membawa parang dan tombak, menyebabkan sebagian masyarakat Gaur menyelamatkan diri ke Salas dengan motor tempel, sedangkan sebagian, bersama dengan orang kristen Dawang, melarikan diri masuk hutan. Malam hari gereja dan pastorie serta sejumlah rumah milik umat kristen Dawang dibakar habis. Tengah malam tibalah di Dawang kelompok pengungsi kristen terakhir dari Gaur dengan naik dua perahu; jumlahnya 10 orang. Mereka tidak mengetahui apa yang sudah terjadi di situ. Setelah turun dari pera-hu, enam di antaranya dibantai sampai mati, sedangkan empat orang dapat meloloskan diri. Dua perahu lain, pada waktu menyusuri pantai Warru, pun diserang memakan korban jiwa dua orang.

Tanggal 9 Januari massa putih – ketika pulang dari karya pembantaian di Dawang itu – mampir di dusun Dawang Dua, dusun Bonfia dan desa Solan dan membakar 3 buah gereja dan 87 rumah.

Pada tanggal 12 Januari tibalah di desa Bellis (atau Beles), kecamatan Bula, pengungsi kristen dari de-sa Tala, wilayah Air Kuning-Kuning (pesisir selat-an P.Seram, termasuk paroki Masohi), berjumlah 42 orang, sesudah menempuh perjalanan lewat hutan selama 11 hari. Mereka ditampung di gedung Serba Guna desa Bula.

Sekitar waktu yang sama juga tibalah di Kobisonta ratusan pengungsi dari kecamatan Werinama, yang juga termasuk paroki Masohi. Mereka tercampur tiga agama. Mereka secara kebetulan telah bertemu di hutan dan memutuskan untuk bersama-sama melanjutkan perjalanannya ke Kobisonta, di mana mereka ditampung di Pesantren Kobisonta/Waitila. Sementara itu ketiga golongan di Bula sepakat untuk tetap melindungi satu sama lain bila ada serang-an dari luar. Masyarakat Bula menurut kemampuan membantu para pengungsi dengan dana, makanan dan juga dengan pakaian layak pakai (434 potong).

Sementara itu ratusan orang kristen dari pesisir uta-ra sedang berlindung di hutan di suatu lokasi yang jauhnya dari Wahai tiga hari jalan kaki. Crisis Centre sempat membantu mereka dengan obat. Selain itu mereka yang tercerai-berai di pelbagai lokasi di hutan, rupanya dapat memenuhi kebutuhan pangan dengan sagu yang melimpah di situ dan dengan memburu.

Pada tgl. 27 Januari 2000, di pagi buta, terjadilah penyerangan terhadap umat kristen Amahai, dusun Pare dan desa Soahuku oIeh sekelompok warga muslim dari desa Rutah, dusun Aira, Aimrua dan Harun. Masyarakat Amahai menjawab terhadap se-rangan itu dengan berbagai senjata sehingga jatuh-lah korban di kedua belah pihak: di pihak kaum putih 14 orang, termasuk seorang anggota DPRD Tkt II MalTeng, sedangkan di pihak kaum merah 2 orang. Dari massa penyerang ditangkap 33 orang oleh aparat keamanan.

Di pagi hari tgl. 2 Januari 2000 warga kristen kampung Tala dan Kuning-Kuning diserang oleh kaum Acang dari Mising, Selor, Kilmuri dan Kilbon. Gereja katolik dan gereja protestan dibakar dan juga semua rumah warga kristen. Di samping itu gugurlah seorang nenek. Massa putih kemudian membuntuti warga kristen yang telah menyingkir ke hutan. Dari 28 warga kristen, di antaranya 19 yang beragama katolik, hilang jejaknya.

Pada awal Januari 2000 terjadilah serangan oleh kaum putih terhadap Werinama. Sejak tgl. 3 Januari, warga kristen Lava pergi berlindung di hutan setiap malam. Tgl. 5 Januari massa muslim dari desa Tehoru, Haya dan Moso menyerang, dilanjutkan pada tgl. 9 dan 10 Januari, mengakibatkan dua warga kristen mati, di antaranya seorang yang dipenggal kepalanya; dua orang terluka. Di pihak islam jatuhlah 5 korban; mesjid dan sejumlah rumah pun terbakar.

Tanggal 16 Januari Pdt. Zadrach Masihin bersama 200 Kepala Keluarga dievakuasi ke Masohi/Maka-riki, tetapi sebagian besar orang kristen masih ber-ada di hutan. Pendeta itu pun memberitahukan bah-wa ada 10 KK katolik yang telah dibawa ke mesjid; sampai saat itu nasib mereka belum diketahui. Rumah-rumah penduduk kristen semuanya habis terbakar.

Pada tgl. 5 Januari warga kristen Saonolu diserang, kemudian dilanjutkan pada tgl. 10 dan 11 Januari. Akibatnya rumah-rumah milik orang kristen terbakar dan 6 orang kristen mati terbunuh; yang lain menyelamatkan diri ke hutan.

Demikian pula terjadilah serangan terhadap warga kristen desa Simalou, Km 9, pada.tgl. 9 Januari oleh massa putih. Semua rumah dibakar dan empat orang meninggal. Jumlah korban terbatas, karena sebagian besar warga Simalou sejak tgl. 31 Desember sudah berlindung di hutan. Yang menyolok ialah bahwa di antara para penyerang (putih) terdapatlah dua orang "merah" dari suku Nuaulu, seorang protestan dan seorang katolik.

TgI. 3 Januari 2000, desa Liliama, kecamatan We-rinama, menjadi sasaran kaum Acang. Satu orang kristen dibunuh. Gereja protestan dan 90 rumah penduduk dibakar. Para warga Liliama menyingkir ke hutan.

Orang kristen dari pantai selatan yang hingga pertengahan bulan Februari masih berlindung di hutan, diperkirakan berjumlah antara 12.000 sampai 14.000 orang.

Pulau Morotai

Pulau Morotai adalah pulau yang paling utara dari Provinsi Maluku Utara. Tanggal 22-25 Februari 2000 terjadilah juga konflik bernuansa SARA (Suku-Agama-Ras-Antargolongan) di Morotai Selatan, khususnya di ibukota Daruba, dan di desa-desa Sabatai Baru, Sabatai Tua, Gotalamo dan Darumu, di mana jatuhlah korban jiwa dan ratusan rumah ludes terbakar, termasuk juga beberapa gedung gereja.

Pulau Buru

Tanggal 29 Februari 2000, pengungsi dari P.Buru sebanyak 109 orang berangkat ke Maluku Tenggara. Banyak orang lain pada bulan-bulan berikut menyusul, coba membangun hidup baru di Kei atau Tanimbar, atau di tempat-tempat lain, a.l. di Flores dan di Jawa.

Pada tanggal 10 Maret tiba di Ambon 107 peng-ungsi dari Leksula, P.Buru Selatan, di antaranya 89 yang katolik. Mereka telah berlindung di hutan P.Buru selama satu bulan. Setibanya di Ambon, sebagiannya ditampung di gereja Nehemia, sebagi-annya di Gereja Hati Kudus Yesus di Batugantung.

Tanggal 22 Maret kerusuhan kembali melanda desa Waimulang, kecamatan Leksula, menuntut korban jiwa 7 orang.

Pulau Seram – Bula

Paroki Bula yang umat katoliknya tadinya tercatat 846 orang, tersebar atas 14 stasi, kini sudah tercerai-berai. Stasi induk Bula (380 umat katolik) sejak tanggal 10 Maret juga jadi terlibat dalam konflik. Pertikaian, yang disebabkan oleh serangan dari luar itu, dilanjutkan hari berikutnya. Rumah-rumah umat kristen yang terbakar: 67 buah, rumah umat Islam: 20 buah. Tiada korban jiwa. Banyak orang – di bawah koordinasi Pastor Simon Wenehenubun Pr. – sempat mengungsi ke Sorong, di mana pihak Keuskupan menyambut mereka dengan menyediakan berbagai fasilitas darurat. Beberapa waktu kemudian terbanyak diangkut dari situ ke Elat, karena terbanyak warga itu memang berasal dari Kei Be-sar. Walaupun di kota Bula gedung gereja katolik serta pastoran masih dalam keadaan utuh, namun tidak tinggal lagi seorang warga katolik pun di situ.

Sementara itu dari Stasi-Stasi yang lain di Paroki Bula, banyak umat sudah mengamankan diri di Pesantren Khorul Ummah, Wahai. Ada lain yang tinggal di hutan petuanan Wahai, ada juga yang tinggal di Banggoi dan Kobisonta. Sebagian mereka berhasil mendapat tempat yang lebih aman: di Masohi, Kairatu, Ambon, Flores dll. Pastor Paroki, Pater Joseph Haas MHM, dari Wahai menjalin hubungan hampir setiap hari dengan Crisis Centre di Ambon via telpon dan fax, sehingga dapat diberi berbagai pelayanan (pengangkutan, makanan, obat, finansial dll.) menurut kemampuan.

Pulau Bacan

Pulau Bacan pun sudah ditinggalkan oleh semua warga katolik. Ada yang mengungsi ke Sulawesi Utara, ada yang menyelamatkan diri ke tempat-tempat lain. Pada awal bulan April, Crisis Centre baru mendapat informasi bahwa .di Sorong juga sementara ditampung 107 warga katolik asal P.Ba-can.

PP. Mangole dan Taliabu

Pada tanggal 14 Mei Pastor Paroki Kepulauan Sula, Pater Anton Moningka MSC, serta para Suster PBHK di Falabisahaya, mengkonfirmasikan bahwa di pulau-pulau Mangole dan Taliabu, Propinsi Maluku Utara, hingga kini keadaan tenang, tanpa kerusuhan apa pun.

Ternate

Di Ternate, sekalipun tidak ada orang kristen lagi, namun sewaktu-waktu terjadi juga pertikaian. De-mikianlah pada tanggal 3 Mei terjadilah bentrokan antara Laskar Jihad dengan TNI. Insiden itu berawal dengan usaha TNI untuk mencegah rombongan Jihad menyeberang dari Ternate ke Halmahera. Akibatnya 4 warga tewas dan 17 orang lainnya luka berat.

Halmahera

Diperoleh berita bahwa terjadilah kerusuhan a.l. pada tanggal 8 dan 9 Maret di Halmahera Timur, dengan mengakibatkan kematian k.l. 30 orang dan terbakarnya 146 rumah penduduk. Adapun umat di Tobelo dalam keadaan aman. Para Suster SMSJ pun sudah kembali ke situ.

Ambon

Situasi di Kodya Ambon selama beberapa bulan ini relatif tenang, sekalipun sewaktu-waktu terjadilah insiden-insiden. Suatu usaha rekonsiliasi antara kaum muda Waihaong (Islam) dengan Kudamati (Kristen) yang sebetulnya berjalan dengan mantap, akhirnya toh mengakibatkan situasi kembali menjadi tegang, sebab segera disusul dengan penyan-deraan dan pembunuhan terhadap k.l. 8 orang di Waihaong.

Selama minggu-minggu berikutnya terjadilah sejumlah insiden, berupa pembakaran mobil, dan juga beberapa kasus pembunuhan, yang tidak menguntungkan usaha rekonsiliasi.

Hari Minggu tanggal 7 Mei, Crisis Centre dikunjungi oleh suatu rombongan yang terdiri atas 6 orang utusan dari Parlemen (DPR) Belanda, bersama dengan Duta Besar Kerajaan Belanda di Jakarta. Para tamu itu pun sempat mengadakan per-temuan dengan pihak-pihak lain di Ambon dan dengan para pembesar setempat.

Tanggal 15-16 Mei kota Ambon kembali jadi tergoncang dengan pembakaran rumah-rumah penduduk dan tembakan-tembakan aparat keamanan untuk membubarkan massa. Tgl. 16 Mei sore hari, pasukan Jihad berhasil membakar gereja GPM "Petra" di Ahuru dan banyak rumah sekitarnya. Pada menutup laporan ini, mereka sedang men-dekati Wisma Gonzalo Veloso. Para pengungsi se-bagian besar sudah menyelamatkan diri ke arah desa Kayu Putih.

Halmahera – Kecamatan Galela

Pada tgl. 25 Mei 2000 penduduk desa Mamuya, kecamatan Galela, P.Halmahera, dikejutkan karena serangan oleh k.l. 2000 orang perusuh yang dengan senjata standard mendatangi desa tersebut dari arah laut. Tanggal 29 Mei desa Duma, Dokulamo dan Makete, juga di kecamatan Galela, mendapat gilir-annya. Ada yang memperkirakan pasukan perusuh kali ini sekitar 5000 sampai 7000 orang.

Dalam kedua serangan ini ratusan rumah penduduk terbakar, dan jatuhlah puIuhan korban jiwa. Dalam keputusasaannya sejumlah ibu nekad mau membunuh diri, dan rupanya memang beberapa di antara mereka menghadapkan diri kepada para penembak dan menuntut dibunuhnya.

Pada tanggal 19 Juni 2000 menjadi jelas bahwa segala kejadian di Maluku ini tidak lagi dapat disebut "kerusuhan" atau "pertikaian", melainkan pembantaian sistematis terhadap warga kristen tanpa membedakan pria/wanita, anak/lansia, sehat atau cacat. Pada tanggal itu, menurut laporan Pastor Titus Rahail MSC dari Tobelo dan menurut laporan Pendeta Z.Dungir, yang adalah saksi mata semua kejadian ngeri itu, desa Duma kembali diserang oleh pasukan muslim/jihad. Sekitar jam 05.00 pagi kurang-Iebih 5000-7000 pasukan putih menyerang desa tersebut. Sebagian aparat keamanan, dalam hal ini Yonif 512/Brawijaya, membuka peluang bahkan ikut menyerang; yang lain tarik diri. Gereja bersama umat yang telah lari berlindung di situ, dibakar. Jumlah rumah yang dibakar 292 buah. Penduduk desa yang dibunuh berjumlah 176 orang, sedangkan yang luka 137 orang. Dalam pada itu perempuan, anak-anak, orang yang sudah tua, yang sakit dan cacat turut dibantai. Beberapa puluhan wanita dan anak-anak diculik dan dibawa dengan mobil truck entah ke mana. Menyedihkan bahwa massmedia di tingkat nasional hampir tidak me-naruh perhatian terhadap pelanggaran Hak Azasi Manusia yang sementara berlangsung ini.

KE MANA KAMI AKAN MELANGKAH ?

Hidup bersama umat dalam barak pengungsian merupakan pengalaman tersendiri. Para pengungsi mempunyai 1001 kisah dan pengalaman yang unik dan sungguh-sungguh mengharukan:

Dari seorang ibu yang mampu melompat pagar tembok setinggi 5 meter, sampai seorang nenek yang harus berjalan melewati tebing sungai terjal dan batu-batu besar di malam gelap gulita.

Dari seorang pemuda yang dibacoki saat berdoa di gereja, sampai mayat tetangga yang kepalanya terpenggal dan ditendang sana-sini.

Dari seorang pemudi yang bersembunyi di bawah seng atap rumahnya yang menjadi bara, sampai gereja yang diporak-porandakan dengan beringas: semuanya itu bisa terjadi tanpa belaskasih dan peri kemanusiaan.

Tetapi satu pertanyaan dari seorang bapak yang selalu mengusik perasaan yaitu: "Ke mana kami akan melangkah...? Tempat berteduh... kami sudah tidak punya. Pulang ke kampung halaman... harta benda telah sirna. Kembali ke Ternate... hanya keberingasan dan teror yang ada.

Lalu bagaimana nasib dan kelanjutan Sekolah, Ge-reja dan Paroki kita...? Adakah gereja kami harus pupus di usia 64... ?

Ke mana kami akan melangkah... ? Ke mana ? ..

 

KERUSUHAN PERIODE KE-EMPAT

Ambon – Pergolakan bulan Mei 2000

Begitu ketiga Tokoh Pemerintah utama di Ambon, yakni Gubernur, Pangdam dan Kapolda berangkat ke Jakarta "untuk meminta petunjuk dari Bapak Presiden", maka pecahlah kerusuhan di kota dan pulau Ambon – Babak IV.

Setelah pada hari-hari sebelumnya di Galunggung, Laha dan Passo terjadi beberapa insiden yang menuntut korban jiwa dan menyebabkan kerusakan harta benda, pecahlah di Ambon kerusuhan secara besar-besaran pada tanggal 16 Mei 2000.

Pagi hari, di Batumerah, sebuah mobil Polisi dilempari, menyebabkan luka parah pada sopirnya. Siang hari massa islam berkerumun di perbatasan Batumerah/Mardika. Ada pelemparan bom. Tak la-ma kemudian sebuah massa islam datang dari arah Ambon Plaza menuju ke kantor polisi Pos Kota. Beberapa rumah di belakang Kantor Walikota dibakar.

Sore hari baru mulai serangan secara besar-besaran terhadap kawasan Ahuru. Apa yang belum terbakar dalam penyerangan-penyerangan dalam bulan Agustus dan Oktober 1999, dihabisi pada kesempatan ini. Saksi mata menegaskan bahwa pasukan jihad, yang sejak beberapa minggu sebelumnya su-dah tiba di Ambon "untuk karya sosial", mengambil bagian secara aktif dalam penyerangan itu, malah dengan mempergunakan senjata standar atau organik. Dinyatakan juga bahwa aparat keamanan TNI di lokasi tersebut tiada usaha untuk menghentikan serangan itu, malah sebaliknya ada di antaranya yang justru memberi peluang untuk maju dalam gerakan destruktif itu. Para pejuang kristen kewalahan menghadapi serangan secara besar-be-saran itu.

Di antara lebih dari 20 korban jiwa pada hari itu, terdapatlah satu anggota TNI dan satu anggota POLRI bernama Alfian Hassanusi, putera ketua MUI Maluku.

Hari berikutnya, 17 Mei, kaum perusuh menerus-kan aksinya di Ahuru dengan antara lain membakar gereja Petra (GPM) dan sebuah Puskesmas. Perumahan sekitarnya pun dijarah, dihancurkan, dibakar. Karena hampir tiada perlawanan terhadap me-reka, masyarakat sekitar kuatir bahwa kaum peru-suh itu akan menerobos terus ke Karang Panjang. Maka para pengungsi yang tertampung di Wisma Gonzalo Veloso, Kopertis, Wisma Atlit dll., dan juga banyak penduduk sekitar, pada hari berikutnya menyelamatkan diri ke kota, ke Kayu Putih, Soya dan Hatalai. Mereka ditampung antara lain di markas Polda, di aula Xaverius dan di Keuskupan. Di Ahuru antara lain dijarah dan dirusakkan rumah novisiat PBHK, kedua rumah Suster PBHK dekat RT IV, SD Jacobus, dan juga beberapa barak yang sementara dibangun untuk pengungsi. Mengherankan bahwa tiga lokasi berikut ini tidak/belum telah dikorek-korek: kompleks Goa Maria, Gereja St.Jacobus (yang sementara direhab setelah dibom dalam kerusuhan babak III) dan SLTP Andreas.

TgI 19 Mei terjadilah pertempuran di kampung Rinjani/Karang Panjang. Kemudian medan perang berpindah ke beberapa lokasi lain yaitu Diponegoro dan Pohon Pule.

Sementara itu 12 Gereja Kristen se-Kodya Ambon menyurati Perserikatan Bangsa-Bangsa bagian HAM, yang berkedudukan di Geneva (Swiss), memohon intervensi, karena kerusuhan ini sudah mulai bercorak usaha dari satu pihak keagamaan untuk membasmi pihak yang beragama lain, di mana ternyata Pemerintah tidak berdaya untuk menghentikannya.

Menyusul pembunuhan seorang petugas Lanu Pattimura pada saat ia memasuki pelabuhan udara tersebut, Pimpinan Perusahaan Penerbangan Merpati Nusantara Airlines selama beberapa minggu meng-hentikan segala penerbangan sipil masuk dan keluar Ambon.

Dalam situasi ini, dua LSM asing, yaitu ACF (Action Contre la Faim – bantuan sembako untuk peng-ungsi), dan MSF (Médécins Sans Frontières – air, sanitasi, kesehatan) pada tanggal 21 Mei meninggalkan Ambon dan. untuk sementara waktu meng-hentikan segala kegiatannya.

Pada minggu-minggu berikutnya masyarakat Ambon mengalami masa yang relatif tenang, sekalipun hampir setiap hari ada insiden-insiden berupa pembunuhan (antara lain terhadap pendeta gereja GPM dusun Wayare) dan penganiayaan. Malah pada suatu malam Kantor Walikota pun dijarah.

Pergolakan bulan Juni 2000

Pada tanggal 12 Juni 2000, beberapa ribuan pasuk-an islam turun dari Gunung Malintang menyerang Galala dan Hative Kecil. Gereja katolik St.Paulus dan k.l. 30 rumah penduduk habis terbakar .Korban jiwa sebanyak 6 orang, termasuk 2 anggota Brimob. Yang berluka 16 orang.

Tanggal 21-22 Juni berikutnya, Markas dan perumahan Brigade Mobil (Brimob) Polda Maluku di Tantui menjadi sasaran serangan mendadak oleh pasukan islam/jihad. Selain gereja katolik St.Mi-khael dan pastorannya, juga gereja GPM Efrata beserta pastorienya menjadi mangsa api. Para penyerang berhasil membakar pula asrama perwira dan rumah sakit polisi. Di antara yang ditemukan tewas terdapatlah Wakil Komandan Kesatuan (Wadansat) Brimob Polda Maluku.

Ternyata orang-orang kristen tidak mau memberikan diri dibantai habis begitu saja, sehingga pada hari berikutnya, 23 Juni, dilontarkan serangan balik terhadap pemukiman islam Galunggung, menyebabkan penduduk islam setempat berlindung ke Batumerah.

Menyusullah pertikaian antar kristen-islam di sekitar Tanah Lapang Kecil / Perigilima.

Seruan kepada Dunia Internasional

Pada tanggal 22 Juni Keuskupan Amboina, melalui Crisis Centre, mengirim "Urgent Appeal" ("Seruan mendesak") kepada beberapa lembaga dan instansi di tingkat nasional maupun internasional memohon intervensi demi menghentikan berbagai pembantai-an yang kini sedang berlangsung, dan membantu dalam proses perdamaian di Maluku. Seruan ini secara khusus ditujukan kepada Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa di Geneva (Swiss). Seruan senada pun dikirim oleh Gerakan Perempuan Peduli kepada pihak-pihak tersebut.

Hari berikutnya Keuskupan Amboina bersama Sinode GPM menyurati Presiden Rl menuntut segera menangani kondisi yang sangat rawan ini.

Selanjutnya setiap hari Crisis Centre Keuskupan Amboina, melalui fax dan e-mail, mengedarkan dalam bahasa Inggeris ke forum nasional maupun internasional laporan tentang perkembangan situasi di Propinsi Maluku dan Propinsi Maluku Utara yang makin memburuk itu.

Peristiwa-Peristiwa selanjutnya

Konflik di Ambon mereda

Situasi di Ambon perlahan-lahan mereda, sekalipun tiap hari masih dapat dilihat asap membubung dan terdengarlah tembakan-tembakan. Orang-orang kristen makin menuntut evakuasi massal. Sebagai salah satu wilayah potensial untuk menerima peng-ungsi, disebut pulau Wetar, di ujung Maluku Tenggara, yang penduduknya hanya sekitar 6000 orang.

TgI. 24 Juli sekretaris MUI di Ambon menyatakan dukungannya terhadap penegasan penguasa darurat sipil, gubernur M.Saleh Latuconsina, bahwa semua orang luaran yang berada di Maluku tanpa tujuan yang jelas (baca: laskar jihad), harus diberangkatkan dari Ambon.

Pada hari yang sama ACF (Action contra la Faim = Kegiatan Anti Lapar), setelah menghentikan kegiatannya selama dua bulan, mulai kembali pendistribusian bahan pangan kepada para pengungsi.

Gubernur Propinsi Maluku Utara, Bpk. Muyi Effendi, menyatakan bahwa pengungsi di Maluku Utara berjumlah 187.242 orang. Banyak di antara mereka sedang menderita sakit, a.l. diarhee. bronchitis, flu dan malaria. Tetapi syukurlah, situasi di MalUt tetap terkontrol dan tenang.

Tgl. 25 Juli Mgr. P.C.Mandagi kembali dari pelawatannya ke PBB di Geneva (Swiss).

Kapal "Dobonsolo" tiba di Ambon tengah pe-layararinya dari Kupang ke Sorong. Razzia pada kapal itu menghasilkan antara lain 200 bom dan mortir. Pada 70 kapal lain pun sudah lebih dahulu ditemukan senjata dan amunisi, antara lain juga pada tiga kapal yang berasal di Filipina.

Kapal Dobonsolo setibanya di Sorong disambut dengan banyak huru-hara massa yang tidak mau membiarkan penumpang dari Ambon turun. Hal yang sama terjadi di Manokwari dua hari kemu-dian. Akhirnya dengan susah payah penumpang dari Ambon diperkenankan turun di Jayapura.

Di Masohi 1200 pengungsi kristen mendesak pada pemerintah untuk dievakuasikan ke Maluku Tenggara; namun hingga kini permohonannya ditanggapi dengan hanya janji belaka.

Serangan terhadap Waai dan Alang Asaude

Pada hari Minggu tgl. 30 Juli, desa Waai, P.Ambon, yang sudah sebagian besar dihancurkan pada tgl. 6 Juli, kembali menjadi sasaran serangan massal oleh laskar putih bersama sejumlah oknum aparat. Dua hari kemudian diadakan lagi serangan dengan menghancurkan desa itu secara total dan sekaligus membantai 23 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, orang tua-tua dan orang sakit. Jumlah korban ini kemudian bertambah menjadi 29 orang. Waai telah dibiarkan tanpa perlindungan oleh pa-sukan keamanan. Bapak Pangdam memang tidak tahu (atau tidak mau?) mengantisipasikan serangan apapun, dan biasanya menarik kembali pasukannya sebelum terjadilah serangan. Para penduduk, yang berjumlah lebih dari 6000 orang, hiruk-pikuk lari mencari perlindungan di gunung Salahutu dan sekitarnya, sambil dikejar oleh kaum putih bersama dengan sejumlah aparat. Pada hari-hari berikutnya beberapa ribuan penduduk Waai tiba di Waitatiri/Suli dan Passo dalam keadaan menyedihkan: berluka, kurus, banyak orang tanpa pakaian. Perjalanan melalui medan yang berat itu menuntut kor-ban jiwa tiga orang.

Tgl. 2 Agustus desa Alang Asaude (1.340 penduduk), kecamatan Piru, di ujung barat P.Seram, dengan mendadak diserang oleh beberapa ribuan laskar putih yang terbanyak berasal dari 20 kampung islam sekitarnya. Kampung yang sudah pernah diserang pada tgl. 3 Desember 1999 itu, dibumihanguskan. Para penduduk bersama beberapa aparat keamanan menyelamatkan diri ke pegunung-an.

Sementara itu Gubernur memanggil kedua belah pihak yang berkonflik untuk berunding. Undangan itu dipenuhi oleh pihak muslim yang datang hadir dengan 17 wakil. Tetapi pihak kristen menolak berunding jika tidak terlebih dahulu terpenuhilah sejumlah syarat tertentu.

Kunjungan Delegasi Kristen ke Amerika Serikat

Dalam bulan Agustus Uskup Amboina, Mgr. P.C. Mandagi, bersama lima rekan Gereja-Gereja Protestan di Maluku, Papua dan Timor Barat, me-ngunjungi beberapa instansi di Amerika Serikat dalam rangka pemberian informasi tentang konflik di Maluku dan tentang segala pelanggaran hak azasi manusia di sini. Rangkaian pertemuan di New York dan Washington itu dimulai pada tgl. 7 Agustus. Pada hari itu dikunjungi pusat international Gereja-Gereja Lutheran dan Pusat Pengawasan HAM (Hu-man Rights Watch) .

Pada hari-hari berikut diadakan lagi pertemuan-pertemuan dengan beberapa pihak, antara lain pada tgl. 10 Agustus dengan United States Catholic Con-ference (sebanding dengan KWI di Indonesia) dan dengan Catholic News Service (pusat media massa katolik di AS).

Pokok-pokok utama yang ditekankan pada semua pertemuan itu ialah:

Yang memungkinkan (mensponsori) perjalanan ini ialah persekutuan Gereja Presbyterian (protestan) di Amerika Serikat.

Berbagai insiden dan peristiwa di Ambon

Sementara itu di kota Ambon, sejak tgl. 2 Agustus, hampir setiap hari terjadilah insiden-insiden, sering dengan akibat fatal. Jalan darat dari kota Ambon ke arah Galala sudah lama tertutup, kini jalur laut pun makin dipersulit, karena penembakan terhadap perahu motor dan speedboat. Penembak-penembak gelap hampir setiap hari menghadang speedboat-speedboat di teluk Ambon. Teristimewa berbahaya-lah bagi orang kristen untuk melewati tanjung "Martha Alfons" (Poka/Rumahtiga) yang kini sudah diubahkan namanya (menurut spanduk di situ) menjadi "Tanjung Mujahidin".

Setelah 200 laskar jihad sudah lebih dahulu meninggalkan Ambon untuk kembali ke daerah asalnya, pada tgl. 9 Agustus ada lagi 250 yang naik KM Rinjani meninggalkan Ambon kembali ke Jawa. Makin sering terdengarlah keluhan orang islam: "Bukan hanya kamu, orang kristen, menderita akibat kehadiran laskar jihad; kami ini pun menderita karenanya…" Namun menjelang akhir Agustus be-berapa ribuan orang "luaran" dari Jawa turun dari kapal "Lambelu" di Banda dan di Namlea. Mereka menyebutkan diri "pengungsi yang kembali lagi ke Maluku". Pelabuhan Ambon memang ditutup untuk kapal-kapal Pelni, tetapi rupanya pasukan jihad ra-mai-ramai masuk melalui pintu-pintu belakang

Harian "Suara Maluku" melaporkan terjadinya ba-nyak korupsi dalam pembagian bantuan kemanusia-an di Ambon dan juga di Maluku Utara, di mana bantuan pangan oleh Ibu Wakil Presiden pada tgl. 26 April, kini ramai dijual di pasar!

Tgl. 12 Agustus orang kristen di Mardika memperhatikan bahwa pihak yang lain sedang menjarah bahan bekas (daun-daun seng dlsbg.) dari rumah-rumah mereka yang sudah hancur. Membalas penjarahan itu, seorang kristen merampas sepeda motor bebek dari seorang wanita islam. Maka timbullah konfrontasi, yang juga membahayakan pasukan ke-amanan. Akibatnya 5 orang muslim mati karena di-kenai peluru dan 15 orang terluka. Beberapa hari kemudian sepeda motor itu dengan resmi dikembalikan. Akhir Agustus, 4 orang penjarah dijatuhi hukuman sel lima hari.

Rugi pada Universitas Pattimura diperkirakan sebesar 500 miljard rupiah, tidak terhitung rugi pada perpustakaan dan inventaris laboratorium.

Dari jumlah 800 dosen Unpatti, k.l. 400 telah meninggalkan Ambon. Walaupun kampus sudah hancur dan jumlah dosen tidak memadai, namun kegiatan perkuliahan akan dimulai kembali pada tgl. 1 Oktober 2000 di beberapa lokasi di kota Ambon.

Baik Pemerintah (PU) maupun organisasi MSF (Médécins Sans Frontières) mulai membangun beberapa puluhan barak untuk para pengungsi di berbagai lokasi.

Ternate

Di "Pintu Batu", Ternate, pada tgl. 21 Agustus dilaksanakan suatu acara yang mengharukan. Seorang anak islam berusia 4 tahun, bernama Ayu, berasal dari Popilo/Tobelo, ditukar dengan seorang anak kristen berusia 9 tahun, berasal dari Duma/Galela. Acara ini menimbulkan cucuran air mata pada mereka yang menyaksikannya.

Pengungsi

Pertengahan Agustus sebuah team advokasi, yakni FPUKMU (Forum Peduli Untuk Keadilan Maluku Utara) mengadakan investigasi di 31 lokasi di MalUt. Beberapa angka yang terkumpul: dibunuh 3.931 orang. Luka berat 746. Luka ringan 632. Rumah-rumah ibadat yang hancur: 206 (168 gereja, 38 mesjid). Rumah penduduk yang dihancurkan 14.217. Gedung sekolah yang hancur 115.

Wakil Gubernur bidang Kesra, Dra. Paula Renyaan, memberitahukan bahwa jumlah pengungsi di Ma-luku kini mencapai 215.061 orang, yaitu di Ambon 83.686; di Kabupaten Maluku Tengah 77.711; di Maluku Tenggara 34.945; di Maluku Tenggara Barat 8.402; di P.Buru 10.317. Sebelum status Darurat Sipil mulai berlaku (27 Juni) jumlah peng-ungsi adalah 104.186 orang.

Pulau Seram

Di pedalaman Seram masih terdapat ribuan peng-ungsi. Seorang pengungsi dari daerah Werinama/ Tehoru, pesisir selatan P.Seram, datang melaporkan kepada gubernur Dr.lr. M.Saleh Latuconsina keada-an 3000 pengungsi yang berasal dari desa-desa tsb. Katanya bahwa mereka sudah selama delapan bulan tinggal saja di gua-gua dlsbg. Banyak di antara mereka tidak mempunyai perlindungan secukupnya terhadap hujan dan kedinginan. Banyak juga tidak mempunyai tikar dan kebutuhan-kebutuhan dasar lain. Ada juga kekurangan makanan. Selama ini 39 orang telah meninggal, terutama bayi-bayi.

Pada tanggal 8 September masyarakat kristen desa Seriholo, tak jauh dari Kairatu, memperingati se-rangan terhadap kampung mereka genap setahun lalu. Namun tepat pada hari peringatan itu masya-rakat Hualoi, dibantu oleh beberapa kampung muslim lain, menyerang Seriholo. Para penduduk, yang sudah berhasil membangun kembali sebagian desa-nya dengan bantuan TNI, lari meninggalkan kampungnya yang kini dibakar untuk kedua kalinya.

Waai (P.Ambon)

Dalam pertemuan masyarakat Tulehu dengan gubernur Maluku serta Kapolda Maluku, seorang war-ga Tulehu atas nama masyarakat mengungkapkan penyesalannya tentang sengsara yang didatangkan kepada para warga Waai, dengan dibumihanguskan seluruh desa itu dan pembantaian 29 orang. Ia mengaku bahwa kaum muslim melancarkan serang-an itu berdasarkan isyu bahwa Waai bersiap me-nyerang Tulehu. Ternyata isyu itu palsu.

Tablig Akbar Panglima Laskar Jihad

Sungguh menggemparkan pidato panglima laskar jihad, Ustad Jafar Umar Thalib, di mesjid Al-Fatah pada tgI. 3 September. Tablig itu pun langsung di-siarkan melalui radio Gema Suara Muslim 99. Jafar Umar menjelaskan bahwa umat muslim akan me-lanjutkan peperangan "sampai segala fitnah terhadap orang islam oleh pihak kristen akan dihentikan". la mengajak kaum muslim untuk melanjutkan pertempuran melawan para pemberontak dan separatis RMS kristen itu. Gus Dur disebutnya seorang pengkhianat; dia akan diadili oleh rakyat.

Di kalangan luas kata-kata ini dipandang bersifat provokatif. Penguasa Darurat Sipil, Gubernur M. Saleh Latuconsina, pada tgl. 9 September menyuruh Jafar ditahan untuk mempertanggungjawabkan penghasutannya ini, namun hingga kini perintahnya itu belum dilaksanakan. Malah pada tanggal 14 September diadakan acara silaturahmi oleh Gubernur bersama beberapa tokoh pemerintahan lain dengan Jafar Umar Thalib beserta beberapa pendampingnya.

Keadaan pengungsi di MTB & Kei

Sekretaris Kabupaten Maluku Tenggara Barat me-laporkan bahwa di antara ke-8.402 orang yang dari P.Obi dan P.Ambon telah dievakuasikan ke MTB, terdapatlah banyak yang menderita lapar dan ku-rang mendapat pelayanan kesehatan. Bagi mereka yang bukan berasal dari situ pun tak mudah memperoleh izin untuk berkebun. LSM-LSM asing belum menjangkaui daerah-daerah itu. Syukurlah di antara masyarakat setempat terdapatlah banyak yang menaruh perhatian kepada mereka dan membantu menurut kemampuan.

Keluhan sebanding diungkapkan juga oleh Dinas Sosial di Tual tentang ke-51.175 pengungsi yang tersebar di 124 desa di Kei-Kecil dan Kei-Besar. Di situ para penduduk sendiri pun sebagiannya masih enggan (takut) untuk mengolah kebunnya bila jauh dari kampung halamannya, sehingga kurang sanggup untuk melayani para pengungsi itu.

PELNI

Per 11 September Ambon kembali disinggahi ka-pal-kapal mewah PELNI. Demi menjamin keaman-an penumpang, Penguasa Darurat Sipil sudah tentukan bahwa kapal-kapal ini akan sandar di Halong menggantikan pelabuhan Jos Sudarso, karena Halong dipandang netral, sedangkan Jos Sudarso dikuasai oleh kaum muslim. Namun 800 penumpang KM "Rinjani" menuntut dengan keras supaya KM Rinjani sandar di pelabuhan Jos Soedarso. Jika tidak, maka mereka akan menyandera kapal tsb. Akhirnya Gubernur memutuskan merelakan tuntutan para penumpang itu. Tidak heran kaum kristen sa-ngat kecewa dengan inkonsistensi Gubernur bersama dewan penasehatnya itu!

Kapal "Dobonsolo", yang masuk tgl. 20 September, berlabuh di Gudang Arang, tetapi tinggal jauh dari pantai.

Pasar Murah yang jadi kacau

Pada tgl. 19 September, pagi hari, atas inisiatip isteri Bapak Gubernur bersama dengan beberapa organisasi wanita, baik kristen maupun islam, dibuka bertempat di Lapangan Merdeka, Ambon, sebuah "Pasar Murah", yang a.l. dimaksudkan untuk meng-akrabkan kembali kaum wanita dari kedua belah pihak. Mula-mula tujuan itu rupanya mau dicapai, melihat pergaulan yang mengharukan antara para pengunjung Pasar tsb. Namun sekitar jam 11.00 terjadilah keributan berbalas-balasan oleh pemuda-pemuda dari kedua belah pihak, sehingga bahkan Gubernur beserta Ibu, Wakil Gubernur, Ibu Paula B.Renyaan serta tokoh-tokoh lain harus segera dihantar ke tempat aman.

Pada hari yang sama juga perahu motor "Anda-02" dalam pelayarannya dari Gudang Arang ke Galala ditembaki oleh lima speedboat muslim. Dua penumpang gugur, 16 terluka.

Kerusuhan di Saparua

Pada tgl. 18 September sebuah perahu motor yang ditumpangi beberapa orang islam, ditembaki di le-pas pantai Ouw, pulau Saparua, mengakibatkan dua orang mati dan dua berluka. Walaupun hingga kini belum ditemukan si penembak itu, namun dengan sendirinya kaum kristen dituduh sebagai pelaku. Maka peristiwa ini menjadi pemicu untuk suatu rangkaian serangan yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerugian material, baik di pulau Saparua maupun di Ambon, bahkan di Masohi.

Di pulau Saparua terdapat 3 desa Islam dan 15 desa Kristen. Sebagai akibat dari penembakan misterius kepada perahu motor di Ouw itu, maka pada hari itu juga penduduk Sirisori Islam menyerang desa Ulath, namun kerugian terbatas. Tetapi dua hari kemudian terjadilah konfrontasi antara kedua desa itu dengan hasil lebih parah, yaitu menyebabkan beberapa warga mati dan terluka.

Pada tgl. 21 September Sirisori Amalatu (kristen) diserang oleh penduduk Sirisori Islam yang diperkuat dengan pasukan dari luar, menuntut lagi beberapa korban dan terbakarnya 40 rumah. Pada tgl. 22 September pertempuran ini dilanjutkan, sehing-ga akhirya di Sirisori Kristen 161 rumah terbakar.

Serangan berikut terhadap Sirisori Kristen terjadi pada tg]. 7 Oktober, sehingga akhirnya jumlah rumah yang terbakar 340, termasuk juga Gereja. Kini masih tersisa hanya 15 rumah dan dua gedung sekolah.

Semua serangan ini berlangsung dengan menggunakan mortir dan senjata organik. Begitu pula dalam serangan terhadap desa kristen Noloth. Desa kristen Ihamahu diserang oleh warga desa Iha. Semua serangan ini mengakibatkan kematian belasan orang dan luka bagi beberapa puluhan orang.

Pada tgl. 23 September pasukan islam dari desa Kulur, P.Saparua, menyerang desa kristen Pia, membakar gereja dan sejumlah rumah penduduk. Pada hari itu juga pasukan kristen dari Noloth dan Ihamahu membalas dengan menyerang desa Iha. Sebanyak 80 rumah dibakar, 8 orang mati dan 3 dilukai; 470 penduduk mengungsi ke Tulehu di P.Ambon.

Pada tgl. 22 Oktober desa Ulath kembali diserang oleh massa yang datang dari Sirisori Islam. Karena tidak berhasil di Ulath, maka para penyerang meng-alihkan perhatiannya kepada ke-15 rumah yang masih sisa dari Sirisori Kristen, lalu membakarnya. Dua hari kemudian kembali terjadi konflik antara di satu pihak Sirisori Islam dan di pihak yang lain Ulath dan Ouw.

Pada tgl. 26 Oktober kampung-kampung kristen Ulath dan Ouw di P.Saparua kembali diserang oleh massa muslim dari Siri-sori Islam. Peristiwa ini menuntut korban jiwa satu penduduk Ulath, satu orang Brimob dan tiga prajurit TNI.

Pekan Perkabungan

Sebanyak 16 Gereja Kristen pada tgl. 26 September membuka "Pekan Perkabungan", sekaligus Pertobatan dan Pujian/Doa, yang berlangsung hingga tgl. 4 Oktober. Hari pembukaan adalah hari pantang dan puasa, juga pantang dari segala kegiatan harian. Hari itu ternyata kawasan-kawasan kristen di Kodya Ambon sunyi total.

Suli, Hative Besar dan Galala

Pada tgl. 25 September Suli Bawah diserang oleh pasukan muslim. Ratusan orang menyelamatkan di-ri ke Passo. Nyatalah Suli mau dikuasai oleh pihak lawan agar dapat terobosan ke kubu kristen yang kuat ialah Passo. Hari berikutnya Suli diserang untuk kedua kalinya, dan tgl. 28 September untuk ketiga kalinya. Jumlah rumah yang terbakar di Suli k.l. 50 buah; korban manusia: 4 orang terluka. Saksi mata menyatakan ada tanda-tanda sangat jelas bah-wa di antara para penyerang terdapatlah orang-orang luar negeri; disebut khususnya orang dari Af-ghanistan, Saudi Arabia dan Moro (Filipina).

Pada tgl. 10 Oktober 2000, Suli-Bawah diserang untuk keempat kalinya, menyebabkan kematian seorang Brimob dan seorang Warga Suli. Para penyerang (muslim dan laskar jihad), setelah dipukul mundur, meninggalkan 19 jenazah pasukannya. Mereka dimakamkan oleh umat kristen.

Pada tgl. 26 September dusun Wailete diserang. Wailete terletak di seberang teluk, berhadapan de-ngan Gudang Arang, dan merupakan tempat singgahan speedboat dari Gudang Arang, antara lain untuk masyarakat kristen yang bertujuan ke Laha. Pada kesempatan itu Wailete dihancurkan total. Juga dusun Sanuru (termasuk desa Hative Besar) diserang dan dibakar. Beberapa warga dibantai secara ngeri. Total korban akibat pertikaian ini: 31 orang mati, puluhan yang terluka. K.l. 2000 orang Hative Besar, terutama perempuan dan anak-anak, diamankan ke Benteng, kota Ambon. Dalam se-rangan ini sebagian pasukan TNI Zipur ramai-ramai ikut menyerang bersama kaum muslim.

Kapolda BrigJen Firman Gani menuturkan bahwa warga Hative Besar salah sendiri, karena menolak kehadiran pasukan keamanan baik dengan kata-kata mereka maupun dengan tindakan, a.l. dengan membarikade jalan, sehingga pasukan TNI dan POLRI tidak jadi masuk. Hative Besar membenarkan sikapnya itu dengan menyatakan bahwa pasukan itu hanya dikirim untuk turut menghancurkan perkampungan kristen!

Tgl. 12 Oktober, pagi hari, Galala dan Halong Atas mendapat gilirannya untuk diserang. Atas usaha warga kristen bersama TNI Yonif 141, Marinir dan Brimob, para penyerang dapat dihalau. Di antara para penyerang lima orang terbunuh.

Urgent Appeal / Seruan SOS

Memperhatikan perkembangan situasi, menjadi ma-kin jelas strategi Laskar Jihad. Seperti Maluku Uta-ra sebagian besar sudah "dibersihkan" dari orang kristen, demikian pula Ambon dan PP. Lease yang lain rupanya ditentukan harus bersih dari kristen, untuk (barangkali) kemudian melihat bagian mana lagi di Maluku yang perlu disapu bersih. Suli harus direbut untuk membuka jalan ke Passo. Passo harus direbut untuk membuka jalan ke kota Ambon, yang dengan demikian dapat diserang dari segala jurus-an. Hative Besar perlu direbut untuk tembus ke Laha dan menguasai bandar udara Pattimura. De-ngan demikian pun seluruh jazirah Hitu akan dikuasai. Tinggal saja untuk orang-orang kristen jazirah Leitimur yang kecil itu, ialah k.l. 30% daratan pulau Ambon. Tidak heran bahwa dalam situasi ini Keuskupan Amboina merasa perlu menyiarkan ke dunia luas sebuah SERUAN S.O.S. (tentu dalam bahasa Inggeris) memohon dunia internasional memperhatikan situasi ini serta pembantaian secara besar-besaran yang menantikan orang kristen, yang tidak mendapat perlindungan yang memadai. Seruan tersebut ditanda-tangani oleh Mgr. Jos Tethool sebagai Uskup Pembantu dan oleh Pastor Ansis Homenara sebagai ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Amboina. Kata penutup seruan itu berbunyi: "Komunitas Kristen di Ambon mera- gukan kemampuan pemerintah lokal dan pemerintah pusat untuk mengakhiri konflik ini dengan cara damai. Karena itu – demi keadilan dan hak untuk hidup – kami tiada pilihan lain selain sekali lagi berseru kepada Dewan Keamanan PBB dan Komisi HAM PBB untuk datang membawa damai. Sedikitnya kami mohon menyediakan kapal-kapal untuk mengevakuasikan orang-orang kristen yang waktu itu masih bertahan hidup". Seruan tsb. dimaklumkan pada tanggal 29 September 2000.

Inventarisasi rugi sarana Gereja Katolik

Crisis Centre membuat perhitungan tentang sarana-sarana fisik Gereja Katolik yang telah hancur akibat kerusuhan sejak bulan Januari 1999. Gereja yang hancur: 60; gedung sekolah: 39; Panti Asuhan: 1; Biara: 4; Rumah Sakit: 3; Pusat Ziarah: 1

Daftar Badan-Badan Internasional yang kini

berada di Maluku

Dunia internasional pada pelbagai cara membuktikan kepeduliannya terhadap konflik berdarah di Maluku dan Maluku Utara. Antara lain dengan kehadiran dan kegiatan sejumlah badan internasional. Mereka melayani kebutuhan kedua belah pihak, namun sayanglah kegiatannya agaknya terbatas pada Ambon dan Ternate. Inilah daftarnya:

  1. MSF (Médécins Sans Frontières = Pelayanan medis, saniter, air dll.)
  2. ACF (Action Contra la Faim = Aksi melawan kelaparan)
  3. MCI (Mercy Corps International = Pasukan Peduli Internasional)

Selain itu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membuka lima lembaga perwakilan di Maluku untuk memonitor penyaluran bantuan, yaitu:

  1. UNDP (United Nations Development Program)
  2. WFP (World Food Programme)
  3. UNICEF (United Nations Children's Fund)
  4. WHO (World Health Organisation)
  5. OCHA (Office for the Coordination on Humani-tarian Affairs)

Kunjungan Delegasi Uni Eropa

Suatu rombongan yang terdiri atas 17 orang "pembesar" Eropa, di antaranya 5 duta besar dari Jakarta (dari Jerman, Perancis, Belgia, Belanda dan Portugal) pada tgl. 12 Oktober 2000 tiba di Ambon. Pada hari itu dan hari berikutnya diadakan pertemuan de-ngan berbagai pihak, antara lain dengan Keuskupan / Crisis Centre bersama sejumlah wakil umat katolik, pada tgl. 13 Oktober, bertempat di gedung Pus-paskup, di mana mereka serentak juga dapat me-nyaksikan kehadiran 200 orang pengungsi (semuanya berasal dari Ahuru/Petra). Dua pertanyaan yang pada setiap pertemuan itu mereka ajukan ialah tentang kehadiran laskar jihat dan tentang apa alasannya bahwa umat kristen belum bersedia untuk membuka suatu dialog atau pra-dialog dengan kaum muslim.

Pada tanggaI itu juga rombongan utusan Delegasi Eropa itu meninggalkan Ambon untuk mengunjungi Ternate. Dalam pertemuannya dengan Pengu-asa Darurat Sipil Maluku Utara, gubernur Muhyi Effendie, serta tokoh-tokoh lain, delegasi itu diberi informasi tentang situasi dalam Propinsi tersebut. Sudah sejak beberapa waktu yang lalu, tiada tindak kekerasan lagi di situ. Laporan tentang berbagai kerugian menyebutkan antara lain jumlah-jumlah minimal sbb.: 2004 korban jiwa; 197.000 peng-ungsi; sarana yang dihancurkan / dibakar: 20.000 rumah penduduk, 144 rumah ibadat, 173 gedung sekolah. Selain itu dihancurkan pula sejumlah fasilitas umum.

Pulau Seram

Beberapa lokasi di kecamatan Kairatu menjadi sasaran penyerangan massa islam sejak tgl. 14 Oktober 2000. Pada tanggal itu desa Ahiolo, yang letak-nya k.l. 12 km dari pantai, diserang oleh massa yang datang dari Latu dan Hualoi. Dengan bantuan warga dari Abio dan Huku Kecil, para penyerang dapat dipukul mundur. Ruginya untuk Ahiolo: 46 rumah penduduk, sebuah gedung sekolah dan sebuah poliklinik habis terbakar, 5 penduduk gugur.

Pada tgl. 17 Oktober desa Waitasi mendapat gilir-annya. Serangan dilontarkan oleh massa yang ber-asal dari Kelapa Dua, Latu dan Hualoi. TgI. 23 Oktober kota Kairatu sendiri diserang. Akibatnya 17 rumah terbakar, satu orang kristen dan seorang prajurit Yonif 731 terbunuh. Di pihak penyerang ada empat yang terbunuh.

Penangkapan 12 Laskar Jihad

Tgl. 25 Oktober, tengah malam pada awal hari suci Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW, bertitik tolak dari kawasan islam Pohon Mangga (Benteng/Airsa-lobar), dilontarkan serangan terhadap pemukiman kristen di Gunung Nona, sekitar pusat penyiaran TVRl. Aparat keamanan berhasil menghalaukan pa-ra penyerang dan langsung mengadakan sweeping di antara mereka. Pada kesempatan itu 12 orang ditangkap karena membawa berbagai peralatan pe-rang. Mereka semuanya berasal dari luar Maluku, terbanyak dari P.Jawa. Di kalangan islam segera muncul isyu – yang juga disiarkan di mesjid Al-Fatah – bahwa para tahanan itu disiksa, ditelanjangi bahkan disileti di lokasi Polres P.Ambon. Akibatnya terjadilah konsentrasi massa di berbagai lokasi sebelah menyebelah teluk Ambon.

Wagub melapor tentang kunjungannya ke Kei

Wakil Gubernur bidang Kesra, Ny. Dra. Paula B.Renyaan, setelah kembali di Ambon dari kun-jungan singkat ke PP.Kei, pada pertengahan bulan Oktober, melaporkan bahwa situasi di Kei sudah sangat kondusif: tiada konflik lagi. Daerah itu ma-kin menikmati keadaan aman. Katanya rekonsiliasi di Kei dipermudah karena peranan penting adat. Juga wibawa para raja serta para pemimpin agama sangat kuat di situ. Rekonsiliasi di PP.Kei telah ber-hasil tanpa intervensi pemerintah, melainkan atas inisiatip masyarakat, yang bersedia berdialog demi keamanan serta kesejahteraan anak-cucu mereka.

Ambon: Kunjungan Orang Pembesar

Kerusuhan di Maluku tetap menjadi perhatian para pembesar baik dalam negeri maupun luar negeri. Tidak jarang juga mereka mengunjungi Keuskupan dan/atau Crisis Centre. Pada kesempatan itu biasanya sejumlah tokoh awam katolik diundang juga untuk ikut serta dalam pertemuan. Demikian antara lain pada tgl. 24 Oktober Keuskupan didatangi oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat, yang bermarkas di Surabaya. Konsul itu mengungkapkan penyesal-annya bahwa penderitaan orang kristen kurang diberitahukan ke dunia yang luas, sehingga banyak orang, teristimewa di Indonesia sendiri, mendapat kesan bahwa yang dibantai dan yang menderita akibat konflik ini ialah terutama masyarakat yang beragama islam. Ia pun berharap supaya segera da-pat diadakan dialog antara kedua belah pihak yang bertikai itu, tanpa terlebih dahulu menuntut peme-nuhan syarat apapun. Seperlunya Konsulat Amerika Serikat bersedia menjadi pengantara. Tetapi semua intervensi yang lain tegas-tegas ditolak oleh negara tsb.

Demikian pula pada tgl. 9 November wakil Duta Besar Australia berkunjung pada Keuskupan.

Pada tgl. 31 Oktober tibalah di Pattimura Airport, Laha, enam Menteri Kabinet beserta beberapa pejabat tinggi lainnya. Empat jam kemudian mereka melanjutkan penerbangannya ke Ternate; dari situ pada hari yang sama juga mereka terus ke Makassar. Pada kesempatan itu MenPolSosKam, Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan bahwa ia sudah memerintahkan Laskar Jihad di Maluku menghentikan segala kegiatannya. Ia pun berharap agar semua orang luaran yang tidak punya kepentingan di Maluku, akan segera meninggalkan daerah ini. Baik di Laha maupun di Ternate beliau pun menegaskan bahwa Maluku memang tidak dianak-tirikan oleh Pemerintah Pusat. Sebaliknya Maluku mendapat prioritas dari segi perlindungan oleh pasukan ke-amanan. Maklumlah di Maluku aparat keamanan berjumlah sebanyak 13.000 pasukan TNI dan selain itu bukan sedikit Pasukan Polisi, ialah 40% dari semua pasukan keamanan yang dialokasikan kepa-da daerah-daerah yang dipandang rawan.

Pada tgl. 11 November, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mampir di Laha pada perjalanannya ke PP .Kei dan Aru dan mengadakan per-temuan singkat dan informal dengan sejumlah tokoh pemerintahan. Adapun kunjungannya ke Kei dan Aru berlangsung dengan baik dan tertib.

Pada tanggal 30 November Bapak Uskup sendiri bersama dengan beberapa pastor sempat berdialog dengan Duta Besar negeri Jepang bertempat di rumah Keuskupan.

Ambon kembali rusuh

Semenjak tanggal 16 November 2000 keadaan di Ambon kembali menjadi keruh. Pada hari itu sebuah perahu pokpok dengan beberapa nelayan kris-ten ditembaki dekat Noloth (Saparua). Pada kesempatan itu satu dari para nelayan itu dibunuh terkena peluru. Akan tetapi peristiwa yang sungguh menggoncangkan ialah hilangnya sebuah speedboat yang ditumpangi 16 orang islam. Speedboat tersebut ber-tolak dari Tulehu pada hari Sabtu tgl. 18 November dengan tujuan Sirisori Islam di P.Saparua, namun tidak pernah sampai ke tujuannya. Tentu orang-orang kristen dituduh telah menenggelamkan boat itu dan/atau membunuh atau menyandera ke-13 pe-numpang dan ke-3 awaknya. Melalui sebuah demonstrasi di halaman kantor gubernur pada tgl. 20 November, k.l. 300 orang islam – sebagian besar berasal dari Sirisori Islam – menuntut penyelesaian kasus ini. Karena gubernur sementara keluar dae-rah, maka wakil gubernur, Ny. Dra. Paula B.Renya-an, bersama Sekwilda tampil di pintu untuk mendengar keluhan para demonstran. Pada kesempatan itu terjadilah penghinaan terhadap wakil gubernur, karena dilempari dengan sebotol aqua dan sari mi. Salah seorang tokoh di antara para demonstran kemudian secara pribadi memohon maaf atas peristiwa itu.

Situasi di kota Ambon bertambah mencekam, keti-ka pada tgl. 21 November dua jenazah orang pe-rempuan terdampar di pantai Waai, keduanya de-ngan tanda-tanda penganiayaan. Kedua jenazah itu – katanya – termasuk ke-13 penumpang speedboat yang hilang itu. Hal ini tentu menambahkan kemarahan orang islam. Akibatnya kota Ambon dan teristimewa perairan teluk Ambon makin kurang aman.

Di kawasan Perigi Lima sampai Pohon Pule, bebe-rapa orang menjadi korban penembak-penembak gelap. Juga sebuah mobil dari Lembaga Internasional MSF (Médécins Sans Frontières) menjadi sasarannya. Di perairan teluk Ambon berulang kali terjadi penembakan terhadap speedboat kristen, mencapai puncaknya pada hari Kamis, tgl. 23 November. Di pagi hari itu sebuah speedboat dengan 4 awak dan 16 penumpang bertolak dari Galala me-nuju Benteng. Sesampai di perairan Kapaha, terjadilah serangan terhadap speedboat itu oleh 6 speedboat islam, menyebabkan kematian 5 orang, termasuk juragan, dan melukai 14 orang.

Pada hari yang sama juga ada lagi demonstrasi oleh orang muda islam dan – tersendiri – oleh kaum Perempuan Peduli Islam.

Pada hari-hari berikutnya penembak-penambak ge-lap makin aktif di sekitar Perigilima/Kampung Kolam, dan makin diduga bahwa anggota Polres terlibat di dalamnya. Kapolda Firman Gani pada tanggal 30 November memindahkan 650 anggota Polres ke tempat lain. Pengawasan di daerah rawan "sni-per" itu selanjutnya dipercayakan kepada Brimob.

Perpecahan internal

Kedua pihak yang saling bertentangan – islam dan kristen – mengalami juga diskrepansi dalam kubunya sendiri. Islam terbagi atas kelompok BBM (Butan-Bugis-Makasar), kelompok Hatuhaha (mus-lim Ambon yang asal-usulnya dari Pelau dan Kai-lolo di P.Haruku) dan kelompok Leihitu, ialah me-reka yang berasal dari kampung-kampung di bagian utara P.Ambon. Pada tgl. 2 November kedua kampung islam Ureng dan Asilulu di P.Ambon, dise-rang oleh kampung islam Negeri Lima, mengakibatkan korban jiwa dan rugi material.

Akar rumput (grass roots) kristen di Kudamati pun terbagi atas dua kelompok yang saling bertentang-an: kelompok Agus Wattimena versus kelompok "Coker" (singkatan dari Cowo-Cowo Keren). Sudah beberapa kali keduanya bertempur satu lawan yang lain, mengakibatkan beberapa rumah terbakar.

Kunjungan Duta Vatikan ke Maluku

Pada tgl. 24 November 2000 Nuncio Apostolik (Duta Besar) Vatikan, Mgr. Renzo Fratini, tiba di Ambon untuk suatu kunjungan singkat – seharusnya lebih lama, namun dipersingkat karena keadaan di Ambon kurang kondusif pada saat itu. Bersama dengan Mgr. Fratini tibalah Mgr. P.C.Mandagi, uskup Amboina, yang telah ikut dalam sidang ta-hunan KWI, dan Pater Ismartono SJ, ketua Pusat Krisis KWI di Jakarta. Demi menjamin kesela- matan mereka, mereka diantar dari Bandar Udara Pattimura ke kota Ambon dengan menumpang sebuah helikopter yang telah disediakan oleh ALRI. Sesudah pertemuan dengan pemuka-pemuka peme-rintah dan juga dengan pemuka-pemuka agama pro-testan dan islam, dirayakan Misa Agung konselebrasi yang dihadiri oleh umat yang memadati gedung serba-guna St.Fransiskus Xaverius di Batu-meja. Hari berikutnya, pagi-pagi, rombongan yang sama, ditambah dengan 23 peserta lain, di antara-nya juga perwakilan islam, naik pesawat Fokker-27 milik AURI ke PP.Kei, yang adalah tujuan utama kunjungan Duta Vatikan ke Maluku itu. Puncak kegiatan Mgr.Fratini di Kei adalah pengresmian Monumen Kristus Raja di bukit Maisbait dekat Gelanit, Kei-Kecil pada tgl. 28 November. Ribuan umat telah berkumpul untuk turut menyaksikan peristiwa bersejarah itu dan bersatu dalam doa syukur atas kurnia Allah yang telah mengembalikan suasana damai di kepulauan Kei.

Selain meresmikan monumen megah itu, Duta Vatikan, yang didampingi oleh antara lain Mgr. P.C. Mandagi MSC dan Bupati Maluku Tenggara, Drs. Husein Rahayaan, sudah lebih dahulu telah me-ngunjungi umat katolik di pesisir barat Pulau Kei Kecil, dan turut memeriahkan perayaan 100 tahun agama katolik masuk Rumat.

Kairatu dan Uraur sasaran perusuh

Pada hari Sabtu tgl. 25 November 2000, pagi-pagi buta, orang kristen di Kairatu dan Uraur (Kilo-4), Seram Selatan, dengan tak terduga diserang secara massal oleh pasukan islam yang datang dari arah Gemba/Waimital, dari Telaga dan juga dari laut. Para perusuh, yang diperkuat oleh pasukan jihad, berhasil membakar 146 rumah, 3 gedung gereja – di antaranya gereja katolik – dan satu gedung SD. Di antara orang kristen seorang dibunuh, sedangkan dari para penyerang tujuh orang terbunuh. Semua orang kristen, termasuk para pengungsi dari Bacan yang berlindung di Kairatu, mengamankan diri ke pegunungan. Dari situ mereka diantar oleh pastor Agus Laritembun ke Piru.

Kesui hancur

Empat desa kristen di Pulau Kesui akhirnya tidak luput juga dari konflik antar golongan di Maluku. Pada tanggal 23 November desa Utta diserang oleh kaum muslim, mengakibatkan terbakarnya gereja dan 4 rumah penduduk. Desa katolik Karlomin di-serang pada hari berikutnya, menuntut korban jiwa lebih dari 50 orang dan terbakarnya 150 rumah penduduk. Juga gedung gereja menjadi mangsa ja-go merah. Tanggal 25 November gilirannya desa Wunin: di situ gereja katolik dibakar, dan juga sebuah sekolah dan 100 rumah masyarakat. Akhirnya, tanggal 26 November, desa Tanasoa menjadi sasar-an serangan muslim. Empat orang kristen gugur; sebuah gereja, sebuah gedung sekolah dan 120 rumah terbakar.

Pada serangan-serangan tersebut tidak semua orang dapat menyelamatkan diri keluar pulau. Dari mere-ka yang berhasil naik speedboat menuju Teor, telah tiba di Tual pada akhir bulan November sebanyak 348 orang ialah 250 orang katolik, 95 orang protestan dan 3 orang islam. Umat yang lain telah lari ke pedalaman. Namun karena P.Kesui tidak luas, maka 625 orang di antara mereka dengan mudah ditangkap oleh para perusuh dan disuruh masuk is-lam bila mau menyelamatkan nyawanya dan nyawa keluarganya.

Ambon rusuh lagi

Sesudah penyerangan terhadap Kairatu di P.Seram, pasukan gabungan TNI mengadakan sweeping di desa Gemba, yang adalah salah satu sarang utama para penyerang. Rupanya kegiatan sweeping itu di-laksanakan dengan kasar, bahkan menyebabkan ke-matian seorang anak. Maka pada tgl. 1 Desember massa Islam, termasuk juga orang-orang perempu-an, datang ke kantor gubernur dengan cara mengancam. Terjadilah tembak menembak, pelemparan batu dan bom, sehingga pasukan keamanan terpak-sa bertindak. Di antara para demonstran dua orang gugur, tiga orang mendapat luka.

Hal ini menyebabkan peningkatan serangan-serang-an di teluk Ambon terhadap perahu motor dan speedboat yang ditumpangi orang kristen. KM California pada pelayarannya dari Gudang Arang ke Galala bersama dengan tiga speedboat jurusan yang sama, menjadi sasaran serangan dari laut dan dari darat, menuntut kematian dua orang dan terlukanya sebelas orang, termasuk tiga anggota POLRI.

Pada tgl. 2 Desember massa islam menyerang Mardika dari arah Batumerah, namun dapat dicegah oleh Yonif 527. Lima pemuda kristen terluka.

Maluku Utara

Orang kristen dan orang islam kecamatan Sahu, P. Halmahera, telah sepakat untuk menghentikan segala permusuhan. Para pengungsi islam sebanyak 465 KK akan segera kembali ke Sahu.

Pemimpin pasukan Jihad Forum Ahlus Sunnah Wal Jammaah, Jaffar Umar Thalib, akan segera meng-ambil langkah untuk memberlakukan "Syariat" (Hukum Islam) di Maluku Utara, sekalipun dengan demikian sebagian Pancasila diingkari. Bagaimana mungkin promotor separatisme ini dengan tak henti-hentinya mencap orang kristen sebagai separatis??

Ambon: berbagai peristiwa

Atas kesepakatan semua Gereja Kristen di Ambon, disahkan pada tgl. 2 Desember Lembaga Koordinasi dan Pengkajian Masyarakat Kristen Maluku (LKPMKM). Tujuan organisasi ini ialah meng-hadapi pelbagai kebutuhan masyarakat Maluku da-lam kaitan dengan kerusuhan dan mencari jalan keluar dari situasi konflik yang sedang berlangsung.

Pada tgl. 6 Desember k.l. 40 pemuda kristen di bawah pimpinan seorang calon pendeta wanita, ber-senjatakan parang dan tombak, sambil menyanyi dengan cara agak provokatif, berarak lewat Jalan A.J.Patty menuju ke mesjid Al-Fatah. Tentu saja orang-orang islam bereaksi mencegah rombongan itu maju lebih jauh. Dalam usahanya untuk memisahkan kedua pihak yang mulai bertikai itu, polisi melepaskan tembakan, mengakibatkan terbunuhnya seseorang dan terlukai beberapa orang. Pendeta tsb. kemudian mengklarifikasikan aksi itu sebagai "aksi damai": Tuhan sudah menyuruh dia berbuat demikian. Senjata-senjata dibawa serta untuk diserahkan ke pihak muslim sebagai tanda rekonsiliasi. Akan tetapi pimpinan GPM maupun pimpinan LKPMKM mengungkapkan penyesalannya atas aksi liar itu, yang selain menuntut korban jiwa, juga membuat situasi di seluruh kota Ambon kembali menjadi kacau, sehingga akhirnya tiga orang mati dan dua puluh terlukai.

Pada tgl. 18 Desember ketua eksekutif Front Kedaulatan Maluku (FKM), Dr. A.Manuputty membuat suatu proklamasi yang menurut Penguasa Da-rurat Sipil serta Aparatnya berbau RMS dan separatis. Sekalipun kemudian Dr.Manuputty menjelaskan bahwa bukan demikianlah maksudnya, namun pada tgl. 10 Januari ia ditahan. Sekelompok orang kristen berdemonstrasi menyampaikan protes terhadap penahanan itu karena dipandang diskriminatif: Jaf’ar Umar Thalib, pemimpin laskar jihad dalam segala pernyataannya yang bersifat provokatif, dibiarkan menghasut kaum muslim, namun tidak ditindaki! Maka Kapolda Firman Gani memutuskan untuk menunda penahanan tsb.

Pada tgl. 9 Januari diresmikan Team Sensor Berita, dengan tujuan untuk mengendalikan pemberitaan melalui mass media. Tindakan ini pun mendapat tantangan keras dari masyarakat dan fakto tidak pernah diefektifkan.

Kesui dan Teor: fokus perhatian seluruh dunia

Orang-orang kristen di pulau Kesui, yang sebagian besar termasuk umat katolik, secara paksa diislamkan oleh laskar jihad yang telah berdatangan dari PP. Geser dan Gorong. Terhadap laki-laki maupun perempuan dilakukan penyunatan dengan cara yang ngeri. Kepada mereka pun dibagikan atribut-atribut muslim seperti kopiah dll. Pelanggaran hak-hak asazi manusia yang sangat berat itu mendapat kecaman di media massa dan banyak pemerintahan di seluruh dunia. Sekarang juga baru umum diketahui bahwa di PP. Seram, Buru dan Bacan lebih dahulu sudah diadakan islamisasi terhadap k.l. 6.000 orang kristen.

Pada tgl. 1 Desember tiba di Kesui KM Shinta untuk mengevakuasikan orang-orang kristen. Namun kaum muslim menyatakan bahwa tiada orang kristen yang mau dievakuasikan! Akhirnya hanya beberapa orang berhasil lolos dengan kapal itu. Tanggal 8-10 Desember Gubernur mengirim sebuah tim investigasi ke Kesui. Tim tersebut terdiri atas lima orang muslim dan dua orang katolik, termasuk pas-tor Ferry Binsasi SVD. Mereka dapat bertemu de-ngan hanya sebagian kecil orang-orang kristen di sana. Pertanyaan apakah telah masuk islam atas kemauannya sendiri, diajukan kepada mereka sementara dikelilingi orang-orang muslim. Maka terpaksa semuanya menjawab: Atas kemauan sendiri! Kemudian, dalam evaluasi di Ambon, Gubernur pun mengaku bahwa tim itu telah gagal dalam perutusannya, dan akan dikirim lagi sebuah team yang lebih representatif, yang akan melakukan interogasi di tempat "netral" yaitu di atas kapal. Tim itu berangkat ke Keswui pada tgl. 13 Desember dan kembali ke Ambon pada tgl. 18 Desember. Di an-tara anggotanya terdapatlah antara lain Pastor Ferry Binsasi SVD, Pastor Agus Laritembun Pr, Bapak Silas Ratuanak (a/n LKPMKM) dan Bapak Ferry Belekubun (a/n Bimas Katolik). Kali ini juga pemeriksaan terhadap orang-orang kristen terjadi dalam situasi kacau-balau: orang-orang muslim diberi kesempatan untuk dengan seenaknya naik kapal itu untuk menyaksikan interogasi di tempat yang dimaksudkan sebagai tempat "netral" itu. Dalam ba- nyak hal kepala keluarga naik kapal, tetapi anak-isterinya ditahan di darat. Maka terpaksa bapak-bapak itu menjawab telah masuk islam atas kehendak sendiri… Akhirnya yang dapat diloloskan ha-nya 172 orang, yakni 7 orang muslim, 18 orang protestan dan 147 orang katolik. Mereka diantar ke Ambon dan diberi penginapan sementara di kompleks gereja Hati Kudus Yesus di Batugantung, kemudian di "Stella Maris", Benteng.

Sudah lebih dahulu Teor pun menjadi sasaran pa-sukan jihad yang berasal dari Gorong dan Geser itu. Di Teor ada enam desa katolik dan satu desa kristen bercampuran protestan dan katolik. Memperhatikan situasi yang buruk di pulau tetangga Kesui maka banyak orang kristen mulai mengemas dan me-nyelamatkan diri ke Kei. Pada tgl. 11 Desember kampung Korfutin dan Korlokin diserang. Dan di Teor pun mulai proses islamisasi dengan penyunat-an 140 penduduk.dari kedua desa tsb.

Forum Komunikasi Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal’ Jamaah di Yogyakarta tentu menyangkal ada-nya paksaan terhadap orang kristen untuk masuk islam. Melalui internet mereka siarkan berita bahwa "segerombolan Pastor" sementara berusaha memancing orang-orang mualaf (muslim baru) itu un-tuk kembali masuk kristen, dan mereka berhasil "meracuni" 170 orang yang mereka bawa ke Ambon dengan kapal laut. Akan tetapi Guburnur Propinsi Maluku pun mengaku bahwa memang di sini terjadilah islamisasi secara paksa, dan amat perlulah semua orang kristen dari Kesui dan Teor dievakuasikan ke tempat yang aman.

Pada tgl. 19 Desember Mgr. P.C. Mandagi MSC selaku uskup Diosis Amboina, mengedarkan via e-mail sebuah surat terbuka berupa SOS kepada Se-kretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kepada semua Kepala Negara serta para Duta Negara yang bersahabat, memohon membuka mata terhadap ke-tidak-mampuan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik di Maluku, yang kini sedang memuncak pada peristiwa islamisasi umat kristen di PP. Kesui dan Teor. Diminta dengan sa-ngat antara lain supaya dikirim team investigasi in-ternasional serta pasukan keamanan internasional. Beberapa angka yang disebut dalam surat ini me-nyangkut kasus Kesui/Teor: di P.Kesui, dari ke-692 orang katolik, sedikitnya 473 orang masih hidup dan telah diislamkan; nasib dari orang-orang katolik yang lain tidak diketahui. Di P.Teor, dari ke-841 orang katolik, 142 sudah diislamkan; k.l. 300 telah berhasil menyelamatkan diri ke Kei, sedangkan 400 yang lain masih mempertahankan kampung halamannya. Belum terhitung orang-orang kristen protestan yang mengalami nasib serupa.

Sebutir sejarah Gereja Katolik di Kesui & Teor

Dalam harian "Siwalima" tertanggal 4 Januari 2001, Abdullah Wattimena SH menegaskan bahwa orang-orang kristen di PP.Kesui dan Teor telah memeluk agama islam dengan hati murni dan suka rela. Ia pun berkata bahwa mereka dengan demikian "kembali ke agama nenek moyang mereka". Katanya dahulu kala ada orang-orang misionaris datang dan dengan licik membujuk sejumlah orang islam di situ untuk beralih masuk agama katolik. Sungguh mempermalukan bahwa seorang Sarjana Hukum berani menulis omong kosong yang demi-kian. Fakta yang dapat dibaca dalam berbagai buku sejarah adalah sbb.:

Dalam bulan Mei tahun 1893 pastor Le Cocq d’ Armandville SJ datang dari Bomfia (Seram Timur) mengunjungi Kesui sebagai misionaris pertama. Di antara orang-orang kafir di situ ia menemukan ba-nyak yang hatinya terbuka untuk menerima Kabar Gembira. Ia pun membaptis 33 orang. Atas permin-taannya, Vikaris Apostolik (Uskup) di Batavia (Jakarta) pada tgl. 10 Maret 1894 mengutus seorang pastor, yaitu pater W.Hellings SJ, ke Kesui. Bruder J. Zinken SJ datang dari Langgur untuk membantu membangun pastoran dll. Tetapi tak lama kemudian terjadilah konflik antara warga muslim dan umat katolik. Untuk menghindarkan penumpahan darah, Pater Hellings dipanggil kembali. Gantinya, sewaktu-waktu pater van der Heyden SJ datang dari Langgur untuk melayani umat. Namun tak lama kemudian dia pun disuruh menghentikan pelayanan itu. Maka dari sekitar tahun 1896 sampai tahun 1931 tidak pernah ada seorang pastor datang melayani umat di Kesui dan Teor. Sungguh mempesonakan bahwa selama 35 tahun itu umat katolik tetap mempertahankan agamanya!

Ambon: Prosesi Pimpinan Gereja-Gereja

Pada tgl. 23 Desember k.l. 500 pimpinan dari semua denominasi Gereja Kristen, Pendeta, Pastor, Majelis, DPP, termasuk juga Mgr.P.C.Mandagi dan Mgr.A.Sol, berkumpul di aula gedung serba-guna St.Fransiskus Xaverius; dari situ berarak ke gereja Maranatha untuk ibadat ekumene. Sebuah delegasi diutus ke kantor Gubernur untuk menyerahkan suatu manifest di dalamnya antara lain diungkapkan protes terhadap islamisasi Negara Pancasila Republik Indonesia.

Pulau Seram: berbagai insiden

Pada tgl. 5 Desember, di Masohi, seorang petugas polisi kristen dibantai oleh segerombolan pemuda muslim.

Pada tgl. 20 Desember tiga orang kristen yang de-ngan motor pok-pok sementara memancing di laut dekat Amahai, diserang oleh beberapa orang muslim yang mempergunakan speedboat, mengakibatkan satu orang kristen hilang. Peristiwa ini memicu serang-menyerang di darat, menuntut lagi korban jiwa. Memperhatikan situasi yang kurang kondusif itu, para suster MM memutuskan mengevakuasikan anak-anak panti asuhan Masohi ke Ambon.

Maluku Utara

Pada tgl. 23-24 Desember Wapres Megawati Sukarnoputri mengunjungi beberapa lokasi di Maluku Utara dalam rangka proses rekonsiliasi yang sementara berlangsung di sana. Tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain Soasiu di P.Tidore, Malifut, Tobelo dan Galela di P.Halmahera dan juga P.Bacan. Di kampung islam Susupu, yang telah hancur total, dikatakannya: "Suatu saat di waktu-waktu mendatang, saya akan kembali ke sini, untuk bersama dengan kalian menari dan bernyanyi". Na-mun, apakah sungguh semua pengungsi Maluku Utara sudah dapat kembali lagi? Dengan betapa mudah sebuah insiden kecil pun dapat lagi mengacaukan situasi! Entah bagaimana pun juga, Sultan P.Bacan bersama para Kepala Adat dengan didukung oleh masyarakat islam di P.Bacan menyerukan kepada orang-orang kristen yang telah meng-ungsi ke Tanimbar, untuk kembali ke Bacan. Mereka berjanji akan datang menjemput mereka dengan kapal laut.

P.Seram Utara – Wahai, Salas dan Hatualang

Wahai, tadinya bagaikan tak tergoyangkan, menjadi pelabuhan alias tempat pengungsian yang aman ba-gi baik orang kristen maupun orang muslim. Namun awan gelap mulai meliputi warga Wahai ketika pada tgl. 16 Januari 2001 beberapa bom rakitan meledak. Ketika pada H.Minggu tgl. 21 Ja-nuari orang-orang kristen berada di gereja masing-masing, datanglah massa islam dari beberapa desa sekitar dan membakar lebih dari 60 rumah penduduk kristen. Semua orang kristen lalu me-nying-kir ke perbukitan di sebelah selatan Wahai, me-nunggu dievakuasikan ke tempat yang aman.

Makin tersingkap bahwa terjadi islamisasi secara terpaksa bukan hanya di Kesui dan Teor, tetapi juga di Salas, dekat Bula, Seram Timur. Tahun lalu, tgl. 9-10 Januari 2000, kedua desa Dawang Dua dan Solang Gompia diserang, maka kaum kristiani mengungsi ke Salas. Ketika pada tgl. 22 Juli ber-ikutnya Salas pun diserang, maka para pengungsi itu bersama dengan para warga Salas, mencari perlindungan di pegunungan. Namun atas ajakan pa-sukan keamanan mereka turun kembali ke Salas di mana mereka ditampung di gedung Serba Guna dan di Markas TNI. Tak terduga tiada perlindungan sa-ma sekali bagi mereka di situ dan terpaksa 250 orang kristen menyerah untuk disunat dan masuk islam demi menyelamatkan hidupnya. Selama ini pemerintah dan pasukan keamanan setempat telah menipu dunia-luar dengan menyatakan bahwa di Salas semuanya baik-baik.

Dusun Hatualang, bagian dari desa Alang Asaude, di ujung barat P.Seram, diserang oleh k.l. 500 muslim yang tiba di pantai dengan memaki dua perahu motor, lalu membakar dusun tersebut. Seorang ang-gota Yonif 731 tertembak mati dalam peristiwa itu.

Ambon: baik dan buruk silih berganti

Atas usulan Gubernur dan atas prakarsa Kapolda Maluku, pada tgl. 17 Januari 1000 anak, yakni 500 kristen dan 500 muslim, berkumpul di halaman depan kantor Gubernur, Ambon, dan dengan tertib melaksanakan ibadat bersama, suatu contoh bagi kaum dewasa!

Pada tgl. 19 Januari 2001, dalam suatu upacara sederhana namun mengharukan, bertempat di gereja Hati Kudus Yesus di Batugantung, semua peng-ungsi dari Kesui yang berada di situ, 70 orang, diterima kembali dalam Gereja Katolik.

Pada hari itu juga, di malam hari, pos-pos jaga dari Batalyon Gabungan (YonGab) dan Marinir di perbatasan Mardika / Batumerah diserang oleh kelompok-kelompok islam. Selama beberapa hari berikut-nya serangan-serangan berlanjut terus, sehingga akhirnya sedikitnya sepuluh warga islam terbunuh. Dalam aksi sweeping yang dilaksanakan di situ oleh pasukan YonGab, empat warga sipil ditahan. Hal yang menyolok ialah bahwa satu di antara me-reka adalah seorang anggota DPR Daerah Maluku, namanya Darul Kutni Tuhepaly. Ia kedapatan mem-bawa dua bom rakitan.

Konflik antara warga muslim dan Batalyon Ga-bungan itu mencapai puncaknya ketika akhirnya menjadi jelas bahwa pos komando militia islam bermarkas di hotel Wijaya II. Maka pagi-pagi buta, tgl. 22 Januari, tentara masuk hotel tersebut dan menahan 40 orang yang terkumpul di situ. Di an-ta-ra mereka itu terdapatlah 29 anggota TNI dan POL-RI, termasuk empat Perwira Menengah. Yang ter-tinggi pangkatnya adalah Ajun Komisaris Besar Polisi J.Waramas Saragih. Dia ini tiga bulan lalu sudah dimutasikan ke Jakarta, namun masih tetap saja berada di Ambon. Ia pun ditemukan lengkap dengan senjata, bahkan dengan narkotika jua. Bebe-rapa hari kemudian tibalah dari Jakarta sebuah tim, terdiri atas delapan orang TNI dan POM, untuk membuat penyelidikan terhadap kasus penangkapan dan tentang seluruh peristiwa itu.

Kesui / Teor

Pada tgl. 24 Januari 2001 berangkatlah tim evakua-si ke Kesui dan Teor. Tim yang dipimpin oleh Bupati MalTeng Bpk. Rudolf Rukka itu, terdiri atas Gubernur sendiri, lagi pula Ketua Synode GPM, Ketua Crisis Centre Keuskupan Amboina (Pastor Agus Ulahaiyanan Pr.), yang disertai oleh antara lain Pastor G.Esserey MSC, Pastor Ferry Binsasi SVD (Pastor Pembantu Paroki Masohi) dan Pastor Remy Rumlus Pr. (barusan ditahbiskan di Keuskup-an Sorong). Juga MUI mengikutsertakan delegasi-nya. Ada lagi beberapa tokoh pemerintahan lain serta TNI. Dari pihak Kepolisian tiada yang ditunjuk untuk ikut serta. Dari pihak mass media diper-kenankan hanya wartawan dari TVRI, RRI, SCTV dan "Antara" untuk ikut.

Jumlah orang kristen – yang sudah diislamkan – yang pada kesempatan ini dievakuasikan ke Tual adalah 648 orang. Jumlah orang kristen yang ingin bertahan di Utha (Kesui) adalah 81. Di Pulau Teor diadakan pertemuan dengan penduduk beberapa de-sa yang telah berhasil menangkis serangan-serang-an.

Sekalipun Gubernur menyatakan bahwa "kasus Kesui sudah selesai", namun jelaslah bahwa ini hanya berlaku untuk unsur keamanan. Akan tetapi dituntut lebih dari itu: para provokator, perusuh dan pelanggar HAM harus dihadapkan ke pengadilan, dan orang-orang kristen harus dikembalikan ke tanah tumpah darah mereka untuk selanjutnya hidup dalam damai seperti sediakala.

ISLAMISASI PAKSA

< Sepucuk surat >

Melalui e-mail diterima sebuah surat terbuka dari seorang islam bernama Miriam Abdulah, dialamatkan kepada Christina Sagat dkk. Nyatalah dengan "Christina" dimaksudkan di sini keseribu umat kris-ten Kesui – sebagian besar umat katolik – yang da-lam bulan Desember yang lalu telah dipaksa melepaskan iman kristiani dan beralih ke agama islam.

Yth. Saudariku Christina Sagat,

Sedih hatiku pada mendengar kenyataan bahwa dalam jaman modern seperti ini masih ada saja orang yang dipaksa dan diancam bukan saja untuk menyangkal agamanya tetapi juga untuk memeluk agama lain yang tidak diyakininya. Kesedihan hatiku semakin menjadi-jadi karena usaha paksa ini justru dilakukan oleh saudara-saudaraku umat Islam (baca: Laskar Jihad) terhadap saudara sebangsanya sendiri. Sebenarnya sudah lama aku mendengar issue ini, tetapi aku tidak mempercayai-nya karena kepalaku, sama seperti kepala banyak umat Islam lainnya, telah dipenuhi dengan indoktrinasi bahwa umat Kristen selalu melakukan Kristenisasi, sementara kami umat Islam tidak pernah melakukan Islamisasi.

Kesalahan kami adalah bahwa kami selalu melihat umat Nasrani dalam kerangka sejarah yang lama seolah-olah umat Nasrani tidak pernah berubah dan tidak pernah menyadari akan kehidupan umat manusia yang semakin majemuk.

Tetapi setelah issue Islamisasi dengan paksaan dan ancaman ini dibicarakan di parlemen Inggris, di senat Amerika Serikat, di UNO, di Australia, dan terutama setelah beberapa teman Muslimku me-yakinkanku, barulah aku sadar bahwa proses Isla-misasi dengan kekerasan dan ancaman bukan lagi suatu issue tetapi suatu fakta dan fakta ini sangat menyedihkan aku dan sebagian besar umat Islam lainnya.

Kalau selama ini kami diam bukan berarti kami se-tuju, tetapi karena kami sedih dan malu, sehingga dalam kondisi itu kami tidak tahu apa yang harus kami katakan dan sampaikan kepada anda. Kami sungguh menyesal peristiwa ini telah terjadi dan telah menimpa anda, teman dan keluarga anda.

Saudariku Christina, ketika menulis surat ini aku sendiri masih dilanda kebingungan akan sikap MUI terhadap peristiwa ini. Dalam hati aku selalu bertanya: mengapa MUI yang selalu vokal pada issue yang sering mereka angkat yaitu Kristenisasi, seka-rang ini malah tidak bersuara sedikitpun terhadap fakta Islamisasi. Apakah penindasan terhadap hak asasi seseorang untuk bebas memeluk agama apa-pun merupakan hal yang terlalu kecil bagi mereka? Apakah usaha Islamisasi dengan paksaan dan de-ngan kekerasan, yang bagiku jelas melanggar kaidah agama Islam, merupakan hal yang terlalu remeh untuk mereka bicarakan? Terus terang aku ti-dak tahu jawabnya! Tetapi aku berharap dan berdoa agar MUI memiliki kerendahan hati untuk bersuara menyampaikan permohonan maaf kami umat Islam kepada anda dan teman-teman anda. Namun demikian saudariku Christina, sama seperti aku, anda tidak usah berharap terlalu banyak pada MUI, karenanya melalui surat ini aku, dan aku ya-kin banyak umat Islam Indonesia, ingin menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya atas ulah sebagian kecil dari kami yang memaksa kamu dan banyak teman dan saudaramu mengingkari agamamu itu.

Terus terang, usaha pengIslaman paksa itu terjadi karena masih ada di antara kami yang berpikirkan utopis bahwa seandainya seluruh Indonesia ini menjadi Islam, maka Indonesia ini akan menjadi aman dan tenteram. Sebagian dari kami tidak belajar dari pengalaman negara Iran atau bahkan Afghanistan di mana yang terjadi bukannya keda-maian tetapi chaos dan kesewenang-wenangan. Kesalahan itu tentu saja bukan terletak pada Islam sebagai agama, tetapi pada interpretasi orang terhadap Islam, yang dalam keinginan dan nafsu berkuasanya menjadikan Islam sebagai kuda tung-gangan. Padahal aku yakin sebagian umat Islam menyadari bahwa kehidupan yang damai dan te-nang itu hanya terjadi bila kita mulai belajar menghargai perbedaan kita dan belajar saling mempercayai.

Aku berharap dan berdoa agar saudari Christina tidak dikejar rasa bersalah dan berdosa oleh kare-na penyangkalan iman anda itu. Aku percaya Allah SWT yang kita percayai sebagai maha pengasih dan maha penyayang akan mengampuni pengingkaran yang terpaksa anda lakukan. Kesalahan toh bukan terletak pada anda yang dipaksa, tetapi ke-pada mereka yang memaksa dan mengancam hidup anda.

Saya berharap anda tidak perlu membesar-besar-kan kesalahan anda itu. Allah SWT yang maha pengasih dan maha penyayang itu masih memiliki cukup banyak stock pengampunan untuk anda.

Saudariku Christina, aku juga ingin meyakinkan anda bahwa sebenarnya metode Islamisasi dengan kekerasan dan paksaan bukanlah metode yang dianut oleh sebagian besar umat Islam di manapun. Bagi kami metode paksaan dan ancaman itu bukan saja melanggar hak asasi manusia tetapi juga ia ti-dak Islami. Kami umat Islam percaya bahwa iman kepada Allah SWT seharusnya lahir dari kedalam-an hati nurani seseorang dan hadir di dalam ke-gembiraan dan kesukacitaan. Keberimanan yang dipaksa bukan saja iman yang tumpul, tetapi juga iman yang opportunis. Mungkin anda telah mendengar bahwa berapa banyak mereka yang tiba-tiba meletakkan gelar Haji di depan namanya dan berapa banyak yang tiba-tiba menggunakan headscarf (kerudung kepala) dalam kesehariannya, tetapi pada saat yang sama menjadi biang keladi penderitaan rakyat Indonesia. Itulah yang saya maksudkan iman opportunis yang tidak muncul dari kedalaman hati nurani. Islam mengajarkan bahwa kami harus menghormati people of the books (umat yang mempunyai Kitab), terutama Nasrani dan Yahudi. Itu berarti agama kami meng-akui bahwa pewahyuan Allah SWT itu bukan saja terjadi dalam sejarah agama Islam tetapi juga terjadi dalam sejarah pengalaman keberagamaan kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Itulah sebabnya selama hidupnya nabi sangat toleran kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Bagi kami, nabi Ibrahim bukan saja nabi milik umat Yahudi tetapi juga diakui sebagai milik umat Islam. Nabi Isa bukan saja nabi milik umat Nasrani tetapi juga milik kami umat Islam. Bahkan nabi Isa, yang saudari Christina panggil Yesus Kristus itu, mempunyai peran yang sangat sentral dalam kehidupan umat Islam. Kami, umat Islam, diajarkan bahwa pada jaman akhir nanti nabi Isa, terlepas dari adanya perbedaan pandangan antara Islam dan Nasrani tentang ke-ilahian nabi Isa, akan menghakimi seluruh umat manusia apapun agamanya. Oleh karena alasan inilah maka kami umat Islam diperintah untuk menghormati baik umat maupun agama Nasrani (dan Yahudi). Dengan demikian ada link yang sa-ngat erat dalam tradisi pewahyuan Allah di dalam agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Itulah sebabnya, dilihat dari sudut mana pun, umat Islam tidak seharusnya melakukan upaya pertobatan paksa dan ancaman terhadap umat Nasrani (maupun umat agama mana pun) untuk dijadikan Islam.

Saya percaya bahwa surat permohonan maaf ini tidak akan cukup mengobati penderitaan yang telah anda alami, tetapi saya juga percaya pada kebesaran hati anda yang selalu siap mengampuni. Meski peristiwa itu sangat menyakitkan anda, ijin-kanlah kami belajar melalui kesalahan dan kekhilafan yang telah kami perbuat. Saya berdoa agar anda selalu dikuatkan oleh Allah SWT dan semoga pertikaian dan permusuhan di Maluku dapat diselesaikan melalui ikatan persaudaraan dan perda-maian.

Saudarimu, Miriam Abdulah

DOA SEORANG ISLAM UNTUK UMAT KRISTEN

Ya Allah Ya Tuhan seluruh umat yang beragama

Kami bersembah kepada-Mu

dan memohonkan doa kami ini

Tuhan Yang Maha Memelihara seluruh agama

Peliharalah agama Kristen di negeri kami ini

Janganlah Engkau membiarkan saudara kami

Umat Kristen menderita

Ya Tuhan Yang Maha Mendengar doa

Inilah doa kami

Jangan jauhkan persatuan bangsa kami

Dan janganlah Engkau membiarkan

neraka permusuhan ini

Ya Allah Yang Maha Mengabulkan doa

Pulihkanlah ketentraman dan kesejahteraan

kepada saudara kami umat Kristen

Jagalah mereka dari perbuatan-perbuatan anarki yang Engkau murkai

Kuatkanlah mereka sebagaimana

Engkau menguatkan pembaptisanMu kepadanya

Tuhan lembutkanlah hati umat Islam

dan umat Kristen

Nyatakan cinta dan kasih sayang-Mu

kepada semuanya

Janganlah Engkau membiarkan

api dendam menyala-nyala di antara keduanya

Ya Allah berikanlah perlindungan-Mu

kepada bangsa kami

jagalah persatuan bangsa kami

Dan ampunilah segala dosa-dosa kami

kabulkanlah doa kami ini Ya Allah - Amin

Salam Salamullah

Jakarta, 25 Desember 2000

 

Lembaga Kajian – Majelis Taklim – Bhakti Sosial

 

TENANG DAN TEGANG

Ambon kondusif

Selama bulan Februari 2001 keadaan di Ambon kondusif, sekalipun kedua pihak – islam dan kristen – masih hidup terpisah-pisah. Ada jurang perasaan yang mengisolasikan kedua belah pihak satu dari yang lain. Misalnya tidak jarang dapat didengar seorang ibu menegur anaknya yang nakal dengan kata-kata seperti: "Awas, nanti saya panggil Acang datang!" Tak terelakkan juga terjadinya sejumlah konflik kecil, antara lain :

Sementara itu koordinator Laskar Jihad di Yogyakarta, Rustam Kastor, melontarkan ancaman bah-wa, jika Universitas Pattimura mau dibangun kembali, ia akan mengerahkan ribuan umat islam untuk menghancurkannya kembali.

Di Pengadilan Negeri di Ambon terdapatlah hanya satu orang hakim. Ketujuh hakim yang seharusnya sudah datang dari luar Maluku sejak bulan Oktober 2000, hingga kini belum tunjuk muka.

Ada sejumlah gejala yang membuktikan kehendak baik pada sebagian masyarakat. Misalnya

Kunjungan delegasi Uni Eropa

Pada tgl. 20 Februari tibalah di Ambon sebuah delegasi dari Uni Eropa, di antaranya Duta Besar Swedia, Belanda, Inggeris dan Kuweit. Termasuk juga utusan-utusan dari Australia, Jepang dan Ame-rika Serikat. Turut serta pula dalam rombongan itu Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Ir. Er-ma Witoelar. Rombongan itu sempat mengunjungi sejumlah lokasi yang telah hancur, maupun lokasi di mana pembangunan-kembali sudah mulai berjalan. Mereka meninjau juga beberapa kamp peng-ungsi. Di malam hari mereka bersama dengan sejumlah tokoh setempat dijamu oleh Gubernur Dr. M.Saleh Latuconsina di kediamannya. Pada kesempatan itu Gubernur menjelaskan prioritas-prioritas yang diajukan oleh pemerintah untuk masa mendatang, yaitu: pengurusan pengungsi, perumahan, pembangunan-kembali gedung-gedung ibadat dan sarana-sarana umum, transportasi, disiplin di ka-langan pasukan keamanan, penanggulangan media massa dan masalah pasukan jihad.

Pada tgl. 22 Februari delegasi tersebut melanjutkan perjalanannya ke Ternate di mana dilangsungkan program sebanding.

Tobelo: repatriasi yang gagal

Di Maluku Utara sedang berlangsung proses repatriasi ialah pengembalian pengungsi ke tempat semula. Hal ini tidak selalu terjadi secara mulus. Ketika pada tgl. 20 Februari dua ribu pengungsi islam siap kembali ke tempat asalnya, ialah desa Garua, Kecamatan Tobelo, keberangkatan mereka dengan mendadak dibatalkan karena hari sebelumnya seorang kristen dari Mamuya terbunuh, membuat hati panas orang kristen setempat.

Pengungsi Kesui / Teor

Ke-648 umat Kesui dan Teor yang dievakuasikan ke Kei Kecil pada akhir bulan Januari, disambut dengan penuh keprihatinan oleh masyarakat Kei, yang berebut-rebut ingin menerima mereka di dalam desanya. Selain masyarakat setempat, Pemerintah, Crisis Centre Keuskupan Amboina dan beberapa LSM pun tidak ketinggalan menangani kebutuhan-kebutuhan mereka. Namun tak sukar ter-kira apa yang menjadi kebutuhan dan kerindunan terbesar mereka, yakni pulang ke kampungnya masing-masing dan hidup di situ dalam damai.

Pertikaian di P.Seram

Pada tgl. 21 Februari dengan tak terduga, kampung Alang Asaude, yang letaknya di ujung Barat pulau Seram, diserang oleh massa islam. Tiga penduduk dibunuh. Yang lain berhasil mengungsi ke Piru. Di waktu-waktu yang silam, kampung itu sudah meng-alami serangan dua kali, yakni pada tgl. 2 Agustus 2000 dan pada tgl. 25 Januari 2001.

Kei Besar

Dalam harian "Siwalima" tertanggal 19 Februari 2001, Bpk. Agus Wenno, Ketua Klasis Kei Besar, memberitahukan bahwa sejak serangan terhadap desa Dangarut pada tanggal 3 Mei 1999, tiada lagi desa di Kei Besar diserang. Keamanan di Elat seka-rang "terjamin 80%". Untuk mencapai keamanan 100% penuh, masih dibutuhkan banyak dialog dan pertemuan di antara kedua belah pihak. Ia pun me-nyatakan bahwa penduduk-penduduk Weduar Fer, Tutrean dan Rerean belum berani kembali ke kampung halamannya.

Sinode GPM

Sinode Gereja Protestan Maluku yang semestinya diadakan dalam bulan Oktober 2000, ditunda sampai tgl. 4–15 Maret 2001. Banyaknya peserta k.l. 400 orang, ialah utusan-utusan dari ke-25 klasis yang masih ada di Maluku, ditambah dengan sejumlah pakar dan peninjau. Tentu masalah penyelesaian kerusuhan di Maluku dan Maluku Utara men-jadi salah satu pokok utama pada agenda rapat. Pada amanat pembukaan, Ketua Sinode, Pdt. Sam-my Titaley, antara lain menyebutkan rugi yang di-derita Jemaat yaitu: 2000 anggota Jemaat GPM te-lah dibunuh, termasuk beberapa orang pendeta; 179 jemaat GPM telah dicerai-beraikan; 190.000 anggo-ta Gereja hidup dalam pengungsian; 192 gedung gereja dan 8 kantor klasis dihancurkan. Dari segi spiritual pun dialami rugi besar: iman banyak anggota jemaat surut karena hati dipenuhi dengan rasa benci dan dendam. Ia mendesak untuk bertobat dan memohon ampun kepada Tuhan.

Pada hari terakhir dipilih Ketua baru Dewan Harian Sinode GPM yaitu Pdt. Dr. I.W.J. Hendriks.

Pengunjung luar-negeri

Di antara orang luar negeri yang sering berdatangan ke Ambon, seperti orang wartawan dan utusan-utusan lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan, ter-dapat juga suatu delegasi yang tiba dari negeri Belanda pada tgl. 12 Maret dan berasal dari wakil-wakil Dewan Mesjid-Mesjid, dari perserikatan Ge-reja-Gereja Protestan di Belanda dan dari organisasi antar agama "Hain". Mereka menyatukan kegiatan mereka untuk rakyat Maluku dalam "Aksi Sela-mat". Mereka memberikan diri diinformasikan oleh berbagai pihak dan golongan di Ambon, termasuk Keuskupan dan Crisis Centre.

Penyesalan atas pernyataan Presiden

Kedudukan Presiden Abdurrahman Wahid sedang goyang. Ia membela diri dengan antara lain me-nyatakan: ‘Jika saya mundur, propinsi-propinsi seperti Aceh, Maluku dan Papua akan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia’. Berbagai pihak kristen di Ambon menyatakan kekecewaannya atas pernyataan ini, seakan-akan kristen Maluku berikhtiar membentuk negara sen-diri, dan tunggu saja kesempatan!

Indonesia, jangan malu minta bantuan!

Mgr. P.C.Mandagi MSC dalam wawancara dengan biro pemberitaan "Antara" mengajak Pemerintah Indonesia untuk jangan merasa malu meminta bantuan luar negeri di bidang keamanan dan politik agar dihindarkan dari desintegrasi bangsa. Kalau Indonesia tidak segan minta bantuan di bidang keuangan dan ekonomi, mengapa harus malu meminta bantuan di bidang-bidang lain juga? Maklumlah ada kuasa-kuasa jahat sedang beroperasi di negeri ini, yang kini untuk sementara waktu telah berpindah ke Sampit dan Palangkaraya; tetapi siapa berani mengatakan bahwa nanti tidak berpindah terus ke Jawa dan daerah-daerah lain pula, menyebabkan anarki dan desintegrasi total?

Tim antar golongan "Baku Bae"

Tim Moslem-Kristen "Baku Bae" dalam perjuang-annya untuk rekonsiliasi dan damai di Maluku, setelah mengadakan pertemuan dan seminar di Denpasar, Yogyakarta dan Makasar, kini menilai situasi di Maluku cukup kondusif untuk mulai kegiatan di Maluku sendiri. Usulan-usulannya sangat konkrit antara lain: membuka jalur-jalur darat ter-tentu, membuka pasar bersama, misalnya di Nania dan Pohon Pule dll.

Pemimpin "grassroots" meninggal dunia

Agus Wattimena, pemimpin pasukan "akar rumput" dan pejuang rekonsiliasi, meninggal dunia pada tgl. 20 Maret, malam hari. Ketika berada di rumahnya di Kudamati, Ambon, sebutir peluru tembus pada dahinya, menyebabkan kematiannya tak lama kemudian. Hingga kini menjadi pertanyaan: siapa yang melepaskan tembakan yang fatal itu? Pe-nguburan dua hari kemudian dihadiri pula antara lain oleh wakil-wakil dari Kapolda dan dari Pangdam XVI Pattimura.

Tembak-menembak

Seakan-akan untuk memperingati warga Ambon bahwa konflik belum selesai, terjadilah pada tgl. 23 Maret, malam hari, aksi tembak-menembak yang hebat antara kelompok-kelompok islam dan pasuk-an keamanan di sekitar Halong Atas, Galala dan Tantui. Dua warga islam dilukai pada peristiwa itu.

 

i

 

 

DIALOG NASIONAL DI LANGGUR

Atas prakarsa The Go-East Institute di Jakarta, dalam kerjasama dengan Crisis Centre Keuskupan Amboina, dengan Pemda Tingkat I dan dengan ma-syarakat setempat, diadakan di Langgur Dialog Nasional Tiga Hari "Pemberdayaan Kebudayaan Lokal Demi Rehabilitasi Dan Pengembangan Masyarakat Maluku Menuju Indonesia Baru". Waktunya: tanggal 15–18 Maret 2001. Sebagai tempat pelaksanaan Dialog tersebut dipilih taman memorial Mgr. Johannes Aerts dkk., di mana untuk maksud itu telah didirikan tenda-tenda raksasa. Jumlah peserta kurang-lebih 1500 orang, berasal dari pelbagai kalangan dan golongan dari seluruh Maluku dan Maluku Utara. Walaupun beberapa pembicara yang secara khusus diharapkan, antara lain MenkoSosPolKam dan Gubernur Maluku, pada saat ter-akhir berhalangan, namun kegiatan ini berlangsung dengan sukses dan dalam persaudaraan besar antara semua golongan dan menghasilkan "Pesan Langgur" serta Rekomendasi-Rekomendasi sbb.

PESAN LANGGUR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan dan sambil percaya dan berharap penuh pada kekuasaanNya, dan demi menunjang tinggi martabat manusia, kami para peserta Dialog Nasional dengan tema "Pemberdayaan Nilai-Nilai Budaya Lokal Masya-rakat Maluku dan Maluku Utara menuju Indonesia Baru" di Langgur, Tual, Maluku Tenggara sebagai berikut:

  1. Kami akan memperkuat tekad dan tetap berusaha tanpa rasa putus asa untuk mencari jalan keluar dari pertentangan, kekerasan dan kemelut yang melanda berbagai daerah di Maluku dan Maluku Utara.
  2. Sambil menyadari betapa pentingnya dan manfaat Dialog Nasional di Langgur, kami ingin menegaskan di sini bahwa Dialog di Langgur ha-nyalah salah satu tahap dari proses yang masih harus diteruskan dalam menciptakan kesempatan untuk membicarakan dan menyelesaikan masalah Maluku dan Maluku Utara atas cara yang terbuka dan melibatkan semua pihak yang berkepenting-an.
  3. Mempertimbangkan berbagai perbedaan yang ada di kalangan penduduk Maluku dan Maluku Utara, baik menyangkut etnik, agama dan bahasa, maka kami mengusulkan untuk menjadikan adat dan rumah adat sebagai tempat yang dapat me-nampung dan mempertemukan semua pihak yang ada di Maluku dan Maluku Utara.
  4. Kami juga menyatakan kesediaan, uuntuk menjadi duta yang membawa gagasan dan komitmen Langgur ke dalam masyarakat kami masing-ma-sing, demi penyamaan persepsi mengenai konflik, rehabilitasi masyarakat Maluku dan Maluku Utara yang menderita banyak kehancuran dan kerugian akibat konflik yang berlarut-larut, dan demi pengembangan masyarakat Maluku dan Maluku Utara dalam kerangka Indonesia Baru.
  5. Pesan Langgur ini, dibuat untuk menampung as-pirasi para peserta Dialog Nasional dan menyerap keinginan yang semakin meluas di kalangan masyarakat Maluku dan Maluku Utara, untuk meng-akhiri pertentangan dan kekerasan yang telah me-nelan demikian banyak korban, dan untuk me-ngembalikan kehidupan bersama di Maluku dan Maluku Utara sebagai sediakala, sebagaimana berlangsung beratus-ratus tahun, karena dimungkinkan dan didukung oleh nilai-nilai budaya lokal yang dihormati oleh berbagai kelompok budaya di Maluku dan Maluku Utara.

Langgur, 18 Maret 2001

Pesan Langgur ini ditanda-tangani oleh para pemimpin adat setempat setelah membicarakannya dengan kelompok mereka masing-masing.

REKOMENDASI UMUM

DIALOG NASIONAL LANGGUR

  1. Dialog Nasional yang berlangsung di Langgur, Tual, Maluku Tenggara, 15-18 Maret 2001, telah menetapkan tiga fokus utama untuk seminar dan Lokakaryanya. Ketiga masalah yang dibahas ada-lah mencari jalan menuju resolusi konflik Ma-luku, Rehabilitasi Masyarakat Maluku dari kehancuran akibat konflik selama 2 tahun lebih, dan memikirkan strategi pembangunan dan pemba-ngunan masyarakat Maluku dalam kerangka Indonesia Baru.
  2. Resolusi konflik telah dibahas dengan merujuk pada kemungkinan dan hambatannya. Umum di-sepakati, bahwa konflik selama 2 tahun terakhir telah meluas dan berlarut-larut, karena banyak nilai budaya dan pranata sosial setempat, tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya dan tidak mendapat perhatian secukupnya. Hal ini terjadi akibat tekanan birokratisasi selama Orde Baru, maupun karena tekanan pengaruh-pengaruh kebudayaan asing yang masuk melalui proses glo-balisasi. Disinyalir pula, bahwa selama konflik berlangsung, pranata sosial di Maluku, telah di-buat menjadi tidak berfungsi, karena campur ta- ngan yang berlebih-lebihan dari pihak luar.
  3. Untuk memperkuat kembali nilai-nilai budaya dan pranata sosial setempat, maka diusulkan dibentuk suatu Lembaga Studi dan Konsultasi Adat. Demikian pula para Sultan dan Bapak Raja diusulkan agar tetap menjadi pemimpin adat dan tidak menjadi bagian dari pemerintahan formal, sedangkan struktur yang selama orde baru diharuskan mengikuti struktur desa di Jawa, diusulkan agar dikembalikan ke struktur desa adat.
  4. Perlu ditegaskan di sini bahwa menetapkan buda-ya lokal sebagai pegangan kehidupan bersama, ti-dak perlu menyebabkan penolakan terhadap para pendatang dari luar yang ingin bermukim di salah satu daerah di Maluku..Yang dituntut hanyalah agar mereka menyesuaikan diri dengan sistim budaya lokal dan menghormatinya dalam praktek sehari-hari.
  5. Mono-dualisme Siwa-Lima yang demikian fundamental dalam sistim kepercayaan orang Ma-luku, hendaknya dapat diterapkan dalam melihat dan menerima kelompok Islam dan Kristen sebagai dua sisi yang berbeda dari satu hakekat yang sama, yang saling mengandaikan.
  6. Sejauh menyangkut struktur sosial Masyarakat Maluku, tiga lapis strata sosial dalam tradisi Ma-luku, yaitu Mel, Ren, dan Iri dapat dimanfaatkan secara kreatif untuk mendorong berfungsinya kembali pranata-pranata sosial yang ada dalam tradisi Maluku.
  7. Hukum adat yang selama beratus-ratus tahun telah terbukti dapat mengatur kehidupan bersama di antara berbagai kelompok budaya di Maluku, dapat dipergunakan sebagai penunjang hukum negara sesuai dengan azas "Di mana adat punya tempat duduk, di situ hukum punya tempat tinggal". Sekalipun demikian, penerapan kebijaksa-naan-kebijaksanaan adat harus mempertimbangkan konteks di mana satu peraturan adat dapat diterapkan atau tidak dapat diterapkan.
  8. Rehabilitasi masyarakat Maluku, perlu memberi perhatian kepada beberapa jenis kehilangan dan kehancuran yang amat mencolok, berupa kehilangan perumahan, pekerjaan, pendidikan dan hancurnya prasarana umum.
  9. Karena itulah masalah pengungsi, pendidikan alternatif dan penanganan anak-anak yang bertumbuh dalam kekerasan selama konflik, perlu diberikan prioritas utama.
  10. Mengingat bahwa masa depan Maluku sepenuhnya tergantung pada kaum mudanya sebagai sumber daya manusia dan sumber daya masa depan, maka perhatian khusus perlu diberikan kepada mereka yang mengalami putus sekolah akibat konflik yang terjadi dan agar dicari cara-cara baru untuk mengintegrasikan mereka kembali, ke dalam pendidikan formal yang tidak dapat mereka teruskan bukan karena kesalahan mereka.
  11. Pembangunan dan pengembangan masyarakat Maluku di waktu-waktu mendatang perlu memanfaatkan momentum otonomi daerah yang diterapkan semenjak Januari 2001 dan memberi penekanan khusus kepada ekonomi kerakyatan yang didasarkan pada kemampuan memanfaatkan sumber daya lokal dan kesempatan yang diberikan oleh ekonomi Nasional dan Internasional.

Langgur, 18 Maret 2001

 

Delegasi ke Europa

Dari tgl. 27 Maret sampai 12 April 2001 Mgr. P.C.Mandagi, Uskup Amboina, bersama dengan empat tokoh lain – baik dari pihak protestan maupun dari pihak islam – berangkat ke Europa untuk berkunjung ke beberapa lembaga internasional di Londen, Geneva dan Brussel. Tujuan utama kunjungan tersebut ialah menjelaskan situasi aktual di Maluku, dan memberi informasi tentang penderitaan rakyat Maluku akibat provokasi politik dari pihak kelompok-kelompok tertentu, baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Sekaligus diminta bantuan untuk mewujudkan rekonsiliasi dan sumbangan untuk rehabilitasi fisik dan psikis.

Radio provokatif

Radio Swasta SPMM (Radio Suara Perjuangan Muslim), Ambon, makin dituduh menyebarluaskan berita-berita palsu, fiktif dan provokatif. Pada tgl. 27 Maret Gubernuir menugaskan Kapolda dan Pangdam untuk menertibkan SPMM itu dan seperlunya mengambil tindakan tegas. Demikian pula kedua perwira itu ditugaskan untuk bertindak terhadap latihan-latihan perang yang sementara dilangsungkan oleh laskar jihad di beberapa lokasi di P.Ambon.

Korban pancingan

Pada tgl. 26 Maret ditemukan jenazah seorang muda bernama Semy Toisuta (26), putera seorang pendeta. Ia telah menghilang sejak sehari sebelumnya. Jenazah ditemukan dalam keadaan mengerikan; ia pun ternyata barusan disunat. Namun umat kristen tidak terpancing untuk membalas dengan kekerasan. Sebaliknya pada beberapa kesempatan orang kristen di Halong-Atas, Passo dan Wailiha berhasil mengamankan orang islam yang tanpa sa-dar telah memasuki daerah kirsten.

Kerjasama GPM – MUI

Ketua Sinode GPM yang baru, pendeta I.W.J. ("Broery") Hendriks dan Sekretaris MUI, Bpk. Malik Selang sepakat untuk berusaha mengambil langkah menuju rekonsiliasi antara kedua pihak yang bertikai.

P.Buru: Serangan terhadap desa kristen

Pada hari Minggu tgl. 1 April k.l. 50 orang muslim dengan memakai senjata organik dengan tak terduga menyerang desa Kase di P.Buru Selatan. Empat warga desa dibunuh, dan tiga warga menghilang. Warga yang lain mengungsi ke Leksula. Sekretaris MUI, Bpk. Malik Selang, mengucapkan pe-nyesalannya atas tindak kekerasan yang tak tertanggung jawab ini.

Pastor F.Miranto MSC, pastor Paroki Mako, P.Buru, sesudah sebuah perjalanan jauh ke pedalaman, pulang ke Ambon dengan laporan-laporan yang sangat menyedihkan tentang situasi sisa-sisa warga kristen di situ. Namun di tengah-tengah terror dari "pihak tertentu" itu banyak di antara me-reka berusaha untuk mempertahankan kekristenannya.

Pembunuhan orang asing

Tgl. 31 Maret dibunuh di Liang, P.Ambon, seorang warga Belanda bernama Jan de Wee (62). Korban itu sering datang ke Liang di mana ia mempunyai dua buah rumah. Adapun motivasi pembunuhan itu tidak diketahui: entah demi merampoki uangnya ataupun karena dicurigai sebagai mata-mata. Jena-zahnya diterbangkan ke negeri Belanda beberapa hari kemudian.

Buku baru karangan Rustam Kastor

Setelah tahun lalu menerbitkan buku berjudul "Konspirasi Kristen dan RMS Menghancurkan Umat Islam di Ambon-Maluku" yang sangat provokatif itu, kini Rustam Kastor menerbitkan lagi sebuah buku yang tak kalah provokatif berjudul "Damai Sekarang atau Perang Berlanjut". Tiada tindakan nyata untuk melarang pengedaran kedua buku tersebut.

Maluku Utara: pengembalian pengungsi

Makin banyak pengungsi baik kristen maupun islam dari P.Morotai, P.Bacan dan P.Halmahera, atas usaha pemerintah setempat, kembali ke tempat semula. Pengangkutan dari Ternate dan Minahasa pada umumnya dengan kapal TNI Angkatan Laut, pengangkutan transmigran dari Jawa Timur dengan kapal penumpang.

Ambon, 13 April 2001

Crisis Centre Keuskupan Amboina

< Bersambung >