From: "Joshua Latupatti" joshualatupatti@hotmail.com
Date: Wed, 24 Oct 2001 10:45:46 +0000
Subject: [alifuru67] KEPADA TIM PENELITI LIPI

KEPADA TIM PENELITI LIPI
------------------------

Salam Sejahtera!

Saudara-saudara sebangsa,
Saya ingin menyampaikan sedikit pesan kepada "Tim Peneliti LIPPI", yang menulis sebuah
buku, dengan memasukkan Maluku sebagai salah satu kasus bahasan. Saya tertarik untuk
memberikan komentar sehubungan dengan digunakannya istilah "akar masalah" di dalam
tulisan/buku tersebut!

TIM PENELITI LIPI:
Kajian Penyelesaian Problem Disintegrasi "Bara dalam Sekam Identifikasi Akar Masalah dan
Solusi atas Konflik-konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua & Riau"; Penulis: Tim Peneliti
LIPI Penerbit: Penerbit: Mizan Bandung, Januari 2001 Tebal: 244 halaman

Buku ini menunjukkan sejumlah bukti; ancaman disintegrasi merupakan kekecewaan rakyat
terhadap pemerintahnya. Runtuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah Presiden Soeharto
pada Mei 1998 menandai berakhirnya era kepengapan dalam dunia sosial politik serta
manipulasi kekuasaan hukum, ekonomi, dan politik di Indonesia

JOSHUA:
Pada dasarnya, alinea di atas saya anggap bagus dan benar! Rezim Orba dan antek-antek
Golkar-Milter/Polisinya, telah menghilangkan sama sekali kepercayaan sebagian besar
rakyat Indonesia, bukan saja terhadap Pemerintah Pusatnya, tetapi terhadap NKRI sediri.
Konsekwensinya, beberapa daerah bergolak, dan ingin memisahkan diri dari NKRI.

Di sini, kalian sebagai Penulis (Tim Peneliti LIPI) telah memberikan "gambaran umum" yang
sangat jelas, tentang upaya pengungkapan "akar permasalahan" dari apa yang kalian
sebutkan sebagai "Konflik-Konflik Lokal", yang menjadi ancaman disintegrasi bagi NKRI.
Artinya, sedikit banyaknya, "akar permasalahan umum" di atas, akan terlihat juga pada
semua daerah yang disoroti, selain dari "akar permasalahan khusus" dari masing-masing
daerah tersebut. Sebagai contoh!

TIM PENELITI LIPI:
Secara ringkas dapat dicatat kekecewaan rakyat Aceh, yakni pembangunan semasa Orde Baru
yang menimbulkan ketimpangan sosial, ekonomi, politik, penghancuran kultur Aceh, dan
faktor eksternal yang ikut mendorong munculnya pergolakan masyarakat Aceh.

JOSHUA:
Jika saya mengklasifikasi alasan kekecewaan masyarakat Aceh di atas, maka secara kasar,
"pembangunan semasa Orde Baru yang menimbulkan ketimpangan sosial, ekonomi, politik",
akan saya masukkan sebagai "akar masalah umum",sedangkan "penghancur an kultur Aceh, dan
faktor eksternal" (ditambah dengan "kekerasan militer" yang juga disinggung pada bagian
lain), sebagai "akar masalah khusus"!

Yang saya coba katakan dengan mengklasifikasi alasan-alasan di atas adalah bahwa tidak
selamanya, konflik/pergolakan di daerah itu disebabkan oleh masalah "ketimpangan sosial
ekonomi", tetapi dapat disebabkan oleh masalah lain, seperti "intervensi pemerintah
pusat" terhadap tradisi atau budaya lokal, atau "intimidasi melalui aksi unjuk kekuatan
oleh pendatang terhadap penduduk asli", atau "persoalan sosial yang berkaitan dengan
masalah agama" (yang juga sering melibatkan intervensi pemerintah pusat)!

Jadi, kalian bisa saja mengatakan bahwa klasifikasi saya terhadadap "alasan-alasan
konflik di Aceh" di atas tidak benar, tetapi kalian pasti tahu apa yang ingin saya
sampaikan dengan membuat klasifikasi tersebut. Sekarang kita ke Maluku!

TIM PENELITI LIPI:
Hal yang hampir sama terjadi di Ambon dengan runtuhnya tradisi Pela Gandong yang juga
dipicu oleh kesenjangan sosial ekonomi.

JOSHUA:
Kalian sepertinya telah mengadopsi "teori idiot" dari "sosiolog bego-Imam Prasodjo", yang
sekarang lagi laris menjadi "badut bayaran di TV"! Menurut teori idiot si sosilego
(sosiolog bego), Konflik Maluku (Ambon) dipicu oleh "kecemburuan sosial warga asli Maluku
terhadap warga pendatang"! Dengan menggunakan istilah lain, teori idiot tersebut muncul
di dalam tulisan kalian, Tim Peneliti LIPI! Atau kalian ingin berkilah bahwa "kesenjangan
sosial ekonomi" itu tidak ada hubungannya dengan "kecemburuan sosial"? Coba kita lihat
apakah kilah kalian ini bisa masuk akal sehat atau tidak, dengan menganalisa pernyataan
kalian di atas.

Jika "runtuhnya tradisi Pela-Gandong" memang dipicu oleh "kesenjangan sosial ekonomi",
berarti salah satu pihak yang ber-Pela-Gandong, Islam atau Kristen, tampil sebagai pihak
yang lebih superior sosial ekonominya, dari pihak lain! Kenyataannya, pihak Kristen lebih
banyak menekuni bidang Pendidikan dan formal lainnya, sementara pihak Islam lebih
cenderung untuk menekuni bidang informal. Hal ini harus diterima, dengan beberapa
pengecualian, misalnya bahwa bidang informal-perdagangan juga dikuasai oleh warga
keturunan Tionghoa yang mayoritas beragama Kristen, sedangkan beberapa tokoh di bidang
formal juga berasal dari pihak Muslim. Jika itu saja akar masalahnya, maka Konflik Maluku
sudah lama reda, karena belum mampu mengha pus kekuatan Pela-Gandong secara total dari
Maluku!

Jika "runtuhnya tradisi Pela-Gandong" dipicu oleh "kesenjangan sosial ekonomi yang
melibatkan "pihak pendatang", maka sebagai penliti LIPI, kalian seharusnya sudah tahu
tentang motto war ga Maluku, terutama Maluku Tengah, yaitu "biar miskin asal senang",
sehingga istilah "senang" itu hanya sedikit kaitannya dengan masalah sosial-ekonomi yang
katanya menimbulkan rasa cemburu. Jika kecemburuan sosial-ekonomi itu terarah kepada
warga pendatang yang lebih hidupnya mapan (seperti kata si sosiolego), maka pertikaian
seharusnya terjadi antara warga asli dengan warga pendatang. Sementara itu, para
gelandangan dan peminta-minta yang tidur di emper-emper toko dan di los-los pasar, adalah
warga pendatang. Siapa sebenarnya yang harus cemburu pada siapa? Masalahnya adalah jika
"identitas" Maluku/ Ambonnya hendak dihilangkan, dimana Pemerintah NKRI turut mengambil
bagian di dalamnya!

Labih runyam lagi, jika kalian yang berkubang pada badan yang bernama besar seperti LIPI,
lalu mengklaim Konflik Maluku sebagai "cetusan kekecewaan daerah terhadap Pemerintah
Pusat", sehingga menimbulkan "pergolakan disintegrasi" terhadap NKRI! Kalian akan
terlihat "sama dungu"-nya atau "sama bobrok akhlak"-nya dengan "laskar jahad"! Yang
merusak tradisi Pela-Gandong kami adalah "Pemerintah NKRI" sendiri melalui perubahan
"Negeri Adat" menjadi "Kelurahan"! Dengan mengacaukan "keseimbangan" di Maluku melalui
trasmigrasi dan banjir pendatang Muslim, terutama dari Sulsel dan Sultra! Dengan meniup-
niupkan bara "perbedaan agama" dan mengungkit-ungkit masalah RMS, yang sebenarnya adalah
"gambaran kebusukan RI sendiri", tetapi yang ditutup-tutupi dan diputar-balikkan!!
Tanyakan sendiri kepada begundal-begundal seperti si "kopral dungu-Rustam Kastor", dan si
"munafik-Hendropriyono"!

Jika kalian benar-benar bertaraf peneliti dan layak duduk di dalam lembaga yang
berorientasi Ilmiah, seharusnya kalian sudah tahu, bahwa "Konflik Maluku adalah Konflik
Politik rekayasa Jakarta, dengan menunggangi Agama! Sayangnya, kalian hanya setara dengan
si "kopral dungu-Rustam Kastor", si "sosisolego-Imam Prasodjo", "laskar jahad", MUI dll.!
Alangkah malangnya suatu Negara yang memiliki "Lembaga Ilmu Pengetahuan" bermutu rendah
seperti kalian, yang di dalamnya intimidasi dan tekanan serta KKN berbau agama
merajalela! Orang-orang seperti kalian inilah yang memberikan andil ke dalam "akumulasi
kejahatan Pemerintah RI dan NKRI atas Maluku", yang menjadi "akar permasalahan bagi
Konflik Maluku"! Apa solusinya? Pikirkan sendiri jika kejujuran masih mau mendukung
inteligen sia kalian!

Yang jelas dan factual adalah bahwa "Konflik Maluku TIDAK disebabkan oleh kekecewaan
Daerah terhadap Negara, sehingga menimbulkan gejolak yang berbau sepratisme"! Yang
mengingatkkan Maluku tentang RMS adalah "slogan munafik laskar jahad, untuk menghalalkan
kebiadaban mereka", dan "kebusukan Pemerintah NKRI-rezim Orba, malah yang terutama,
Pemerintah NKRI-rezim Reformasi! Jika masih bisa memfungsikan akal kalian secara benar,
pikirkanlah mengapa saya menggunakan istilah "rezim" bagi kedua orde Pemerintahan. Jika
terasa terlalu sukar, analisa saja kasus "pengadilan dr. Alex Manuputty di sini (Ambon)",
sekarang ini!

Salam Sejahtera!
JL.

    Source: geocities.com/baguala67