"Membangun Institusi2 Masyarakat Sebelum GLOBALISASI Menelan Lebih Banyak Korban."

Globalisasi bisa mempermudah Oligopolisasi dan kontrol pemilik modal atas negara!

1. Pengantar.

Jalan menuju Era Globalisasi menjadi semakin lancar dengan dibukanya tirai Cina dan runtuhnya negara2 diktator dengan label "sosialis atau demokrasi" di Eropah Timur. Faktor2 produksi seperti modal, barang dan jasa (terkecuali tenaga kerja) mulai lebih leluasa bergerak keseantero dunia. Teknologi informasi turut memperlancar globalisasi. Kemungkinan suatu negara untuk mengetahui situasi di negara2 lainnya, semakin besar. Pelanggaran2 HAM dapat lebih cepat dimonitor dan ditentang; perjuangan masyarakat kecil yang tertindas (termasuk Timtim) turut diuntungkan dengan adanya arus globalisasi. Kontak antar organisasi2 penegak HAM dan kelompok2 pelestarian Lingkungan Hidup semakin meluas; kontak antar NGOs LN dengan LSM semakin berkembang, kontak antar mahasiswa dan LSM melalui handy, internet/e-mail meningkat sehingga dapat melahirkan revolusi Mei 1998. Dilain pihak arus modal (investasi asing dan hutang luar negri) dalam bentuk "hard currency" mengalir lebih cepat ke Indonesia dengan segala konsekwensi2nya (meningkatnya ketergantungan LN ekonomi Indonesia), meningkat pesat. Kerjasama konglomerat lokal (Suharto’s Cronies) dengan modal asing mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang pesat tetapi konsentrasi modal dalam bentuk oligopoli (dengan tujuan untuk menjamin akumulasi modal) tak terhindarkan. Apresiasi mata uang US $ akibat terus membaiknya ekonomi AS, ketergantungan ekonomi Indonesia dan kerusuhan2 sosial mengakibatkan pembelian US$ secara besar2 an dan meningkatnya beban hutang LN. Akibatnya investasi dalam negri menurun drastis, produksi menurun, PHK meningkat, pengangguran bertambah, daya beli menurun, omset penjualan sektor produksi merosot sehingga terjadilah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Tulisan ini tidak bermaksud menentang globalisasi tetapi ada kondisi sosial politik yang masih harus dibangun agar efek negatif globalisasi dapat diminimalkan.

2. Konsentrasi Modal dan Peran Negara.

Hampir setiap minggu media massa internasional memberitakan fusi atau merger perusahaan2 raksasa. Baru2 iniDaimler Benz membeli Crysler seharga US$ 43 milyard, Travelers membeli Citicorp seharga US$ 82,9 milyard, SBC Communications membeli perusahaan telekomunikasi Ameritech seharga US$ 60,- milyard, Sandoz membeli Ciba seharga US$ 36,3 milyard (nama perusahaan baru mereka Novartis), WordCom membeli MCI Communication seharga US$ 30,- milyard, Union des banques suisses membeli Societe´de banque suisse seharga US$ 24,3 milyard, Thyssen berfusi dengan Krupp sehingga omsetnya mencapai US$ 63 milyard, Boeing berfusi dengan MD Douglass, Mitsubishi Bank membeli Bank of Tokyo seharga US$ 33,8 milyard,- sehingga nilai perusahaan hasil fusi melebihi total Pendapatan Nasional RRC. Fusi diatas dimungkinkan karena tingkat bunga di negara2 OECD relatif rendah karena mereka tengah mengadakan kebijaksanaan konjungtur, yaitu merangsang investasi guna memacu pertumbuhan ekonomi. Tujuan konsentrasi modal itu adalah mempertinggi pangsa pasar mereka dan menghemat biaya2 pengembangan dan penelitian. Setelah fusi biasanya diikuti dengan PHK banyak pekerja2 (tingkat pengangguran di nagara2 EU mencapai 18 juta orang). Dengan demikian pemilik modal dapat menekan biaya produksi dan dengan demikian dapat mengakumulasi modal mereka lebih leluasa lagi sehingga mereka dapat mempengaruhi kebijaksanaan negara untuk mengamankan proses akumulasi modal mereka tsb (ketika Boeing berfusi dengan MD Douglass, Airbus memprotes karena melanggar prinsip "fair competition" yang tertera dalam WTO; protes dicabut ketika negara AS dalam hal ini Presiden Bill Clinton turun tangan dan mengancam penghentian ekspor negara2 EU pemilik Airbus ke AS).

Di Indonesia proses oligopolisasi terjadi melalui berkembangnya proses konglomerasi yang dilicinkan dengan adanya Pakto 1988 (mempermudah pendirian bank2 swasta yang memberikan kredit kepada sektor produksi sesama grup mereka sendiri sehingga timbulah berbagai konglomerat yang nota bene Suharto’s Cronies) dan kebijaksanaan2 deregulasi lainnya. Perusahaan2 asing bekerjasama dengan Suharto’s Cronies mengingat kekuasaan politik yang dapat melancarkan bisnis2 mereka. Investor asing dalam perkembangannya bukan saja berfungsi sebagai produsen barang dan jasa tetapi juga sebagai lembaga pemberi kredit (dalam bentuk commercial paper). Akibatnya hutang LN swasta semakin meningkat bahkan sejak 1996 melebihi hutang LN negara. Perkembangan ini meningkatkan ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekonomi LN. Ketika terjadi apresiasi mata uang US$ karena membaiknya ekonomi AS (rendahnya inflasi, menurunnya defisit anggaran belanja pemerintah, menurunnya tingkat pengangguran, meningkatnya investasi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi AS), ditambah dengan meningkatnya ketidak amanan sosial dan politik, maka terjadilah pemborongan US$ (pelarian modal ke LN) yang meningkatkan kurs US$ sehingga terjadilah krisis mata uang Rp yang meningkatkan harga2 import dan meningkatkan beban hutang LN. Hal ini terjadi sepanjang tahun 1998 dimana perusahaan2 harus menurunkan biaya produksi mereka lewat penurunan volume produksi dan PHK. Dengan kata lain tahun 1998 Indonesia telah dilanda krisis ekonomi yang sangat parah.

3. Meningkatnya penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Selama tahun 1998 investasi asing maupun dalam negri menurun drastis. Menurut majalah Far Eastern Economic Review ekonomi Indonesia 1998 akan menyusut sampai minus 20 persen; inflasi mencapai 60% sementara tingkat pengangguran akan terus meningkat. Menurut Biro Pusat Statistik (yang sejak lama jadi alat legitimasi pemerintah RI, World Bank dan IMF untuk menelorkan indikator2 suksesnya ekonomi orde baru), sampai akhir Juni tahun 1998, jumlah penduduk miskin Indonesia telah mencapai 79,4 juta orang atau 39,1% dari jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai 202 juta. Ketua BPS, Sugito Suwito mengungkapkan bahwa jumlah penduduk miskin saat ini hampir sama dengan penduduk miskin di tahun 1976, dan bisa mencapai 95,8 juta orang pada akhir tahun 1998 ini.

Bila dihitung sejak tahun 1996, secara absolut penduduk miskin saat ini telah bertambah 56,9 juta orang. Untuk menentukan penduduk miskin ini didasakan pada batas garis kemiskinan dengan perhitungan pendapatan per kapita per bulan Rp. 52.470 untuk penduduk perkotaan dan Rp. 41.588 untuk penduduk pedesaan. Dengan menggunakan standar garis kemiskinan seperti itu, diketahui pula bahwa penduduk miskin di perkotaan pada pertengahan tahun ini sudah mencapai 22,6 juta orang atau, 28,8% dari jumlah penduduk perkotaan. Sementara itu penduduk miskin di pedesaan sudah mencapai 56,8 juta orang atau 45,6% dari penduduk pedesaan. Baru2 ini menaker mngumumkan akan dinaikannya upah minimum buruh 1998 sampai 15%, sehingga mencapai sekitar Rp. 140 ribu perbulan, berarti hampir 3 kali lipat dari batas kemiskinan versi BPS. Jika upah minimum buruh dijadikan patokan garis kemiskinan maka jumlah orang Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan bisa mencapai 96%. Pendapatan per kapita, dengan kurs rupiah Rp. 9.000 per dolar AS saja, diperkirakan hanya mencapai 228 dolar AS (lebih rendah dari Bangladesh, ujar Faisal Basri ketua LPEM UI). Dengan menggunakan kurs sekarang yang berkisar antara Rp14.000 hingga Rp. 15.000 per dolar AS, pendapatan perkapita akan lebih rendah lagi. Para konglomerat (dan Suharto’s Cronies) telah berhasil mengeksport kekayaan mereka ke LN, meninggalkan Indonesia yang dilanda kemiskinan. Rakyat butuh lobby yang kuat agar kepentingannya dapat terpenuhi. Untuk itulah diperlukan penggalangan kekuatan sosial masyarakat yang kuat agar perbaikan situasi ekonomi dan politik rakyat Indonesia dapat direalisir (tanpa menolak praktek2 globalisasi) sehingga Indonesia bisa bebas dari kemiskinan. Itulah Reformasi!! (R. Priyanto)


Kembali ke Daftar Isi