Operasi Membakar Jakarta

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: ekspos@hotmail.com
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 20/I/16 - 22 Mei 98

(POLITIK): Kerusuhan sosial yang melanda Jakarta merupakan hasil operasi intelijen. Tujuannya, agar ABRI tampil sebagai pahlawan rakyat.


Glodok, 14 Maret 1998, jam 11 malam, bagaikan kota mati. Hampir tak satupun lampu menerangi kawasan pertokoan elektronik yang sudah luluh lantak itu. Jalanan dipenuhi pecahan kaca dan serakan besi, serta puluhan bangkai mobil yang sudah hangus terbakar. Jalanan sepi, hanya satu dua mobil yang melintas. Di salah satu pojok, di tengah kegelapan malam, puluhan tentara bersenjata lengkap tampak duduk bergerombol. Setiap mobil atau motor yang lewat, langsung dicegat dan diperiksa identitasnya.

Tapi, hanya beberapa ratus meter dari gerombolan tentara tadi, terlihat barisan orang sedang memanggul barang-barang elektronik: televisi, komputer, tape recorder, dan sebagainya. Mereka menuju kawasan pemukiman di sekitar Jalan Pangeran Jayakarta, tanpa dihalangi petugas. Puluhan lemari es yang masih tampak bagus, dibiarkan terserak begitu saja di tengah jalan. Agaknya, para penjarah itu sudah kewalahan mengangkut barang-barang elektronik yang berjibun jumlahnya.

Kerusuhan massa itu, sesungguhnya, dipicu oleh peristiwa penembakan terhadap para mahasiswa Universitas Trisakti, 12 Maret. Penembakan yang dilakukan puluhan sniper (penembak tepat), dibawah komando Kolonel Arthur Damanik (Komandan Samapta Polda Metro Jaya) itu mengakibatkan 5 mahasiswa Usakti tewas, dan puluhan lainnya cidera berat dan ringan. Perihal insiden penembakan itu terungkap jelas saat konferensi pers tim pencari fakta Komnas HAM, bersama Tim Crisis Centre Usakti pimpinan Adi Andojo (Dekan Fak. Hukum Usakti).

Keesokan harinya, mahasiswa adakan mimbar bebas di kampus Usakti, Grogol, untuk melepas rekan-rekannya yang tewas. Dalam mimbar bebas yang dimulai pukul 8.30 pagi itu, tampil tokoh pro-demokrasi, seperti Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Ali Sadikin, Karlina Leksono, dan Adnan Buyung Nasution.

Sekitar pukul 12.00 siang, entah darimana, muncul segerombolan orang tak dikenal yang meneriakkan yel-yel anti pemerintah di Jalan S. Parman, tepat di pintu gerbang kampus Usakti. Mereka berusaha memprovokasi mahasiswa untuk turun ke jalan. "Ayo mahasiswa. Jangan jadi banci," teriak gerombolan itu. Lalu, mereka mulai merusak lampu-lampu jalan dan tanaman hias yang ada ditrotoar jalan. Sebagian lagi, menyemprotkan cat pylox ke tembok jalan layang, bertuliskan "Gulingkan Soeharto" atau "Turunkan Soeharto".

Toh, mahasiswa Usakti yang masih berkabung, tidak terpancing. Mereka tetap meneruskan acara mimbar bebas di dalam kampus. Yang justru mulai terpancing adalah para penduduk sekitar yang menonton acara dari luar pagar kampus. Suasana bertambah panas saat sejumlah "anak baru gede" (ABG) - sebagian memakai seragam SMP - datang ke lokasi. Entah siapa yang memicu, massa mulai membakar apa saja yang bisa didapat - ban mobil, rambu lalu lintas, dan sebagainya.

Tak puas hanya itu, massa yang mulai beringas, menghentikan sebuah truk sampah yang kebetulan melintas dari Jalan Kyai Tapa. Lalu, tepat dipersimpangan Grogol, truk itu dibakar. Aparat keamanan yang berjaga-jaga, membiarkan saja aksi tersebut. Merasa mendapat angin, gerombolan provakator tadi lalu mengarahkan massa menuju Mal Citraland. Tapi mal itu dijaga ketat barisan polisi anti huru-hara. Karena itu, massa - yang sebagian besar para ABG - melempari petugas dengan batu.

Sekitar pukul 14.00, sebagian massa bergerak ke Jalan Kyai Tapa, sebagian lagi ke Jalan Daan Mogot. Beberapa pria berambut cepak masih berusaha memprovokasi mahasiswa untuk ke luar kampus, tapi tetap tak berhasil. Sementara itu, massa mulai mencari sasaran untuk dibakar. Sasaran pertama adalah pompa bensin di Jl. Kyai Tapa, yang berhadapan dengan pos polisi Grogol. Tapi, karena dijaga ketat barisan polisi, yang berhasil dibakar hanya show room-nya saja.

Massa di Jalan Daan Mogot lebih beringas lagi. Delapan mobil yang diparkir tak jauh dibelakang Citraland dibakar. Begitu juga Hotel Daan Jaya, dan sejumlah bangunan lainnya. Pembakaran bahkan berlanjut hingga malam hari. Lalu, kerusuhan merembet ke kawasan Jelambar. Di Bendungan Hilir, Kantor Cabang BCA dan sebuah minibus ikut pula hangus.

Jakarta Kelabu

Kerusuhan hari itu ternyata hanya sekedar pemanasan. Yang lebih dahsyat terjadi keesokan harinya, Kamis, 14 Maret. Sejak pagi, gerombolan-gerombolan massa telah berkumpul di sekitar kawasan sentra perekonomian di berbagai wilayah ibukota. Kebetulan hari itu sejumlah kampus menggelar aksi solidaritas terhadap tewasnya para "pahlawan reformasi" dari Usakti. Di kampus UI Salemba, misalnya, ribuan mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas yang menampilkan sejumlah tokoh alumni UI. Diantaranya: Prof. Mahar Mardjono, Mayjen (Purn) Hariadi Dharmawan, dan Hariman Siregar.

Seperti juga hari sebelumnya, segerombol orang berusaha memprovokasi mahasiswa agar turun ke jalan. Untunglah, mahasiswa tak terpancing. Lagipula, kampus UI dijaga ketat oleh pasukan Marinir. Tapi, rupanya para provakator tadi segera mendapat sambutan penduduk sekitar yang menonton demonstrasi. Maka, setelah membakar mobil operasional URC yang diparkir di depan RS Carolus, massa bergerak ke Matraman.

Di sepanjang Jalan Salemba Raya, massa melempari gedung-gedung - terutama yang terbuat dari kaca. Tapi, di persimpangan jalan Salemba Raya-Matraman Raya massa dicegat Pasukan Antihuru-hara (PHH) Kodam Jaya. Toh, sekitar 13.30, massa membakar Polsek Matraman.

Sementara itu, dari gang-gang di sepanjang Jalan Matraman Raya, massa berkeluaran, lalu membentuk gerombolan. Ribuan orang mulai bergerak ke arah Kantor BCA Cabang Matraman. Tapi, massa dicegat barisan polisi. Maka, massa pun mundur dan mulai merusak gedung BHS. Lalu, setengah jam kemudian, entah siapa yang memulai, massa menjarah Toko Buku Gramedia Matraman. Ribuan massa yang berasal dari sekitar berlomba menjarah barang-barang yang dipajang di lantai satu, hingga ludes.

Penjarahan itu dimulai pukul 14.00, berlangsung hampir dua jam. Yang menarik, di saat penjarahan berlangsung, sedikitnya ada 5 orang yang seolah bertindak sebagai komando. Mereka berpakaian rapi, memakai pager, berteriak-teriak menyuruh massa menjarah toko. "Ayo cepat, yang belum kebagian masuk saja. Hari ini pestanya rakyat," teriak salah seorang diantaranya.

Rupanya, "tim provokator" seperti itu juga tersebar di lokasi-lokasi kerusuhan lainnya. "Kalau polanya terorganisir begitu, jelas operasi intelijen," kata sumber Xpos. Bisa jadi itu ada benarnya. Sebab, kerusuhan yang terjadi diberbagai sentra perdagangan itu berlangsung secara serentak, seakan diorganisir dengan rapi.

Menariknya, selama massa melakukan penjarahan, aparat keamanan hanya membiarkan saja. Sama sekali tak ada upaya untuk mencegah penjarahan tersebut. Paling mereka hanya membujuk massa agar tak menjarah sejumlah bangunan tertentu yang mereka jaga. Pengamanan yang diturunkan juga terasa tidak optimal. Baru malam harinya, setelah kerusuhan mulai mereda, Pangdam Jaya, Mayjen Sjafrie Sjamsudin, menurunkan semua pasukan yang berada di bawah komandonya.

Padahal, dalam konferensi pers siang harinya, Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengatakan bahwa ia sudah memerintahkan agar semua pasukan di Jakarta dan sekitarnya mengamankan kerusuhan. "Bahkan, kalau perlu, kita akan mendatangkan pasukan dari luar ibukota," tegas Wiranto. Tapi, rupanya perintah Wiranto itu tak segera dilaksanakan Sjafrie. Ada kesan, penundaan penurunan pasukan itu sengaja dilakukan untuk memberi kesempatan "tim provakator" bekerja.

Bila di siang hari target para provakator itu adalah sentra perekonomian, maka di malam harinya gerakan mereka beralih ke pemukiman penduduk - terutama komplek perumahan elit dan menengah. Secara bergerombol mereka bergerak merampok rumah-rumah penduduk. Di kawasan perumahan Kelapa Gading, misalnya, sekitar pukul 23.00 massa mulai menjarahi rumah-rumah penduduk. Begitu pula, di Perumahan Bintaro Jaya, BSD, dan sejumlah perumahan di pinggiran Jakarta.

"Gerakan itu untuk menteror masyarakat," kata sumber Xpos tadi. Tujuannya, agar masyarakat dicekam rasa takut, lalu mengharapkan bantuan pasukan ABRI. Ujung-ujungnya, dimata masyarakat, ABRI akan tampil sebagai "pahlawan" yang berhasil mengatasi kerusuhan sosial.

Jadi, dua keuntungan sekaligus diraih ABRI: tampil sebagai pahlawan, dan membungkam gerakan mahasiswa. Untuk itu, rakyat harus membayar mahal.(*)


Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke: ekspos@hotmail.com

Kembali ke Daftar Isi