Oleh: Luthfie Kamil
Setelah melewati perjuangan panjang tanpa mengenal lelah oleh Mahasiswa, akhirnya kekuasaan Soeharto pun berakhir. Kekuasaan yang selama ini hampir semua orang meragukan dapat tumbang dalam waktu sesingkat itu. Sebuah kemenangan awal bagi para Mahasiswa dan sekaligus semua lapisan masyarakat yang menginginkan perubahan dari status quo. Sebuah awal menuju realisasi Reformasi total menuju kekuasaan Demokratis. Semua lapisan masyarakat bergembira, berpesta pora dan berekspresi sama dalam menyambut kemenangan Reformasi. Mahasiswa tumpah ruah memekikkan kemenangan, sebagian rakyatpun menyiapkan pesta gule kambing menyambut kegembiraan dan tak luput sujud syukur kemenangan menjadi fenomena yang akrab dimata kita. Semua orang mengungkapkan kegembiraan menyambut peristiwa akbar ini, meskipun sebenarnya sempat setengah sadar menyaksikannya.
Ditengah meluapnya kegembiraan ini, kita pun sadar, perjuangan belum selesai untuk terus memekikkan kata "Reformasi Total". Kita tidak akan lupa terhadap mereka-mereka para pahlawan Reformasi yang telah tiada dalam memperjuangkan aspirasi rakyat selama ini. Kita pun tetap mengalihkan perhatian kita kepada masyarakat yang selama ini menderita, disamping pula selalu menuntut kembali pengembalian martabat dan hak-hak asasi manusia. Ternyata tugas kita lebih kompleks datang dengan tiba-tiba. Sebab, kitapun tidak sekedar memberantas KKN dan antek-anteknya namun juga dituntut untuk dapat memulihkan semua faktor kehidupan bernegara yang selama ini jumud. Perjuangan fase kedua pun dimulai. Perjuangan yang sebenarnya,yang akan menjadi penentu dalam merealisasikan semua yang selama ini jadi angan semata. Perjuangan dalam mewujudkan bangsa yang merdeka, demokratis dan menghargai hak asasi manusia.
Perjuangan yang menuntut tekad semua lapisan masyarakat sebagai zoon politikon (warga yang merdeka) untuk ikut berpartisipasi didalamnya. Berpartisipasi dalam menegakkan sendi-sendi bangsa yang lepas dari penyakit-penyakit kronis kolusi, korupsi, nepotisme (KKN) - dan sekaligus menciptakan infrastruktur kehidupan masyarakat yang terdiri dari warga-warga yang berkesamaan kedudukan (civil society).
Perjuangan fase kedua
Sebuah babak sejarah baru mengawali langkah kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Sebuah fase sejarah yang telah mengorbankan banyak nyawa sekaligus mental manusia. Periode sejarah masa depan kita akan dimulai. Dalam keadaan transisi saat ini, kita pun akan lepaskan permasalahan sebuah figur pemimpin yang sempat menghangat ditengah issue reformasi. Kita benar-benar perlu mencari titik kesamaan dalam melempar bola reformasi sehingga mencapai tujuan yang diharapkan. Semua lapisan kalangan masyarakat dituntut keikutsertaannya. Naiknya B.J. Habibie yang sempat menimbulkan pro dan kontra, sebaiknya tidak dijadikan perdebatan yang berlarut-larut sehingga melupakan tujuan utama untuk membangun negara yang bersih dan berkedaulatan rakyat. Terlebih, seperti yang diungkapkan Presiden Habibie bahwasanya pemerintahannya merupakan pemerintahan transisional dan tidak akan menjadi presiden hingga tahun 2003. Setidaknya pernyataan ini dapat mengarahkan kita untuk lebih memfokuskan pada tuntutan-tuntutan yang akan direalisasikan pemerintahan saat ini. Dan tentunya, dengan sikap demikian bukan berarti kita melepaskan dengan mudah pemerintahan saat ini. Namun sebaliknya, kita desak pemerintah ini untuk bisa merealisasikan tuntutan kita. Sebab bagaimanapun dilihat dari siapa yang duduk di pemerintahan saat ini, sangat mustahil mereka akan lepas dari tuntutan rakyat yang menginginkan kehidupan yang demokratis. Untuk itu, dalam mendukung masyarakat Adil, Terbuka dan Demokratis, kita sangat bijaksana kalau mulai memperhatikan masyarakat keseluruhan sebagai unsur dominan untuk mewujudkan reformasi ini mencapai tujuannya.
Pada fase pertama yaitu menggulingkan kekuasaan Soeharto, gerakan Mahasiswa begitu dominan dalam merealisasikan semua tuntutan Reformasi. Disamping pula, para Intelektual dan Cendekiawan yang banyak menggerakkan kekuatan mereka melalui pernyataan sekaligus orasi-orasi yang dilemparkan. Semua gerakan Mahasiswa sepertinya bersatu padu berjalan beriringan menumbangkan kekuasaan. Yel-yel keadilan terus diteriakkan menyambut turunnya kekuasaan Suharto. Namun ditengah-tengah perjuangan ini,kita pun masih diingatkan pada peristiwa yang mencorengkan upaya murni tuntutan reformasi. Peristiwa kelabu dengan rusaknya segala sektor kehidupan masyarakat. Sektor ekonomi yang sempat lebur hangus dibakar massa sempat menampakkan kesaksiannya ditengah kepulan asap bahaya emosi manusia. Memang, kejadian ini lebih banyak disebabkan gerakan-gerakan oknum-oknum tertentu yang menginginkan keonaran, namun demikian kita tidak dapat menutup mata terhadap tingkat kesadaran masyarakat kita yang masih rendah saat ini. Kita pun mesti sadar bahwasa nya tidak hanya sistem rejim suharto saja yang harus kita rubah, namun juga kehidupan masyarakat kita yang depolitisasi selama ini, juga harus kita rubah. Kita mesti menyadari tingkat kesadaran masyarakat kita yang berada dalam transisi kultural. Bahkan kita tidak bisa menutup mata bahwasanya ditengah masyarakat kita yang sudah akrab dengan kemajuan tekhnologi dan informasi, masih banyak masyarakat kita yang berpakaian seadanya. Sesungguhnya dalam kenyataanya, terdapat jarak kultural-psikologik yang sungguh lebar dan mesti ditiadakan (atau setidaknya dijembatani terlebih dahulu) antara kesadaran sewarga komunitas kultural didalam kehidupan bermasyarakat yang lokal-primordial dan kesadaran sewarga komunitas politik yang hendak membangun kehidupan bernegara yang sebenarnya. Artinya, dengan melihat masyarakat yang begitu dominan masih terkukung dengan kesadaran yang rendah, maka mustahil reformasi total yang diharapkan bisa terwujud sepenuhnya. Karenanya, upaya untuk mengangkat sekaligus perlahan menumbuhkan kesadaran baru untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang demokratis sangat urgen. Jangan sampai, ketika para Mahasiswa dan Intelektual kita meneriakkan kata Reformasi, salah satu warga kita berkata, yang penting makan nasi.
Unsur-unsur golongan yang sekarang mendominasi kehidupan bernegara saat ini bisa dikelompokkan pada empat kategori, yakni Pemerintahan (Birokrasi), kaum Intelektual dan Cendekiawan, Mahasiswa dan unsur Akademis terus Masyarakat awam. Dengan kategori ini, kita bisa melihat dengan jelas bentuk perjuangan kita selanjutnya dalam merealisasikan tuntutan Reformasi ini. Selama ini, tuntutan reformasi lebih banyak disuarakan dari pihak Mahasiswa dan kaum Intelektual. Kalaupun itu ada di kalangan birokrat dan juga masyarakat awam, itu relatif kecil jumlahnya. Untuk itu,menyadari tingkat pemahaman masyarakat kita yang masih rendah akan makna reformasi, maka bukan berarti kita mengajak mereka secara langsung ikut berpartisipasi. Melainkan, kita "para mahasiswa sekaligus kaum Intelektual" bisa melepaskan masyarakat kita dari situasi feodalisme selama ini, dan mulai mengubah spirit dekadensi menjadi semangat progresif dan kreatif. Tugas ini tentu tidak mudah, namun disitu letak essensial bagi perjuangan demokrasi bagi kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Untuk itu, sangat dibutuhkan komunikasi yang bersifat dialogis dengan massa. Komunikasi ini tentunya sangat riskan kalau tanpa hati-hati terperangkap pada simbol-simbol yang berbeda. Ditengah perbedaan yang ada, kita pun sedapat mungkin menjaga makna pluralisme yang positif, sehingga tidak terdistorsi ungkapan-ungkapan yang mementingkan kepentingan individual/ golongan. Disisi lain, posisi pemerintah beserta birokrasinya sebenarnya melayani kemauan masyarakat. Dan unsur Intelektual beserta Mahasiswa bisa menjadi pengontrol kebijakan pemerintah dalam melaksanakan keinginan rakyat. Untuk itu, keterlepasan kaum Intelektual dari kehidupan pemerintahan sangat diharapkan sehingga suara dukungannya terhadap masyarakat dapat menyeimbangkan kehidupan bernegara dan sekaligus kekuasaan yang demokratis. Setidaknya, tugas pokok para Cendekiawan, kaum Intelektual juga Mahasiswa adalah membangkitkan dan membangun masyarakat kita terhadap kesadaran kolektif menuju terciptanya masyarakat yang berkepribadian. Untuk itu upaya menanamkan alam berfikir publik terhadap semua konflik, pertentangan dan antagonisme yang ada di masyarakat melalui fakta-fakta positif dan konstruktif perlu didukung, sehingga timbul suatu polarisasi kehidupan masyarakat yang dinamis dan tidak digiring menuju satu arah. Sehingga teori Lord Acton "Power trends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely" tidak terjadi lagi di negara kita.
Untuk itu, sekali lagi, ditengah perjuangan Mahasiswa, kaum Intelektual dan sekaligus aparatur Negara, kita jangan sampai melupakan keikutsertaan Masyarakat kita untuk ikut mengerti sebuah kehidupan masyarakat yang demokratis. Dan tentunya, upaya awal merealisasikannya adalah merubah pula kondisi dan watak masyarakat kita selama ini yang tersubordinasi dalam kehidupan berpolitik menuju masyarakat yang berkesadaran tinggi. Seperti yang terjadi di negeri Yunani, yang mempunyai para pemikir dan filosof yang fikiran-fikirannya sampai sekarang masih dihargai dan diapresiasi. Definisi aristoteles tentang tragedi dan komedi masih dipegang dan diterima sebagai definisi paling baik tentang dua bentuk sastra, walaupun definisinya dirumuskan sekitar dua ribu lima ratus tahun yang silam. Meskipun telah banyak ditulis makalah mengenai hal itu, dan karya-karya besar tentang tragedi dan komedi telah ditulis oleh dramawan-dramawan dan kritisi-kritisi terkemuka di Eropa, definisi Aristoteles tentang tragedi dan komedi tetap dianggap kokoh. Namun sayang sang filosof Aristoteles tidak mampu memecahkan masalah-masalah Athena pada zamannya. Athena adalah suatu masyarakat yang mengidap perbudakan, dekadensi dan tirani aristokratik. Aristoteles hidup dalam masyarakat tersebut, tetapi tidak dapat mengubahnya. Tentu hal ini tidak terjadi pula pada kita untuk menggulirkan tuntutan masyarakat akan Demokrasi, sedangkan mereka tak paham makna demokrasi itu sendiri [TAMAT].