Pri, Non-Pri Dan Peri

Limabelas tahun lalu, anak saya, dilahirkan di rumah sakit Neukoelln -- salah satu distrik Berlin Barat (kala itu). Sejak balita, ia bergaul dengan kawan-kawan sebayanya. Entah dengan anak tetangga, entah dengan balita di panti asuhan. Dan tentu saja, kawan-kawan sepermainannya adalah anak-anak bangsa Aria Ueber Alles.

Maka, berbeda ihwalnya dengan setelan lidah saya yang kesulitan mengeja dan mencerna kata-kata Jerman, lidah Indrawati, dengan mudahnya menerosokan bahasa bangsa Aria yang tersohor sulitnya. Agaknya, pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari, kagak berlaku bagi anak saya itu. Pasalnya, bahasa Jermannya tidak 'nurun' dari saya -- baik dalam kekacow-balowan tatabahasa, mau pun kekentalan logat Jawa Timurannya.

Bahkan sekarang pun, dia sudah bisa mengolok-olok saya, bila saya berbicara bahasa Jerman berbau rujak cingur. Dengan sendirinya, kini dia berperan sebagai anggota tim independen pemeriksa surat-surat saya yang berbahasa pribumi. Sama halnya dalam soal bahasa, lidah anak saya yang jelas-jelas produk asli Bangsa Paria itu pun doyan mengecap hidangan-hidangan Bangsa Aria non-favorit saya. Sebut saja, spinat benyek sebagai misal. Jika saya dipaksa melahapnya, saya punya lidah jelas kebelet makar. Mana lidah saya ada tahan, harus merasakan hidangan pribumi tanpa trasi itu?

Bahkan, bukan hanya sebatas itu saja. Kesadaran atow peri lakunya pun kepribumi-pribumian. Saya kerap terperangah menyaksikannya, oleh sebab, sikap, lenggak lenggok atow langgamnya Ibunda Pertiwi tak menitis ke dia punya jiwa dan raga. Kacow laah.

Pendek kata, dalam lima belas tahun ini, anak saya yang asli Bangsa Paria itu sudah kesurupan rohnya Bangsa Aria. Bahkan, kepribumi-pribumiannya itu pun berbau Wessi pula (Wessi berasal dari kata West alias Barat ada sebutan bagi mantan penduduk Jerman Barat atow Berlin Barat).

Nah kisahnya, satu saat, setelah pulang dari sekolah, anak saya ada berkicow tentang kekacowan teman sekelasnya yang berasal dari wilayah Berlin Timur, alias Ossi. Tuturnya kepada saya, Ossi temannya itu ada ngoceh, bahwa dalam pemilu seusai proyek reunifikasi dicanangkan, orang tuanya mencoblos partainya Kanselir Helmut Kohl. Yaitu, Partai Kristen CDU. Alasannya, kalow nyoblos partai Sosialdemokrat, orangtuanya was-was, tembok Berlin tak akan bobol (Catatan: Memang, saat itu, Partai Sosial Demokrat Jerman Barat, enggan bereunifikasi secara ekspres. Kalow cuma reuni, oke lah. Sebaiknya, jangan reunifikasi dulu, demikian argumen partai ini, tapi bikin konfederasi).

Setelah mendengar alasan tersebut, kawan-kawan Wessinya langsung mentertawakan si Ossi yang malang itu. Kepadanya, ada disemprotkan "Ihr wäret doch besser dort geblieben" (Memang sebaiknya lah, kalian menetap di sono saza). Maksudnya jelas: jangan hengkang ke Barat dong.

Dan ajaibnya: anak saya juga menertawakan si Ossi tadi. Bagaimana tidak? Anak saya kan bukan Wessi. Di tanah Bangsa Aria ini, dia kan cuma non-pribumi.

Entah bagaimana, sampai sekarang pun, dia punya penilaian terhadap Ossi tetap kurang sedap -- seperti halnya die Wessi terhadap sowdara Timurnya itu. Kalow diajak atow diundang masuk ke wilayah Ossi (Berlin Timur atow Jerman Timur), anak saya selalu menolak. "Ach, die Ossi" (Aduh, Timur pula), cibirnya.

Terkadang, saya bingung. Anak saya, lahir dari rahim Indonesia totok, walow pun di Berlin. Lho kok bisa ya, kesadaran dan setelnya niru-niru Bangsa Aria Ueber Alles -- dan die Wessi pula.Itu lah pasalnya, saya kerap bloon kesulitan buat berkelit, kalow kolega-kolega Ossi di kantor menanyakan ihwal panas-dinginnya hubungan asmara antara bangsa kita yang non-pri dengan pri di tanah air. Menjelaskan kebangsatan non-pri, sama lah sulitnya untuk harus menerangkan kebanggaan saya menjadi pri di Indonesia.

Lagipula, setiap pertanyaan sejenis itu datang, saya selalu ingat kepada kehadiran anak saya yang non-pri di bumi persada Aria -- yang masih beruntung belon buntung diburu-buru bangsa pri. Apalagi, kalow soal ke Indonesiaan dipertandingkan dengan anak-anak non-pri kelahiran Nusantara, pasti lah anak saya memperoleh angka merah.

Mana dia ada tahu siapa itu pangeran diponegoro? jawabannya paling-paling pameran diponegoro. dia bisa ada terbloon-bloon, kalow ditanya siapa sebenarnya pahlawan super-semar. paling top dia bakal ada konter, super-semar itu bangsanya super-mie atow super semir (catatan: jawaban super-mie sih sudah ada mendekati kebenaran, sebab pahlawan super semar itu kan sahabatnya pemilik industri super-mie liem siut-siut liong). anak saya akan lebih tahu tag der doitseee einheit ketimbang hari proklamasi.

Yang membikin dia Indonesia hanya lah kesawo-matangan kulit dan ke non-sipitan matanya -- walow pun dalam keadaan sepet mata. Agaknya, beruntung lah manusia yang telah menjadi "peri" (makhluk halus), oleh sebab "peri" tiada mengenal perbedaan antara pri dan non-pri

(Pipit Kartawidjaja)
Kembali ke Daftar Isi