Pernyataan Komnas HAM; Pemerintah Alpa dan Perlu Minta Maaf
Jakarta, Kompas
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah
untuk
menyampaikan permintaan maaf karena kealpaannya memberikan perlindungan
kepada setiap warganegara Indonesia. Berdasarkan pengamatan Komnas HAM,
telah terjadi kevakuman keamanan pada hari-hari awal terjadinya
kerusuhan sosial 12-14 Mei 1998, yang telah memungkinkan tindakan
kekerasan seksual terjadi secara luas, tanpa adanya kemampuan
pencegahan
dan tindakan yang efektif. Vakumnya keamanan tersebut menunjuk pada
tanggung jawab negara berupa kealpaan dari pejabat penanggung jawab
sipil dan militer.
Demikian pernyataan resmi Komnas HAM tentang Kekerasan Seksual Termasuk
Pemerkosaan Terhadap Kelompok Etnik Cina dan Warga Indonesia Lainnya,
yang disampaikan Kamis (9/7), di Sekretariat Komnas HAM, Jakarta.
Pernyataan itu ditandatangani Miriam Budiardjo (Wakil Ketua I), Marzuki
Darusman (Wakil Ketua II), dan Baharuddin Lopa (Sekjen). Pernyataan
disampaikan kepada pers oleh Marzuki Darusman, Saparinah Sadli, Asmara
Nababan, Soegiri, dan Clementino dos Reis Amaral.
Komnas menyatakan, pada saat kerusuhan 12-14 Mei 1998, bahkan hingga
pada masa satu minggu lalu, dapat dipastikan dengan sejelas-jelasnya
telah terjadi pemerkosaan bertubi-tubi yang di luar batas
perikemanusiaan. Itu terjadi di berbagai lokasi di Jakarta dan kota
lain
oleh kawanan bergerombol dan kejam.
Modus seragam
Dari penelaahan terhadap konstruksi kejadian yang dialami korban dari
segi ciri-ciri penganiayaan jasmani sebagaimana yang dinyatakan saksi
dan ahli, terbentuk gambaran tentang suatu pola gerak aksi kekerasan,
berupa penyerangan fisik secara frontal dengan sasaran khusus perusakan
yang seberat-beratnya terhadap seksualitas wanita. Hal ini sangat
merendahkan bangsa.
"Di antara kasus menyedihkan yang telah dilaporkan, telah terjadi aksi
perkosaan yang dipertontonkan dan dilakukan di hadapan keluarga korban
secara biadab," ungkap Saparinah Sadli membacakan pernyataan Komnas
HAM.
Berdasarkan data berbagai sumber yang tak berhubungan satu sama lain,
serta penelitian yang dilakukan Komnas HAM sendiri, dapat disimpulkan
bahwa rangkaian tindakan kekerasan seksual itu menggambarkan adanya
modus operandi yang seragam.
BUTIR REKOMENDASI KOMNAS
1. Mendesak pemerintah untuk mengakui terjadi
kekerasan seksual.
2. Menyerukan pemerintah dan masyarakat
menggerakkan solidaritas simpati untuk para korban.
3. Mendesak pemerintah minta maaf atas
kealpaan
memberikan perlindungan kepada warga negara.
4. Membentuk Komisi Penyelidik Nasional.
5. Mengambil langkah untuk mencegah
terulangnya
peristiwa kekerasan seksual dengan menghukum maksimal para pelaku.
Komnas tidak mengelaborasi lebih jauh mengenai data lebih teknis karena
tidak ingin untuk menyentuh kembali sensitivitas para korban. Meskipun
demikian, dipastikan bahwa pernyataan Komnas itu didukung data yang
tidak perlu diragukan, karena Komnas mempunyai akses langsung terhadap
korban dan keluarga korban.
Di sisi lain, Komnas mencatat dengan penuh keprihatinan adanya sikap
skeptis pemerintah yang mempengaruhi juga sebagian anggota masyarakat,
yang meragukan kebenaran terjadinya peristiwa itu karena tidak mudahnya
diperoleh bukti-bukti.
"Kesangsian bahwa kekerasan seksual serentak itu telah terjadi, sungguh
menunjukkan sikap tidak sensitif terhadap beban psikis para korban dan
keluarga mereka, serta hanya akan melipatgandakan derita mereka bahwa
seolah-olah ini merupakan musibah yang harus ditanggung sendiri,"
tambah
Saparinah.
Perlu dinyatakan
Sebagai langkah awal pemulihan martabat para korban yang sangat
diperlukan untuk penghimpunan pembuktian bagi penuntutan hukum terhadap
para pelaku, Komnas meminta agar pemerintah menyatakan telah terjadi
kekerasan seksual yang luas.
Komnas mengusulkan kepada pemerintah untuk sesegera mungkin membentuk
Komisi Penyelidik Nasional untuk meneliti seluruh kerusuhan dan
menindak
penanggungjawabnya, khususnya mengenai kekerasan seksual yang
terjadi.
Komnas juga mendesak pemerintah mengambil langkah untuk mencegah
terulangnya peristiwa kekerasan seksual itu, antara lain dengan cara
pemberian hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku perbuatan dan
penetapan cara pembuktian yang anonim untuk melindungi korban dan
keluarga korban.
Komnas HAM mengutuk aksi kekerasan seksual yang luas itu, yang dapat
dikualifikasi sebagai aksi intimidasi, bahkan aksi teror yang terarah
yang ditujukan terhadap suatu kelompok etnik tertentu. Dari hakikat dan
skala keguncangan yang dialami para korban secara kolektif maupun
secara
individu, wujud tindakan kekejaman perkosaan rasial dalam artian
politik
dan sosial itu dapat disamakan dengan pengertian pelanggaran hak asasi
manusia, yang secara internasional telah digolongkan sebagai tindak
kriminal dan merupakan kejahatan terhadap umat manusia.
"Penting sekali kita menemukan pelakunya itu, tetapi yang lebih penting
sekarang ini adalah menciptakan iklim sebaik-baiknya bagi suasana
pemulihan ketenangan dan martabat para korban. Ini adalah tindakan yang
tidak bisa disamakan dengan tindakan lainnya. Tanggung jawab Komnas ini
adalah mendudukkan perkaranya, dan tanggung jawab pemerintah untuk
mengusut pelakunya itu," ungkap Marzuki.
Mengenai Komisi Penyelidik Nasional (KPN) yang diusulkan Komnas,
Saparinah menjelaskan, usulan itu sesungguhnya sudah disampaikan kepada
Presiden BJ Habibie, dan presiden menurut rencana akan mengumumkan
pembentukan KPN, Jumat ini.
Diancam
Pada bagian lain, Komnas juga menekankan perlunya pemerintah segera
mewujudkan perlindungan terhadap korban, keluarganya dan mereka yang
berusaha membantu penyembuhan para korban. "Itu penting untuk
menunjukkan bahwa kita bangsa beradab. Tindakan ini bukan hanya
penyerangan terhadap harkat dan martabat perempuan, tetapi penyerangan
terhadap martabat bangsa, dalam pergaulan bangsa-bangsa internasional
yang beradab," tegas Asmara Nababan.
Di sisi lain, Amaral menambahkan, sampai saat ini berbagai bentuk
ancaman masih ditujukan kepada para korban atau keluarganya yang
melaporkan apa yang mereka alami kepada kelompok masyarakat yang secara
sukarela menangani masalah ini. "Para keluarga korban itu yang
melaporkan kepada kami di Komnas bahwa mereka mendapat ancaman lewat
telepon, tak lama sehabis memberikan laporan lewat telepon ke Tim
Relawan," ujarnya.
Bantah tidak serius
Dari Surabaya, Kantor Berita Antara melaporkan, Komandan Pusat Polisi
Militer (Dan Puspom) ABRI, Mayjen TNI Syamsu D membantah anggapan bahwa
ABRI tidak serius menangani dugaan adanya kasus perkosaan pada
kerusuhan
14 Mei lalu di Jakarta. "Siapa yang bilang kurang serius?
Menhankam/Pangab sudah perintahkan polisi untuk tangani itu. Tanya sama
Kapolda Metropolitan (Metro Jaya)," katanya menjawab wartawan usai
acara
serah terima jabatan Panglima Kodam V/Brawijaya dari Mayjen TNI Djadja
Suparman kepada Mayjen TNI Djoko Subroto di Surabaya.
Ditanya pendapatnya soal pernyataan Komnas HAM bahwa kerusuhan
dilakukan
secara terorganisir, Syamsu mengatakan, "Komnas HAM itu 'kan baru
mendengar laporan dari orang, bukan orang yang bersangkutan. Polri
sudah
mengadakan pengusutan, makanya, tolonglah korban yang bersangkutan
lapor
sama polisi, jangan keluarganya," jawab Syamsu.
Mengenai usul Komnas HAM membentuk Tim Independen di luar ABRI, Dan
Puspom mempersilakan. "Boleh saja, silakan saja," katanya.
Pekan depan
Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Agung AA Baramuli seperti
dikutip Antara mengemukakan kemungkinan adanya pengumuman dari
Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, minggu depan, mengenai dalang
dan
pelaku kerusuhan di Jakarta pada 12-14 Mei 1998.
"Mungkin minggu depan, Menhankam/Pangab akan mengumumkan siapa dalang
dan pelaku kerusuhan itu," katanya kepada masyarakat Tionghoa yang
tinggal di Pluit, Muara Karang, Pantai Mutiara, dan Pantai Indah Kapuk,
di Jakarta, Kamis.
Baramuli mengatakan, "Presiden Habibie sangat serius untuk mengungkap
dan menindak tegas pelaku kerusuhan. Ia bahkan memerintahkan Menko
Polkam untuk membentuk Tim Pencari Fakta yang terdiri dari berbagai
unsur, misalkan LSM, Komnas HAM, aparat keamanan dan lainnya, guna
menyelidiki kasus tersebut."
"Jadi tidak betul pemerintah dan aparat keamanan lamban dalam mengusut
kerusuhan itu. Masalahnya ialah memang sulit untuk menemukan dalang dan
pelakunya karena terlalu banyak orangnya," katanya.
Ke F-ABRI DPR
Sementara Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) juga meminta
pemerintah segera menuntaskan kerusuhan 12-14 Mei 1998, dengan
membentuk
komisi independen mengusut pelaku kejadian tersebut. Selain itu,
pemerintah dan ABRI harus meminta maaf kepada para korban peristiwa
tersebut.
Keinginan Parti itu disampaikan dalam pertemuannya dengan Fraksi ABRI
(F-ABRI) di Gedung MPR/DPR, Kamis. Dalam pernyataan yang dibacakan
Sekretaris Parti Julianus Jutanya ditegaskan, komisi independen tidak
hanya untuk mengusut Peristiwa 14 Mei, tapi juga membongkar kasus
penculikan, dan penembakan di Universitas Trisakti, Jakarta, tanggal 12
Mei 1998.
Menanggapi kehendak Parti, Wakil Ketua F-ABRI Momo Kelana menyatakan,
untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut, dibutuhkan hati yang jernih
dan kepala dingin. "Jangan emosional. Berikan kepercayaan kepada aparat
keamanan. Kalau setiap ada kasus dibentuk komisi independen, maka
komisi
itu sendiri menjadi tidak independen. Beri kepercayaan pada aparat
keamanan," kata Momo yang didampingi anggota F-ABRI Paula B Renyaan,
Maxandi DS, Hadi Sutrisno, Imam Utomo, dan Suparwantoro.