Surabaya, JP.-08 Agustus 1998
Jaksa Agung Letjen TNI Andi Muh. Ghalib SH menengarai kasus pemerkosaan yang terjadi dalam kerusuhan Mei lalu di Jakarta terlalu dibesar-besarkan. Padahal, setelah dicek di lapangan, tidak ada buktinya. Dia juga menilai ada LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang sengaja bermaksud menjelek-jelekkan bangsa Indonesia di mata internasional dengan isu pemerkosaan itu.
’’Setelah dicek oleh aparat keamanan (Polri), informasi adanya pemerkosaan itu tidak benar. Di mana, siapa orangnya, dan kapan kejadiannya tidak jelas. Jadi, banyak informasi yang keliru soal kasus itu,’’ ungkap Ghalib kepada wartawan di Surabaya kemarin.
Ghalib membenarkan bahwa penyidik telah menerima data dan masukan dari pihak-pihak yang concern terhadap kasus ini. Namun, begitu dilacak di lapangan, tidak ada kejelasan faktanya.
Dia menilai berita pemerkosaan itu marak karena ada LSM yang sengaja ingin menjelek-jelekkan bangsa Indonesia. Namun, ketika dimintai penjelasan siapa dan di mana korbannya, LSM tersebut tidak mampu memberikan data konkret dengan alasan korban mengalami trauma dan sebagainya.
’’Sepertinya, kasus pemerkosaan itu sengaja dibesar-besarkan untuk menjelek-jelekkan kita. Sehingga, di mata luar negeri nama bangsa kita tercoreng sebagai bangsa pemerkosa, bangsa penjarah, dan sebagainya,’’ ujarnya. ’’Akibatnya, kredibilitas bangsa kita menjadi rendah di dunia internasional. Investor asing jadi enggan masuk ke Indonesia,’’ tambah Ghalib tanpa bersedia menyebut nama LSM yang dimaksud.
Mengapa LSM yang melakukan hal itu tidak diprotes atau dituntut secara hukum? Ghalib tidak menjawab dan buru-buru masuk ke mobilnya.
Sementara itu, sebelumnya ia kemarin juga menjelaskan perpu tentang kemerdekaan berpendapat yang kini sedang kontroversial. Menurut dia, Perpu No 2/1998 tentang tata cara menyampaikan pendapat di muka umum antara lain untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa yang tidak terkontrol. Dengan begitu, dampak unjuk rasa seperti terjadinya kerusuhan, penjarahan, perusakan, dan pemerkosaan bisa dicegah.
Menurut dia, selama ini ada salah persepsi tentang ketentuan yang mengatur kebebasan orang menyampaikan pendapat itu. Masyarakat menganggap terbitnya Perpu No 2/1998 mengekang kebebasan orang berpendapat. Padahal, yang benar adalah perpu itu mengatur bagaimana masyarakat menyampaikan pendapat.
’’Harus dipahami, perpu itu mengatur, bukan mengekang, orang berpendapat. Jangan disalahtafsirkan membatasi arti demokrasi. Persepsi ini yang harus diluruskan,’’ tegasnya.
Ghalib mencontohkan, soal jumlah peserta unjuk rasa yang hanya 50 orang, itu bukan aturan kaku. ’’Artinya, jika unjuk rasa itu hanya dilakukan oleh 50 orang atau kurang dari itu, tak perlu melaporkan ke polisi. Tetapi, jika lebih dari 50 orang, baru melaporkan ke polisi.’’
Pengalaman selama ini, kata Ghalib, unjuk rasa di Indonesia sukar dikontrol. Berbeda dengan unjuk rasa di negara-negara maju seperti di AS, Inggris, atau Australia. Di negara-negara itu, sepuluh orang berunjuk rasa dari satu tempat ke tempat lain tidak berubah. Sedangkan di Indonesia, ketika berangkat sepuluh orang, begitu sampai di tempat lain pesertanya sudah bertambah menjadi 10 ribu orang.
’’Kalau sudah begitu, kita tidak tahu lagi, siapa pengunjuk rasa yang asli dan siapa yang menyusup untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Aksi itu menjadi sulit dikontrol dan rawan kerusuhan, penjarahan, penggarongan, bahkan konon sampai ada pemerkosaan, seperti tragedi Mei silam itu,’’ tandasnya. (ari)