Di antara toko-toko yang hangus terbakar atau tinggal puing-puing
berserakan, ada juga beberapa toko yang masih tersisa oleh amukan massa
tanggal 14 Mei lalu. Tidak utuh lagi, sebab semua isinya sudah ludes
digasak penjarah. Dari salah satu toko itu, tersembul sebuah papan lusuh
dengan tulisan sekenanya, "Ruko Kosong. Dikontrakkan."
Di sudut dalam toko itu seorang laki-laki setengah baya tampak sibuk
menandatangani lembaran kuitansi. Di sisi lainnya beberapa teknisi
sebuah supplier barang elektronik dan karyawan sedang sibuk
mengutak-utik pesawat televisi. Laki-laki itu agaknya sedang gundah,
terlihat raut mukanya yang muram.
"Selamat siang, Pak. Apakah bapak pemilik toko ini ?" tanya saya
mengampiri karena tertarik pada papan reklame sederhanan yang dipasang.
"Betul," jawabnya singkat sambil terus sibuk dengan pekerjaannya.
"Maaf Pak, " saya tertarik dengan reklame itu, boleh saya tanya
sesuatu?" tanya saya sambil menunjuk papan reklame di depan toko. Lelaki
keturunan Tionghoa itu kemudian menoleh, menghentikan pekerjaannya.
"Anda siapa? tanyanya lagi, singkat.
"Boleh tanya mengapa Anda ingin mengontrakkan toko ini?" saya balik
bertanya.
"Oh, tidak ada lagi kemanan dagang di sini. Tapi kalau mau lebih jelas,
nanti saja kalau bos ada. Sekarang bos sedang tidak ada," katanya
kembali bekerja.
"Oh, begitu. Boleh saya tanya yang lain. Soal pembauran pri dan nonpri?"
tanya saya lagi.
"Wah, maaf saya tidak bisa membantu, saya tidak mau mengenang luka yang
baru terjadi, sekali lagi mohon maaf," sergahnya sambil menundukkan
kepala lebih dalam. Ketika mendongak sedikit, terlihat raut kesedihan di
wajahnya. Malah, dari balik kacamata tebalnya terlihat linangan air mata
mulai menggenang.
Beberapa pegawai dan teknisi yang ada di tempat itu serta merta
menghentikan pekerjaannya. Melengos sebentar sambil tertegun, lalu
menunduk dan hanyut dalam kesedihan sang majikan. Salah seorang di
antaranya mencoba tersenyum menatap saya, Namun tampak senyum itu hambar
dan dipaksakan.
Melihat suasanan seperti itu, kembali saya meinta maaf dan segera pamit.
"Maaf pak, permisi," ujar saya sambil ngeloyor pergi yang diikuti oleh
anggukan kecil lelaki tersebut.
Lelaki itu, hanya merupakan salah satu korban kerusuhan dan penjarahan
yang terjadi di kawasan Glodok dan Jakarta pada 14 Mei lalu. Masih
banyak lagi yang mengalami nasib serupa, bahkan mungkin lebih kejam.
Sebab konon bukan hanya tokonya yang dijarah atau dibakar massa, tapi
ada juga penghuninya yang diperkosa, dibunuh dan dibakar hidup-hidup di
dalam toko miliknya.
Di toko lainnya, di tempat yang sama, terjadi kegiatan serupa. Berbeda
dengan lelaki setengah baya yang masih trauma dengan musibah 13-14 Mei
lalu, A Hok demikian panggilan karyawan salah satu toko yang hangus
dibakar tampak masih bersemangat menerima telepon dari pelanggannya.
Kendati di dalam toko tidak terdapat satu pun barang elektronik yang
dipajang, dia tetap melakukan kegiatan usahanya.
"Habis, mau bagaimana lagi, Pak, sekarang hanya ini yang bisa kita
lakukan. Daripada nganggur di rumah, lebih baikbegini, mudah-mudahan
masihada rezeki buat makan, " katanya.
Seminggu setelah kerusuhan atas saran bosnya, dia bersama karyawan lain,
membuka kembali toko tempatnya bekerja. Tapi hanya bermodalkan sebuah
meja dan beberapa pesawat telepon.
"Supaya pelanggan kami tidak putus, dan pertanda usaha toko masih tetap
jalan, " katanya. Karena tidak ada lagi barang dan suplai dari pabrik,
mereka hanya menjual omong kepada pelanggan.
"Sekarang kita mirip calo, makelar aja. Kalu ada pesanan yang jadi, baru
barangnya kita ambil dari pabrik dan kiriim ke pemesan," paparnya.
Soal mengapa tidak memajang barang di tokonya, A Hok menjelaskan tokonya
sudah rusak berat, hanya tinggal puing-puingnya sehingga tidak ada yang
mau menyimpan barang di tempat tersebut. Selain itu baik pemilik toko
maupun suplier tak berani mengambil risiko memajang barang dagangan.
"Siapa yang berani ambil risiko? Keamanan saya belum ada yang berani
menjamin."
A Hok juga menuturkan saat ini dari tiga orang bos pemilik toko
tempatnya bekerja, baru dua yang pulang dari luar negeri. Mereka jarang
mampir ke toko yuan gtelah dirintis sejak 5 tahun lalu. Salah seorang
dari mereka, pada awalnya selalu menangis dan pingsan saat melihat toko
miliknya porak poranda dan tinggal puing-puing itu. dia merasa begitu
sedih karena usaha yang telah dirintis sejak bertahun-tahun musnah dalam
sekejap tanpa bisa melakukan sesuatu. Beruntung A Hok dan teman
sekerjanya yang orang pribumi tidak diberhentikan dari pekerjaannya.
"Tapi siapa yang kuat, kalau keadaan ini berlarut-larut," ujar pekerja
lainnya. Rasa waswas mereka pun kerap muncul, takut bila bos meminta
mereka untuk berhenti bekerja. "Kalau keadaan normal dan banyak barang
di sini, kita tidak terlalu khawatir diberhentikan karena bos pasti
bakal kasih pesangon yang lumayan. Nah, ini barang aja nggak ada, mau
kasih pesangon apa ?" keluhnya.
Karena itu, lanjut mereka, kalau suatu saat tiga huruf yang tidak
dikehendaki itu keluar yakni P,H dan K (pemutusan hubungan kerja),
mereka merencanakan akan mengumpulkan sisa uang yang ada untuk membeli
tiket pesawat dan pergi ke luar negeri.
"Saya sudah punya visa dari kepergian saya tahun llau ke Amerika. Jadi
tidak terlalu sulit ke luar negeri," kata A Hok.
"Dari mana, lu punya duit, emangnya gampang cari duit sekarang."
temannya menimpali.
"Kalau perlu jual rumah. Biar harga murah yang penting bisa berangkat, "
ujar A Hok.
"Lantas lu mau kerja apa di sana, apa lu mau jadi tukang sapu atau
tukang cuci piring di restoran atau kalau lu pergi ke Selandia Baru jadi
petani, nyangkul," ejek temannya.
"Kerja apa kek, yang penting dapat duit. Kalau sudah dua tahun, punya
10-15 ribu dolar, kembali ke sini untuk buka usaha," sergah A Hok lagi.
Menurut A Hok, sejak lahir dia sudah berada di Indonesia, sekolah di
sini, cari makan di sini. Jadi Indonesia sudah jadi miliknya, menjadi
dagingnya. "Di sini juga saya akan kemkbali ujarnya sambil melantunkan
lagu Koes Plus, Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang kan
terjadi. Dijawab teman-teman lainnya sambil tertawa gelak yang getir.
A Hok menceritakan, sebelum kerusuhan dan penjarahan Mei lalu, toko
tempatnya bekerja cukup laris dan memiliki banyak pelanggan. "Untuk AC
saja, kita bisa jual 30-40 unit per hari. Belum lagi barang lain seperti
lemari es, televisi, mesin cuci, radio tape, VCD player dan lain-lain, "
katanya.
Kawasan Glodok memang terkenal sebagai pasar penjualan barang elektronik
di Indonesia. Puluhan, bahkan mungkin ratusan pabrik barang elektronik
berkiblat di daerah pertokoan di Jakarta Barat ini. Dari sini pulalah
distribusi seluruh barang elektronik itu berawal.
Kini, kawasan itu tampak menghitam, sisa dari kepulan asap dan bangunan
yang terbakar. Masih tampak sepi dan lengang, hanya satu-dua pengunjung
yang mencoba mencari barang. Itu pun sulit diperoleh karena sebagian
besar toko hancur dan masih banyak yang belum buka.
"Sepi, Pak. Paling pelanggan yang datang dan bertanya-tanya, hanya 2-5
orang. Tapi yang telepon banyak. Itupun mintanya harga murah, sebab dia
pikir masih ada stok lama yang tersisa, " papar A Hok.
Itulah orang Tionghoa, kendati kondisi susah dan peluang usaha amat
kecil
tapi upaya tetap berjalan. Tidak peduli apakah seharian, mingguan atau
bulanan tidak ada orang beli barang. Gigih, itulah ciri bisnis orang
Tionghoa.
Tak salah jika anekdot Tionghoa menyebutkan bahwa selama mereka belum
mendapat keuntungan yang memadai, makan bubur pun dilakoni. Nah,
mampukan pribumi bersaing dengan mereka? Insya Allah.
(Media Indonesia 07/07/98)