Korban Disetubuhi dengan Kekerasan sebelum Dibunuh
Jakarta, JP.-
Sungguh mengenaskan nasib Martadinata, 18 tahun, salah seorang aktivis tim relawan yang ditemukan tewas di kamarnya, Jumat petang lalu. Sebelum dibunuh, Ita –panggilan akrabnya– ternyata telah mengalami persetubuhan dengan kekerasan. Meski demikian, korban yang selalu mendampingi ibunya sebagai anggota tim relawan peristiwa Mei itu masih sempat melakukan perlawanan terhadap pelakunya.
’’Kami tidak ingin menyebutkan telah terjadi suatu pemerkosaan. Sebab, yang namanya pemerkosaan itu butuh saksi mata. Namun, berdasarkan hasil visum tim dokter yang melakukan autopsi, tampak adanya bekas-bekas itu,’’ kata Ketua Tim Forensik RSCM dr Mun’im Idris kepada wartawan di sela-sela dialog publik bertema pemerkosaan di Gedung Trisula-Perwari kemarin.
Ketika ditanya pukul berapa tepatnya korban tewas akibat peristiwa sadis itu, Mun’im mengatakan tidak dapat menyebutkannya. Sebab, hal itu untuk kepentingan penyidikan pihak kepolisian.
’’Saat kematian tidak bisa disebarkan secara luas, kecuali untuk kepentingan penyidikan kepolisian. Kalau disebarkan, hal itu bisa menimbulkan alibi. Kalau semua tahu saat kematian, pelakunya akan tahu. Sehingga pelakunya bisa membuat sebuah alibi. Pelaku mengatur alibi berada di tempat lain sehingga bisa melepaskan jejak,’’ jelasnya.
Seperti yang diberitakan, Martadinata, siswi SMU Paskalis itu, ditemukan tewas di rumahnya, Jalan Berlian III/29, Sumur Batu, Jakarta Pusat. Korban ditemukan tengkurap di lantai dalam keadaan bersimbah darah oleh ayah kandungnya, Leo Margono, 48 tahun. Sekitar pukul 16.00, Leo Margono bersama istrinya tiba di rumah. Tapi karena terkunci, Leo pergi lagi dan baru kembali pada pukul 18.00. Meski demikian, pintu masih terkunci.
Karena pintu belum juga dibuka, akhirnya Leo terpaksa membuka pintu melalui kasa nyamuk. Kemudian, Leo naik ke lantai II. Ketika sampai di kamar korban, Leo terkejut karena mendapati putrinya sudah tergeletak di lantai bersimbah darah. Tidak ada barang-barang berharga milik korban yang hilang. Perhiasan milik korban berupa cincin dan gelang masih utuh berada di atas meja. Menurut Leo, Ita tidak masuk sekolah pada hari itu karena merasa tidak enak badan.
Ita adalah putri bungsu dari dua bersaudara. Siswi kelas III SMU Paskalis ini dikenal aktif bersama ibunya, Ny Wiwin Suryadinata, membantu tim relawan pimpinan Romo Sandyawan. Meski tidak seaktif orang tuanya, Ita sering mendampingi ibunya bila ada kegiatan tim relawan. Di antaranya, berbagai pengaduan seperti ke Komnas HAM atau pencarian fakta kasus 13–15 Mei 1998 di wilayah Jakarta.
Sampai kemarin petugas masih menyidik kasus yang membuat tim relawan sangat berduka ini. Pernyataan turut berduka cita banyak berdatangan, khususnya dari tim relawan dan sejumlah LSM ibu kota. Di antaranya, dari mantan Menteri KLH Sarwono Kusumaatmaja, yang datang bersama rombongan.
Sampai kemarin belum ada kepastian motif pembunuhan gadis berambut panjang itu. Polda Metro Jaya yang dipimpin langsung oleh Kadit Serse Kol Pol Drs Gorris Mere belum bisa memberikan keterangan secara resmi. Hanya, Gorris Mere menekankan bahwa kasus ini tidak berlatar belakang perampokan. Sebab, tidak ada barang berharga yang raib dari kamar korban.
Menariknya, pihak keluarga korban, khususnya Ny Wiwin Suryadinata, menyayangkan sikap petugas kepolisian yang mengambil semua foto anaknya. Bukan hanya buku catatan harian yang diambil petugas, buku telepon serta beberapa catatan pribadi milik korban juga diambil.
’’Mereka mengambilnya juga tanpa seizin saya. Jadi, saya tidak punya lagi foto-foto anak saya itu. Seharusnya kan izin dulu, lagi pula, untuk apa semua foto anak saya dibawa kalau hanya untuk arsip kepolisian, kan ambil saja beberapa buah,’’ katanya.
Meski demikian, sejumlah aktivis relawan maupun sejumlah anggota TGPF cenderung berkesimpulan bahwa latar belakang pembunuhan ini erat kaitannya dengan aktivitas tim relawan dalam membongkar peristiwa kekerasan seksual pada 13–15 Mei lalu.
Sementara itu, Koordinator Tim Relawan Romo Sandyawan di rumah duka mengatakan, kasus yang menimpa anggota tim relawan ini merupakan pukulan berat bagi anggota tim relawan lainnya. Sebab, peristiwa ini merupakan puncak ancaman dari seluruh ancaman yang selama ini diterima anggota tim relawan.
’’Tapi, saya yakin bahwa peristiwa tragis ini tidak akan menghentikan anggota tim relawan untuk mencari kebenaran pada kasus tindak kekerasan seksual pada peristiwa 13–15 Mei lalu,’’ katanya.
Romo Sandyawan belum bisa menentukan siapa di balik pembunuhan anggota tim relawan itu. Namun, dari cara-cara yang dilakukan, pelakunya adalah orang yang cukup profesional. Sebab, dengan kondisi rumah padat penduduk, pelaku masih bisa leluasa melakukan aksinya.
’’Kita baru saja melaporkan soal teror-teror itu. Tiba-tiba anggota kita sudah mendapatkan nasib seperti ini. Jadi, ini bukan tidak direncanakan,’’ katanya.
Sementara itu, Direktur LBH-APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Nursyahbani Katjasungkana SH menegaskan bahwa lepas dari motif yang ada di balik peristiwa pembunuhan itu, peristiwa tersebut merupakan bentuk teror dan kekerasan terhadap para aktivis HAM. Khususnya para aktivis hak-hak perempuan.
’’Teror dan kekerasan terhadap para aktivis HAM dan khususnya terhadap aktivis hak-hak perempuan hampir terjadi di seluruh dunia. Terutama di negara-negara yang otoriter dan membiarkan elemen-elemen ekstrem berkembang,’’ katanya.
Untuk itulah, Nursyahbani menuntut agar Menhankam Jenderal Wiranto dan seluruh jajarannya memberikan jaminan keamanan yang tegas kepada seluruh anggota masyarakat, khususnya para aktivis HAM di seluruh Indonesia, untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan, ancaman, dan teror.
’’Serta mengusut secara tuntas kasus -kasus kekerasan tersebut di atas dan menangani serta menanggapi masalahnya secara serius,’’ ujarnya.
Berkaitan dengan pembunuhan aktivis ini, tim relawan telah menunjuk Luhut M.P. Pangaribuan, Munir, dan Azas Tigor Nainggolan untuk menjadi kuasa hukum keluarga korban. Luhut menilai bahwa pembunuhan aktivis tim relawan ini dilakukan pelaku yang profesional.
’’Kasus ini ada nuansa politiknya. Sebab, tidak ada barang yang diambil dari korban. Pelakunya juga seorang yang profesional. Terbukti dari tempat yang padat seperti ini, pelaku masih bisa melakukan aksinya. Juga dilakukan pada siang hari,’’ katanya. (mik)