PERISTIWA HARI SABTU
Sejak dahulu sudah ditetapkan Allah satu hari dalam
se minggu, di hari semua orang diwajibkan berkumpul menjalankan ibadat
bersama sama dan menerima tuntunan Allah dengan perantaraan Nabi dan RasulNya
masing masing. Tetapi entah kerana apa, di zaman Nabi Musa kaum Bani Israel
sama bermohon, agar hari itu dijadikan hari Sabtu saja.
Keinginan mereka ini dikabulkan oleh Allah dan sudah
tetaplah menurut syari’at Nabi Musa, bahawa hari Sabtu itu adalah hari
istimewa, hari mana setiap orang tidak boleh bekerja, tetapi hari itu dikhaskan
hanya semata-mata untuk menyembah Allah, untuk bersyukur kepada Tuhan dan hari
menerima pelajaran Tuhan atau agama.
Begitulah telah menjadi adat, syariat dan tradisi bagi
Bani Israel, sejak zaman Nabi Musa sampai ke zaman Nabi Daud a.s. Di sebuah
kampung yang terletak di pinggir Lautan Merah, bernama kampung Allah, di mana
tinggal bangsa keturunan Bani Israel juga. Mereka juga menjalankan syariat yang
menjadikan hari Sabtu itu semata-mata untuk beribadat saja.
Kerana adat dan syariat yang sudah turun temurun begitu
lama, di mana tidak seorang juga di antara manusia yang pergi ke ladang membajak,
tidak seorang juga pergi ke pasar berniaga, tidak seorang juga pergi ke laut
menangkap ikan, maka syariat Bani Israel itu menyebabkan timbulnya sebuah tradisi
pada ikan yang hidup di dalam laut di sekitar desa itu.
Tidak begitu jauh dari pantai di desa itu, ada dua
buah batu besar yang putih warnanya di dalam laut. Saban hari Sabtu, bukan main
banyaknya ikan ikan besar yang lalu dan bermain main di antara dua buah batu
besar itu. Rupanya ikan ikan itupun sudah tahu, bahawa kalau mereka berman main
di situ pada hari Sabtu, tidak seorang juga manusia yang menangkap mereka,
sedang di hari-hari yang lain, tidak ada se ekor pun di antara ikan ikan itu yang
muncul di situ, kerana bila ada se ekor saja, sudah pasti akan ditangkap oleh
manusia untuk menjadi makanannya yang paling enak. Di hari hari selain hari
Sabtu mereka hampir seluruhnya pergi ke laut menangkap ikan.
Dari hari ke sehari, tahun ke tahun, makin banyak juga
ikan ikan besar Lautan Merah yang melancung pada tiap hari Sabtu ke antara dua
batu besar itu. Hal ini akhirnya menerbitkan selera bangsa Bani Israel yang
tinggal di desa itu.
Nafsu tamak dan keinginan untuk memakan daging ikan yang
besar-besar itu, menyebabkan mereka lupa kepada ajaran agama mereka sendiri.
Mereka berkumpul bermesyuarat, bertukar fikiran. Mereka berkata: “Kenapa kita
biarkan saja ikan ikan besar sebanyak itu berkeliaran di hadapan kita di hari
Sabtu ini. Sedang di hari hari lainnya, kita bermati matian ke tengah laut yang
luas mencari ikan dengan bersusah-payah, kadang-kadang dengan mengorbankan jiwa
kita sendiri. Alangkah baiknya kalau di hari Sabtu itu, kita tangkap semua ikan
yang lalu antara dua buah batu itu, kita pasti akan mendapatkan ikan sebanyak
banyaknya dengan jalan yang amat mudah.
Fikiran ini lekas diterima oleh lain-lain orang di kampung
itu, kecuali beberapa orang saja yang tetap beriman dan tidak sudi melanggar
aturan agama.
Begitulah setiap hari Sabtu penduduk kampung itu bersama
sama menangkap ikan di antara dua buah batu besar itu dengan mudah sekali.
Hasil mereka sehari itu jauh lebih banyak dari hasil mereka di hari hari lainnya
yang enam hari itu. Alangkah senang hati mereka mendapat akal yang demikian itu.
Dengan akal ini, maka hari Sabtu itu sudah mereka robah,
bukan untuk menyembah Allah lagi, tetapi mereka jadikan hari melupakan Allah,
hari beriang gembira, makan makan besar dengan ikan ikan besar yang mereka dapati
di hari Sabtu yang istimewa itu. Di hari Sabtu itulah mereka makan seenak enaknya
dan sebanyak banyaknya, dengan daging ikan ikan besar yang berbagai-bagai pula
macam ragamnya.
Setelah pekerjaan mereka itu diketahui oleh orang orang
yang beriman, mereka memberikan nasihat kepada yang melanggar aturan agama itu.
Tetapi nasihat ini tidak masuk lagi ke dalam hati mereka. Akhirnya oleh golongan
yang beriman, diadakan tindakan kekerasan untuk menginsafkan orang orang yang
sudah sesat itu. Dengan kekuatan senjata, mereka jaga agar jangan sampai ada
seorang juga di antara penduduk yang menangkap ikan di hari Sabtu itu.
Tetapi mereka yang ingkar dan sesat itu sama sama
memprotes keras: “Kampung ini bukan kepunyaanmu saja, kami juga turut berhak
atas kampung ini. Tetapi kenapa kamu melarang kami berbuat apa yang kami inginkan
di kampung kami sendiri? Kami merdeka berbuat itu semua, apalagi mencari rezeki
yang berupa makanan itu. Atau kalau kamu tidak suka kami mengerjakan apa yang
kami perlukan, lebih baik kampung ini kita bagi dua saja. Setengahnya untuk kami,
kami merdeka berbuat apa saja yang kami kehendaki di kampung bahagian kami dan
setengah lagi untukmu dan kamu merdeka pula berbuat apa saja yang kamu kehendaki
atasnya.”
Untuk menghindarkan selisih dan pertumpahan darah,
orang orang yang beriman akhirnya suka kalau kampung itu di bagi antara kedua
golongan itu. Kampung itu lalu di bagi dua. Kedua golongan disetiap kampung itu,
kini merdeka berbuat sekehendak hati masing masing. Golongan yang sudah sesat
itu berkecimpungan dengan keingkaran, mereka telah melupakan Tuhan dan makan
makan besar setiap hari Sabtu, yang oleh Allah telah ditetapkan hanya untuk
beribadat kepadaNya itu.
Adapun orang-orang yang beriman selalu menasihatkan
kepada sesama mereka, agar jangan meniru perbuatan salah dari orang-orang yang
sesat itu, kerana itu akan berakhir dengan dosa dan petaka yang diakhiri dengan
seksaan Allah yang sebesar-besarnya, Setelah semua
anjuran itu oleh golongan yang sesat itu tidak di acuhkan sama sekali, akhirnya
perbuatan mereka itu dibiarkan saja, diserahkan kepada Tuhan saja untuk
menghukumnya.
Tetapi Nabi Daud tidak mahu membiarkan begitu saja
orang melanggar perintah Allah. Nabi Daud terus menerus menasihati mereka, agar
mereka kembali kepada ajaran Nabi dan agamanya. Tetapi mereka hanya
menggelengkan kepalanya, bahkan mengejek ejek.
Akhirnya Nabi Daud tidak dapat membiarkan dan tidak
dapat pula memberi nasihat lagi. Masalah ini diserahkannya kepada Allah semata
mata, dengan doa agar Allahlah yang mengajari orang orang yang sudah sesat itu.
Orang-orang yang ingkar itu rupanya menjadi semakin
ingkar dan semakin tamak dalam hidupnya, akhirnya mereka mengerjakan segala
macam dosa dan noda dalam hidupnya. Tabiat mereka berubah menjadi saperti kera
atau beruk, tidak tahu akan halal dan haram, tidak kenal akan permatang atau
pagar. Akhirnya bukan hanya tabiatnya saja yang jelek begitu rupa, tetapi
rupa dan bentuk mereka juga jadi memburuk. Tabiat yang kasar dan dosa yang
terlalu banyak, telah merobah bentuk rupa mereka juga, menyerupai kera atau
beruk, menjadi binatang lata.
Pada suatu hari terjadilah gempa besar di desa itu.
Dengan gempa besar itu, semua kaum Mukminin, sama keluar dari rumah rumah
mereka minta perlindungan dari Allah. Adapun orang orang yang sudah sesat itu,
masih tetap makan-makan besar dengan hasil penangkapan ikan mereka di hari
Sabtu itu. Akhirnya datang lagi gempa yang kedua, ketiga, keempat berturut
turut tidak putus putusnya, yang semakin hebat dan dahsyat juga. Dengan gempa
dahsyat itu, lenyaplah semua orang yang ingkar itu terpelanting ke dalam laut,
di timpa oleh batu batu dan rumah rumah yang runtuh, sedang orang orang yang
beriman tetap selamat, berkat perlindungan dari Allah s.w.t.