sajak - sajak peduli bangsa
            ( diambil dari rubrik SIRKUIT harian Republika Minggu )
             


             
             

            NUROCHMAN  SUDIBYO  YS
             



             

            SUARA DARI KAMAR MANDI TERMINAL KOTA
             

            Sunyi mendekap jantungku.
            Di kamar mandi, malam.
            Melarutkan hawa dingin
            pada lantai dan kloset penuh lumut.
            Juga wangi shampho
            Rambutmu dipenuhi kecoa.
            Sibuk.
            Hilir mudik menjalankan otak
            seperti menyerap hari-hari lewat catatan pagi.
            Dan pantat dikerubuti nyamuk memijahkan dendam,
            sampai gelisah dada ini pada jarak 1000 milimeter.
            Semua mata menterorku penuh debu.
            Bahkan telinga menangkap suara tokek curiga
            pada kesunyian dan duka yang menempel
            pada dinding kamar mandi terminal kota ini
            tapi aku tak mampu lagi menggelincirkan waktu
            lewat ujung jemari.
            Membuka mulut kran tanpa suara gemericik air.
            Kupecahkan diri ini ke bingkai kaca.
            Sepenuh bahasa baku di tubuhku
            cuma larutan sabun dan busa wangi shampho
            karena kesucian ada pada selembar handuk,
            kekeruhan yang terjadi dalam bak mandi ini
            semakin menusuk ke lorong paralon
            jiwa yang membusuk.
             

            Jakarta-Indramayu, Mei 1997
             
             
             

            ZIARAH SUNYI
            : bagi tardji
             

            Inilah puisi
            yang kupersembahkan
            untuk menghormati kematian yang terjadi di depan mata.

            Kematian silaturahmi antara pecandu supermie.
            Kematian orangtua yang didurhakai anaknya.
            Kematian suami yang diselingkuhi istrinya.
            Kematian teman yang lupa kacang akan kulitnya.
            Kematian bapak-bapak yang terputus hubungan kerjanya.
            Kematian petani yang tergusur sawah ladangnya.
            Kematian nelayan yang kehilangan pantainya
            Kematian putri ibu pertiwi yang kehilangan kegadisannya
            Kematian tukang becak karena tak kebagian jalan raya
            Kematian rakyat yang ketakutan mempertahankan rezekinya
            Kematian preman karena tersaingi wilayahnya
            Kematian pelajar di arena tawuran.
            Kematian wartawan di wilayah perjuangan.
            Kematian buruh karena diperkosa haknya
            Kematian guru karena diiris-iris gajinya.

            Kematian-demi kematian mengepung kita dari berbagai arah.
            Tak cukup dengan bendera, gaun legam dan kerudung hitammu.
            Bercerminlah!

            Sudah berapa nisan kita ziarahi.
            Sebagai pelayat atau penonton mayat.
             

            Indramayu, April 1998
             
             



             

            juni - 1999